"Seung Hoo ke rumah sakit," ujar Kim saat Choi datang ke ruang kerjanya. "Apa? Kenapa?" tanya Choi kaget. "Tadi pagi dia baik-baik saja." "Aku tidak tahu. Coba buka hp, lihat di grup," titah Kim. Choi mengikuti perkataan Kim, membuka pesan grup yang dikirimkan Jang. "Ini?" Choi melihat bergantian dari layar ponsel lalu kepada Kim. "Gadis misterius itu. Kekasih Seung Hoo," jelas Kim sambil bersandar dengan nyaman, memutar sedikit kursi kerjanya dengan tatapan lurus pada Choi yang terbelalak kaget. "Jadi Dae Jung yang berhasil menebak gadis itu?" tebak Choi. "Bukan. Tidak ada yang menang. Menurut kabar yang beredar di bagian produksi, mereka pergi ke klinik setelah ada kejadian," jelas Kim. "Kamu sudah menghubungi Dae Jung atau Seung Hoo untuk menanyakan keadaan mereka?" Choi menarik kursi di depan meja kerja Kim, lalu menghempaskan tubuhnya di sana. Ponselnya dia simpan di meja, dengan masih menampilkan photo Rara yang diambil diam-diam oleh Jang. "Tidak diangkat. Mungkin tida
Mendengar perkataan Jang, Lee seakan diingatkan, tadi pagi Rara juga marah dan mengatakan tentang taruhan, dia jadi ingin bertanya lagi, agar Rara mengatakan sejujurnya apa yang sudah dia dengar. "Sayang, tadi pagi kamu bilang aku salah menjadikan kamu sebagai bahan taruhan. Memangnya apa yang kamu dengar di luaran tentang itu? Coba kamu katakan," tanya Lee, Jang kembali melirik spion untuk melihat pada Rara. "Oh, itu. Iya, aku dengar kalian mengadakan taruhan, dan aku ... yang menjadi target kalian." Rara membuang muka. Masih ada rasa kesal dalam hatinya saat mengingat tentang itu. "Apa?" Jang berseru kaget. "Siapa yang mengatakan itu?" tanyanya. "Entah." "Bisa kamu bantu jelaskan, Dae Jung? Kalau aku yang menjelaskan, takutnya Rara mengira aku berbohong." Lee menatap Jang yang juga melihatnya lewat spion. "Tidak seperti itu kebenarannya, Rara. Yang sebenarnya, justru Lee akan memberikan hadiah pada kami kalau bisa menebak siapa gadis yang bersamanya. Iya, menebak tentang kamu.
Saat sampai di perusahaan, Lee dan Rara langsung menuju ke ruangan QC, untunglah waktu istirahat sudah habis, jadi hanya orang kantor, dan yang berpapasan dengan mereka saja yang melihat. Jang langsung kembali ke ruangannya, bahkan Choi dan Kim yang tadi mengatakan akan menunggu kedatangan mereka di lobi pun, tidak ada. Mereka sedang rapat akhir bulan yang harusnya juga dihadiri oleh Lee dan Jang. Beberapa orang menoleh dan lantas saling berbisik, begitu melihat Lee dan Rara yang sedang menjadi bahan pembicaraan. Terungkap sudah gadis pujaan lelaki tampan dari Negeri Ginseng itu. Seorang gadis cantik nan sederhana, yang sudah memikat lelaki itu padahal belum lama bekerja. Rara lebih dulu membuka pintu ruangan QC, lalu melangkah masuk dengan wajah yang belum apa-apa saja sudah merona malu, hanya ada Desi, Santi, dan Venny di sana, tiga orang lainnya sedang mengambil contoh barang di bagian produksi. "Oppa, bagaimana?" tanya Desi melihat pada Lee, lalu menoleh pada Rara yang kini dud
"Tidak ada?" ulang Baek meyakinkan. "Iya, Pak. Tidak ada karyawan dengan nama Rara di bagian QC," balas Park yakin. Kini perhatian teralihkan pada Lee yang tersenyumlah penuh kemenangan, setelah tadi dia merasa terpojok oleh pengaduan Jang. Lee lupa, pasti nama Rara tidak akan ada dalam data, karena itu hanya nama panggilan gadis itu saja. "See, nggak ada kan?" ujarnya mengejek Jang puas. "Ish, bagaimana bisa tidak ada nama Rara dalam data?" Jang protes. "Buktinya nggak ada! Sudah, aku mau kembali ke ruangan aku saja." Lee berdiri, menghadap pada atasannya, dia membungkukkan badan sebelum pamit undur diri meninggalkan ruangan. "Saya pamit, Pak. Selamat sore," ujarnya lalu melangkah dan menatap sinis pada Jang, yang masih menatap bingung dengan tidak ditemukannya data diri Rara. "Urusan kita belum selesai, Bung!" desisnya begitu melewati Jang. Glek! Jang kesulitan menelan ludahnya sendiri. Tawa puas terdengar dari Kim dan Choi melihat Jang yang mendadak pias, mereka sudah memb
Rara menekuk wajahnya sambil berjalan menuju ke parkiran, Desi dan Santi yang berjalan di sisi kanan dan kirinya, merasa heran dengan perubahan wajah Rara. Dengan isyarat Desi dan Santi saling bertanya. "Ra, kenapa? Kok, jadi murung?" tanya Desi. "Kepikiran oppa, ya?" timpal Santi. "Bukan, ih," tepis Rara. "Terus?" "Merasa nggak enak aja, tadi yang nabrak Rara di ruang loker sampe segitunya, padahal Rara kan nggak apa-apa," keluh Rara. Santi dan Desi yang mengetahui kejadian di ruang loker tadi, mengangguk paham. Mereka makin senang pada Rara yang ternyata sangat rendah hati."Nikmatin aja, Ra." "Iya, Ra. Bawa enjoy!" "Nggak nyaman banget, Teh. Beneran. Kenapa juga atuh berita ini sampai keluar dari QC?" sesal Rara pada orang-orang yang tidak bisa menahan mulutnya untuk berbagi cerita, hingga semua orang mengetahui hubungan dengan Lee. "Ya kita kan nggak bisa nahan mulut orang, Ra." Desi mengungkapkan pemikirannya. "Iya juga, sih. Lagi pula yang salah tuh si oppa, kenapa haru
Waktu bergulir, detik berlalu, menit mengantar pasti ke jam yang ditunggu-tunggu. Lee tidak berhasil mengajak Jang untuk ikut bersamanya ke rumah Nurul, karena kebetulan sahabatnya itu harus pergi ke kantor pusat. Saat bel berbunyi, karyawan QC langsung berhamburan keluar bangunan perusahaan dengan tidak sabar. Dengan menggunakan mobil yang biasa Lee pakai, mereka berangkat bersama-sama menuju ke rumah Nurul, dengan gadis itu duduk di depan samping Lee yang mengemudi. Tak ada yang tahu bagaimana degupan kuat yang memberontak dalam dada Nurul, entah mimpi apa dia semalam, hingga bisa duduk bersebelahan dengan Lee, dan pergi ke rumahnya sebagai tujuan. 'Mama, Nurul pulang bawa calon mantu!' jerit batin Nurul girang sendiri. Lima belas menit kemudian, mereka sudah sampai di rumah Nurul, sambutan hangat diberikan keluarga Nurul terutama orang tuanya."Mama, ini atasan Nurul, namanya oppa Lee," ujar Nurul mengenalkan Lee dengan malu-malu. "Oh, iya. Selamat datang, Oppa. Maaf rumahnya
"Seenaknya aja kamu ganti nama orang, Bi!" kekeh Rara. "Ya enak aja kalau nama dia diganti Ali. Lagian kan deket banget. Lee, sama Ali." Robi ikut terkekeh, entah kapan tepatnya dia punya pemikiran seperti itu. "Jangan main ganti gitu, ah! Nggak bagus! Mending kalau orangnya nerima, kalau enggak, gimana coba?" ingat Rara. "Bukan orangnya yang nggak suka kali, tapi gebetannya yang nggak terima," ejek Robi. "Apaan sih, kamu?! Aku serius, Bi! Aku beneran pengen kuliah," lanjut Rara mengatakan keinginannya. "Ya aku juga serius bilang gitu. Si Lee kan emang niat banget pengen nikahin kamu, Ra." Robi mengatakan keberpihakannya pada Lee. "Tahu, ah!""Dia serius loh, Ra!" Rara bergeming. "Setidaknya dia bilang gitu sama aku," yakin Robi. "Dia tidak sekeyakinan dengan kita, Bi." Rara masih belum ingin membuka tentang Lee yang tidak mempercayai Tuhan manapun pada adiknya. "Dia kan bisa pindah." "Aku nggak tahu." Andai kamu tahu, Ra. Lee sedang berusaha memantaskan diri agar bisa ber
Sesampainya di asrama, Lee bertemu dengan Kim yang sedang menonton TV. "Kemana aja kamu?" tanya Kim saat Lee menyimpan tasnya di meja makan untuk minum."Ketiduran di ruang kerja," jawab Lee setelah meneguk air dari botol air mineral yang tersedia. "Tidur? Sejak kapan?" Kim bertanya heran. "Setelah rapat," jawab Lee ringan. "Ah, tanganku," lirih Lee mengusap tangannya. "Kamu itu tidur atau mati? Selama itu tidur baru bangun?" decih Kim, dia heran Lee akhir-akhir ini jadi suka sekali tidur. "Pengaruh obat." "Alasan saja!" Kim mencibir, "Kamu jadi suka sekali tidur sekarang." Kim menatap temannya yang kini duduk di sofa. "Aku juga tidak tahu." Lee menjawab seadanya. "Bagaimana tanganmu?" tanya Kim melihat tangan Lee yang tersampir di lengan sofa. "Terasa sakit sekarang, tadi pas tidur juga kebangun karena kerasa sakit lagi." "Sebenarnya apa yang terjadi? Aku tanya Dae Jung, dia bilang juga tidak tahu." Kim menatap Lee, menunggu jawaban pasti akan kejadian yang sebenarnya telah
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"