Aylin seakan dejavu, langkah kakinya kali ini bahkan lebih gugup dari malam kemarin. Kalau kemarin dia belum yakin Aji akan mengambil haknya, tapi malam ini tentu tidak ada lagi alasan Aji menunda hal itu. Aji bukannya tidak paham dengan ketakutan Aylin, dia pun sama gugupnya. Hanya sebagai laki-laki yang akan mendapatkan apa yang sudah dia bayar dengan mahar dan akad, Aji harus menunjukan kuasanya atas Aylin. Memiliki Aylin seutuhnya malam ini. "Masuklah!" titah Aji saat pintu apartemen sudah dibukanya sedikit. Ragu Aylin menoleh, lalu anggukan kecil yang diberikan Aji, membuat Aylin dengan mantap mendorong pintu itu terbuka lebar. Byur! Siraman kelopak bunga mawar berjatuhan begitu pintu terbuka semua. Aylin mengadahkan tangan, menerima setiap helaian kelopak bunga yang berjatuhan mengenai tubuhnya. Senyuman lebar tersungging manis dari sela bibirnya. "Suka?" tanya Aji sambil memeluk tubuh Aylin dari belakang. Setelah menegang karena sentuhan tiba-tiba Aji, Aylin mengangguk me
Senyuman tak lepas dari bibir keduanya, saat ini mereka sedang duduk di ruang tengah apartemen. Selepas salat subuh tadi, kembali mereka mengarungi indahnya romansa pengantin baru, menikmati manisnya bulan madu yang hanya mereka berdua saja yang tahu bagaimana indahnya itu. Aji merasa bersalah saat melihat cara berjalan Aylin yang sedikit berbeda, namun harus bagaimana lagi, memang seperti itu prosesnya. Rasa sakit yang dirasakan Aylin, adalah bukti satu kebersamaan yang indah yang telah mereka lewati bersama. Perut mereka sudah meminta isi, namun karena terus memenuhi dahaga cinta, tentunya mereka abai atas kebutuhan tubuh atas hal yang penting lainnya. Aji sudah menghubungi cafe tempat Aylin kemarin bekerja, dia meminta salah seorang pekerjanya yang biasa mengantar pesanan online, untuk mengantar sarapan terlambat mereka. Jarum jam sudah bergeser ke angka sembilan, pantas saja mereka sudah sangat kelaparan sekarang. Berpelukan di sofa depan TV yang menyala, Aylin dan Aji seakan t
"Uhuk, uhuk!" "Kenapa bisa tersedak, sih?" ujar Cemila merasa iba. Aylin masih berusaha menenangkan diri, tenggorokannya terasa perih. "Ini, Sayang!" Aji mendekatkan segelas air putih, dengan cepat diterima Aylin, dan meneguknya. "Hati-hati," tambahnya cemas. Duduk di lengan sofa untuk mengusap punggung Aylin. "Duduk sini, Seta." Cemila bermaksud berpindah tempat lagi. "Sudah, nggak perlu. Kamu duduk saja, Cemila," tolak Aji, Cemila pun mengurungkan niatnya. "Bagaimana? Sudah enakan?" tanya Aji setelah beberapa saat. Aylin mengangguk, Aji menghela napas lega. "Syukurlah. Lagian kenapa bisa tersedak, sih?" tanya Aji sambil mengusap rambut Aylin, lalu mengumpulnya agar bisa diikat. Mata Cemila awas melihat penampakan leher sahabatnya, matanya jadi ternodai melihat bagaimana bercak itu membuat pikirannya melayang-layang tak tentu. Seganas apa Aji, hingga leher Aylin berhias bekas bibirnya seperti itu? 'Ish, bodohnya aku berada di sini!' Batinnya merutuki diri, niatnya ingin men
Jam kerja sudah berakhir, setelah memberitahukan tugas yang belum diselesaikannya pada karyawan shift selanjutnya, Rara bersiap meninggalkan ruangan QC, gerakannya sedikit tergesa saat mendengar teriakan Lia yang memanggil namanya "Ra, cepetan, Ra!" seru Lia begitu melihat Rara keluar dari ruangan QC. Dia adalah orang yang bersama-sama Rara masuk melamar ke perusahaan tersebut, dari sanalah hubungan pertemanan mereka mulai terjalin. "Iya sebentar," jawab Rara, tanpa menoleh ke arah berlawanan yang akan dilaluinya. Tanpa Rara sadari dari arah yang berlawanan, nampak Lee berjalan tergesa sambil menunduk, tangannya membawa buku seperti milik semua karyawan yang bekerja di bagian QC. Tanpa bisa dihindari, keduanya pun bertabrakan tepat di depan bagian depan pintu QC. Brak! "Aww!" "Aduh!" Buku yang dibawanya terlempar, begitu juga dengan buku milik Rara. "Aduh, maaf!" ujar Lee dengan menyesal, dia melihat pada seseorang yang telah ditabraknya, dan sedang dia pegang erat tangannya
Rara keluar dari kamar, di tempat kost Robi saat ini dia sendiri, karena Robi masuk kerja siang, dan akan pulang jam sebelas malam nanti. Setelah mandi, solat, dan makan, Rara bersiap mempelajari lagi cara kerja di QC, membawa buku yang dia kira miliknya ke depan TV. Menghempaskan bokongnya perlahan di karpet, masih belum menyadari buku yang saat ini dipegangnya, bukan miliknya sendiri, Rara lantas membuka buku itu. Rara tersentak kaget, saat melihat tulisan yang ada di sana jelas bukan tulisannya. Bahkan apa maksud dari tulisan tersebut, Rara jelas tidak paham. Dalam kolom nama jelas tertulis si pemilik buku itu. 이 생 호"Akh! Kenapa harus tertukar dengan buku punya mister Lee, sih?" decak Rara kesal sendiri. "Bagaimana kalau dia marah besok? Duh, gimana ini?" Rara bingung dengan apa yang harus dilakukannya. "Tapi kayaknya nggak bakalan marah, deh. Kan nggak sengaja," gumam Rara menenangkan dirinya, meski tetap saja kekhawatiran itu ada. "Apa aku tanyain sama teh Desi, minta nomo
Sedang Aji mengajak Aylin mengunjungi keluarganya ke hotel. Saat matahari mulai condong ke peraduannya, Aji menggandeng istrinya memasuki lobi, lalu terus menaiki lift menuju kamar ayah dan ibunya berada. Aylin terlihat cantik dalam balutan gamis berwarna merah muda, senada dengan kerudung yang dipakainya. Meski jelas tak menyembunyikan gurat lelah di wajah itu. Setelah menunggu beberapa saat, pintu kamar Tirta pun terbuka. "Aji?" seru Tirta tak percaya akan apa yang dilihatnya. "Siapa, Yah?" tanya Sukma yang ikut menoleh ke arah pintu. "Aji sama Aylin, Bu! Masuklah, Nak!" kata Tirta dengan senang atas kunjungan tak terduga sepasang pengantin itu. "Aji sama Aylin?" Sukma menderap langkah mendekat. "Sehat, Yah?" tanya Aji sambil menyalami, Aylin mengikuti apa yang suaminya lakukan pada Tirta, meski dia hanya menyapa dengan memanggil Tirta saja. "Ayah," sapanya dengan sopan. "Baik-baik, Nak. Ayah baik, masuklah, temui ibu kalian," jawab Tirta mengusap pundak Aylin lembut, bingu
"Tadi, Wa, niatnya mau numpang makan terus mau nginep bareng ayah juga," terang Aji, lalu bergantian menyalami Mukta yang baru keluar kamar."Bohong, mana boleh nginep di kamar kami, A. Tadi aja dah nempel-nempel terus sama istrinya, yang ada nanti kamar malah dikuasai mereka," sergah Sukma cepat sambil tertawa. "Hmm, nggak bagus itu," kekeh Denni menggoda pengantin baru yang hanya Aji saja paham artinya, karena Aylin hanya mengangguk, dan mengulum senyum. "Aylin sehat, Nak?" sapa Mukta menatap wajah Aylin sedikit pucat. "Alhamdulillah sehat, Wa," jawab Aylin tanpa mengerti kemana maksud pertanyaan terselubung Mukta. "Ah, syukurlah. Hanya jangan terlalu capek," sindir Mukta melirik pada Aji yang pura-pura tak mengerti. "Baru semalam aja udah kelihatan pucat gini, Ji," sambung Mukta, Sukma mengangguk setuju dengan perkataan istri iparnya itu. "Kecapean, Teh," kata Sukma mengusap tangan menantunya. Sedang Aji mengusap wajah malu. Begini rupanya jadi pengantin baru. Digodain terus
"Ajarin aku bahasa Indonesia," rengek Aylin begitu mereka sudah kembali ke apartemen. Tadi Tirta langsung meminta Aji dan Aylin kembali ke apartemen begitu selesai makan, meski sempat ditahan dulu oleh Raja yang harus membawa dulu hadiah untuk pernikahan Aji di kamarnya.Lagi-lagi Aji menerima selembar cek dari keluarga Denni, meski nominalnya tidak sebanyak yang diberikan oleh Denni padanya. Aylin sendiri juga tercengang melihat angka yang tertulis di selembar kertas itu. Dia sejenak berpikir, sekaya apa sebenarnya keluarga dari suaminya. Dia belum melihat cek dari Denni, karena memang Aji belum menunjukannya. "Ya harus, Sayang. Karena kamu akan tinggal di sana, jadi kamu harus bisa bahasa indonesia, atau paling tidak bahasa inggris kamu makin lancar." Aji memijit hidung mancung istrinya pelan, lalu membuka lemari mencari baju ganti. "Tapi sepertinya ibu tidak bisa bahasa inggris ya, Sayang?" tanya Aylin. "Iya. Bisa sih, sedikit kayaknya nggak sepertinya uwa Mukta secara beliau or
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"