"Iya, Bu. Mau ketemu teman juga," jawab Aji."Sama Engkos? Pakai mobil kan?" tanya Sukma mengusap pundak Aji."Nggak, pake motor aja. Kangen juga bawa motor," jawab Aji, sedari dia bangun tadi, kuda besi tunggangannya dulu sudah dia panaskan, bahkan mencobanya juga mengelilingi pekarangan rumahnya yang luas. Kendaraan kesayangannya itu masih enak dikendarai, Tirta memang selalu merawat motor Aji meski pemiliknya pergi. "Yakin kuat? Di rumah aja Pelor gitu, nempel ke bantal langsung molor," kata Sukma sangsi. Aji tertawa mendengar perkataan ibunya. "Bisa lah, Bu. Cuma dua jam doang, kalau capek mungkin ke hotel mampir, numpang tidur.""Ajak siapa kek gitu," usul Sukma khawatir juga."Siapa?""Ajak si Asep saja, dia kan jarang ke ladang, kerja di rumah kebanyakan.""Sekarang ada?" Aji menyetujui ide Sukma."Lihat saja di depan.""Eh, ayah kemana, Bu? Kok, nggak kelihatan?" Aji melihat pada kamar Sukma yang pintunya tertutup."Pergi tadi pagi sama Bara, ke sawah di ujung desa.""Ayah u
Ting! Satu pesan masuk mengalihkan perhatian Khadijah. Sukma [MasyaAllah, cantiknya.] "Dari Camer!" Khadijah menunjukan pesan dari Sukma, Sabilla hanya tersenyum menanggapinya. Khadijah [Iya, Bi. Kalau bibi ada photo Aji kirim saja, Bi. Biar bisa Khadi tunjukan ke Billa.]"Nggak perlu, Teh!" tolak Sabilla yang ikut membaca pesan yang Khadijah kirim. "Nggak apa-apa. Kalau kamu nggak mau buat Teteh aja," ujar Khadijah menyimpan ponselnya setelah membalas pesan Sukma. "Dia beneran nggak punya pacar, Teh?" tanya Sabilla mengulang pernyataan Khadijah soal Aji. "Iya." Khadijah menjawab dengan sangat yakin. "Sampai umur 26 belum pernah pacaran?" tanya Sabilla menyangsikan. "Serius. Kata A Raja dia nggak mau pacaran, pengen langsung nikah aja." "Keren, ih!" kembali rasa kagum menyusup dalam hati Sabilla. "Kalau keren, kalau jelek?" Khadijah tertawa. "Nggak yakin, ah! Teteh sama a Raja aja cakep." "Ya kan beda orang tua." Khadijah ingin menguji kesungguhan kata-kata Sabilla yang
Roni bisa bernapas lega begitu bisa membawa Karin bertemu dengan orang tuanya. Meski hatinya kini diliputi kecemasan atas kabar kedatangan Aji. Dia belum sanggup mengatakan pada Karin, takut gadis yang mulai bisa dia miliki berpaling.Sambutan hangat diterima Karin dari keluarga Roni, membuat Karin semakin yakin untuk menikah dengan lelaki yang kini duduk membisu di sebelahnya. Semalam dia menginap di rumah Roni, sengaja pergi sabtu sore agar minggu pagi bisa kembali. Berbagai buah tangan dibawakan, untuk calon besan, begitu kata ibu Roni saat Karin menolaknya. Dari hasil pertemuan itu, diputuskan sabtu depan keluarga Roni akan datang untuk melamar."Sayang?" panggil Karin, dia menyadari Roni sedikit berbeda beberapa hari ini, dia pikir karena akan membawanya ke keluarga yang membuat Roni terlihat cemas, tapi ternyata setelah mereka kembali pun kecemasan itu masih ada terlihatlah di wajah kekasihnya, calon suami tepatnya."Ya?" Roni menoleh sebentar."Aku lapar. Kalau mampir ke bakso
"Se-ta!" ucapnya tanpa suara, desakan air mata memaksa ingin keluar. Karin masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya."Karin? Kamu--" Aji menatap bergantian dua orang yang pernah menjadi sahabatnya dulu, dia mencoba menjawab pertanyaan tersirat tanpa perlu diucapkan.Karin dan Roni dalam satu mobil. Bersama."Ta, apa kabar?" tanya Roni berusaha tidak melihat perubahan wajah Karin, juga tatapan tak percaya Aji. "Maaf, aku sedikit sibuk beberapa hari ini, jadi lupa membalas pesanmu." Roni menjelaskan alasan dia tak menghiraukan pesan-pesan dari Aji.Mendengar penuturan Roni, Karin menoleh cepat. Roni tahu tentang Aji dan tidak bilang apapun padanya?"Iya, Ron, nggak pa-pa. Rin, apa kabar?" Aji menatap Karin yang tampak marah pada Roni.Mendengar Aji bertanya padanya, Karin kembali menatap layar dengan air mata yang berderai, dengan kasar dia usap lelehan air bukti hatinya kini terluka."Kamu di mana?" tanya Karin tanpa menjawab pertanyaan Aji."Aku di Bandung."Deg! Karin merasakan h
"Terima kasih, Sayang. Terima kasih," ucap Roni setengah berbisik, dia bertekad tidak akan melepaskan Karin, kalau bukan gadis itu sendiri yang memintanya, seperti keinginan Karin yang ingin tetap bersamanya sekarang. Karin membalut hati yang kecewa karena kepulangan Aji yang terlambat, dengan senyuman manis yang dia berikan pada Roni. Dia sudah memutuskan untuk menerima Roni sebagai calon suaminya, jadi dia harus bertanggungjawab untuk semua pilihan dan keputusannya. "Sama-sama, Sayang." "Kita temuin Seta?" tanya Roni meminta pendapat Karin, sekaligus dia juga ingin melihat semua kesungguhan yang Karin katakan dengan bertemu dengan Aji. Karin mengalihkan tatap dari Roni, hatinya jelas belum siap bertemu dengan Aji secepat itu, tapi kalaupun dia menolak, maka Roni akan meragukan pernyataannya beberapa saat lalu. "Tentu, kita akan temuin Seta," ujar Karin, mengalihkan perasaan gugup dengan mengusap kepalanya. Perlahan dihembuskannya napas panjang. 'Aku tahu kamu masih berat, Saya
"Suka pedes gitu, masa nggak pake saos dia, Ron?" kata Aji yang tahu dengan pasti kalau Karin pecinta makanan pedas, dulu dia yang sering membantu Karin menuangkan saus dari botol kalau susah keluar, sekarang ada Roni yang tanpa diminta akan dengan senang hati melakukannya. Hati Karin berdenyut pedih, seperti Aji dia pun mengingat masa lalu itu, sedang Roni bersikap abai meski dia tahu Aji seakan tengah mengulang kisahnya dengan Karin dulu. Namun dia tahu hanya sebatas itu yang Aji kenang, entah dengan wanita yang duduk di sampingnya yang lebih banyak diam, dan menunduk begitu Aji datang. Padahal dulu, Karin selalu banyak bicara saat bersama dengan Aji Seta Subrata, tertawa, dan saling menggoda. "Rencana kamu kedepannya gimana, Ta?" tanya Roni, mereka mulai menyantap pesanan masing-masing. "Rencana apa nih maksudnya?" tanya Aji tersenyum. Roni tertawa pelan, "Rencana masa depan lah. Pekerjaan, menikah … kamu pasti punya seseorang yang dekat selama enam tahun di Turki kan? Apa kamu
"Sayang? Kok, lama? Kamu baik-baik saja?" tanya Roni dengan wajah khawatir, lima belas menit Karin pergi ke toilet, andai Karin tak segera datang, sudah dipastikan dia akan pergi menyusulnya. Aji juga menatap Karin yang datang dengan wajah basah, mata Karin terlihat sembab. Menangis kah dia? Aji hanya berharap, bukan dia penyebab tangisan itu. Meski tentu saja harapannya sia-sia, karena memang dia lah tersangka utama Karin menangis. "Sedikit sakit perut," jawab Karin berbohong, mengusap perutnya untuk meyakinkan. "Apa? Perlu periksa ke dokter?" tanya Roni panik. "Kepedesan makan baksonya mungkin." Roni mengusap lengan Karin, melihat pada sisa bakso yang ada di mangkuk. Pantas tidak dihabiskan, mungkin karena Karin sakit perut. Pikir Roni menyesali pemikirannya di awal, yang mengira Karin tidak menghabiskan makanannya karena tidak napsu makan karena Aji. Karin mengangguk, merasa lega karena Roni tidak mengetahui kebohongannya. Begitu juga Aji yang menertawakan pemikirannya sendi
"Ya nggak apa-apa sekarang kenalan di telepon, besok Kopdar. Kopi darat!" Khadijah tersenyum lebar. "Om Aji mau dikenalin sama tante Billa, Bun?" tanya Syena ikut berbicara. "Iya, Na. Mereka cocok, kan?" Khadijah mencari dukungan anaknya. "Pas! Sama-sama cakep!" Syena mengacungkan kedua jempol tangannya. "Dih, Syena udah tahu yang cakep!" Aji malah menggoda Syena untuk mengalihkan pembicaraan. "Ya tahu dong, Om, Enna kan udah dua puluh tahun, masa belum tahu yang cakep? Aneh, deh!" Syena tertawa. "Oh, Enna udah dua puluh tahun? Seumuran dengan adiknya Seruni dong. Eh?!" Aji menggigit bibirnya saat nama Seruni terlafaz tanpa sengaja, entah kenapa tiba-tiba dia ingat dua orang yang memiliki wajah hampir serupa itu. Denni dan Mukta saling pandang, mereka tahu Rara, mengenalnya dengan baik malah, apa Aji ada rasa pada adik dari seseorang yang pernah membuatnya merana karena patah hati? "Siapa?" tanya Khadijah yang memang tidak mengenal Rara. "Rara," jawab Aji, bayangan Rara melin
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"