Begitu sampai di rumah penjahit langganan sang ibu, Arya disambut oleh seorang wanita paruh baya dengan ramah. "Eh, Den Arya ... apa kabar?" tanya wanita yang telah diberitahukan Arya pada Seruni bernama Euis. "Alhamdulillah, sehat, Bu.""Ibu Sukma sehat?""Alhamdulillah." Euis menoleh pada Seruni yang duduk di samping Arya dengan tersenyum malu-malu, "Ini ... keponakan?" Sepasang calon pengantin itu saling pandang, lalu tersenyum malu. Apalagi Seruni, wajahnya sudah merona."Ini ... calon istri Arya, Bu," jawab Arya tanpa ragu. Mendengar penuturan Arya, Euis terkesiap kaget. Bagaimana mungkin calon istri Arya masih sangat belia. "Eh ... calon istri?!" "Iya, Bu. Calon istri," tandas Arya menegaskan perkataannya. "Oh, iya, saya turut senang mendengarnya." Euis tersenyum penuh pengertian."Terima kasih, Bu. Dan maksud kedatangan kami." Arya menyimpan baju yang sedari tadi dalam genggamannya ke meja. "Tolong diperiksa, apakah baju ini masih bisa diperbaiki?" Euis memeriksa ba
Sukma--ibu Arya-- berdiri menunggu Arya dan Seruni yang baru turun dari mobil. Senyum lebar sang ibu, membuat Arya semakin ingin cepat mendekat, dan menyampaikan rasa bahagianya. Bahagia karena keinginan hati yang pernah disampaikan pada Sukma, sebentar lagi akan menjadi nyata. Walau mungkin sebagian orang tidak mengerti dengan jalan pikirannya, namun Sukma mendukung penuh keinginan anak tercinta. Seruni berjalan perlahan di sebelah Arya. Meskipun sudah menyemangati dirinya bahwa semua akan baik-baik saja, tetap gadis belia itu merasa khawatir. "Jalannya dipercepat, Sayang. Ibu sudah tidak sabar untuk memeluk calon menantu kesayangannya," ujar Arya meyakinkan. Benarkah? Seruni menoleh, tersenyum kikuk dengan jemari yang tak henti mengepal. Dia semakin gugup saat jarak semakin dekat dengan Sukma, yang kini terlihat tak sabar. "Selamat datang, Neng Geulis. Ayo, sini cepat! Ibu tak sabar ingin memeluk," panggil Sukma seraya melambaikan tangan. Seruni sedikit lega melihat sambutan
"Runi?! Kok, melamun? Kenapa?" Sukma menarik kesadaran Seruni yang mengembara, menyadarkan dia dengan situasi saat ini. Seruni menundukan wajahnya dalam, menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya sudah tertebak oleh Arya. 'Aku tidak akan memberikan kamu waktu untuk memikirkan dia, Runi. Karena kamu akan menjadi milikku.' Menarik napas dalam, Seruni mencoba bersikap biasa kembali, menutupi gelisah hati dengan kenyataan yang baru saja terkuak. "Em ... Runi tidak apa-apa, Bu. Maaf, Runi tidak memperhatikan apa yang Ibu bicarakan tadi. Bisa diulang, Bu?" Seruni tersenyum canggung, merasa sudah bersikap tidak sopan pada Sukma yang sudah menerimanya dengan baik. "Kamu tidak fokus, ya?! Pasti memikirkan tidak ke kampus sekarang. Benar?" Seruni mengangguk memilih mengiyakan semua perkataan Sukma agar tidak curiga. Apa lagi di depannya, Arya terus menatapnya penuh selidik, "I-iya, Bu. Runi jadi bolos. Karena ... karena tadi, membuat baju yang akan dipakai buat akad sobek kena paku." Seruni
Sukma kembali ke ruang tamu bersama salah satu pekerjanya, membawa nampan berisi minuman dan beberapa macam cemilan, saat tak menemukan Seruni di ruang tamu, Sukma menoleh pada kamar Aji yang terbuka. 'Mungkin masih di kamar mandi.' Pikir Sukma dengan wajah yang terus tersenyum bahagia, harapan putra tertuanya membangun rumah tangga akan segera terlaksana. Besok malam, dia akan mengantarkan putranya itu mengikat janji suci atas nama Illahi, meminang gadis pilihannya sendiri, menikahi gadis yang baru lulus sekolah untuk dijadikan istri. Kalau jalan jodohnya seperti itu, tidak ada yang salah kan? Tentu saja. Dulu saja dia juga menikah dengan Tirta Subrata saat usianya sama dengan Seruni. Dan dia berhasil mempertahankan rumah tangga sampai tiga puluh enam tahun lamanya. "Simpan di sini, Bi. Kopi buat Arya antarkan ke tempat kerjanya saja," perintah Sukma pada Bi Asih yang mengangguk patuh. "Ini ada tamu siapa ya, Bu?" tanya Bi Asih yang memang sengaja tidak diberitahu oleh Sukma me
"Runi ... mau pulang, A," ujar Seruni begitu dia selesai mengambil tisu yang disodorkan Arya.Arya diam. Hanya matanya yang menatap Seruni dengan perasaan berkecamuk. Kebahagiaan kemarin dan tadi pagi yang mereka lalui, berganti duka yang jelas terlihat di mata gadis itu."A!" panggil Seruni saat tak mendapatkan tanggapan dari Arya tentang perkataannya."Lap dulu wajahmu. Bilang sama ibu," kata Arya sambil duduk."Den--maksudku ... ibunya di mana?""Duduklah dulu, cicipi apa yang sudah ibu siapkan untukmu." Arya menunjuk pada suguhan yang tersaji di atas meja."Tap--""Duduk, Sayang!" titah Arya tak ingin dibantah.Seruni hanya bisa mengalah akhirnya. Duduk di sofa sebelah Arya. Lagi, dengan photo keluarga yang ada tepat di depan mata."Kenapa lama di kamar mandi, Runi?" Sukma datang dari ruang tengah, di tangannya sepiring bolu dia bawa, lalu menyimpannya di meja. "Yuk, dicobain.""Runi mau pulang saja, Bu." Seruni berdiri, dia sudah ingin segera pergi, dari rumah yang mengantarnya p
Aku menatap pak Soleh yang pergi meninggalkan rumah. Aku mengenal salah satu pekerja ayah itu. Dia termasuk yang terlama menjadi petani di sawah juga kebun ayah. Orangnya baik, ramah. Ya, hanya sebatas itu yang aku tahu.Kuhampiri ayah yang masih mengawasi kepergian pak Soleh. Asap rokok mengepul dari mulutnya, kebiasaan ayah belum berubah. Padahal dokter sudah melarang karena sakit jantung yang diderita ayah beberapa tahun ini. Tak bisa melarang juga, karena aku juga pecandu nikotin itu. Setidaknya, sejak kisah tragis yang terjadi pada sepuluh tahun lalu.Iya, sejak aku gagal menikah dengan gadis yang dijodohkan oleh ibu. Malang memang kisah cintaku, sudah dijodohkan, ditinggalkan kabur pula saat hari pernikahan. Lengkap kan?Padahal apa yang kurang dariku? Aku tampan, anak orang kaya, gagah, saat kuliah termasuk most wanted. Walau tetap saja, tidak ada seorang pun yang berhasil membuat seorang Arya Sena Subrata bertekuk lutut.Dengan patuh aku menerima ide perjodohan yang dicetuskan
"Iya, Bu, Aji usahakan datang." Aji Seta Subrata--adik Arya-- tersenyum membayangkan wajah ibunya yang sedang menelepon sekarang. Dari semalam, Sukma terus menanyakan tentang bisa tidaknya Aji datang pada acara pernikahan kakaknya. "Usahakan ya, Ji?!" "Iya, Bu. Tapi andaikan Aji tidak bisa datang pun, doa Aji terkirim buat aa, mudah-mudahan acaranya lancar.""Aamiin. Ya, sudah. Ibu tunggu, Nak. Atau kamu nanti telepon si aa. Tadi sih calon istrinya dibawa ke rumah.""Iya, Bu. Nanti Aji hubungi aa."Sambungan pun terputus. Aji menghembuskan napas lega, dia senang kalau kakaknya yang sangat dia banggakan, akhirnya bisa melupakan traumanya. Dia kembali memeriksa jadwal kuliahnya, apa bisa dia pulang besok untuk menghadiri acara akad nikah Arya atau tidak, dia kembali tersenyum saat ternyata dia bisa pulang. Sudah dua tahun Aji tidak pulang, kendati begitu tetap keluarganya yang datang mengunjungi. Sama saja.Hanya saja, ada rasa rindu pada sosok yang telah menjadi pusat harapannya
Seruni menatap sendu pada surat Aji. Masih segar dalam ingatan, saat lelaki muda itu memberikan sepucuk surat yang berisikan kata hatinya. Juga bagaimana bahagianya dia saat membaca setiap goresan tinta di sana, walau tidak banyak kata yang Aji tuliskan, juga bukan kata romantis yang membuatnya melayang, hanya permintaan Aji untuk memintanya menunggu. Sebatas itu, tapi tanpa ikrar mereka menyatakan akan saling menunggu, hingga saatnya tiba. Hanya satu yang dia sesalkan, kenapa dia tidak tahu kalau Aji atau Seta adalah anak dari majikan bapaknya? Kenapa hanya Arya yang dia tahu sebagai majikan juga penerus keluarga Tirta Subrata? Atau memang dia yang terlalu acuh pada keadaan sekitar?Lantas sekarang, apa yang akan dia lakukan saat bertemu Aji, setelah dia berganti status sebagai istri dari kakak lelakinya itu?Sungguh permainan takdir tak bisa Seruni tebak. Kemarin dia menangis sedih, saat keputusan menikah dengan Arya didengar. Lalu hatinya mulai bisa menerima kenyataan, bahkan perl
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"