POV Seruni. Tak bisa aku berkata lagi, apalagi Raden Arya langsung menutup telepon begitu saja tanpa menunggu penjelasan dariku.Duh, bagaimana kalau Raden Arya marah? Lalu, bapak atau ibu yang menjadi sasaran kemarahannya?Kuusap cepat lelehan air mata yang kembali luruh, bergegas menyimpan surat dari kak Seta di tempat semula, jangan sampai ibu menemukan surat itu. Ah, aku harus membuang surat itu. Kuambil lagi surat itu, dan menyimpannya di atas meja. Iya, harus! Aku akan membakar surat itu. Tapi sepertinya nanti saja, kalau sekarang ada ibu di dapur, kalau sampai ibu melihat pasti akan bertanya lagi.Sekarang ini, apa yang harus aku lakukan untuk meredakan kemarahan Raden Arya? Terus terang aku merasa sangat tidak nyaman. Terlalu takut.Saat tadi melihat perubahan sikapnya saja aku sudah sangat ketakutan, apalagi menghadapi kemarahannya, setelah dia tahu kalau aku ada hubungan dengan kak Seta? Adiknya? Kenapa juga aku sampai tidak tahu tentang siapa sebenarnya kak Seta?Ya All
Panjang umur dia, baru saja aku berpikir tentangnya, dia sudah datang ke rumah.Tapi, mau apa dia datang? Apa Maya juga bolos kuliah? Rasanya tak mungkin. "Maya? Sama siapa, Bu?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan ibu mengenai kondisiku karena memang aku menangis bukan karena apa yang ibu tanyakan tadi."Sama temannya, laki-laki." ibu menjawab dengan kembali berbalik, meninggalkanku yang masih diam terpaku.Pasti dengan Didi, karena dialah yang sekarang ini sedang dekat dengan Maya.Aku melangkah keluar kamar untuk menemui Maya dan Didi, untung saja kerudung belum aku buka tadi, jadi aku bisa langsung menemui sahabatku itu.Terdengar suara obrolan Maya begitu aku sampai di depan rumah. Benar saja, Maya dan Didi terdiam menunggu."Hai, kapan datang?" sapaku begitu mencapai teras, mendekat keduanya yang kini malah menatap heran, bahkan mereka bertukar pandangan.Tak merasa keanehan dalam diri, aku duduk di samping Maya di kursi panjang dari kayu, yang sengaja bapak sediakan di teras. Un
POV Author.Lastri menatap dalam pada Seruni, tangannya yang menggenggam surat, perlahan menyimpannya lagi. Dia merasa kecewa mengetahui semua kenyataan yang baru terungkap di depan mata.Tadi Lastri yang baru selesai melaksanakan sholat, memburu ke kamar Seruni saat mendengar suara dering ponsel. Lastri yang belum pernah memakai benda mahal tersebut, hanya menatap pada layar yang menampilkan tulisan CALON SUAMI di sana.Dia tersenyum senang begitu membaca kalimat itu, ternyata keputusan dia yang mendukung pernikahan anaknya dengan Arya tidak salah, karena Seruni kini terlihat menerima kehadiran Arya dengan tangan terbuka.Panggilan itu berhenti, tapi kemudian kembali nama Arya tampil di layar. Lastri tahu tidak sopan kalau menjawab panggilan itu, lagi pula dia takut salah mengoperasikan benda canggih dalam genggamannya kini. Saat akan berbalik keluar untuk menyampaikan panggilan Arya pada Seruni, mata tuanya menangkap selembar kertas yang tergeletak begitu saja di atas meja. Perhatia
Seruni benar-benar dibuat kalang kabut oleh Arya. Lelaki itu seakan menarik ulur perasaannya sekarang. Saat Seruni kembali mencoba menghubungi, nomornya bahkan tidak aktif. Apa benar Arya sengaja melakukan itu semua untuk menghindari dia?Perasaan takut dan khawatir semakin menderanya, bingung dengan cara apa harus menjelaskan keadaan yang sebenarnya sekarang ini, pada lelaki yang berhasil membuatnya merasakan warna-warni indah perasaan pada lawan jenis.Seruni merasakan sesak dalam dada, sebesar ini ternyata sedih yang dia rasa saat Arya mengacuhkannya. Dipandanginya gambar Arya yang tersimpan di ponselnya, entah keberanian dari mana, Seruni lantas menjadikan photo tersebut menjadi wall paper. Lalu tersenyum miris saat torehan rasa sakit kembali terasa, saat ingat Arya seakan mengabaikannya.Duh, A ... udah dong marahnya. Runi yakin kalau yang sebenarnya Runi cintai itu Aa, bukan kak Seta. Tolong jangan abaikan Runi. Runi nggak sanggup menghadapi kemarahan Aa.Diusapnya pipi yang kem
Arya tergesa masuk ke rumah orang tuanya, setelah tadi dia memeriksa rumah yang akan ditempatinya bersama Seruni beberapa hari ke depan, lelaki itu membeli mahar untuk calon istrinya. Arya baru menyadari kalau ternyata ada panggilan tak terjawab dari gadis kecil kesayangannya, namun saat dihubungi balik, justru Seruni tidak menerima panggilannya. Malah Sukma yang mengabarkan, kalau saudara sepupunya sudah sampai yang membuat arya membatalkan niatnya untuk membeli perabot rumah tangga lainnya, mungkin berbelanja dengan Seruni setelah mereka menikah nanti akan lebih baik, tentunya selera istrinya pasti lebih bagus untuk mengisi rumah mereka nanti. Istri? Bahkan Arya masih tidak percaya, kalau sebentar lagi dia akan berhasil menikahi gadis, yang sudah dengan berani merampas semua hati dan perhatiannya. Gadis belia yang bahkan masih menggunakan seragam SMP saat mereka pertama bertemu, gadis yang sering membuang muka daripada balas menatapnya saat berbicara, gadis yang hanya bisa dia pan
"Halo, calon pengantin!" suara riang dan wajah penuh kebahagiaan Aji terlihat di layar ponsel Arya, Aji yang sengaja menghubunginya langsung menyapa Arya dengan begitu antusias. Arya tersenyum menatap wajah Aji, dalam hatinya menelusup rasa tidak nyaman, membayangkan apakah Aji akan seceria itu menyapa saat tahu siapa calon istrinya. Namun kembali Arya berusaha bersikap abai, bukan dia yang salah. Dia tidak merebut Seruni dari Aji, karena dia yang lebih dulu mencintai gadis itu, melihat sisi menarik gadis yang akan berganti gelar menjadi istrinya besok malam, jauh sebelum Aji atau mungkin laki-laki lain menyadari kecantikan tersembunyi gadis itu. Dia tidak salah. Itu kenyataan yang sebenarnya. "Jadi pulang kan, JI?" tanya Arya, namun wajah sumringah Aji berubah muram. "Sepertinya tidak jadi pulang, A, ada ulangan mendadak dan baru dikasih tahu hari ini. Ini Aji nelpon juga buat kasih kabar sama Aa. Maaf nggak bisa ikut menyaksikan akad nikah besok, tapi Aji doakan semoga pernikah
Arya belum menghubungi Seruni lagi, pun dengan gadis itu, belum kembali meneleponnya setelah dia menelepon tadi. Arya berpikir untuk menghubungi Seruni nanti malam sebelum tidur, saat kepalanya sudah benar-benar dingin dari rasa cemburu, yang masih kuat membelenggu. "Ehem!" Arya menoleh cepat, saat suara dan derap langkah terdengar mendekat. Raja. Sepupunya itu mendekat dan duduk di kursi sebelahnya. "Ja!" "Masih merokok, Ar?" tanya Raja melihat pada Arya, dia tahu dulu Arya tidak merokok, tapi semua berubah setelah kejadian yang membuat dia terpuruk, dan menjadi pribadi yang berbeda. "Ya begitulah, seperti yang kamu lihat." Arya mematikan rokoknya yang masih setengah, tak ingin kenikmatannya menyesap nikotin, mengganggu Raja yang dia tahu tidak merokok. "Besok acaranya selepas magrib, ya?!" tanya Raja membuka percakapan. "Iya, ba'da magrib." "Sengaja akad malam biar langsung malam pertama, ya?" goda Raja. Arya tertawa pelan, ada keinginan dalam hatinya untuk menguak rahasia
Sukma membatalkan niatnya mengembalikan ponsel Arya, dia memutar langkah untuk masuk kembali ke ruang tengah, dengan hati yang bergemuruh menahan rasa. Kenyataan yang baru saja didengarnya sungguh membuat dia syok. Ternyata itu alasan sebenarnya, mengapa Arya meminta segera menikahi Seruni, sedangkan gadis itu belum bisa menikah karena terikat dengan beasiswa. Takut Seruni dimiliki Aji. Adiknya sendiri. Sukma tak menyangka kedua anaknya terpesona pada satu gadis yang sama, gadis belia yang dalam satu kali pertemuan saja, sudah bisa membuatnya juga jatuh cinta. Tak dipungkiri, siapapun lelaki yang melihat Seruni, pasti akan menyukai gadis itu. Langkah Sukma terhenti sejenak saat Cahaya yang menemani Danu bertanya, apalagi Cahaya melihat kalau Sukma terlihat cemas, juga nampak gugup. "Bi?!" "Iya, Ya?" Sukma memaksakan senyum, walau jelas Cahaya bisa melihat kalau dia semakin gelisah. "Bibi kenapa?" tatapan Cahaya beralih pada ponsel Arya, yang masih digenggam Sukma, sedangkan tadi
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"