"Ibu ikut juga," kata Sukma saat Arya mengatakan akan pergi ke Bandung untuk menemui Aji, juga sekalian menjenguk Cahaya."Mau tahu alasan sebenarnya, kenapa tiba-tiba tuh anak bilang mau kuliah di luar negeri. Pake bilang dapat beasiswa lagi. Kemarin-kemarin tidak ada dia bicara seperti itu. Ini terlalu aneh," tambah Sukma. Di sampingnya Seruni hanya menyimak pembicaraan."Ya, kan Aji semalam udah bilang, kalau dia sengaja menyembunyikan dulu karena pasti dapat tentangan dari Ibu. Bisa saja kan memang itu impian Aji?" Tirta menyela, dia masih mencoba berpikir positif dengan keinginan si bungsu. Lagi pula, apa salahnya dia mengikuti niat Aji? Mungkin dengan itu Aji bisa melupakan semua perasaannya pada Seruni."Nggak. Ibu seratus persen tidak percaya, Yah. Ibu tahu jelas kalau Aji sedang membohongi kita. Dia pasti punya alasan lain melakukan ini semua." Sukma masih teguh dengan hasil pemikirannya."Arya juga punya pikiran yang sama dengan, Ibu. Aji ... sedang merajuk. Karena ... Arya."
Seruni terus terdiam, sedang Arya bersikap acuh dengan semua gerutuan yang Sukma berikan. Tirta yang duduk di sebelah Sukma pun, hanya tersenyum simpul mendengar protes yang keluar dari mulut istrinya. "Runi, kalau Arya ngajak ciuman lagi di luar rumah kayak tadi jangan mau! Teriak saja! Kalau ada yang lihat gimana coba? Aneh Ibu sama kamu, A. Kayak yang nggak ada kamar aja," sungut Sukma pada sang anak yang sedang fokus menyetir. "Kalau mereka di kamar, yang ada akan butuh waktu lama lagi, Bu," timpal Tirta membuat Seruni menahan tawa juga menahan malu. Hatinya membenarkan apa yang dikatakan mertuanya itu. Bisa-bisa sampai sekarang mereka masih berada di rumah besar itu, dari pada sedang melaju di atas aspal menuju ibukota provinsi. "Ayah ini!" omel Sukma. "Loh, emang bener. Coba aja tanya pada Seruni. Kalau mereka di kamar pasti lebih lama, bener kan, Runi?!" tanya Tirta pada Seruni yang duduk di kursi depan samping Arya. Meski tadi Seruni sempat menolak untuk duduk di sana. "
"Seta keluar dari tadi pagi, A. Ada jam 8 deh kalau nggak salah. Masuk dulu, A." Roni melebarkan pintu. "Aa datang sendiri?" lanjutnya. "Nggak usah, makasih. Aku datang sama ibu, tapi ibu nunggu di mobil karena lihat sepi banget di sini. Jadi Seta pergi, ya? Kira-kira kemana dan sama siapa? Tahu nggak?" tolak Arya atas tawaran Roni. "Seta nggak bilang, tapi emang setahu aku dia lagi sibuk, A." Roni merasa tak nyaman karena harus berbicara di depan pintu. "Masuk deh, A.""Beneran nggak papa. Emm ... sibuk apa, ya? Apa benar kampus mengadakan beasiswa ke luar negeri? Apa kamu pernah dengar gitu, Seta ikut program tersebut?" Arya mulai mengorek keterangan, kalau benar Aji tidak berbohong, pasti Roni akan menjawab iya. "Iya, bener, A, ta--""Oh, berarti benar, ya?!" Arya memotong penjelasan Roni, dia cukup puas dengan jawaban yang diberikan Roni. Berarti memang Aji pergi bukan untuk menghindari dia dan Seruni. "Iya, i--" "Kalau biasanya Aji keluar lama nggak? Dan sama siapa?" "Terga
"Pasti pusing karena tadi keganggu tidur ya, Runi? Ibu sih tadi pakai teriak pas manggil Karin." Tirta malah membuat Seruni semakin kesal saat nama gadis yang sudah menatap suaminya disebut, Seruni tersenyum masam, untung Tirta tidak melihat itu. Tapi Arya bisa melihat kekesalan yang ditahan oleh istrinya itu."Iya, Ibu minta maaf ya, Runi. Nanti di rumah Raja sambung lagi tidurnya." Sukma menimpali, menyentuh pundak Seruni membuat menantunya itu menoleh dan terpaksa tersenyum manis."Eh, nggak papa, Bu. Runi baik-baik saja. Tapi memang sedikit pusing, sih." Apalagi saat nama itu disebut, kepala aku makin pusing aja!Arya tidak salah lihat, Seruni jelas sedang kesal sekarang. Tapi pada siapa? Pada dia? Memangnya apa yang sudah dilakukannya, hingga Seruni sampai memendam kekesalan?Atau seperti yang dikatakan Tirta, Seruni kesal karena tidurnya terganggu oleh suara Sukma yang tadi memanggil Karin? Tapi itu bukan sikap biasa yang ditunjukkan Seruni. Selama dua minggu menjadi suaminya,
Melihat perlakuan manis Raja pada Cahaya, Seruni bisa melihat cinta yang begitu besar di antara pasangan yang ada di depannya itu. Dia berharap, Arya pun memiliki cinta sebesar itu padanya. Bukan seperti tadi, malah tersenyum manis untuk gadis lain. Menyebalkan! Seruni memalingkan muka saat teringat Arya yang tersenyum pada Karin tadi, berbarengan dengan Arya yang melihat padanya, Arya semakin merasa heran atas sikap istri kecilnya itu. "Emang nggak langsung, Ya?" Arya mencoba abai dengan sikap Seruni, dia memilih mencari celah untuk membalas ejekan Raja. "Jangan bilang, Sayang! Rahasia! Pamali!" Raja membekap mulut istrinya agar tak membuka mulut. Bisa habis dia diejek Arya kalau sampai sepupunya itu tahu, dia baru melewatkan malam pertama dengan Cahaya, setelah tiga bulan pernikahan mereka. Cahaya tertawa, dia puas melihat Raja ketakutan. Tak urung memorinya berputar, pada masa yang sudah dilaluinya dengan lelaki yang begitu ngotot meraih cintanya. Cinta yang dipertemukan saat
Langkahnya terseok, hampir saja lelaki yang berhasil merebut hati kekasihnya melihat dia tadi, untung lah di sisa kewarasannya dia sempat menarik diri, dan menempelkan tubuhnya rapat di tembok pagar. Kalau tidak, berakhir sudah pelariannya hari ini.Badannya lemas, hatinya hancur. Sakit tak berperi.Matanya sudah memanas, bagai seorang pencundang, dia melangkah pergi meninggalkan l rumah Raja setelah menyimpan begitu saja, hadiah yang sudah dibungkus manis di dekat pagar.Hatinya belum kuat untuk bertemu Seruni, dengan status gadis itu yang sudah berganti menjadi istri kakaknya. Kakak iparnya. Aji belum sanggup. Dan dia menyerahkan pada waktu, pada kebaikan masa, agar suatu saat nanti, saat raga, mata, dan juga kakinya harus berada tepat di depan Seruni, dengan senyuman tulus memanggil gadis itu dengan sebutan kakak.Mentari memilih bersembunyi sejenak, kala gumpalan awan bergerak mendekat. Memberikan waktu pada angin, agar mampu mengurangi panas juga peluh yang mengucur di balik keme
Tanpa sadar Seruni mengusap perutnya, Arya yang duduk disampingnya menoleh, karena dia juga punya pemikiran yang sama dengan Seruni. Menginginkan apa yang sudah ditaburnya kemarin juga tadi malam, bisa membuktikan ketangguhannya sebagai seorang pria. Bisa membuat istrinya hamil, dan dia berganti peran menjadi seorang bapak. Tatapan keduanya tertaut, Seruni lupa akan kekesalannya pada Arya, dia tersipu karena terpergok oleh Arya sedang mengusap perutnya. Melihat itu Arya gemas sendiri, dia mendekatkan wajahnya, berbisik di telinga Seruni yang tertutup jilbab. "Semoga akan segera ada buah cinta kita, Sayang."Seruni mengangkat wajahnya, rona merah terlihat jelas di sana. Kembali mereka bertukar pandangan, dengan senyum manis yang membuat keduanya ingin segera kembali ke kamar. Sayang, kini mereka sedang ada di rumah Raja. Hingga suara deheman Raja memutus momen mereka. "Tatap terus. Anggap nggak ada orang!" "Hahaha!" "Ya, seperti itu lah mereka. Lagi panas-panasnya!""Nggak sadar
Raja segera turun dari motornya, setelah memberikan alasan yang bisa diterima, dia langsung menuju ke tempat kos Aji. Sengaja Raja menggunakan motor agar lebih cepat sampai, di jam sibuk pulang kerja seperti sekarang, kemacetan tidak bisa dihindarkan. Pintu tempat kos Aji tertutup rapat, tapi beberapa orang tengah berkumpul di sebelah kamar kosnya. Raja menderap langkah, berharap kali ini aji tidak sedang menghindari siapapun dengan kembali pergi. "Assalamua'aikum, Seta ada nggak, ya?!" tanya Raja. Roni dan indra yang kebetulan ikut bergabung melihat ke arah kamar kost Aji, dengan isyarat mereka saing bertanya. "Sepertinya ada deh, A. Tadi emang sempet keluar tapi udah balik lagi. Coba aja telepon," kata Roni yang sempat melihat Aji datang dengan penampilan berantakan. Bahkan saat dia tanya pun Aji mengacuhkannya. "Hp-nya nggak aktif. Tapi aku coba ketuk deh. Makasih, ya?!"Raja mendekat ke pintu kamar Aji, tampak sedikit gelap di dalam, hordeng yang tersingkap sedikit, membuat R
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"