Maya bisa melihat sorot memuja penuh rindu dalam tatap mata Aji pada Seruni. Sorot mata yang menunjukkan, betapa lelaki yang memiliki darah yg sama dengan Arya itu juga mencintai Seruni. Apa benar seperti yang Rizal katakan, kalau Seruni tebar pesona, hingga hati kedua anak orang kaya itu mencintainya? "Ini sedikit rumit awalnya, May. Sangat rumit malah. Aku juga tidak mengerti, kenapa bisa seperti ini? Aji … maksudku kak Seta, dia dan aku pernah ada janji untuk bersama."Maya terkesiap mendengar jawaban Seruni. Lagi-lagi dia dibuat tercengang oleh kenyataan tentang sahabatnya. Benar adanya, sebagai sahabat Seruni, ternyata dia belum mengetahui apapun tentang gadis cantik di depannya. Cantik? Tentu saja. Kalau Seruni tidak dianugrahi rupa menawan, tak akan kakak beradik orang terpandang itu, menyimpan rasa padanya. Belum lagi Rizal yang kini sudah patah hati dan terluka cinta, oleh penolakan tanpa kata dan harus menyingkir dari daftar calon pendamping gadis itu. "Sejak kapan kam
Seruni. [Kapan pulang?] Arya tersenyum saat membaca pesan dari istrinya. Dua jam lalu, Seruni mengeluhkan tenang Maya yang terus mencecarnya dengan banyak pertanyaan, bisa dia bayangkan bagaimana gugup juga bingungnya Seruni menghadapi pertanyaan sahabatnya itu. Arya. [Seperti biasa, Sayang. Menjelang sholat isya. Kenapa? Kangen, ya?] Arya tersenyum setelah menuliskan pesannya. Terlihat istrinya sedang mengetik balasan. Ternyata berbalas pesan bisa semenyenangkan ini, bahkan sejak melihat nama Seruni yang mengirim pesan tadi, lengkungan bibirnya terus saja tak bisa ditahan. Dia jadi ingin segera pulang dan bertemu pemilik hatinya itu sekarang juga. Seruni. [Iya.] Pesan langsung dihapus. Padahal Arya sudah membaca pesan itu. Menunggu sekian lama, tiga huruf yang sudah dikirim Seruni, sampai harus menghilang lagi.Senyum Arya semakin lebar, mengetahui Seruni malu mengakui tentang pertanyaannya barusan. Arya. [Kenapa dihapus? Aku udah baca, Sayang.] Seruni. [Malu.] Seruni me
"Terima kasih sudah datang dan membantunya acara kami ya, Kang. Maaf kalau tidak bisa menjamu dengan baik."Mardi kerabat Lastri menyalami Soleh begitu keluarga itu pamit pulang. Tak lupa makanan juga kue dibekalkan sebagai bentuk ucapan terima kasih atas bantuan yang sudah diberikan. "Iya, Kang, sama-sama. Hanya seperti ini bantuan yang bisa kami berikan." Soleh tersenyum, "Ini banyak amat oleh-olehnya?!" "Nggak apa-apa. Tadi Seruni pulang nggak dibekali apa-apa. Nanti kalau nikahan dia, jangan sampai lupa untuk beritahukan, pas tunangan kami sampai tidak diberi kabar. Tahu-tahu sudah jadi calon istri juragan," ujar Mardi membuat Soleh tertawa. "Iya, nanti kami kabarkan. Kemarin acaranya mendadak.""Iya, ditunggu saja undangannya."Soleh mengangguk. "A, ayo ... kasihan mang Ade nungguinnya kelamaan. Takutnya dia juga ada keperluan lain." Lastri datang menghampiri. Suasana sudah tidak seramai tadi, acara memang hanya sampai jam tiga saja. Adat daerah setempat, acara inti hanya kh
"Aww!"Dugh!"Sakit!""Duh, maaf, Sayang!""Aww, sakit ... shh!"Tergesa Arya membaringkan Seruni, kamar yang kecil dengan tempat tidur lebar, tentu saja tidak bisa membuat dia leluasa bersikap romantis pada istrinya.Niat hati ingin bercumbu dengan diawali adegan gendong-gendongan, berakhir dengan terkantuknya kaki Seruni ke lemari. Hasrat yang tadi memuncak, padam sudah mendengar rintihan juga desis kesakitan dari bibir istrinya. Arya yang tak melihat jalan dan juga tak melepas bingkai manis istrinya, membuat situasi mesra mereka berakhir sudah. Gagal total! "Mana yang sakit?" tanya Arya mengamati seluruh tubuh Seruni."Kaki, mata kakinya kepentok lemari." Seruni meringis dan beranjak duduk, mengusap bagian kaki yang barusan disebut sebagai tempat dia merasakan sakit. "Ya Allah, niat pengen romantis berakhir tragis. Maaf ya, sini aku usap.""Udah tahu kamarnya kecil, risbang sama lemari aja sudah bikin kamar ini sempit, laga-lagaan mau gendong-gendongan." Seruni merajuk, karena
Karin memandang Aji yang sejak kembali dari kampung halamannya lebih banyak diam, sahabat rasa gebetannya itu hanya berbicara seperlunya saja, bahkan kadang seperti tengah melamun dengan tatapan kosong. Jelas sekali, ada hal yang membuat pemuda tampan di depannya itu tidak bersikap seperti sebelumnya. Sering Karin mendapati Aji menghela napas dalam, lalu menunduk menyembunyikan kegalauan. Tapi Karin tentu tidak salah menebak, dia bisa merasakan kalau Aji tengah patah hati. Benarkah? Apa dia sudah salah mengira kalau Aji tidak punya seseorang yang dia cinta? "Kamu lebih banyak diam sejak pulang, Ta. Seperti yang sedang banyak pikiran," kata Karin saat mereka baru selesai kuliah, sengaja Karin meminta Aji mengantarnya untuk mampir sebentar ke toko buku. Aji menoleh pada Karin, Ditatapnya wajah Karin lembut. Dia salut dengan kepekaan Karin atas perubahan sikapnya. Haruskah dia berkata jujur pada Karin kalau dia tengah patah hati? Menceritakan semua hal yang terjadi dalam keluargany
"Rara? Robi? Kalian dari mana? Jam segini baru pulang? Nggak cukup seharian main di tempat hajatan tadi?" tanya Seruni menatap adik kembarnya bergantian. Rara dan Robi saling pandang, padahal mereka kembali setengah jam sebelum batas waktu yang Soleh tentukan, tapi kakaknya tercinta sudah berang saja melihat mereka pulang. "Ih, Teteh, kami itu pergi juga diminta bapak. Kami baru dari rumah Arsa, nanyain ada tugas nggak," jelas Rara sedikit cemberut. Robi hanya diam mendengar kedua kakaknya berbicara. Dia memang lebih mengandalkan Rara kalau urusan berdebat dengan seruni, cari aman. "Disuruh bapak?" "Iya, tadi kan pas pulang denger suara Teteh merintih kayak kesakitan gitu, bapak malah minta kami pergi main. Ya udah, kita pergi ke Arsa ya, Bi?"Robi mengangguk cepat. Seruni menoleh pada adik lelakinya. "Terus, tadi Teteh kenapa? Sakit?" tanya Rara tak bisa menahan rasa penasarannya. Bukannya menjawab, Seruni malah membuang pandangan. Dia merasa malu dengan apa yang sudah terjadi
Hari ini terakhir ujian, Seruni tengah menunggu suaminya menjemput, disebelahnya Maya juga tengah menemani, dengan Didi yang duduk menunggu di atas motornya. Orang yang ditunggu datang, Arya menyungging senyuman begitu motornya berhenti di dekat Seruni dan Maya, kedua gadis belia itu membalas senyuman Arya. "Maaf, telat. Tadi ada perlu sedikit," kata Arya mengucap sesal. Dia terlambat sepuluh menit dari waktu biasanya. "Iya, nggak papa." Seruni menoleh pada Maya yang juga sudah mendekat pada Didi yang tersenyum tipis menatap Arya. "Makasih sudah menemani ya, May, Di."Maya dan Didi mengangguk bersamaan. Mereka terlihat masih sungkan pada Arya. "Iya, Runi. Sama-sama." "Makasih ya, Maya, Didi. Sudah mau nemenin Runi. Kapan-kapan kita pergi bareng, ya?!" kata Arya diakhiri ajakan, dia tahu kedua teman istrinya itu masih tidak nyaman dengannya, jadi dengan berencana pergi bersama bisa mendekatkan mereka. Mendengar ajakan Arya, Didi dan Maya saling pandang, lalu melihat kembali pada
"Nelpon siapa, Sayang?" tanya Seruni yang baru selesai mencuci piring bekas mereka makan.Arya mengajaknya ke rumah mereka, dengan alasan ingin berduaan saja dengan istrinya. Karena di rumah Soleh tentu saja tidak bisa. Selain kotor karena pengerjaan tukang yang kini sedang tahap penyelesaian, banyaknya orang yang juga tidak akan membuat mereka nyaman di dalam kamar tentunya.Rencana awal yang akan memperluas kamar milik Seruni, jadi berganti dengan sengaja membuat kamar baru untuk mereka tempati, dan nantinya kamar bekas Seruni akan ditempati oleh Robi.Kusen, jendela, dan pintu yang sudah sekiranya pantas diganti, sudah rapi dengan tampilan baru yang lebih bagus tentunya, lantai semen pun telah berganti dengan keramik.Arya mengangkat tangan menyambut kedatangan Seruni, menarik istrinya hingga terduduk di pangkuan. Dia sangat rindu momen mereka berduaan seperti sekarang. Memeluk dan menghirup aroma khas tubuh istrinya yang sudah seminggu ini dia abaikan secara sengaja.Seruni terkik
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"