"Nelpon siapa, Sayang?" tanya Seruni yang baru selesai mencuci piring bekas mereka makan.Arya mengajaknya ke rumah mereka, dengan alasan ingin berduaan saja dengan istrinya. Karena di rumah Soleh tentu saja tidak bisa. Selain kotor karena pengerjaan tukang yang kini sedang tahap penyelesaian, banyaknya orang yang juga tidak akan membuat mereka nyaman di dalam kamar tentunya.Rencana awal yang akan memperluas kamar milik Seruni, jadi berganti dengan sengaja membuat kamar baru untuk mereka tempati, dan nantinya kamar bekas Seruni akan ditempati oleh Robi.Kusen, jendela, dan pintu yang sudah sekiranya pantas diganti, sudah rapi dengan tampilan baru yang lebih bagus tentunya, lantai semen pun telah berganti dengan keramik.Arya mengangkat tangan menyambut kedatangan Seruni, menarik istrinya hingga terduduk di pangkuan. Dia sangat rindu momen mereka berduaan seperti sekarang. Memeluk dan menghirup aroma khas tubuh istrinya yang sudah seminggu ini dia abaikan secara sengaja.Seruni terkik
Arya mengusap pelan rambut Seruni. Istrinya itu sangat lelap tidur, kalau saja tidak mengingat Seruni belum melaksanakan lima waktunya, Arya pasti membiarkan Seruni tidur sepuasnya. "Sayang ... bangun, sudah jam setengah lima. Kamu belum sholat. Yuk, bangun!" Arya berbisik, dikecupnya pipi yang tadi siang terus merona itu berulang, menarik si pemilik hati kembali ke alam nyata. Karena ada dia yang bisa mewujudkan apapun impian gadis ... ah, bukan, Seruni sudah tidak gadis lagi. Dia yang tadi membuat istrinya itu menjadi mantan gadis. Dia ... wanitanya sekarang. Sampai selamanya. Sampai nyawanya terpisah dari raga, sampai dia tidak bisa lagi bernapas. "Sayang ...!" "Hmm," gumam Seruni perlahan menggeliat. "Bangun, udah sore. Sholat dulu." Arya mengusap pipi Seruni.Mata Seruni terbuka perlahan. Wajah tampan Arya yang menjadi hal pertama yang dilihatnya. Mengerjap, Seruni menarik ingatan, saat melihat kalau ruangan tempatnya berada sekarang, bukan kamarnya di rumah Soleh. Keping
Dering ponsel menghentikan gerakan Arya yang akan kembali mencium Seruni, geraman tertahan terdengar dari Arya yang merasa kesenangannya terganggu. Seruni terkikik puas, membuat Arya yang akan mengambil ponsel dari saku celananya, batal.Mengabaikan suara ponsel yang masih terdengar, Arya kembali merangsek mencumbu istrinya yang lagi-lagi harus pasrah dibawah kekuasaannya.Namun deringan itu ternyata terus saja terdengar, hingga Seruni merasa terganggu dan menahan dada Arya."Angkat dulu! Siapa tahu penting," ujar Seruni membuat Arya mendengus kesal, namun tak urung dia beranjak dari atas tubuh istri dengan tak rela.Seruni menggeleng, dengan cepat dia pun duduk, kalau harus kembali melayani hasrat Arya sekarang, rasanya dia tak sanggup. Sisa dari percintaan tadi saja, bagian inti tubuhnya itu masih berdenyut nyeri. Namun untuk menolak pun, dia tak mampu.Seruni segera memakai bajunya lagi, gawat kalau sampai Arya yang kini mulai berbicara di telpon, menyerangnya lagi setelah panggila
Sukma langsung berdiri saat melihat siapa yang berjalan di samping putranya. Begitu juga Tirta yang tidak menyangka kalau Arya justru datang bersama menantunya. Dia menyesal tidak berkata, kalau Arya harus datang sendiri saja."Wa'alaikumussalam, Runi ... apa kabar, Sayang? Kamu sehat?" Sukma memburu menantunya, memeluk penuh sayang. Membuat dua orang tamunya menatap iri. Seharusnya, Sukma bersikap seperti itu pada mereka. Bukannya terus bersikap ketus seperti tadi. "Alhamdulillah, Runi sehat, Ibu. Bagaimana keadaan Ibu? Maaf Runi baru mengunjungi, Aa nggak pernah ngajak Runi soalnya." Seruni mengadu pada Sukma. Dia belum menyadari, kalau wajah suaminya sudah mengeras menahan rasa, saat menyadari orang yang dikatakan Tirta menunggunya adalah orang yang sudah mencampakkannya dulu. "Ibu sehat, Nak. Nggak papa. Ibu paham dengan kesibukan Runi." Sukma mengusap kepala Seruni, ekor matanya melihat pada Arya yang mematung di dekat Seruni. Tatapan anaknya tak beda jauh dengannya, saat meli
Lastri sesekali melirik penunjuk waktu yang tergantung di tembok ruang makan, sudah mendekati jam sembilan malam menantu dan anaknya belum kembali. Apa memang Arya dan Seruni tidak akan pulang?Robi yang mendapat warisan kamar Seruni sudah masuk kamar, biasanya anak bujangnya itu sedang berbaring mengantuk sambil menonton TV, hingga akhirnya siaran TV yang melihatnya tertidur pulas. Sedang Rara yang sempat merengek pada Robi untuk bertukar kasur dengannya, sudah sejak magrib mengunci diri. Marah mungkin, karena saudara kembarnya itu tidak memenuhi keinginannya. Melihat itu Lastri berjanji dalam hati, akan membelikan kasur baru untuk Rara dari uang yang diberikan Arya.Iya, tanpa sepengetahuan Seruni, Arya memberikannya uang setiap hari. Untuk biaya makan dia dan Seruni, katanya. Padahal stok beras dan makanan yang Arya kasih lebih dari cukup untuk makan mereka.Soleh yang juga sedang menunggu kedatangan Arya menoleh, melambaikan tangannya agar Lastri datang mendekat."Kalau mau tidur,
"Arya ada menghubungi Ayah, nggak?" tanya Sukma. Rumah mereka semakin sepi saja saat Arya menikah, kalau malam hanya ada Tirta dan Sukma, karena bi Asih tidak tidur di sana setiap jam tujuh malam, anaknya akan datang menjemput, dan subuh jam lima akan datang lagi. Tirta menggeleng, sejak kepergian Arya yang marah karena kedatangan Novi dan ibunya, Arya memang tidak ada menghubungi, dia pun sengaja tidak menelepon Arya. Hal itu dilakukannya untuk memberikan waktu pada Arya menenangkan hati, juga memberi penjelasan pada Seruni tentang siapa wanita yang menjadi tamu mereka. Meski tanpa Seruni bertanya pun, Tirta yakin menantunya itu bisa paham, siapa Novi untuk keluarganya di masa lalu. Ya, masa lalu. Karena masa depan Arya sudah jelas bersama siapa. Gadis Pilihan hatinya. "Nggak ada. Ayah juga belum menghubungi.""Ibu beneran tidak mengerti jalan pikiran Asri, kenapa dia harus membawa Novi untuk bertemu Arya setelah bertahun lamanya? Sedang dulu, mereka berlaku abai tanpa pernah sek
Arya jelas tak tenang setelah mendengar kabar dari Tirta. Dia mulai bisa menebak, apa yang akan Aji katakan padanya kemarin sore. Rupanya ini yang Aji bilang dia mengharapkan bantuannya. Adiknya itu akan pergi jauh, dengan alasan mencari ilmu.Apa salah kalau Arya mengira itu hanya akal-akalan Aji saja?Aji pergi bukan tanpa sengaja, adiknya itu pergi untuk menghindarinya!'Sedalam itukah luka yang Aa torehkan di hatimu, Ji?' Arya menatap ponselnya yang tidak bisa menghubungkan dirinya dengan sang adik. Lagi prasangka meliputi hati, Aji sengaja mematikan ponselnya. Karena pastinya dia tahu, kalau Arya pasti akan menghubungi pagi ini, setelah Tirta mengatakan semua tentang kabar yang disampaikannya semalam.Semalam Arya seakan lupa dengan janjinya untuk menelepon Aji, kedatangan orang yang sudah menjadi penyebab luka hatinya dulu, juga undangan menggiurkan dari sang bidadari, membuat Arya tentu saja tidak bisa mengabaikan sama sekali.Malam tadi mereka kembali bagai musafir di padang
"Ada yang ingin aku sampaikan, Sayang. Penting. Dan harus aku sampaikan saat ini juga." Arya mencoba mencari perhatikan Seruni. Meski istrinya belum sadar sepenuhnya."Apa?" guman Seruni malas. "Harus sekarang kah disampaikannya?""Iya. Harus sekarang. Kamu bisa dengarkan aku bicarakan kan, Sayang?""Hmm, bicaralah."Arya menggeleng tak yakin, melihat Seruni yang terlihat lemas."Aku harus ke Bandung sekarang juga, Sayang.""Hmm?!""Tadi ayah nelpon, kalau Aji akan pergi ke luar negeri karena ikut program beasiswa," terang Arya. Seruni perlahan membuka mata, disebutnya nama Aji berhasil menarik kesadarannya penuh."Kak Seta akan pergi ke luar negeri?" tanyanya tak percaya, bahkan menyebut nama Aji pun mendadak dia lupa panggilannya.Arya mendengus kesal, Seruni membuatnya cemburu, ketika nama Aji disebut dengan panggilan yang dulu pernah membuat keduanya terikat satu harapan. Satu janji, yang akhir terpatahkan olehnya."Aji, Sayang. Aji! Bukan Seta," ralat Arya tak terima.Seruni sem
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"