Seruni memandangi dan menyentuh dua benda baru penghias tangannya, di bawah pengamatan Lastri dan Rara yang tak henti berdecak kagum. "Ih, cantik banget ... Rara juga mau punya gelang sama cincin. Walaupun nggak secantik punya Teteh," celetuk gadis kecil itu, membuat Lastri dan Seruni menatap Rara dengan iba. 'Seandainya Ibu bisa mewujudkan keinginan kamu, Rara. 'Hati Lastri berguman sedih. Walau bibirnya berkata lain pada Rara. "Insyaa Allah, nanti juga kamu bisa memiliki gelang yang cantik seperti punya si teteh, kok. Ibu yakin itu."Rara tersenyum pada Ibunya. "Rara cuma asal bicara kok, Bu ... Rara ngerti keadaan kita," kata Rara yang merasa bersalah pada Lastri dengan ucapannya. "Tidak, Rara ... kalau sudah kehendak Allah, tidak ada yang mustahil." Lastri terus membesarkan hati Rara. "Aamiin, Mudah-mudahan ya, Bu." Rara mengusapkan kedua belah telapak tangannya pada wajah, sebagai tanda permohonan doa. 'Teteh akan mewujudkan keinginan kamu nanti, Rara. Dan untuk mewujudkann
Malam merangkak naik membawa semua orang menghentikan sejenak aktifitas, mengistirahatkan diri dari kesibukan seharian tadi. Memeluk mimpi, membawa damai untuk menghadapi hari esok yang belum tertebak alur cerita. Seruni merenggangkan ototnya, mengerjapkan kedua mata, saat suara adzan subuh terdengar dari surau yang terletak tak jauh dari rumahnya. Gadis bermata indah itu langsung bangun, dan mendudukkan diri mengumpulkan kesadaran, yang semalaman terseret ke alam mimpi. Menutup mulutnya yang terbuka lebar saat menguap, Seruni bersiap menghadapi hari. Ya, hari baru yang akan dilalui berbeda dengan sebelumnya pasti. Tok ... tok ... tok. "Runi ... kamu sudah bangun belum?" Suara Lastri disertai ketukan pintu membuat Seruni menoleh, lalu setengah berteriak menjawab panggilan sang ibu. "Sudah, Bu!" Seruni memang selalu bangun bertepatan dengan adzan berkumandang, kebiasaan yang sudah diterapkan kedua orang tuanya sejak dia kecil. Setelah mengikat asal rambutnya, Seruni menurunka
Arya menatap Seruni yang berdiri di depannya dengan kepala tertunduk, penampilan sederhana gadis belia itu tidak mengurangi sedikit pun pesona kecantikan bagai bunga yang sedang mekar. Gamis warna biru navy dengan kerudung warna merah muda, menutup sempurna raga indah Seruni yang tak terlihat sembarang orang. Dan, Arya suka dengan cara Seruni menjaga dirinya, dari tatapan tidak senonoh pria di luar sana. "Sudah siap pergi?" tanya Arya setelah puas mengagumi keindahan raga dan paras calon istrinya. Tanpa mengangkat kepala, Seruni menjawab pertanyaan laki-laki yang akan menjadi sandaran hidupnya kemudian. "Sudah, Raden.""Panggil Aa, Dek Runi!" ralat Arya yang merasa tidak nyaman dengan panggilan gadis itu padanya. "Oh, i--iya, Aa ...!""Angkat kepalamu saat aku berbicara denganmu, Dek. Tatap mataku!" Suara tegas Arya, membuat Seruni perlahan mengangkat kepalanya. Tatapan mereka bertemu, dan Seruni kembali dibuat terpukau pada ketampanan calon suaminya itu. 'Eh, kok senang ya, men
Seruni lebih banyak diam selama duduk bersebelahan dalam mobil, dengan orang yang tak pernah dia bayangkan akan menjadi seseorang yang berarti dalam hidupnya. Setelah tadi keceriaan dari wajah kedua adiknya saat Arya mengajak mereka, keduanya kini duduk di kursi belakang mobil keluaran baru sang calon ipar. Setelah melewati perjalanan 30 menit, Arya membelokkan mobil yang dikendarainya memasuki sebuah klinik. Seruni menoleh pada Arya dengan wajah heran, dia ingin bertanya, namun rasa sungkan membuatnya memilih diam. Begitu pun dengan Rara dan Robi, si kembar tak identik itu saling melempar tatap tak mengerti, kenapa Arya malah membawa mereka ke klinik. 'Siapa yang sakit? 'Mobil berhenti sempurna di halaman parkir klinik yang tidak begitu luas, Arya pun mematikan mesin mobil, dan masih enggan membuka mulutnya menerangkan maksud tujuannya singgah di tempat itu. Seakan sengaja menunggu keberanian Seruni bertanya. "Emm, A ...!" Berhasil! Harapan Arya terkabul begitu Seruni membuka
"Terima kasih sudah membawa Rara berobat dulu, A," ucap Seruni tulus setelah keduanya selesai memeriksakan keadaan Rara. Saat ini sepasang calon pengantin -- yang awalnya ditangisi Seruni -- tengah mengantre di depan apotek. Sedang Rara dan Robi sudah diminta Arya untuk menunggu di dalam mobil atau di depan klinik saja. "Iya, Sayang. Tidak masalah," jawaban ringan dari Arya membuat Seruni enggan untuk melanjutkan pembicaraan, apalagi dengan adanya mereka di depan antrian. Panggilan sayang yang diberikan Arya untuknya, mulai terbiasa diterima rungunya. Bahkan dia senang dengan panggilan itu sekarang. Hingga nama Rara dipanggil, dan Arya dengan sigap menghampiri loket pengambilan obat, dengan menarik lembut tangan calon istri belianya untuk mengikutinya. Seruni menatap tangannya yang ada dalam genggaman lembut nan melindungi Arya, laki-laki itu hanya memegang tangannya saat keadaan mendesak, bukan ajang aji mumpung memanfaatkan keadaan. Semua yang dilakukan Arya hanya untuk melindun
Di sini sekarang mereka berada, sebuah pusat pertokoan yang berjarak lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Arya membebaskan si kembar untuk membeli apa saja yang mereka inginkan. Namun, gelengan kepala Seruni, menghentikan hasrat kedua adiknya memiliki barang yang mereka mau."Biarkan saja, Sayang. Aku lebih senang kalau mereka bisa tidak sungkan padaku," kata Arya membuat Rara dan Robi kembali sumringah. "Ambil saja, Robi, Rara!""Ambil yang kalian butuhkan! Bukan yang kalian inginkan!" tegas Seruni tidak ingin dibantah. Membuat Rara dan Robi kembali ciut, hanya mata mereka saja yang liar memindai rak di sekeliling yang memajang perlengkapan sekolah, tas, dan sepatu. Arya menaikan alisnya sebelah, lalu tersenyum tipis melihat Seruni menunjukan taringnya pada sang adik. Ia menunggu apalagi yang akan dilakukan oleh gadis itu. "Kamu butuh tas bukan, Robi?" pandangan Seruni beralih pada si bungsu yang terlahir 10 menit setelah Rara. Binar mata senang terlihat pada sorot mata Robi,
Setelah berbelanja, Arya membawa mereka makan di rumah makan siap saji, yang menyediakan ayam goreng tepung sesuai permintaan si kembar, senyuman tak lepas dari bibir kedua adik Seruni, yang merasa senang dengan semua yang mereka lewati hari ini. Kembali Arya menunjukan sisi romantisnya pada sang calon istri, perhatian kecil lelaki itu berikan pada Seruni, dari menarik kursi untuk Seruni duduk, membantu menambahkan saos, atau mengelap saos yang belepotan di bibirnya menggunakan tisu. Sedang asyik menikmati kebersamaan, satu tepukan di pundak Raden Arya membuat lelaki itu menoleh. "Tuh, bener kan, Sayang, Arya!" seorang lelaki tampan, bersama wanita cantik yang tengah hamil besar, berdiri di dekat kursi Arya. Laki-laki yang menggendong anak kecil itu tersenyum lebar pada Arya. Begitupun Arya yang langsung berdiri dan menyalaminya hangat. Sedang Seruni dan kedua adiknya hanya menatap mereka. "Raja?! Kok, ada di sini?" Arya menoleh pada wanita yang berdiri tak jauh dari lelaki yang
Lastri menderap langkah keluar rumah, begitu mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya, dia yakin kalau itu adalah mobil Arya yang pergi bersama anak-anaknya. Lastri terlihat kaget begitu melihat Rara dan Robi, menenteng kantong besar di tangan mereka. Lastri mulai merasa tidak enak hati, karena yakin Arya yang membelanjakan kedua anaknya itu. "Assalamu'alaikum," salam si kembar kompak pada sang ibu yang berdiri di depan pintu. "Wa'alaikumussalam. Aduh, kalian belanja banyak sekali?!""Aa yang nyuruh kami, Bu!" jawab Rara dengan wajah berseri. "Aa? Kalian panggil den Arya dengan panggilan Aa?""Iya, Bu. Katanya biar nggak canggung, lebih akrab." Lastri menghela napas pasrah, ternyata Arya benar-benar ingin kedekatan yang lebih akrab dengan adik-adik Seruni, walau dia sendiri masih sangat canggung pada calon menantunya itu. "Ya sudah, bawa masuk sana!" titah Lastri, yang membuat Rara dan Robi bergegas masuk dengan riang. "Iya, Bu!" Dengan langkah tergesa, keduanya memasuk
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"