Seruni dibuat takjub dengan perubahan yang terjadi pada kamarnya. Setelah sesi curhatnya pada Lastri, Seruni tidur begitu ditinggalkan Lastri untuk menjamu orang suruhan Arya yamg tengah menghias kamar, dan ruang tamu yang akan dijadikan tempat ijab kabul nanti malam. Sebuah ranjang baru yang lebih besar sudah terpasang dengan cantik, sprei putih dengan taburan kelopak mawar di atasnya yang dibentuk hati, menambah kesan romantis yang membuat jantung Seruni seakan melompat-lompat di dalam sana, sebuah lemari baru juga sudah ada di sana, sebuah meja rias menggantikan posisi meja belajarnya, aroma harum tercium menenangkan, namun itu semakin menambah debaran jantung Seruni semakin tak menentu. Beberapa jam lagi, statusnya akan berubah, dia akan menjadi istri di usianya yaga masih sangat belia. Bahkan seragam sekolahnya saja masih melekat di tubuhnya, namun dengan tanpa sabar lelaki yang tidak dia bayangkan sama sekali, dalam sekejap mata akan menjadi imamnya. Menjadi teman hidupnya. S
Arya menghembuskan napas panjang saat dia melangkah memasuki pekarangan rumah soleh, dia terus meyakinkan dirinya kalau pernikahannya sekarang akan benar terjadi, bukankah orang kepercayaannya sudah meyakinkan, kalau Seruni seharian ini tidak keluar rumah sama sekali? Jadi tidak ada alasan calon pengantinnya itu melarikan diri, pastinya pernikahan itu akan terjadi, dan berjalan lancar seperti rencananya bukan? Aman. InsyaAllah. Tak ada sambutan meriah saat mereka mulai masuk ke rumah sederhana calon mertuanya itu, hanya ada beberapa orang yang juga sudah Arya minta kesediaannya, untuk menyembunyikan sementara pernikahannya dengan Seruni. Dia tidak ingin merusak harapan Seruni dengan mengundang banyak orang, dan membuat berita pernikahan mereka sampai terdengar oleh pihak kampus. Dan orang-orang yang ada di rumah Seruni sekarang, sudah dipastikan akan menutup rapat mulut mereka sampai acara resepsi pernikahannya digelar nanti. Arya tersenyum begitu Soleh menyalaminya, setelah Soleh
"Assalamua'aikum, istriku!" lirih Arya setengah berbisik, andai dia tidak mengendalikan diri, enggan rasanya melepaskan bibir dari kening Seruni yang baru dikecupnya. Seruni langsung membuka mata begitu kehangatan bibir Arya tak terasa lagi, memberanikan diri menatap mata lelaki yang entah kapan begitu merajai hatinya. Membuatnya lupa, kalau pernikahan yang terjadi sekarang, tak lebih dari pembayaran hutang keluarganya. Yang dia tahu sekarang, hati dan jiwanya adalah milik Arya seorang. Begitu juga raganya yang baru saja diikat Arya dengan janji di hadapan Tuhan, wali, dan juga saksi. "Wa'alaikumussalam," suamiku. Seruni melanjutkan kata terakhirnya dalam hati. Bibirnya masih kaku mengucapkan kata itu, masih serasa mimpi dengan perubahan besar yang terjadi dalam hidupnya barusan. Tangannya bergetar menerima uluran tangan Arya dan menciumnya takzim. Memejamkan mata, Seruni meresapi semua perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Buncah bahagia juga harapan memiliki masa depan yang le
Malam mulai larut, sisa acara tiga jam tadi masih terlihat di ruang tamu rumah Soleh. Pelaminan sederhana yang dipasang untuk sesi photo, masih tertata rapi. Para penghuni rumah, sudah mulai dibuai lelapnya alam mimpi. Berbeda dengan penghuni kamar Seruni, dua orang anak manusia yang baru dipersatukan Tuhan itu, kini masih terjaga. Kamar berukuran 3x3 meter itu, semakin sempit oleh tempat tidur berukuran besar baru, juga ditambah dengan barang bawaan yang tadi Arya dan keluarganya berikan sebagai seserahan. Dengan hati berdebar tak menentu Seruni duduk di depan Arya yang tak henti menatapnya, seakan Arya ingin benar-benar menyimpan semua tentang istrinya dalam ingatan dan hatinya. Seruni duduk di tepi ranjang, sedang Arya duduk di kursi rias, menerbitkan rona merah yang enggan berlalu dari wajah Seruni. "Cantik," kata Arya yang entah keberapa kalinya. Tangannya erat menggenggam tangan Seruni, persis seperti tadi yang dilakukannya. "Iya," jawab Seruni yang bingung harus menjawab ap
Seruni terus memandang wajah Arya, mencari kesungguhan atau mungkin juga kebohongan yang akan terlihat dari mata lelaki, yang beberapa detik lalu terus saja menyatakan kalau dia mencintainya. Dalam remang lampu juga, detakan jantungnya yang kini kembali menggila, Seruni bisa melihat kesungguhan dari semua perkataan Arya. Kalau lelaki itu tidak sedang berbohong saat ini. Ada haru juga bahagia yang memenuhi dadanya, karena dia tahu alasan sebenarnya Arya menikahinya adalah cinta. Mungkin terdengar mustahil, saat Arya mengatakan kalau dia mencintainya sejak dia masih duduk di bangku SMP, tapi itu yang tadi diakui dengan juiur oleh lelaki yang kini kembali menariknya dalam dekapan. Cinta. Arya Sena Subrata menyatakan dengan lantang, kalau dia mencintainya sejak masih sekolah menengah pertama. Luar biasa. "Kamu meragukan apa yang sudah aku katakan, Sayang?" tanya Arya, saat melihat Seruni tidak menanggapi apa yang sudah diakuinya. Seruni membalas pelukan Arya, dia memeluk lelakin
Selelah apapun, Lastri tetap saja bangun saat pagi masih terlalu dini, bahkan jam di dinding masih menunjukkan angka empat sebagai pengingatnya, tapi Lastri sudah duduk di depan tungku seperti biasanya, menyalakan api hingga asap dan hangat kemudian, memenuhi ruangan belakang rumahnya.Saat dia bangun tadi, Lastri menyempatkan lagi untuk melihat ke arah kamar Seruni, masih seperti semalam saat dia mendengar suara lirih dari sana. Namun tentunya sekarang kamar itu sepi tanpa suara sama sekali hanya lampu kamar yang masih temaram. Tak lama Soleh pun keluar kamar, dengan handuk yang menyampir di pundaknya, walau udara masih terasa sangat dingin, tapi soleh terbiasa mandi saat suara adzan pun belum berkumandang. "Mau pakai air hangat, A?" pertanyaan yang sama selalu Lastri tanyakan setiap hari, walau pastinya jawaban Soleh selalu tidak. "Siapkan untuk anak dan menantu kita saja, Neng. Mungkin sebentar lagi mereka bangun." Soleh menoleh ke belakang tubuhnya, di mana kamar Seruni berada
Seruni yang membuka mata bersamaan dengan suara adzan berkumandang, melihat sekeliling kamarnya, dia merasakan hangat pada wajahnya saat mengingat apa yang sudah dilaluinya semalam dengan Arya. Dan, ah ... memalukan sekali, dia bangun terlambat di hari pertama dia menjadi seorang istri. "Runi?!" lagi suara Lastri terdengar. "Iya, Bu, Runi sudah bangun!" jawab Seruni tergesa turun dari tempat tidur, dengan mengapit selimut yang menutupi tubuhnya, dia meraih baju tidur yang sudah ada di atas ranjang. Ah, rasanya dia malu pada dirinya sendiri, mendapati kamarnya yang masih remang-remang, juga keadaannya yang tidak mengenakan pakaian. 'Duh, malu banget!' Setelah memakai baju, Seruni menekan saklar hingga lampu hingga menyala terang seperti biasa. Entah apa yang dilakukan para pesuruh Arya kemarin, hingga lampu kamarnya berganti menjadi redup semalam. Saat Seruni akan keluar, pintu kamarnya dibuka dari luar, nampak Arya dengan rambut basah, juga kaos yang dipakainya terlihat basah ju
"Assalamua'aikum," ucap Arya sekembalinya dari mushola, saat tidak menemukan Seruni di luar kamar, Lastri mengatakan kalau Seruni ada di kamar, mungkin masih belum beres sembahyang. Namun saat Arya masuk, dia melihat Seruni tengah terlihat kesal di depan cermin dan mengusap lehernya. "Wa'alaikumussalam," jawab Seruni mendekat pada Arya dengan wajah yang cemberut. "Suaminya pulang kok malah merengut gitu? Kenapa?" tanya Arya sambil menerima uluran tangan Seruni. Seruni menggeleng, namun jelas sekali kalau dia tengah memendam kekesalan dalam hati. "Hmm, kenapa sih?" Seruni masih saja mengunci rapat mulutnya, dia malah memeluk Arya dan menyusupkan wajahnya dalam dekapan hangat lelaki itu. Arya mulai mengusap punggung istrinya, mencoba memahami apa yang sebenarnya tengah dirasakan Seruni, walau jelas dia tidak bisa menebak nya. "Duduk, yuk? Biar enak bicaranya," ajak Arya, membimbing Seruni duduk di tepi ranjang. Tak membantah, Seruni mengikuti langkah Arya, lalu dengan masih mem
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"