"Assalamua'aikum," ucap Arya sekembalinya dari mushola, saat tidak menemukan Seruni di luar kamar, Lastri mengatakan kalau Seruni ada di kamar, mungkin masih belum beres sembahyang. Namun saat Arya masuk, dia melihat Seruni tengah terlihat kesal di depan cermin dan mengusap lehernya. "Wa'alaikumussalam," jawab Seruni mendekat pada Arya dengan wajah yang cemberut. "Suaminya pulang kok malah merengut gitu? Kenapa?" tanya Arya sambil menerima uluran tangan Seruni. Seruni menggeleng, namun jelas sekali kalau dia tengah memendam kekesalan dalam hati. "Hmm, kenapa sih?" Seruni masih saja mengunci rapat mulutnya, dia malah memeluk Arya dan menyusupkan wajahnya dalam dekapan hangat lelaki itu. Arya mulai mengusap punggung istrinya, mencoba memahami apa yang sebenarnya tengah dirasakan Seruni, walau jelas dia tidak bisa menebak nya. "Duduk, yuk? Biar enak bicaranya," ajak Arya, membimbing Seruni duduk di tepi ranjang. Tak membantah, Seruni mengikuti langkah Arya, lalu dengan masih mem
Tok ... tok ... tok!Namun ketukan di pintu membuat keduanya membuka mata, yang tadi memejam menikmati indahnya rasa. Lalu tersenyum penuh arti, saling menatap pada bibir masing-masing yang sedikit basah. Rupanya Seruni bisa dengan cepat belajar, hingga kini tak hanya diam saat Arya menciumnya. "Iya?!" tanya Seruni pada seseorang yang sudah mengganggu momen indahnya bersama Arya."Runi, ajak den Arya sarapan.""Ibu," ucap Seruni menjauhkan diri dari Arya, yang tadi sempat mengusap sudut bibirnya. Arya mengangguk.Seruni Bergegas mendekat ke pintu lalu membukanya, namun Lastri sudah berlalu dari depan kamarnya."Runi bantu ibu dulu," kata Seruni langsung keluar kamar. "Kerudungnya, Sayang!" seru Arya yang tak sempat didengar Seruni.Dengan cepat Arya mencari kerudung untuk dipakai Seruni, gadis itu mungkin lupa dengan lehernya yang berhias tanda cintanya. Arya Bergegas keluar kamar begitu mendapatkan kerudung dengan acak dari dalam lemari. Begitu keluar, Arya langsung menuju dapur
Arya memberikan instruksi pada dua orang yang dibawa Ade, selain bertanya pada Seruni di mana baiknya tempat cuci piring akan ditempatkan. Setelah beres memberikan perintah, Arya menarik tangan Seruni untuk kembali ke kamar. Emangnya apalagi yang dilakukan pengantin baru kalau bukan ngamar? "Terima kasih, A," ucap Seruni tulus begitu mereka di dalam kamar. "Untuk?" "Untuk semuanya yang sudah Aa lakukan, untuk cinta yang Aa berikan untuk aku, dan keluargaku. Semuanya. Terima kasih."Arya tersenyum lembut, dia hanya mengangguk menanggapi ucapan Seruni, suara orang-orang yang saat ini tengah memasang tempat mencuci piring, dan kompor gas di dapur sederhana milik Lastri, tak sedikit pun mengganggu keinginan Arya yang mengajak Seruni ke kamar. Bahkan senyuman menggoda pegawainya yang memang sudah akrab dengannya, dianggap Arya angin lalu saja, memangnya apa yang akan mereka katakan kalau dia tetap di kamar dengan istrinya sekarang? Pastinya tidak ada. "Apa tidak masalah kita di kamar
Lastri merasa heran saat kembali ke rumah dan mendapati beberapa orang yang tengah bekerja di dapurnya, saat dia kembali dari rumah pak RT untuk memberikan lauk yang masih tersisa banyak, dia sudah bertanya-tanya dengan melihat ada mobil yang terparkir di depan rumahnya. Walau dia tahu itu pasti mobil milik menantunya, tapi dia tidak menyangka kalau akan ada yang bekerja. Apalagi saat masuk, tidak ditemui anak dan menantunya di sana, bahkan pintu kamar mereka pun tertutup rapat menyembunyikan kedua sosok tersebut. "Kang, ini lagi pada ngapain, ya? Siapa yang nyuruh?" tanya Lastri pada Ade yang tengah mengawasi pemasangan kompor gas. "Eh, Bu ... iya ini tadi den Arya meminta kami untuk memasang tempat cuci piring sama kompor gas," jawab Ade sopan, Bagaimana pun wanita yang ada di depannya adalah mertua dari majikannya, tentunya dia harus menjaga sikap. "Memasang kompor gas dan untuk cuci piring?" Lastri melihat ke arah tungku yang setiap hari menemaninya, juga melihat ke orang yang
Tirta menggendong Danu yang sudah terlihat tampan dengan setelah kaos biru tua dan celana jeans pendek, cucu dari kakak tertuanya itu akan segera kembali ke Bandung, tak ingin melewatkan waktu untuk bermain dengan Danu, Tirta membawa Danu untuk melihat burung peliharaannya. Sedang Raja dan Cahaya masih bersiap di dalam sekalian pamit dengan Sukma. Tak lama ketiganya keluar, dengan Raja yang membawa tas berisi keperluan mereka selama menginap. Sukma yang berjalan berdampingan dengan cahaya sesekali mengusap perut membuncit Cahaya, dia juga tak sabar mendengar kabar tentang kehamilan Seruni beberapa bulan ke depan. Mengandung penerus keluarga mereka, anak Arya cucu pertama untuknya. "Kalau lahiran jangan lupa kasih tahu Bibi ya, Aya?" kata Sukma penuh perhatian. Cahaya mengangguk, "Iya, Bi, nanti Aya kabarin." "Bibi juga nggak sabar denger kabar kehamilan Seruni." Sukma menerawang jauh, apa yang tadi jadi harapannya, akhirnya tercetus juga. "Aamiin, semoga saja secepatnya ada berit
Binar harapan yang tadi membuncah dalam dada Sukma tentang kehadiran seorang cucu, meredup dengan cepat. Kenapa dia bisa lupa dengan status pelajar yang masih disandang oleh menantunya? Bahkan pernikahan anak sulungnya itu belum berumur 24 jam, tapi impian tentang kehadiran cucu di antara mereka, membuatnya berharap terlalu besar. Menghela napas kecewa, Sukma duduk di seberang sofa yang diduduk Tirta. Iya Sukma harus menyimpan dulu keinginan itu sekarang. "Ibu udah ngebayangin dalam rumah kita akan ada tangis bayi sembilan bulan ke depan, tapi ... yah, masih jauh ternyata." "Nggak salah juga keinginan Ibu." "Tapi mereka tidak menunda untuk itu kan, yah?" "Maksud Ibu?" "Iya, jangan sampai mereka juga menunda untuk saling memenuhi hak dan kewajiban sebagai suami istri. Apalagi Seruni masih muda gitu, apa dia paham dengan kebutuhan lelaki dewasa seperti Arya?" Sukma terlihat khawatir sekarang. Perbedaan umur yang jauh antara anak dan menantunya, membuat dia cemas kalau Seruni tidak
"Seta!" Aji yang baru keluar dari dalam kelasnya menoleh, seorang gadis cantik dengan dandanan modis, berjalan mendekat. Senyuman gadis itu menghiasi bibir. "Kenapa, Rin?" tanya Aji begitu teman kuliahnya itu sudah dekat. Karin, teman sekelas Aji terlihat sedikit malu-malu, namun dia yang terbiasa bergaul bisa dengan cepat menguasai diri. Dia yang diam-diam tertarik pada Aji sejak pertama kali melihat lelaki muda itu, terlihat sedikit canggung begitu berdiri di depan Aji. "Kamu bisa menyelesaikan soalnya?" "Alhamdulillah bisa, makasih ya kemarin udah ingetin aku kalau hari ini ada ujian, kalau tidak aku bisa-bisa nggak ikut. Ya, walaupun aku jadi tidak bisa melihat acara akad kakakku," ucap Aji tulus.Ya, Karinlah yang mengingatkan dia tentang ujian hari ini, saat Aji mengatakan kalau dia kan pulang untuk menghadiri pernikahan Arya. Mendengar ucapan tulus dari Aji, Karin merasakan hatinya berbunga, dia harap Aji juga bisa merasakan apa yang dia dambakan. "Iya, sama-sama, Seta.
"Nanti kalau Teteh punya uang, Teteh belikan deh. Eh, tapi kan kemarin sudah punya sepatu baru?" "Kapan?" Rara menatap heran Seruni, otaknya berpikir mengingat. "Itu ... yang dibeliin aa waktu ke mall." Seruni mengulum senyum, menunggu protes yang akan Rara berikan sebentar lagi. "Dih, masa sepatu sekolah? Beda lagi atuh, Teh!" Benarkan tebakan Seruni?!Rara protes dengan apa yang dikatakannya. "Sama aja, kan sama-sama sepatu." Seruni terkekeh, apalagi melihat bibir mengerucut Rara. Dia senang bisa menggoda adiknya. "Ya, masa aja Rara pakai sepatu buat sekolah kalau jalan-jalan?" protes Rara berlanjut. "Eh, emangnya siapa yang mengajak kamu jalan?" Seruni masih saja menggoda Rara, walau dia tahu kemana arah pembicaraan Rara. "Aa lah, kan pasti nanti aa ngajak kita jalan-jalan lagi. Kemarin Teteh pelit sih, masa aa mau beliin banyak barang nggak boleh? Padahal Rara mau beli sendal juga, yang biasa dipakai sudah jelek." "Tapi masih bisa dipakaikan? Bukan rusak?" "Udah jelek te
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"