Binar harapan yang tadi membuncah dalam dada Sukma tentang kehadiran seorang cucu, meredup dengan cepat. Kenapa dia bisa lupa dengan status pelajar yang masih disandang oleh menantunya? Bahkan pernikahan anak sulungnya itu belum berumur 24 jam, tapi impian tentang kehadiran cucu di antara mereka, membuatnya berharap terlalu besar. Menghela napas kecewa, Sukma duduk di seberang sofa yang diduduk Tirta. Iya Sukma harus menyimpan dulu keinginan itu sekarang. "Ibu udah ngebayangin dalam rumah kita akan ada tangis bayi sembilan bulan ke depan, tapi ... yah, masih jauh ternyata." "Nggak salah juga keinginan Ibu." "Tapi mereka tidak menunda untuk itu kan, yah?" "Maksud Ibu?" "Iya, jangan sampai mereka juga menunda untuk saling memenuhi hak dan kewajiban sebagai suami istri. Apalagi Seruni masih muda gitu, apa dia paham dengan kebutuhan lelaki dewasa seperti Arya?" Sukma terlihat khawatir sekarang. Perbedaan umur yang jauh antara anak dan menantunya, membuat dia cemas kalau Seruni tidak
"Seta!" Aji yang baru keluar dari dalam kelasnya menoleh, seorang gadis cantik dengan dandanan modis, berjalan mendekat. Senyuman gadis itu menghiasi bibir. "Kenapa, Rin?" tanya Aji begitu teman kuliahnya itu sudah dekat. Karin, teman sekelas Aji terlihat sedikit malu-malu, namun dia yang terbiasa bergaul bisa dengan cepat menguasai diri. Dia yang diam-diam tertarik pada Aji sejak pertama kali melihat lelaki muda itu, terlihat sedikit canggung begitu berdiri di depan Aji. "Kamu bisa menyelesaikan soalnya?" "Alhamdulillah bisa, makasih ya kemarin udah ingetin aku kalau hari ini ada ujian, kalau tidak aku bisa-bisa nggak ikut. Ya, walaupun aku jadi tidak bisa melihat acara akad kakakku," ucap Aji tulus.Ya, Karinlah yang mengingatkan dia tentang ujian hari ini, saat Aji mengatakan kalau dia kan pulang untuk menghadiri pernikahan Arya. Mendengar ucapan tulus dari Aji, Karin merasakan hatinya berbunga, dia harap Aji juga bisa merasakan apa yang dia dambakan. "Iya, sama-sama, Seta.
"Nanti kalau Teteh punya uang, Teteh belikan deh. Eh, tapi kan kemarin sudah punya sepatu baru?" "Kapan?" Rara menatap heran Seruni, otaknya berpikir mengingat. "Itu ... yang dibeliin aa waktu ke mall." Seruni mengulum senyum, menunggu protes yang akan Rara berikan sebentar lagi. "Dih, masa sepatu sekolah? Beda lagi atuh, Teh!" Benarkan tebakan Seruni?!Rara protes dengan apa yang dikatakannya. "Sama aja, kan sama-sama sepatu." Seruni terkekeh, apalagi melihat bibir mengerucut Rara. Dia senang bisa menggoda adiknya. "Ya, masa aja Rara pakai sepatu buat sekolah kalau jalan-jalan?" protes Rara berlanjut. "Eh, emangnya siapa yang mengajak kamu jalan?" Seruni masih saja menggoda Rara, walau dia tahu kemana arah pembicaraan Rara. "Aa lah, kan pasti nanti aa ngajak kita jalan-jalan lagi. Kemarin Teteh pelit sih, masa aa mau beliin banyak barang nggak boleh? Padahal Rara mau beli sendal juga, yang biasa dipakai sudah jelek." "Tapi masih bisa dipakaikan? Bukan rusak?" "Udah jelek te
"Rara?!" Seruni berteriak mencari keberadaan Rara, pekerja yang memasang tempat cuci piring sudah selesai, menoleh mendengar suara panggilan Seruni. "Nyari siapa, Neng? Lagi ada di belakang rumah ibu sama adiknya tadi," kata salah seorang dari mereka menjelaskan. "Oh di belakang ya, Mang?!" Seruni Memburu langkah mencari Rara, sesuai keterangan yang diberikan. Namun rungunya masih sempat mendengar percakapan kedua orang pekerja itu. "Panggil aden, jangan panggil eneng, dia itu istrinya raden Arya." "Aku tahu." "Terus kenapa panggil neng atuh tadi?" "Lupa." Seruni tersenyum sambil berlalu, dan benar saja Rara sedang bersama Lastri di belakang rumahnya, di mana ada kayu bakar yang sedang dirapikan oleh keduanya. "Kan sudah ada kompor gas, Bu." Lastri menoleh saat mendengar suara Seruni. Rara yang terlihat malas membantu Lastri, seakan mendapat ide untuk menolak perintah ibunya. "Tuh kan, Bu ... kata Rara juga apa, sudah ada kompor gas, kenapa juga harus pakai kayu bakar lagi?
"Hai!" sapa Seruni dengan gerakan cepat menutup kembali pintu. Maya, Didi, dan seorang lagi yang tengah berdiri membelakangi, hingga Seruni tidak tahu siapa, melihat ke arahnya yang masih berusaha bersikap biasa. Menyamankan debaran jantung yang masih berdegup kencang karena takut juga cemas. Maya yang duduk di kursi depan, menatap Seruni dengan tatapan menyelidik. Banyak keanehan dari sikap sahabatnya yang bisa dirasakan Maya. Apalagi sikapnya yang merasa sudah dekat dengan keluarga gadis itu, tadi sempat membuka pintu dan terkejut melihat penampakan ruang tamu sahabatnya. Dia tentunya tidak salah arti untuk mengartikan kursi apa dengan dekorasi yang ada di sana. Sebuah pelaminan. Namun bagaimana dan untuk apa semua itu, tentu saja Maya tidak bisa menebaknyaApalagi melihat adanya mobil yang terparkir di depan rumah Seruni, menegaskan Maya kalau saat ini ada seseorang yang bukan keluarga inti dari Seruni. Belum lagi Rara yang tidak mempersilakannya masuk seperti biasa, malah dengan
Arya yang mendengar itu bergegas masuk ke ruang tengah, memanggil pekerja untuk membawakan dua kursi dari ruang makan untuk dihantarkan ke depan. "Mang, tolong bawakan kursi ke depan, dua. Lalu tolong dicopot background di ruang tamu, tapi ingat jangan sampai rusak dan berisik." Kedua orang itu dengan sigap mengikuti perintah Arya, masing-masing membawa kursi yang diminta Arya. Arya merasa lucu juga kesal dengan situasi yang ada, di mana dia harus bersembunyi dan mencuri dengar, apa yang dibicarakan istrinya dengan teman sekolahnya. Apalagi saat pertanyaan tentang mobilnya ditanyakan, Arya tahu pasti Seruni dan Lastri bingung untuk menjawab bagaimana. Lastri memasuki ruang tengah dan melihat Arya yang duduk di ruang makan, teringat tadi dia mengakui Arya sebagai kerabatnya, Lastri mendekat untuk meminta maaf karena Lastri tahu Arya pasti mendengar pengakuannya tadi. "A, Ibu minta maaf tadi--" "Iya, Bu, nggak pa-pa Arya mengerti. Ibu tenang saja." Arya tersenyum menenangkan Lastri
"Lagian kamu kenapa malah bayangan aa waktu masih muda? Nggak boleh tahu!" ujar Seruni seakan puas melihat rambut Rara berantakan. "Dih, gitu aja cemburu! Bete ih, rambut Rara jadi harus disisir lagi." Rara merajuk dengan bibir mencebik kesal. "Bodo amat! Awas aja, kalau kamu berani bayangin aa lagi," ancam Seruni, meninggalkan Rara yang kini terus bersungut sambil merapikan rambutnya. Dia melangkah menuju kamarnya untuk menemui Arya, namun saat teringat gelas yang belum dibawa kembali masuk, Seruni berbalik melihat Rara. "Ra, beresin gelas sama piring di depan. Sekalian bawa masuk lagi kursi makan. Beresin, ya?! Awas kalau nggak!" perintah Seruni tanpa menunggu jawaban Rara, namun dia masih mendengar Rara mengumpat kesal atas perintahnya. "Dasar! Mentang-mentang udah jadi istri juragan, enak aja main perintah. Dasar, calon kanjeng mami ini mah." Seruni tersenyum mendengar umpatan Rara. Dia jadi membayangkan seseorang yang disebut Rara, satu tokoh dalam sinetron yang membuatnya g
Mengangguk patuh, Seruni segera bangun dan bergegas membuka lemari mengambil baju. "Halo, Yah?" sapa Arya menerima panggilan, matanya tak lepas memandang Seruni yang kini mematung dan terlihat bingung. Arya tahu istrinya itu pasti merasa canggung kalau harus berganti baju di depannya, namun apalagi yang harus menjadikan gadis itu malu terhadapnya? mereka berdua bahkan sudah saling melihat tubuh masing-masing tanpa sehelai benang pun, meski tidak sampai ke tahap menyatukan diri, setidaknya keduanya paham anatomi tubuh pasangannya. Seruni bukannya tidak sadar Arya terus mengawasinya dengan tajam, dengan keberanian yang sangat luar biasa besar, Seruni akhirnya memutuskan mengganti baju dengan tatapan tajam Arya yang terus menatapnya. Biarlah, dia milik Arya sekarang, lelaki itu sudah berhak sepenuhnya atas dia. Jiwa dan raganya. "Iya, nanti Arya ke rumah." Seruni masih bisa mendengar percakapan Arya, bahkan suaminya itu mengangkat tangan agar dia kembali mendekat. Namun dengan tega
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"