Mobil melaju dengan kencang ke arah Dara yang sedang jalan-jalan. Banyak orang berteriak, meminta Dara dan keluarganya segera menepi. Menyadari ada mobil yang mengintainya, Dara segera melindungi Brian dan Ibunya dengan cara menarik ke tepi agar tidak tertabrak mobil.“Sial, kenapa tidak kena,” gumam Irma yang sedang menargetkan Dara. Irma segera pergi meninggalkan jalanan itu agar tidak menjadi bulan-bulanan masa.***“Kamu tidak apa-apa, Nak,” ucap Dara sambil melihat keseluruh tubuh Brian. “Tidak,” jawab Brian lirih, dia masih syok.“Putriku, cucuku, apa kalian baik-baik saja,” imbuh Nyonya Subroto.“Aku tidak apa-apa,” jawab Dara yang masih deg-degan.Beberapa orang menghampiri Dara lalu memberikan air minum agar tidak syok, diantara mereka ada yang sudah merekam mobil melaju kencang dan tercantum plat mobilnya.“Terima kasih semuanya,” ucap Nyonya Subroto.“Bu, ayo kita pulang, Brian sepertinya masih syok atas insiden ini,” bisik Dara.Tadi saat
Romi masih menentang Bima meminum gelas itu. Dia takut karena mungkin saja sudah dicampur dengan sesuatu yang dapat mencelakainya."Hentikan Bima," ucap Romi."Tuan Romi, kenapa Anda sepertinya khawatir dengan bos Anda?" tanya Partner kerja."Kalau terjadi sesuatu pada bos saya. Tidak ada yang menggaji saya lagi," jawab Romi.Partnet kerjasama itu menertawakan Romi. Seperti Bima akan diracuni saja, padahal hanya sebatas minum. "Minuman ini aman, biar aku tunjukkan padamu kalau minuman ini benar-benar aman," ucap Parter kerja itu."Lihat baik-baik aku minum minuman ini," imbuh partner kerja satu lagi.Mereka meneguk dari botol sekaligus sampai setengah botol, lalu mengusap mulutnya dengan punggung tangan."Bagaimana apa kalian berdua percaya sekarang?" tanya partner kerja itu. Bima melirik Romi yang begitu khawatir, Bima mengangguk pelan sehingga Romi tak melarang Bima untuk minum minuman yang diberikan oleh Partner kerjanya. “Aku percaya kalian. Berikan satu gelas bir padaku,” jawab
“Aku tidak akan melanjutkan lagi kerja sama kerja dengan perusahaan kalian,” jawab Bima.Raut wajah Bima sangat marah, dia menatap jijik beberapa pria yang berada di ruang vip tersebut. Bima sangat tidak senang seseorang yang licik dan berbuat tidak baik.“Ke-napa?” tanya partner kerja itu terbata.“Karena aku sungguh tidak suka orang yang berpikir sempit,” jawab Bima.Romi mendekati mereka, lalu membisikkan kata, “Kalian ketahuan merencanakan sesuatu,”Raut pria itu terkejut, sebentar saja kenapa rancananya sudah ketahuan, apakah Bima hanya sekedar pura-pura mabuk saja. Romi mengikuti Bima pergi dari bar itu, mereka langsung pulang karena sudah lelah. Sela yang berusaha mengejar Bima dengan pakaian yang sexy menjadi mainan pria hidung belang yang melihatnya. Semua itu adalah balasan dari rencana jahatnya sendiri, kenapa harus berbuat jahat kalau ada jalan yang baik.***“Ayah, kenapa baru pulang, apa ayah lupa sehari lagi, ayah akan menikah,” ucap Brian.“Kamu kenapa belum tidur?” ta
Nyonya Handoko menggelengkan kepalanya, ini bukan kado untuk Brian tapi seserahan untuk dibawa ke rumah Dara.“Seserahan?” tanya Brian.“Iya sayang, ini untuk ibumu,” jawab Nyonya Handoko.Brian terlihat pusing tidak mengerti apa yang dikatakan oleh neneknya, lalu kakeknya menjelaskan apa itu seserahan secara singkat dan padat pada Brian. Barang yang harus dibawa dari mempelai lelaki ke mempelai wanita.“Oh jadi seperti itu,” ucap Brian.“Betul, besok kamu bantu ayahmu untuk membawa barang seserahan ini untuk ibumu, ya,” balas Tuan Handoko.“Siap,” jawab Brian bersemangat.Hari ini semua orang tampak sibuk mempersiapkan pernikahan Bima dan Dara. Banyak sekali yang mereka akan bawa, mulai dari seserahan inti sampai seserahan berupa makanan ringan, makanan khas daerah hingga pernak-pernik yang lainnya.“Kenapa banyak orang di rumahku,” gumam Brian yang tak biasa ada begitu banyak orang di rumah.“Semua orang ini adalah saudaramu, mereka akan ikut ke pernikahan ayah dan ibumu,” jawab Tua
“Satu gelas lagi!” pinta Dara kepada seorang bartender untuk menuangkan bir sekali lagi ke dalam gelasnya.Hari ini sungguh hari yang paling sial untuk Dara. Dalam satu hari, hidupnya yang bergelimang harta, dicintai, dan diharapkan kehadirannya tiba-tiba berubah drastis. Kebangkrutan perusahaan sang ayah, rumahnya yang disita, juga putusnya pertunangan dengan sang kekasih karena statusnya yang tak lagi setara. Semua hal itu membuat Dara merasa frustrasi, hingga membawanya ke sini, club malam langganannya."Si*lan!" maki Dara kala mengingat betapa kejamnya pemutusan hubungan secara sepihak yang diucapkan oleh mantan calon mertuanya. Dengan kilatan amarah dari pancaran matanya, Dara bersumpah, "Rizal, akan aku pastikan kamu menyesal!"Entah sudah berapa gelas bir yang dia teguk sambil menunggu munculnya Rizal, mantan tunangannya, di kelab malam langganan mereka. Banyak spekulasi yang ada di pikiran Dara tentang kandasnya hubungan pertunangan mereka, tapi dia ingin mendapatkan penjelasa
"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria bermata hitam itu. Suara dalamnya terdengar menggelitik, menggoda dan menenangkan di saat yang bersamaan.Sebelum Dara sempat membalas dan berdiri dari pelukan pria asing itu, teriakan Rizal mengalihkan fokusnya. "Sekali lagi kamu berbuat kasar pada calon istriku, aku tidak akan segan-segan menyakitimu!" ancam Rizal selagi melotot ke arah Dara.Awalnya, Rizal berniat untuk memaki wanita itu lagi, tapi pandangan tajam pria bermata hitam yang menolong Dara itu membuatnya sedikit terintimidasi. Akhirnya, dia pun mendengus dan membawa Irma pergi.Saat Rizal dan Irma menghilang dari balik pintu kelab, Dara yang masih berada di rengkuhan pria penolongnya perlahan mulai berdiri. Dia menepuk-nepuk serta merapikan rambutnya yang berantakan karena perkelahian dengan Irma."Kamu tidak apa-apa?" Pria bernetra hitam itu mengulang pertanyaannya.Dara melirik pria penolongnya sesaat, lalu berkata dengan sedikit ketus, "Terima kasih." Tanpa membuang waktu, Dara memutu
“Apa kamu lupa siapa aku?” Dara mengerutkan dahi. Dia mencoba memperhatikan baik-baik wajah pria di hadapannya dengan merengkuh wajah si pria menggunakan kedua tangannya. Pria itu tampan. Manik sehitam jelaganya setajam elang, terlihat mengintimidasi dan menenangkan di waktu bersamaan. Tidak hanya itu, lesung pipi yang terbentuk kala pria itu tersenyum membuat penampilannya terlihat manis. Dara terus memutar otak, mencari memori di mana dia pernah bertemu atau mengenal pria di hadapannya itu. Namun, berkali-kali mencoba, dia tetap tidak menemukan sebersit memori tentangnya. “Jangan asal bicara!" Dara melepaskan rengkuhan tangannya dari pria tersebut, "Aku tidak pernah mengenalmu dan kita tidak pernah bertemu!” Sejenak, pria tampan bertubuh atletis itu mendatarkan ekspresinya. Namun, detik berikutnya dia kembali tersenyum tipis sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Dara. “Baiklah. Kalau begitu, ayo berteman,” ajak pria itu. “Tidak mau!” tegas Dara menolak jabatan tangan pria i
"Selamat tidur."Suara parau yang menggoda itu terngiang di pikiran Dara ketika dia bangun. Suara itu terdengar familier, tapi juga asing di waktu yang bersamaan. Namun, gadis itu tidak sempat mencerna siapa yang mengucakan kalimat tersebut lantaran dirinya berada di sebuah rumah yang terlihat asing!"Di mana ... ini?" gumam Dara sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Saat Dara baru ingin bangkit dari ranjangnya, terlihat keberadaan sebotol air putih dan satu strip obat di atas nakas. Di samping dua benda itu, ada sepucuk surat.Dara mengambil surat tersebut dan membacanya.[Maaf karena aku meninggalkanmu sendiri di sini. Aku yakin kamu bingung bagaimana kamu bisa sampai di sini, jadi aku tinggalkan pesan ini]Dara membaca saksama semua yang pria itu tuliskan tadi malam, dan wajahnya pun memerah. Dengan tangan menutup setengah wajah, dia membatin, 'Astaga! Aku hampir tertabrak mobil?!'Walau rasa malu sempat menyelimuti dirinya, tapi ekspresi Dara berubah saat membaca bagian