Dania mengembuskan napas saat melihat kondisi Mahesa. Meskipun ia benar-benar sakit hati dengan perlakuan lelaki yang masih berstatus suaminya itu, Dania tetap merasa iba. Mungkin hanya Mahesa yang melakukan ini, berjuang mendapatkan cinta perempuan lain sampai babak belur. Padahal, ia masih berstatus suami.Mahesa membuka matanya, dan mendapati Dania yang menatapnya. Andai saja Arunika yang ada di depannya, ia akan lebih semangat untuk sembuh. Ah, apa yang telah ia perbuat pada Arunika diluar kendalinya. Mahesa emosi dengan penolakan Arunika. Bahkan, terang-terangan Arunika memperkenalkan Kalandra sebagai calon suaminya.“Kamu sudah bangun?” tanya Dania.Mahesa bergeming tak ingin menanggapi. Sampai kapan Dania akan berpura-pura peduli padanya? Mahesa tahu, sudah sejak lama Dania mempunya hubungan yang cukup intim dengan Rama. Ia diam dan mengalah, karena hatinya juga telah mati rasa untuk wanita itu.Kedatangan Arunika kembali ke kota ini membuatnya melupakan perselingkuhan Dania. P
Mahesa yang tampak terkejut. “Kenapa? Kamu akan mengelak dengan yang baru saja aku katakan?” tanya Mayra membuat Mahesa bungkam.“Berhenti membuat masalah. Arunika akan semakin muak denganmu jika kamu makin banyak bertingkah.” Mayra mencoba menyadarkan adiknya walaupun akan sia-sia.“Tapi lelaki itu telah membuatku babak belur,” sangkal Mahesa.“Itu karena perbuatanmu sendiri. Apa kamu lupa atas apa yang kamu perbuat terhadap Arunika? Ingat. Di rumah kita ada kamera pengawas.”Mahesa tampak pias. Tak lagi dapat mengelak dengan ucapan Mayra. Dirinya memang bersalah, itu tak dapat mangkir. Tapi, tetap saja perbuatan Kalandra yang membuatnya sampai masuk ke rumah sakit. “Tapi lelaki itu keterlaluan telah membuatku seperti ini,” elak Mahesa.Mayra memukul kepala Mahesa hingga terdengar suara mahesa mengaduh.“Berhenti keras kepala!” seru Mayra. Ia tak habis pikir, mengapa adiknya begitu keras kepala. Bukannya merasa bersalah malah terus membela diri.“Sangat wajar jika Kalandra memukulm
Kalandra memasuki ruang rawat Dania. Sudah lebih dari dua minggu wanita itu mendiami ruang itu. Bukan hanya fisik yang Devina obati, ia juga sedang menjalani terapi kejiwaan dengan Dokter Psikolog. Devina tampak berbinar dengan kedatangan lelaki yang sudah mengisi hatinya cukup lama.“Kamu datang?” tanya Devina dengan senyum yang terbit dari bibirnya.Kalandra tak merespons, hanya menatap Devina tanpa ekspresi.“Semoga setelah ini tidak ada drama yang kamu buat lagi,” ucap Kalandra membuat senyum Devina menghilang.“Aku tak akan melakukan ini jika saja kamu memedulikanku,” lirih Devina menatap sendu Kalandra. Cukup lama perasaan yang ia simpan untuk lelaki itu. Devina terbiasa mendapatkan apa yang dia mau dengan begitu mudah. Sejak kecil. Namun, Kalandra terasa berbeda. Lelaki itu tak tersentuh olehnya, dan membuat Devina merasa terhina.“Tak semua apa yang kamu inginkan akan terpenuhi, termasuk perasaanku.” Kalandra tetap menjaga jarak dengan Devina yang terlihat sudah lebih segar.
Arunika mengangguk. Tak tampak keraguan sedikit pun dimatanya. Sementara Ratri merasa sedih, menantu yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri akan menjadi milik orang lain.“Kak,” Arunika memanggil Mayra. “Mohon doanya,” lanjutnya.Mayra tersenyum. Walaupun ia juga merasa sedih, Mayra lebih bisa menutupinya. Arunika berhak bahagia atas pilihannya. “Kakak mendoakan yang terbaik untukmu, Run,” ucap Mayra lirih.“Terima kasih.”____________Arunika menatap cermin di depannya. Wajah ayu dengan polesan riasan tipis, membuatnya tampak lebih cantik dari biasanya. Kebaya berbentuk gamis yang ia kenakan tampak indah membungkus tubuhnya. Persiapan yang sangat singkat.Beberapa kali Arunika mengambil napas lalu mengembuskannya. Hari yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, akhirnya ada di depan matanya. Setelah ini, ia berharap tak akan ada lagi masalah yang menderanya. Walaupun ia paham, satu hari setelah hari ini, kehidupannya akan berubah.“Bun.”Arunika mengalihkan pandangannya pada Tama
Kalandra mematut dirinya di depan cermin. Jas abu dengan kemeja putih di dalamnya membuat penampilannya tampak gagah. Jendra berdiri di belakangnya dengan raut tak kalah semringah dengan Kalandra. “Akhirnya kamu yang pemenangnya.” Jendra menepung punggung Kalandra.Lelaki yang tingginya tak jauh lebih tinggi dari Kalandra itu tersenyum bangga. Setelah perjuangan Kalandra selama beberapa tahun, akhirnya lelaki itu mendapatkan buah kesabarannya.“Kamu akan menyusul segera,” hibur Kalandra.“Carikan yang seperti Arunika.”“Tidak ada lagi yang seperti dia.”Jendra mencebik. Entah, perasaannya menguap begitu saja pada Devina sejak wanita itu melakukan hal diluar batas. Jendra mengembuskan napas berat. Deviana. Bagaimana kabarnya? Terakhir bertemu beberapa hari lalu.“Kamu mengkhawatirkan Devina?” tanya Kalandra.“Sedikit.” Jendra menghempaskan bokongnya diatas kasur milik Kalandra.Ketukan pintu membuat Kalandra mengalihkan pandangannya pada kaca di depannya. “Sudah siap?” tanya wanita
Kalandra memegang kepala Arunika selagi Arunika masih mencium telapak tangannya. Ia berdoa dengan memegang ubun-ubun Arunika.“Allaahumma innii as-aluka khoirohaa, wa khoiro maa jabaltahaa 'alaihi, wa a'uudzu bika min syarrihaa, wa syarri maa jabaltahaa’alaihi.” (Ya Allah, sungguh aku mohon kepada-Mu kebaikan perempuan ini dan apa yang telah Engkau berikan dalam wataknya. Dan aku mohon perlindungan kepada-Mu dari kejelekan perempuan ini dan apa yang telah Engkau ciptakan dalam wataknya.)Setelah mengucapkan doa, Arunika mengangkat kepalanya. Ditatapnya Kalandra yang juga tengah menatapnya. Ada perasaan hangat di dadanya, rasa haru yang membuat ia ingin meneteskan air mata, tapi ia tahan mati-matian. “Jangan nangis, nanti make up-nya luntur.” Arunika mengingat kata Hasna yang melarangnya untuk menangis di hari bahagia ini.“Kamu terlihat sangat cantik,” ucap Kalandra membuat Arunika tertunduk malu. Seulas senyum terbit dari bibir tipis Arunika. “Sudah boleh memujimu, kan?”Arunika
“Kamu tahu,” bisik Kalandra saat mereka—dirinya dan Arunika duduk di sebuah pantai. “Aku mencintaimu sejak kita tumbuh dewasa bersama,” lanjutnya sembari menatap Arunika yang juga tengah menatapnya. Wajah Arunika memerah, bukan karena malu, tapi karena cahaya matahari sore yang menyorot ke arahnya. Senja mulai kembali ke peraduannya dan mereka masih duduk di sana untuk menikmati pemandangan sore.“Aku simpan rasa itu hingga nanti datang waktu yang tepat, saat aku meminangmu dan kita menjadi halal untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain.” Kalandra mengembuskan napas pelan. Menatap nanar pada matahari yang benar-benar mulai tenggelam di ufuk barat.“Kamu tahu,” lirihnya. “rasanya sangat menyakitkan melihatmu bersanding dengan orang lain. Aku patah hati untuk pertama kalinya.”“Kenapa kamu tak melarangku, Mas?” tanya Arunika.“Aku tak punya hak untuk itu. Memangnya siapa aku? Bahkan selama beberapa tahun kita tak saling menyapa.”“Aku berharap kamu menahanku waktu itu, Mas,” ucap A
Kalandra menghampiri Arunika yang tengah membaca buku di balkon kamar yang langsung berhadapan dengan laut luas. Penginapan yang mereka sewa memang terletak di atas pantai. Seperti penginapan terapung. Ada jalan terbuat dari kayu jati yang menghubungkan penginapan ini dengan daratan. “Sibuk?” tanya Kalandra membuat Arunika mengalihkan pandangannya. Menutup buku yang sedang ia baca, pandangan Arunika mengarah pada dua cangkir ditangan lelaki itu.“Kopi?”Kalandra mengangguk, lalu duduk di sebelah Arunika.“Sudah jam 9 kamu mau minum kopi, Mas?”“Sepertinya aku akan bergadang malam ini.”Arunika menatap Kalandra tak paham. “Mungkin kamu juga,” lanjutnya.Arunika menaikkan sebelah alisnya.“Bukankah tamu bulananmu sudah selesai?” Arunika tertegun. Seperti sadar apa yang dimaksud Kalandra, wanita itu segera memalingkan wajahnya dari tatapan lapar Kalandra.“Jadi ... bukankah kita butuh kopi?”Arunika tak menjawab. Jantungnya berdebar kencang.“Kenapa?” tanya Kalandra lirih membuat Aru