Mila menoleh ke arah yang Nadia tuju. Matanya membulat ketika melihat suaminya berjalan mesra dengan wanita cantik menuju mobil Dandy.Wanita seksi bergaun merah hati itu berjalan sambil menggandeng tangan Dandy. Gaun dengan lengan sebahu melekat ketat pada tubuhnya yang tinggi semampai dengan body bak gitar spanyol. Kerahnya yang rendah menampakkan leher yang jenjang dan mulus. Dia terlihat serasi saat berjalan berdampingan dengan suaminya, yang sama-sama putih warna kulitnya.Mila terpaku melihat penampakan di depan mata. Tatapannya tetap melekat pada mereka ketika turun dari motor. Detak jantungnya berdegup kencang. Perasaan wanita berkaos hitam itu tidak karuan. Tidak ada suara yang keluar dari bibirnya karena perasaan yang sangat terpukul. Dia bergeming di samping motor menyaksikan suami dan wanita seksi itu berlalu bersama melesatnya mobil yang dikendarai Dandy. Saking sesaknya dada Mila hingga tak kuasa untuk mengeluarkan suara. Hanya isak tangis yang terdengar, mengiringi kepe
CEMBURU BUTANadia dan Aldi menatap Mila sambil berdiri. Entah sejak kapan mereka ada di sana.Mila tidak menyadari kedatangan mereka karena larut dalam perasaan yang pilu. Hingga elusan lembut dari Nadia menyadarkannya. "Jamil." Nadia berjongkok di sebelah Mila. Matanya menatap iba sekaligus sedih pada sahabatnya. "Hayuk!" Gadis itu merangkul Mila dan mengajaknya berdiri, lalu berjalan menuju rumah.Aldi mengikutinya dari belakang."Kalian ... kenapa ada di sini?" tanya Mila setelah mereka duduk di sofa ruang tamu.Nadia menoleh ke arah Aldi yang duduk di seberang meja. Dia menaikkan alis, pertanda meminta pendapat lelaki itu.Aldi mengangguk, pertanda mengiakan agar Nadia menjelaskannya. "Gini ceritanya, Bang Aldi tadi nelpon gue. Dia ngajak gue ke sini untuk melihat keadaan lu. Bang Aldi perasaannya nggak enak dan gelisah mikirin lu. Mau datang sendiri ... nggak enak katanya karena udah malam. Makanya, kami sekarang ada di sini," jelas Nadia seraya menggenggam tangan Mila.Mila m
"Siapa yang berselingkuh? Aku nggak selingkuh, Mas. Justru kamu yang selingkuh.""Nggak selingkuh katamu? Lalu tadi itu apa, hah!? Berduaan, pegang-pegangan tangan! Apa namanya kalo bukan selingkuh?!" Dandy mendekati Mila lalu mencengkeram pipinya. "Dasar cewek kampung murahan!" hinanya lagi.Mila menarik tangan Dandy, mencoba melepaskan cengkreman. "Jaga omonganmu, Mas! Bukankah Mas Dandy yang selama ini selingkuh?" pekik Mila setelah cengkeraman di pipinya terlepas. "Dan pasti uang yang Mas minta selama ini untuk selingkuhan, Mas!" tuduhnya.Tawa Dandy menggema. "Untuk Shellin katamu?!""Oooh, namanya Shellin," batin Mila."Denger, ya, Mila, uang itu tidak ada apa-apanya bagi Shellin. Dia itu janda kaya raya. Kekayaannya takkan habis dimakan tujuh turunan. Malah aku yang punya hutang sama dia. Tapi, sekarang hutangku dah lunas karena mau berkencan dengannya dan bisa memuaskan dia." Dandy berujar bangga seolah itu adalah hal yang membanggakan."Lantas, uangku selama ini untuk apa?""
Mila yang pingsan di kamar mandi mulai tersadar. Wanita itu mengerang sambil memegang kepala yang masih terasa pusing.Tanpa sengaja dia melihat tas selempang yang teronggok tak jauh dari posisinya sekarang. Lalu, Mila beringsut meraih tas tersebut. Tas yang tadinya berisi make up, dompet, dan ponsel itu kini telah kosong. Dia melihat alat-alat perias wajah yang tadinya ada di dalam tas telah berserakan di lantai. Begitu juga dengan dompet yang sudah tidak berisi lagi. Uang, kartu identitas, dan ATMnya telah raib. Namun, Mila tidak menemukan ponselnya."Mas Dandy, sungguh kejam! Bedebah! Biadab!" umpat Mila lirih.Tiba-tiba dia teringat dengan perhiasan yang disimpan dalam lemari. Dia menduga jika benda itu pasti juga dicari dan diambil oleh suaminya. Seperti halnya ponsel, uang, dan barang berharga lainnya. Wanita itu kembali terisak.Mila menangis meratapi segala apa yang terjadi. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa ini akan menimpanya. Apa yang dia pilih dan dia pertahankan terny
Di tengah kemelut hatinya, Mila teringat sesuatu. "Nadiaa! Iya, aku harus ke rumah Nadia dan minta tolong padanya." Senyum simpul terukir di wajahnya. Ada secercah harapan yang terbit di hati Mila guna memperbaiki hal yang telah telanjur itu. Mila mengusap air mata dengan punggung tangan. Semangat wanita itu kembali bangkit. Dia berdiri lalu berjalan gontai ke luar kamar."Ya Allah ... apalagi ini?" keluhnya ketika mendapati pintu depan terkunci. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya. Mila beranjak mencari kunci. Sekian menit, dia mondar mandir mengelilingi rumah untuk mencari benda tersebut, tetapi tidak juga ditemukannya. Mila berhenti dan isirahat sejenak di sofa ruang tamu sambil mengingat-ingat di mana kunci itu. Semakin mencoba mengingat, pening di kepala kembali dia rasakan. Namun, diabaikannya rasa itu dan terus mencoba mengingat. "Astagfirullah ... kuncinya pasti dibawa Mas Dandy. Sedangkan kunci serep pasti masih di bawah keset." Mila memijit pelipis karena rasa s
Aldi menatap sendu wajah pucat orang yang dicintainya, yang sedang terbaring tak sadarkan diri. Dia terjaga semalaman di rumah sakit demi menjaga Mila, takut jika tiba-tiba wanita itu siuman.Digenggamnya dengan erat tangan yang ditusuk jarum infus itu, tidak melepasnya sedetik pun. Wajah lelaki itu tampak frustasi mendapati keadaan orang yang dikasihinya babak belur. Perban yang melingkar di kepala wanita malang itu menambah rasa pilu di hati Aldi.Jam besuk dokter di pagi hari telah tiba, tetapi Mila belum juga sadar."Bagaimana keadaannya, Dok?" Aldi menanyakan keadaan Mila pada dokter yang sedang memeriksa wanita itu."Bapak tenang saja. Saudari Anda baik-baik saja. Tidak ada luka serius yang dialaminya. Hanya gegar otak ringan akibat suatu benturan pada kepala.""Syukur alhamdulillah," gumam Aldi gembira seraya mengusap wajah. Sang Dokter membenahi stetoskop. Sebelum beranjak, pria berjas putih itu berpesan, "Sebaiknya, pasien jangan diajak bicara banyak terlebih dahulu setelah
Matanya terpejam, tetapi pikiran Mila melayang-layang entah ke mana. Melanglang buana menyusuri adegan demi adegan kelam yang telah dilaluinya. Malam kian larut, tetapi sejak tadi dia tidak bisa tidur juga, karena hatinya begitu gelisah dan bingung. Ingin sekali rasanya Mila melupakan semua yang telah terjadi dan memulai lagi dari awal. Pergulatan pun terjadi dalam benak wanita itu."Apa sebaiknya aku memaafkan segala kesalahan dan perbuatan buruk Mas Dandy selama ini, dan menganggap semua itu tidak pernah terjadi? Haruskah aku melupakan segala bentuk hubungan dengan Mas Dandy dan menganggap tidak pernah mengenalnya? Lalu ... memulai lembaran baru di kampung halamannya dengan status baru?"Ataukah aku harus memenjarakannya terlebih dahulu agar Mas Dandy jera dan tidak mengulang perbuatan buruknya selama ini? Barulah aku mengurus perceraian? Atau ...."Mila menggeleng keras. "Ah, tidak! Tidak akan! Aku tidak mau lagi berhubungan dengan Mas Dandy! Cukuplah sampai di sini penderitaanku,
"Dengar, ya, wanita kampung! Aku nggak akan tinggal diam! Suatu saat aku bakal buat perhitungan denganmu!" ancam Dandy ketika berpapasan dengan Mila, di luar ruang sidang, sebelum dibawa oleh petugas ke ruang tahanan.Mila bergeming sambil menatap pilu lelaki yang masih dicintainya itu. Meski selama ini banyak luka yang diberikan Dandy, tetapi jauh di lubuk hatinya masih tersimpan rasa yang pernah ditancapkan oleh si Cupid, walau tak sebesar dulu."Andai saja engkau tidak seperti itu, Mas," batin Mila sambil menunduk. "Hey, Bung, jaga bicara Anda! Perkataan itu adalah sebuah ancaman dan bisa menambah masa tahanan Anda!" hardik salah seorang petugas yang memegangi Dandy.Mendengar suara tegas dari sang petugas, Mila seketika mendongak dan dengan segera menepis keinginan yang sempat terbesit. Keinginan untuk bisa kembali memperbaiki keadaan.Sedangkan Dandy seketika terdiam. Matanya masih menatap tajam dan dingin kepada Mila. "Tunggu aja Mila, aku pasti bikin perhitungan denganmu!" tek
Mila yang tadi sempat terduduk diam, segera beranjak mendekati Aldi dan menyeret lelaki itu, keluar rumah.Aldi yang bingung dengan tindakan tiba-tiba itu, hanya pasrah mengikuti Mila, dengan tubuh condong ke depan akibat seretan yang cukup bertenaga.Nampaknya, Mila menggunakan seluruh tenaga guna menyeret dan mengajak tubuh tinggi jangkung itu untuk keluar. Dia ingin bicara serius, empat mata, dengan Aldi tanpa ada gangguan dari pihak lain."Apa-apaan maksud Mas Aldi ini? Dia pikir aku wanita apaan?" Mila bermonolog selama berjalan menuju pelataran, sambil sesekali mengembuskan napas dengan kasar, mencoba meluapkan segala rasa yang membuncah di hati.Mila melepas kasar lengan Aldi, sesampainya di sudut pelataran, samping rumah, dekat dengan kebun kosong milik tetangga. Tempat sepi yang tepat untuk berbicara tanpa ada gangguan. "Apa maksud, Mas? Mengapa, Mas, tiba-tiba datang dan melamar Mila?" tanyanya menggebu dengan menatap lekat lelaki yang ada di hadapannya.Aldi menatap teduh w
Sang pemilik suara hanya tersenyum simpul, menyaksikan ekspresi wanita yang mematung di ambang pintu itu. "Ma-Mas Aldi ...." Mila mengucek mata. Dia masih tidak percaya dengan penglihatannya. "Benarkah ... ini Mas Aldi?"Mila melangkah perlahan, sangat perlahan, menuju ke tempat Aldi seraya menatap lurus lelaki itu. Matanya enggan berkedip. Dia masih merasa ini adalah sebuah mimpi.Aldi berdiri. "Iya, ini aku," ucapnya seraya tersenyum samar."Ini bukan mimpi 'kan? Bukan ilusi juga 'kan?" tanya Mila lirih.Wanita itu masih melangkah tanpa melihat sekelilingnya, hingga akhirnya pekikan keras keluar dari bibir merahnya yang ranum, ketika kakinya terantuk kaki meja. Mila mengangkat sebelah kaki yang terasa sakit seraya merintih dan mendesis."Mil, kamu baik-baik saja?" tanya Aldi seraya mendekati Mila. Lelaki itu memegang tangan dan bahu Mila, lalu membimbingnya duduk ke sofa."Makanya, jalan itu lihat-lihat! Jangan main nyelonong aja!" seru Ikin yang berjalan masuk rumah lalu meletakka
Keesokan harinya, Mila meminta izin kepada pemilik toko kelontong untuk bekerja agak siang. Wanita itu akan meminta surat pengantar terlebih dahulu ke balai desa untuk pengajuan gugatan cerainya sebelum memulai pekerjaan. "Jangan terlalu lama, ya, Mil? Takutnya yang lain kewalahan karena toko lagi rame-ramenya.""Iya, Mbak. Secepatnya Mila akan segera kembali, setelah urusan Mila selesai." Mila menangkupkan tangan di depan dada. "Mila mohon doanya, ya, Mbak, supaya semuanya berjalan lancar dan diberi kemudahan.""Tentu saja, Mila. Doa terbaik Embak terlantun untukmu." Si pemilik toko berkata tulus karena sedikit tahu dengan permasalahan yang menimpa Mila, saat Mila meminta izin."Terima kasih banyak, Mbak, atas kemakhlumannya." Mila berkata dengan perasaan tidak enak. Dia pun segera beranjak keluar setelah si pemilik toko mengangguk..Sementara, di tempat lain, Ikin sedang berbicara serius dengan temannya yang bekerja di pengadilan."Kamu yakin semua ini tidak akan sulit dan dapat se
Sejak saat itu Ikin sudah tidak pernah tidur di bengkel lagi. Hubungannya dengan Mila pun mulai membaik karena wanita itu tidak pernah menyerah untuk meminta maaf, sehingga terjalin komunikasi yang cukup sering di antara keduanya. Hati Ikin lambat laun menjadi terenyuh dan melunak karena kegigihan Mila.Meskipun lelaki itu masih suka marah dan menghardik, tetapi Mila tidak pernah memasukkannya ke dalam hati. Dia tetap melayani kakaknya dan menyiapkan semua kebutuhan sang kakak layaknya seperti dulu, seakan tidak pernah terjadi apa-apa."Pokoknya, aku tidak boleh menyerah sebelum Bang Ikin memberi maaf padaku. Aku harus lebih bersabar lagi. Aku tahu jika saat ini Bang Ikin telah memberi maaf padaku, hanya saja belum mampu mengungkapkan secara langsung. Sabar Mila, Bang Ikin sayang banget, kok, sama kamu." Mila terus saja memotivasi diri di saat mendapat perlakuan keras Ikin. Dia tidak pernah merasa lelah tatkala menjalankan semua aktivitasnya--bekerja, mengerjakan pekerjaan rumah, mem
Mila mendongak. "Mbak Zaenab ....""Ada yang mau mbak omongin. Kita ke ruang tamu, yuk?" Zaenab beranjak keluar kamar setelah berkata, lalu diikuti Mila dari belakang.Selama Ikin jarang pulang, Zaenab dan keluarga kecilnya kerap menginap di sana. Jarak rumah Zaenab dan ibunya tidak terlalu jauh, hanya berbeda RT saja. Akan tetapi, Zaenab tidak tega bila membiarkan Mak Inah yang masih belum sembuh benar hanya ditemani Mila. Untung saja, sang suami pengertian dan menuruti keinginan Zaenab tanpa banyak kata."Mil, ini ... temen mbak ada yang nawarin kerjaan. Lumayanlah buat hiburan, biar kamu nggak sedih dan melamun terus. Soal Ikin ... mbak akan bantu terus biar dia mau maafin kamu."Selama ini mbak sudah sering membujuk dia dan mencoba membuka pikirannya. Mungkin abangmu masih butuh waktu lagi. Setidaknya, dia sudah sering pulang," ujar Zaenab, setelah mereka duduk bersampingan di sofa."Kebetulan sekali, Mbak. Barusan Mila kepikiran untuk nyari kerjaan. Kerjaannya apa, Mbak?" tanya M
Malam itu, suami Zaenab dan anak sulungnya sedang asik menonton televisi. Sedangkan Nadia asik mengobrol dengan Zaenab yang sedang memangku anaknya sambil menepuk-nepuk bokong sang anak dengan pelan, berharap balita berusia kurang dari dua tahun itu lekas tidur. Nadia menceritakan semua yang dia ketahui tentang Mila saat sahabatnya berada di Jakarta, sebelum dan setelah menikah, dengan gamblang.Sedangkan Mila menemani ibunya di kamar. Dia juga menyuapi sang ibu, dengan bubur buatannya, saat makan malam. Namun, dia sendiri tidak makan, hanya menghabiskan beberapa suap sisa bubur Mak Inah, demi menyenangkan hati ibunya. Dia sama sekali tidak bernafsu untuk makan karena memikirkan semua masalah yang timbul akibat ulahnya."Ibu lekas tidur. Mila akan menaruh mangkok dulu di dapur."Mak Inah menahan Mila yang hendak beranjak. "Mangkoknya taruh di meja saja, Nduk. Sini, kamu tidur bareng Emak sekarang."Mila mengangguk, tidak berniat menolak. Dia meletakkan mangkok lalu beranjak tidur di s
Sesampainya dalam kamar, Ikin segera menidurkan Mak Inah di atas kasur. Kemudian, dia duduk di pinggir ranjang, di samping ibunya. Lelaki itu memegang dan mengelus tangan wanita kesayangannya. Zaenab bergegas ke meja makan untuk mengambil air putih lalu membawanya ke kamar Mak Inah. Dia memberikan gelas berisi air minum itu kepada Ikin. Ikin segera meminumkannya kepada sang ibu. Gelas tersebut dia letakkan di meja kecil yang ada di samping ranjang, setelah Mak Inah meneguk sedikit air dalam gelas.Mila hanya menatap sang ibu dari ambang pintu. Air matanya meleleh tiada henti sedari tadi. Dia tidak sanggup berkata-kata. Lidahnya seakan kelu karena melihat keadaan Mak Inah, dan semua itu akibat ulahnya.Dalam hati, Mila ingin sekali mendekati dan merengkuh wanita yang melahirkannya itu, tetapi melihat amarah kakak laki-lakinya dia urung dan menahan keinginan dalam-dalam."Mil-Mila ...." Mak Inah merintih memanggil nama anak bungsunya sambil terpejam.Mila hendak melangkah mendekati ib
Mak Inah yang sedang merebah dalam kamar, segera beranjak bangun. Meski tubuhnya lemas, wanita paruh baya itu tetap berusaha bangkit dari tidurnya karena mendengar ada kegaduhan dari luar rumah. Dia berjalan ke luar rumah sambil merambat di tembok. Tubuh ringkih itu tak sanggup berdiri sendiri.Sesampainya di ambang pintu, mata Mak Inah membeliak mendapati anak bungsunya ada di sana."Milaaa ... anakku ....," ucapnya lirih, "benarkah itu kamu, Nak?" Air mata Mak Inah pun meleleh tanpa permisi.Rasa rindu yang selama ini terbendung akhirnya meluap hanya dengan melihat sekilas anaknya yang sudah lama tidak pulang. Matanya tak bisa melihat dengan jelas karena air mata yang terjun dengan deras, menggenangi pelupuk mata, dan juga tubuh Mila terhalang oleh anak laki-lakinya itu."Mila," gumam Mak Inah sambil melangkah maju. Dia lupa tidak berpegangan hingga terjatuh, tersungkur.Zaenab yang berjalan dari arah dalam langsung menjerit keras sambil berlari menghampiri Mak Inah. Wanita itu baru
Sebelum menjelaskan apa yang sedang terjadi, Aldi terlebih dahulu meminta maaf karena telah lancang dan tidak meminta izin sebelumnya. Lelaki berhidung mancung itu menjelaskan perihal rencananya, bahwa dia ingin mengadakan syukuran atas selesainya kasus Mila, bersamaan dengan syukuran kesembuhan kakak sulung Nadia."Oooh, jadi ini rencana Bang Aldi." Nadia berbisik pada Mila. "Bang Aldi ternyata sangat keren. Rugi kalo lu sampe anggurin dia, Mil," goda Nadia, masih tetap berbisik.Mila menyenggol lengan Nadia. "Kamu ngomong apaan, sih, Nad? Bener kata Mas Aldi, makin lama kamu makin ngaco," ucapnya lirih.Nadi hanya terkikik melihat wajah sahabat karibnya tersipu."Sekali lagi, saya minta maaf karena telah lancang. Saya tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin acaranya lebih meriah, dan supaya bisa didoakan juga oleh banyak orang. Maka dari itu, saya mengundang anak yatim dan orang-orang yang berjasa pada Mila. Saya berharap semua keluarga yang berkumpul berkenan, terutama sang tuan rumah