Hari ini Ana tidak ke kampus, urusan tempat magang dihandle Irgi dan Bima. Dia ada janji dengan Aldi, bertemu di salah satu mall dan disinilah ia berada, berkeliling sambil menikmati es boba menuju lokasi janji temunya dengan Aldi
Di tempat yang berbeda, Akbar sedang menandatangi berkas dan Ayu membacakan jadwalnya hari ini.
"Pertemuan dengan Mr. James di mana?"
"Jam makan siang di resto jepang Grand Indonesia pak."
"Hm," menyerahkan berkas yang sudah ditanda tangan pada Ayu. "Panggilkan Maya!" titah Akbar pada Ayu sebelum sekretarisnya itu keluar.
"Baik Pak."
Akbar membuka file klausa perjanjian dengan perusahaan James, menyentuh dagu serta mengernyitkan dahi saat membaca file tersebut.
Terdengar ketukan pintu dan masuklah Maya, saat Maya hendak menuju Akbar dengan niat merayu, "Duduklah!" titah Akbar. Maya menelan saliva dan duduk di depan meja Akbar.
10 detik20 detik...1 menit2 menit3 menit"Pak," sapa Maya.
"Sebentar," jawab Akbar lalu menutup file tersebut. Menatap wanita dihadapannya. "Jadi, kamu setuju dengan apa yang saya tawarkan?"
"Bagaimana kalau ternyata diantara kita tumbuh cinta?" Akbar tertawa, "Tidak akan dari saya, entahlah dari kamu. Yang jelas jangan menggunakan perasaan karena nanti kamu sendiri yang rugi."
Akbar butuh kepastian karena dia butuh pelampiasan, tidak mau mengambil resiko dengan random pada banyak wanita dan Akbar tau wanita seperti apa yang ada dihadapannya. Rela memberikan tubuhnya hanya dengan agar tujuannya tercapai, tapi Akbar bukan pria bodoh. Dia tidak akan terjebak oleh Maya, tertarik hanya karena tubuh Maya. Bokong yang membuat orang ingin meremas ketika berjalan dibelakangnya juga dada penuh yang membusung.
Cantik? Akbar tidak yakin jika tanpa make up apakah Maya terlihat cantik. Apakah Akbar brengsek? Tidak juga karena yang dilakukannya karena disetujui kedua belah pihak. Bukan paksaan dan tidak karena uang. Belum ingin menikah kembali karena kekecewaannya pada wanita akibat kelakuan Inggrid dahulu. Namun ketika menemukan wanita yang tepat, Akbar memutuskan akan membangun kembali runah tangganya.
"Oke, saya siap."
"Malam ini, lokasinya akan ku kirim lewat pesan. Pergilah!"
Maya keluar dengan rasa kecewa, padahal dia sudah bersedia tapi Akbar tetap tidak merubah sikap arrogantnya.
Berjalan dengan tatapan lurus ke depan dan memasang wajah angkuh tidak mengurangi kadar ketampanan dan pesona dari Akbar. Wanita yang berpapasan dengannya selalu melirik, bahkan beberapa seperti menatap dengan rasa haus belaian.
Gadis-gadis yang mungkin tidak gadis lagi, masih menggunakan seragam SMA padahal masih jam sekolah tampak menggoda Akbar seakan membentangkan spanduk lebar-lebar "MELAYANI SUGAR DADDY". Akbar bergidik, realita saat ini.
Akbar menghadiri pertemuan bersama Bowo asistennya. Pelayan restaurant menunjukan ruangan tempat bertemu dengan Mr. James. Pintu dibuka, Akbar dan Bowo berjalan menghampiri Mr. James yang sudah tiba dan duduk bersisian dengan seorang wanita mungkin sekretarisnya. Karena posisi duduk membelakangi pintu, Akbar menyapa terlebih dahulu. "Selamat siang Mr. James."
Orang yang disapa berdiri dan menerima uluran tangan Akbar, basa-basi saling menanyakan kabar. Sedikit terkejut ketika mengetahui wanita di samping Mr James sedang mengulurkan tangannya dan menyapa "Apa kabar Tuan Akbar Putra Mahesa?"
Akbar menghela nafas, menyalami uluran tangan itu. Wanita yang 5 tahun ini dia hindari. Wanita yang 5 tahun lalu ia lepaskan. Wanita yang membuat pendapatnya tentang rumah tangga berubah. Wanita yang sudah merusak perasaannya. Ya, Inggrid. Inggrid sang mantan.Pertemuan itu berjalan normal, tidak ada pembahasan yang merubah kesepakatan atau bahkan membatalkan. Akbar pun sebenarnya ingin segera menyelesaikan pertemuan tersebut. Ia malas harus berada dekat Inggrid bukan karena masih memiliki perasaan, lebih kepada muak.
Sangat mengenal se brengsek apa pria didepannya, sekretaris yang menemaninya saat bekerja juga melayaninya urusan kepuasan dan Inggrid pastinya melakukan itu. Sungguh Akbar ingin memaki wanita ini, teringat ketika merayu Zudith agar mengijinkan dirinya rujuk dengan Akbar. Berjanji akan merubah kehidupannya, ternyata saat ini tidak lebih baik.
"Oke, Pak Akbar saya rasa sudah clear tinggal tinggal kita tunggu tim teknis saling bekerja."
"Betul Mr. James. Kebetulan..." Akbar menatap arloji di lengan kirinya. "Kami masih ada kegiatan lain, jadi kami undur diri." Cukup berbasa basi dan bersalaman, Akbar dan Bowo meninggalkan ruangan.
Tanpa diduga saat kedua pria itu sudah melangkah menjauh dari resto, "Akbar." Menoleh ke arah suara, Bowo berjalan menjauh melihat Inggrid yang memanggil Akbar.
"Bisa minta waktumu." Inggrid menyentuh lengan kiri Akbar yang berlapis jas. "Kita harus bicara, kapan kau sempat? Aku selalu siap." Bicara dengan raut wajah memohon dan sendu. Sungguh Akbar ingin tertawa, "Baiklah, kebetulan ada yang ingin aku sampaikan.""Bisa minta waktumu." Inggrid menyentuh lengan kiri Akbar yang berlapis jas. "Kita harus bicara, kapan kau sempat? Aku selalu siap." Inggrid dengan raut wajah memohon dan sendu. Sungguh Akbar ingin tertawa, "Baiklah, kebetulan ada yang ingin aku sampaikan."Wajah Inggrid berubah berseri mendengar ucapan Akbar."Jangan sok akrab denganku dan hentikan usahamu untuk kembali padaku. Singkirkan juga tanganmu," Akbar menghempaskan tangan Inggrid dan menepuk-nepuk lengan jas yang dipegang Inggrid seakan menghilangkan debu yang menempel.Akbar Berjalan meninggalkan Inggrid yang kesal karena perlakuannya."Kirain mau CLBK," ujar Bowo."Masih betah di Gigital Winner? Kalau udah bosen bilang, nanti saya mutasi kamu ke Timbuktu."Bowo berdecak, "Saya enggak seputus asa itu Pak."..Ana yang hampir sampai di H&M store melihat Aldi. Saat hendak memanggil, Ana melihat Aldi bersama seorang wanita. Bukan wanita yang seum
"Eh Pak, 'kan saya sudah minta maaf. Lagian wajar dong, orang enggak sengaja. Kenapa mulut Bapak pedes begitu, habis makan mercon ya?""Ana," panggil Aldi yang mendekat pada Ana dan merangkul bahu gadis itu, "Kenapa?""Ini, orang aku udah minta maaf, ampun deh galak bener."Akbar menoleh pada laki-laki disamping Ana, menaikan alisnya berfikir kapan pernah melihat bocah ini.'Ahaaa, I remember you,' batin Akbar. Bocah kampret yang pernah hadir diantara hubungannya dengan Inggrid dulu. Bocah lugu yang pinter cari uang lewat jalan pintas dengan menjalani hubungan dengan istri orang yang rela memberikan materi berlebih. Akbar tersenyum sinis, "Kalian pasangan? Cocok sekali. Apa kamu masih menjalani profesi dulu?" Akbar mengalihkan tatapannya dan bertanya pada Aldi .Aldi ingat orang didepannya adalah suami dari salah satu tante-tante yang pernah dekat dengannya. Tidak ingin jadi panjang dan Ana tau semuanya, ia pun mengajak A
Akbar menyentuh bagian inti Maya dengan tangannya, menggerakan dari atas ke bawah dan kadang bergerak berputar membuat milik Maya basah, "Ohhhhh, Pak. Please!" Akbar melepas bathrobenya, Maya melirik ke bawah tubuh Akbar. Membelakan matanya melihat junior Akbar dalam posisi tegang dengan ukuran yang woww. Akbar memasang pengaman lalu mendorong miliknya ke tubuh Maya.Melenguuh dan mendessah hanya itu yang dapat Maya lakukan, saat Akbar terus menggerakan pinggulnya. Sesaat otaknya mengingat sumpah yang keluar dari mulut manis Ana. Shiitt, Akbar semakin mendorong lebih cepat membuat Maya memekik dan mengejang karena telah sampai pada puncaknya.Akbar membalikkan tubuh Maya sedikit menungging, kembali menancapkan miliknya pada tubuh Maya. Terus mengayuh dengan memejamkan matanya dan tanpa disadari Akbar, bibirnya mengucapkan sebuah nama "Sussana," lalu ia mengerang karena telah mendapatkan kenikmatan dunia.Setelah dirasa cukup mengeluark
Senin, hari sibuk di awal minggu ini menjadi awal Sussana mengenal kegiatan baru. Yah, hari ini adalah hari pertama ia magang yang merupakan program kegiatan kampus yang harus ia ikuti. Lebih dari 25 orang mahasiswa magang dengan berbagai macam program studi telah berkumpul di ruangan untuk mengikuti pengarahan.Bagian HRD menyampaikan ada pengarahan langsung dari Presdir sehingga mereka diminta menunggu.Mengenakan seragam putih hitam khas peserta magang, Ana dengan rok hitam dan blouse putih lengan panjang dan flatshoes juga berwarna hitam, duduk diantara Irgi dan Bima.Terlihat sedikit pergerakan di depan, salah seorang membuka acara dan mengatakan Presdir segera hadir. Ana mengeluarkan ponsel dan mengaturnya menjadi silent berbarengan dengan masuknya Presdir perusahaan bersama beberapa orang dengan posisi penting perusahaan itu.Saat menolehkan pandangan ke depan betapa terkejutnya Irgi terutama Ana yang mendapati bahwa Presiden Direkt
Akbar hanya menoleh sekilas tanpa menjawab, "Disapa bukannya jawab, dasar Om-om jutek," ucap Ana dalam hati."Tidak usah merutuk," ujar Akbar. Ana spontan menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Kok tau sih Pak? Bapak peramal ya?" Akbar hanya berdecak. "Kenapa ? Kamu mau ucap sumpah untuk saya lagi?""Enggak pak, lagian bapak mulutnya pedes banget wajarlah mulut saya refleks keluar kalimat itu.""Kalimat apa?" Akbar sudah mengunci tubuh Ana di dinding, ia berani begitu karena hanya ada mereka berdua di dalam lift. "Eh, Bapak mau ngapain?"ucap Ana dengan tubuh semakin merapat ke dinding lift. "Kamu maunya ngapain?" Ana melihat dia sudah hampir sampai di lantai tujuan, saat pintu lift akan terbuka Ana mendorong tubuh Akbar dan keluar dari lift dengan agak berlari. Masuk ke ruangan dengan sedikit terengah, "Suzana, kenapa lo?" tanya Satria ketua bagian tempat Una bertugas. "Ada orang gila Bang?" "Orang gila? Di mana? Masa sih bisa masuk ke da
Finance meeting pun dimulai, beragendakan pembahasan laporan dan anggaran project yang sebelumnya dianggap salah oleh Akbar. Sudah lebih dari dua jam rapat itu berjalan, Ana pun mulai jenuh karena sejak awal rapat dia hanya duduk di sebelah kiri Akbar."Kalau cuma jadi pajangan kayak cangkir-cangkir di bufet mah mending enggak usah diajak ikut rapat kali," batin Ana."Rekap ini dibuat oleh peserta magang, masa kalian yang katanya sudah pengalaman, bisa kalah sama anak magang yang pendidikannya aja belum selesai."Tuinggg, Ana mendengar kalimat yang sepertinya mengandung kontroversi dan benar saja sekarang semua peserta rapat melirik kepada Ana. "Ini nih yang kadang membuat pegawai tetap dan karyawan magang enggak akur. Pujian ditempat yang tidak semestinya. OMG, kenapa harus muji aku disaat mereka habis kena teguran. Selamat datang penyiksaan," batin Ana.Ana hanya menunduk, "Jadi, biasakan kalian bekerja teliti.""Oke, saya rasa cukup. Selamat
Sussana, dengan duduk menyamping sesekali membenarkan helaian rambut yang tertiup angin. Tanda disadari Akbar mengikuti laju motor tersebut yang berbelok ke arah pintu masuk sebuah mall tidak jauh dari perusahaannya.Ternyata gadis itu hanya di drop off di lobby, setelah memarkirkan kendaraannya Akbar segera mencari keberadaan Sussana. Hufttt, sepertinya Akbar kehilangan jejak Sussana.Brughh, seseorang menabrak bahunya saat ia memutuskan kembali ke mobil. "Punya mata kan?"Netra Akbar menatap sepasang netra gadis yang tadi dicarinya. "Hehehe, Pak Akbar. Maaf Pak, enggak sengaja. Lagian Bapak sih berhenti tiba-tiba." Akbar hendak membuka mulut menjawab rentetan kalimat yang keluar dari mulut Ana."Eh, enggak boleh marah, nanti kalau spontan saya ucap sumpah lagi, gimana?""Kamu itu memang hobi nabrak orang ya? Apa jangan-jangan mata kamu sudah minus?" Akbar tetap konsisten dengan ucapan membuat hati tersinggung a
Siang itu, beberapa divisi melaksanakan meeting bersama untuk persiapan ulangtahun Digital Winner. "Oke, jadi begitu ya. Sudah fix pembagian tugasnya." Untuk beberapa bagian ada seragam acara. Penerima tamu untuk perempuan dress hitam dan laki-laki suit hitam. Ada yg kurang jelas tanya kordinator." Caca ketua panitia mengarahkan acara. "Ingat ya, kita hanya persiapkan apa yang ditampilkan, beberapa pekerjaan ada yang dihandle oleh EO." "Lo bagian apa Na?"tanya Irgi. "Penerima Tamu." Hari perayaan Digital Winner pun tiba, acara dimulai jam delapan malam. Namun dari siang hari semua yang terlibat sudah tiba di hotel tempat acara. Acara sudah dimulai, Ana yang awalnya sebagai penerima tamu diminta mendampingi Ayu, ia merasa seperti panitia super sibuk karena harus ke sana kemari. "Ini, pastikan ini diterima Pak Akbar, beliau ada di VIP room," ucap Ayu menunjuk arah VIP room dan menyerahkan map pada Ana. Sesampainya di VIP Room Ana menghampi
Sepulang dari Rumah Sakit, Akbar dan Sussana mengunjungi rumah yang akan mereka tempati. Sussana memeriksa kamar bayi dan kebutuhannya, sedangkan Akbar mengecek bagian-bagian yang sebelumnya direnovasi. “Bibi,” panggil Sussana dari ujung anak tangga. “Iya Non.” “Kesini dulu ya.” Salah satu asisten rumah tangga bergegas melangkah menghampiri Sussana. “Ada apa Non?” “Bantu saya menggeser ini, sepertinya lebih baik di sebelah sana,” ujar Sussana menunjuk sofa untuk menyusui. “Biar nanti saya saja, Non Sussana sedang hamil besar tidak boleh angkat yang berat-berat.” “Berdua sama Bibi, sepertinya nggak berat juga sih,” ucap Sussana. “Tapi Non.” “Sudah, ayo angkat.” “Sussana.” Suara Akbar mengejutkan Sussana dan Bibi. Melihat situasi tidak kondusif, Bibi pun keluar dari kamar. “Tinggalkan itu, biar nanti aku minta yang lain menggeser. Itu bahaya untuk kehamilan kamu, sayang.” Akbar merangkul bahu Sussana dan mengajaknya keluar. “Nanti dulu, masih ada yang harus aku cek. Khawatir
Kehamilan Sussana sudah memasuki trimester ketiga, tepatnya tiga puluh tiga minggu. Akbar sangat menikmati perannya sebagai seorang suami dan Ayah untuk kedua anaknya. Melewatkan moment bersama keluarga saat mengalami amnesia benar-benar membuatnya menyesal. Bahkan dia tidak dapat menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan Arka. Sangat sabar menghadapi Sussana yang manja dan selalu mengeluh juga menyalahkan Akbar karena kondisinya saat ini. Kehamilan kali ini terlalu banyak keluhan hingga Sussana berkali-kali mengatakan tidak ingin hamil lagi. Seperti malam ini, Akbar sudah terlelap tapi Sussana yang tidak bisa tidur merengek membuat Akbar terjaga. "Iya sayang, kenapa?" sahut Akbar sambil menguap. "Aku sesak, nggak bisa tidur." Akbar langsung terperanjat, "Sesak napas?" Sussana mengangguk. "Bangun dulu sayang, coba atur pernafasan kamu seperti waktu kemarin ikut senam hamil. Tarik nafas, lalu buang," ujar Akbar memberi contoh dan diikuti Akbar. Berkali-kali, sampai Sussana tidak m
Akbar sudah kembali ke kantor seperti biasa dan mereka masih tinggal di kediaman orang tua Sussana. Ketika Akbar berada di rumah, Sussana akan sangat manja dengan Akbar. Namun, saat Akbar di kantor Sussana tidak akan mengganggu sedikitpun. Mengerti jika Akbar butuh privacy dan konsentrasi mengurus masa depan perusahaan. Sussana sudah mulai beraktivitas ringan, dia juga bosan jika harus terus berada di ranjang. Lama menjalankan bedrest, membuatnya menjadi pecinta drama. Yang dikerjakan saat di ranjang adalah menonton drama dan mendengarkan musik. Sussana duduk di taman rumahnya menyaksikan Yuna yang sedang bermain di kolam balon air. Arka duduk di baby chair dan disuapi oleh Sussana. Setelah selesai makan, Arka dibawa masuk oleh pengasuhnya untuk mengganti bajunya yang kotor karena tumpahan makanan. “Yuna, sudah yuk. Kamu sudah kedinginan, lain kali main lagi,” ajak Sussana. Yuna menggelengkan kepala, dia masih asyik dengan aktivitasnya. “Masuklah, biar Yuna Bunda yang jaga,” ujar Ha
“Ada apa ini?” tanya Gerry yang baru saja tiba. Melihat kehadiran keluarga besannya, dia pun ikut bergabung. Yudha kembali menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Sussana. Jika menuruti emosi, rasanya Gerry ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi melihat Akbar yang sudah sembuh dan Sussana yang membutuhkan Akbar di sisinya, Gerry pun mengalah demi kebaikan sang putri. Setelah Yudha, Zudith dan Bira undur diri, Akbar menyempatkan bermain bersama Yuna sambil menggendong Arka. “Loh, Sussananya mana?” tanya Gerry baru menyadari sejak tadi tidak melihat Sussana. “Sedang istirahat, sudah biarkan saja. Biar Akbar yang menemani,” ujar Halimah. Halimah pun kembali menemani cucunya bersama baby sitter, Akbar diminta mengecek kondisi Sussana dan menemani di kamar. Khawatir jika Sussana membutuhkan sesuatu, sedangkan dia masih harus bedrest. Melihat Sussana yang masih terlelap, Akbar pun memilih membersihkan diri. Sussana mengerjapkan kedua matanya, perlahan beranjak duduk. Menatap sekeli
“Sussana,” panggil Akbar. Sussana yang berdiri di balkon tidak menyahut atau menoleh. Menganggap suara yang baru saja dia dengar hanya halusinasi karena rasa rindu pada Akbar. Akbar tetap berdiri di tempatnya memandang punggung Sussana, wanita yang sudah setia dan sabar menghadapi Akbar.“Sayang,” panggil Akbar lagi. Sussana menghela nafas, “Mas Akbar, rinduku sudah tidak terbendung. Sampai suaramu terdengar begitu jelas,” lirih Sussana.“Sussana, aku di sini sayang.”Sussana perlahan menoleh, tangannya masih mencengkram pinggiran balkon. Sussana tertawa, “Bahkan sekarang aku bisa melihat Mas Akbar,” ucapnya.“Aku bukan halusinasimu, sayang.” Akbar merentangkan kedua tangannya, siap menerima Sussana dalam pelukannya. “Mas Akbar,” ucap Sussana. “I-ini bukan halusinasi aku,” ucapnya.Akbar menggelengkan kepalanya. “Kemarilah, sayang.”Sussana melangkah perlahan, raut wajahnya sudah terlihat seperti akan menangis. Kini keduanya berhadapan, “Mas Akbar,” ucap Sussana sambil terisak lalu me
Zudith, Yudha dan Akbar berada di meja makan. Menikmati makan malam mereka dalam diam. Dalam benak Akbar, dia hanya memikirkan rencana untuk menemui Sussana esok hari. Zudith dan Yudha saling pandang sebelum memandang putra sulungnya. “Akbar,” panggil Yudha. Akbar menghela nafasnya sebelum menoleh. “Tidak usaha dibahas, aku yang akan selesaikan sendiri masalahku dengan Sussana,” tutur Akbar seakan tahu apa yang akan disampaikan oleh Yudha. “Maksud kamu menyelesaikan bagaimana?” tanya Zudith. Merasa bersalah pada Sussana dan khawatir jika Akbar akan memutuskan hal yang nanti akan disesali olehnya. “Mamih tenang saja, Sussana dan anak-anak adalah tanggung jawabku. Aku sudah selesai, permisi,” ujar Akbar lalu meninggalkan meja makan. “Pih, Mamih khawatir kalau ....” “Sudahlah Mih, Akbar sudah dewasa. Ingat umur Akbar sekarang berapa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mendukung segala keputusannya.” Pagi itu, Akbar sudah tiba di kantor. Pagi ini dia harus memimpin rapat
Seorang wanita berdiri tidak jauh dari tempat Sussana berada. “Mirip Sussana, tapi lebih kurus.” Wanita itu masih menatap ke arah Sussana berada. Terlihat Sussana yang beranjak bangun. “Benar itu Sussana. Tunggu, perutnya seperti ... Sussana sedang hamil,” ucapnya. Laras, istri dari Bira yang sedang berada di Rumah sakit melihat Sussana. Tanpa menyapa, wanita itu mengikuti Sussana dan yakin saat ini Sussana sedang hamil karena perutnya sudah terlihat buncit. Melihat Sussana menaiki taksi dan meninggalkan rumah sakit, Laras mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bira. Panggilannya tidak dijawab, akhirnya Laras menyusul Bira ke kantor. "Loh, bukannya kamu ke Rumah sakit?" tanya Bira melihat Laras ada di ruang kerjanya setelah Bira menghadiri rapat. "Mas, sini dulu," pinta Laras pada Bira dengan menepuk sofa di sebelahnya.” Bira pun patuh dengan menghampiri dan duduk di samping Laras. “Bagaimana hubungan Mas Akbar dan Sussana?” tanya Laras. Bira menghela nafas mendengar pertany
“Sussana, apa kamu sakit?” tanya Bira sejak tadi penasaran.Sussana hanya menggelengkan kepalanya. Bira menghela nafasnya, “Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ponsel Mamih hilang jadi dia tidak bisa mengabari kamu dan ternyata aku juga tidak punya kontak kamu.”Sussana menyebutkan nomor ponselnya. Setelah cukup berbincang masalah kondisi Akbar, Sussana hanya bisa mendukung semua keputusan keluarga Akbar. Bira pamit undur diri, tapi sebelum pergi dia kembali menanyakan kondisi Sussana.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Sussana.“Baiklah, jaga kesehatan kamu. Pasti berat harus berjuang untuk anak-anak kalian,” ujar Bira. Sussana hanya menyunggingkan senyumnya. Setelah kepergian Bira, Sussana tak sadarkan diri. Halimah memanggil dokter karena khawatir dengan kondisi Sussana. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry yang baru saja datang.“Sedang diperiksa Dokter,” jawab Halimah. Kedua orang tua Sussana menanti penjelasan dokter dengan cemas. Terdengar suara tangisan Yuna, “Biar
Sussana sudah berada di kursi tunggu UGD rumah sakit bersama kedua orangtua Akbar. Menunggu Akbar di periksa dan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi dengan Akbar. Cukup lama, tapi belum ada dokter atau perawat yang datang untuk menyampaikan kondisi Akbar. Meskipun Sussana tau jika Akbar hanya pingsan tapi penyebab pingsannya yang membuat khawatir karena saat ini Akbar masih dinyatakan amnesia. Hari sudah semakin siang, karena sinar matahari sudah tinggi. Zudith menawarkan Sussana untuk bergantian sarapan di kantin. Sussana hanya menggelengkan kepalanya. “Keluarga pasien atas nama Akbar,” ucap seorang perawat. “Saya, Dok,” jawab Yudha. Zudith dan Sussana pun ikut menghampiri. “Ini silahkan diurus dulu untuk kamar rawat inapnya.” “Bagaimana kondisi Akbar? Kami boleh bertemu?” Zudith lebih dulu bertanya, walaupun isi pertanyaannya akan sama dengan Sussana. “Dokter yang akan menjelaskan di ruang rawat ya, silahkan diurus dulu.” Yudha yang tadi menerima dokumen untuk pemindahan A