Akbar melucuti semua pakaian mereka. Gadis itu juga melenguh dan mengerang saat Akbar mulai menyentuh bagian bawah tubuhnya. Setelah dirasa cukup basah, Akbar membuka sedikit lebih lebar kedua kaki Ana dan mengarahkan miliknya ke bagian inti tubuh Ana. Sedikit sulit dan hentakan kedua ia berhasil menembusnya, gadis itu memekik bahkan lengannya sempat tercakar oleh kuku tangan milik Ana. Air mata turun diwajah mulus Ana, Akbar menghapusnya dan mencium hidung mata juga dahi Ana. Mengerang karena miliknya terasa dipijat oleh bagian inti Ana yang terasa masih sangat sempit.
Milik Akbar yang ukurannya tidak biasa membuat Ana kesakitan setiap Akbar menggerakannya, namun tidak lama kemudian setelah terbiasa dengan gerakan Akbar, mereka berdua bergantian mendesah sampai tiba pada puncak kenikmatan dunia.
Beberapa kali Akbar melakukan hal itu, membawa keduanya melambung, melesat ke awan, melayang-layang dan terhempas bersama dalam merenguh kenikmatan. Hingga keduany
"Enggak, Ayah aku enggak mau menikah dengan Pak Akbar. Please batalin aja Yah, Bunda." Respon Sussana setelah Gerry dan Halimah bertemu kembali dengan keluarga Mahesa dan mengatakan rencana pernikahan Akbar dan Ana."Sayang," ucap Halimah pada Sussana sambil merapihkan rambut anaknya. "Kita berbeda dengan laki-laki. Kamu paham maksud Ibu, Akbar memang harus bertanggung jawab. Kalapun kita batalkan dan kamu merasa tidak masalah dengan keadaan kamu saat ini, tapi bagaimana nanti? Mungkin saja semua akan berbeda dan sudah terlambat untuk kamu minta Akbar tanggung jawab."Ana hanya terdiam dan menunduk, mendengarkan apa yang orangtuanya katakan.***Ana sudah melaksanakan magang kembali, pagi ini ia diantar supir keluarganya. Saat turun di lobby ia bertemu dengan Irgi. "Woyy, sakit apa lo? Gue chat enggak dibalas.""Hmm, enggak apa-apa. Lagi kurang sehat aja."Saat masuk ke dalam lift entah dari mana atau memang sudah ada di sa
Akbar yang duduk diapit kedua orangtuanya berhadapan dengan Sussana yang duduk diantara kedua orangtuanya. Akbar memandang lekat pada Sussana dihadapannya, mengenakan mini dress brokat berwarna dusty dan sentuhan rambut sanggul chignon loose membuat Sussana terlihat sangat cantik.Akbar menunduk untuk menghilangkan gugup dan menghilangkan rasa ingin menerkam Sussana. Bagaimana pun Akbar adalah seorang laki-laki dewasa dan normal jika gairahnya terpancing ketika melihat seorang wanita dan saat ini Sussana terlihat sangat mempesona.Ternyata Sussana sejak tadi hanya melamun, sampai bundanya menyentuh punggung Sussana lalu ayahnya menanyakan kembali apakah ia menerima lamaran dari Akbar Putra Mahesa.Sebenarnya Sussana sempat berencana kabur setelah segala macam alasan sudah ia kemukakan pada Akbar. Namun pria itu tetap pada pendiriannya untuk menikahi Sussana. Sussana menarik nafas sebelum ia mengangguk, terdengar nafas lega dari ke
SussanaPak, tadi ada ulet bulu di samping BapakAna mengirimkan pesan pada Akbar, sedangkan Akbar agak bingung dengan maksud pesan Ana."Ulat bulu?" ucap Akbar saat membaca pesan Ana.Ana berada di lobby sedang order taksi online, karena tadi pagi ia berangkat menggunakan taksi. Menuruti apa yang diminta oleh Bundanya, yang tidak memperbolehkan ia naik motor.Masih asyik berkirim pesan di grup chat kelasnya, hingga tidak menyadari ada seseorang menghampirinya. "Sussana," panggil orang itu.Menengadahkan wajahnya melihat sosok yang memanggilnya. "Kak Aldi," ucap Sussana."Kak Aldi, mau ngapain ke sini?" tanya Ana sambil melihat sekeliling yang mas
"Maksud Bapak, Kak Aldi itu lelaki macam apa?""Laki-laki yang tidak baik, karena dia....." Akbar terdiam, dia belum bisa menceritakan ada hubungan apa Aldi dengan masa lalunya.Ana masih menoleh pada Akbar menunggu penjelasan dari Akbar. Akhirnya mobil yang membawa Akbar dan Ana berhenti di depan gerbang rumah Ana."Turunlah, sudah malam dan jangan bertemu dengan laki-laki tadi. Jaga hatimu," ucap Akbar.Ana menoleh ke luar lalu membuka pintu mobil Akbar.Saat akan mendorong pintu gerbang rumahnya, "Jaga hatiku? Maksudnya apa," ujar Ana. Ia menoleh ke belakang namun Akbar telah melajukan kembali mobilnya.Bertemu kembali dengan laki-laki yang menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya dulu dan saat ini laki-laki itu dekat dengan Sussana calon istrinya membuat Akbar emosi dan frustasi. Tak ingin hal yang sama terulang kembali, rasanya Akbar ingin mengurung saja Sussana. Namun Sussana bukan hewan peliharaan,
"Itu maksudnya, Bapak menyatakan cinta ke saya? Tapi kok seperti ada yang aneh ya," ujar Sussana. Akbar berdehem untuk menghilangkan gugupnya, "Kamu kembali ke ruanganmu, ini masih jam kerja tidak usah membicarakan urusan pribadi." Sussana mencibir lalu pamit meninggalkan ruangan Akbar. "Na," panggil Irgi melihat Sussana baru saja akan masuk ke ruangannya. "Kenapa? Tumben jam segini kelayapan, biasanya sibuk. Katanya divisi lo paling penting di perusahaan." "Kak Aldi hubungin gue, dia bilang nanti sore jemput lo. Kenapa sih pake perantara segala, lagi berantem? Ngambek lo enggak intelek kalau cuma blokir kontak." &
Bughhhh, Sussana melemparkan bantal pada Akbar."Eh, nakal kamu ya," Akbar menarik tubuh Sussana, entah bagaimana kejadiannya yang jelas kini Sussana berada di bawah kungkungan tubuh Akbar."Eh, Pak Akbar mau ngapain?" tanya Sussana sambil kedua tangannya menahan dada Akbar."Menurut kamu?""Jangan macem-macem ya Pak, atau saya teriak, atau saya tendang Bapak," tambahnya."Kamu teriak, orangtua kamu enggak bakalan datang menolong.""Kenapa begitu? Ya pasti datang lah, orang anaknya minta tolong.""Karena teriak kamu disebabkan menunaikan kewajiban sebagai seorang istri.""Hahhhh, enggak ada ya Pak, waktu itu dua hari ini ku sakit dan perih." Sussana menunjukbagian intinya.Akbar tertawa, "Karena waktu itu baru pertama kali, kali ini dijamin bukan sakit tapi kamu malah keenakan."Akbar semakin mendekatkan wajahnya pada Sussana, bahkan hembusan
“Pak, eh... Auw....” jerit Sussana saat Akbar mengangkat tubuh Sussana. Kini posisi mereka bertukar dengan Akbar berada di bawah. Sussana hendak turun dari tubuh Akbar namun cengkraman di pinggangnya menyulitkan hal itu. “Diam,” titah Akbar lalu sedikit mengangkat tubuh Sussana dan mengarahkan miliknya yang sudah kembali tegak pada tubuh Sussana dan, “ughhhh.”Mereka mengerang dan mendesah berbarengan karena tubuhnya telah menyatu kembali. “Bergerak sayang,” pinta Akbar. Perlahan Sussana bergerak sesuai arahan Akbar untuk memompa turun dan naik, tanpa sadar ia menengadahkan kepalanya menahan kenikmatan tiada tara. Akbar beringsut duduk dan memeluk tubuh Sussana yang bergoyang lalu mulutnya memainkan salah satu puting milik Sussana dan menghisapnya.“Ah, Pak... “ Sussana bergerak lebih cepat cukup lama sampai mengantarkannya kembali pada pelepasan kenikmatan. Akbar tersenyum menyaksikan wajah sendu Sussana lalu
Pak Cipto menghubungi Akbar, menyampaikan bahwa ia telah mengatarkan Sussana ke apartemen Akbar. Ternyata setelah pertemuan dengan rekan bisnisnya, Akbar masih harus mengikuti rapat keuangan.Maya yang menjadi peserta rapat beberapa kali mencuri pandang pada Akbar. Tidak berani menghubungi Akbar karena pria arrogant ini sebelumnya melarang ia melakukan itu, cukup menunggu kabar darinya. Sedangkan Akbar sepertinya lupa untuk mengakhiri kerjasamanya denga Maya, karena saat ini ia sudah menikah.Setengah tujuh malam rapat baru berakhir, Akbar segera meninggalkan ruangan bergegas pulang. Ia khawatir karena Sussana berada di apartementnya sendirian.Saat membuka pintu apartement, Akbar menggelengkan kepalanya melihat Sussana sudah terlelap di sofa dengan tv menyala dan yang membuatnya menghela nafas agar tidak marah adalah berserakannya peralatan makan dan sisa makanan hasil delivery di meja sofa."Kamu harus sabar Akbar, konsekuensi me
Sepulang dari Rumah Sakit, Akbar dan Sussana mengunjungi rumah yang akan mereka tempati. Sussana memeriksa kamar bayi dan kebutuhannya, sedangkan Akbar mengecek bagian-bagian yang sebelumnya direnovasi. “Bibi,” panggil Sussana dari ujung anak tangga. “Iya Non.” “Kesini dulu ya.” Salah satu asisten rumah tangga bergegas melangkah menghampiri Sussana. “Ada apa Non?” “Bantu saya menggeser ini, sepertinya lebih baik di sebelah sana,” ujar Sussana menunjuk sofa untuk menyusui. “Biar nanti saya saja, Non Sussana sedang hamil besar tidak boleh angkat yang berat-berat.” “Berdua sama Bibi, sepertinya nggak berat juga sih,” ucap Sussana. “Tapi Non.” “Sudah, ayo angkat.” “Sussana.” Suara Akbar mengejutkan Sussana dan Bibi. Melihat situasi tidak kondusif, Bibi pun keluar dari kamar. “Tinggalkan itu, biar nanti aku minta yang lain menggeser. Itu bahaya untuk kehamilan kamu, sayang.” Akbar merangkul bahu Sussana dan mengajaknya keluar. “Nanti dulu, masih ada yang harus aku cek. Khawatir
Kehamilan Sussana sudah memasuki trimester ketiga, tepatnya tiga puluh tiga minggu. Akbar sangat menikmati perannya sebagai seorang suami dan Ayah untuk kedua anaknya. Melewatkan moment bersama keluarga saat mengalami amnesia benar-benar membuatnya menyesal. Bahkan dia tidak dapat menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan Arka. Sangat sabar menghadapi Sussana yang manja dan selalu mengeluh juga menyalahkan Akbar karena kondisinya saat ini. Kehamilan kali ini terlalu banyak keluhan hingga Sussana berkali-kali mengatakan tidak ingin hamil lagi. Seperti malam ini, Akbar sudah terlelap tapi Sussana yang tidak bisa tidur merengek membuat Akbar terjaga. "Iya sayang, kenapa?" sahut Akbar sambil menguap. "Aku sesak, nggak bisa tidur." Akbar langsung terperanjat, "Sesak napas?" Sussana mengangguk. "Bangun dulu sayang, coba atur pernafasan kamu seperti waktu kemarin ikut senam hamil. Tarik nafas, lalu buang," ujar Akbar memberi contoh dan diikuti Akbar. Berkali-kali, sampai Sussana tidak m
Akbar sudah kembali ke kantor seperti biasa dan mereka masih tinggal di kediaman orang tua Sussana. Ketika Akbar berada di rumah, Sussana akan sangat manja dengan Akbar. Namun, saat Akbar di kantor Sussana tidak akan mengganggu sedikitpun. Mengerti jika Akbar butuh privacy dan konsentrasi mengurus masa depan perusahaan. Sussana sudah mulai beraktivitas ringan, dia juga bosan jika harus terus berada di ranjang. Lama menjalankan bedrest, membuatnya menjadi pecinta drama. Yang dikerjakan saat di ranjang adalah menonton drama dan mendengarkan musik. Sussana duduk di taman rumahnya menyaksikan Yuna yang sedang bermain di kolam balon air. Arka duduk di baby chair dan disuapi oleh Sussana. Setelah selesai makan, Arka dibawa masuk oleh pengasuhnya untuk mengganti bajunya yang kotor karena tumpahan makanan. “Yuna, sudah yuk. Kamu sudah kedinginan, lain kali main lagi,” ajak Sussana. Yuna menggelengkan kepala, dia masih asyik dengan aktivitasnya. “Masuklah, biar Yuna Bunda yang jaga,” ujar Ha
“Ada apa ini?” tanya Gerry yang baru saja tiba. Melihat kehadiran keluarga besannya, dia pun ikut bergabung. Yudha kembali menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Sussana. Jika menuruti emosi, rasanya Gerry ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi melihat Akbar yang sudah sembuh dan Sussana yang membutuhkan Akbar di sisinya, Gerry pun mengalah demi kebaikan sang putri. Setelah Yudha, Zudith dan Bira undur diri, Akbar menyempatkan bermain bersama Yuna sambil menggendong Arka. “Loh, Sussananya mana?” tanya Gerry baru menyadari sejak tadi tidak melihat Sussana. “Sedang istirahat, sudah biarkan saja. Biar Akbar yang menemani,” ujar Halimah. Halimah pun kembali menemani cucunya bersama baby sitter, Akbar diminta mengecek kondisi Sussana dan menemani di kamar. Khawatir jika Sussana membutuhkan sesuatu, sedangkan dia masih harus bedrest. Melihat Sussana yang masih terlelap, Akbar pun memilih membersihkan diri. Sussana mengerjapkan kedua matanya, perlahan beranjak duduk. Menatap sekeli
“Sussana,” panggil Akbar. Sussana yang berdiri di balkon tidak menyahut atau menoleh. Menganggap suara yang baru saja dia dengar hanya halusinasi karena rasa rindu pada Akbar. Akbar tetap berdiri di tempatnya memandang punggung Sussana, wanita yang sudah setia dan sabar menghadapi Akbar.“Sayang,” panggil Akbar lagi. Sussana menghela nafas, “Mas Akbar, rinduku sudah tidak terbendung. Sampai suaramu terdengar begitu jelas,” lirih Sussana.“Sussana, aku di sini sayang.”Sussana perlahan menoleh, tangannya masih mencengkram pinggiran balkon. Sussana tertawa, “Bahkan sekarang aku bisa melihat Mas Akbar,” ucapnya.“Aku bukan halusinasimu, sayang.” Akbar merentangkan kedua tangannya, siap menerima Sussana dalam pelukannya. “Mas Akbar,” ucap Sussana. “I-ini bukan halusinasi aku,” ucapnya.Akbar menggelengkan kepalanya. “Kemarilah, sayang.”Sussana melangkah perlahan, raut wajahnya sudah terlihat seperti akan menangis. Kini keduanya berhadapan, “Mas Akbar,” ucap Sussana sambil terisak lalu me
Zudith, Yudha dan Akbar berada di meja makan. Menikmati makan malam mereka dalam diam. Dalam benak Akbar, dia hanya memikirkan rencana untuk menemui Sussana esok hari. Zudith dan Yudha saling pandang sebelum memandang putra sulungnya. “Akbar,” panggil Yudha. Akbar menghela nafasnya sebelum menoleh. “Tidak usaha dibahas, aku yang akan selesaikan sendiri masalahku dengan Sussana,” tutur Akbar seakan tahu apa yang akan disampaikan oleh Yudha. “Maksud kamu menyelesaikan bagaimana?” tanya Zudith. Merasa bersalah pada Sussana dan khawatir jika Akbar akan memutuskan hal yang nanti akan disesali olehnya. “Mamih tenang saja, Sussana dan anak-anak adalah tanggung jawabku. Aku sudah selesai, permisi,” ujar Akbar lalu meninggalkan meja makan. “Pih, Mamih khawatir kalau ....” “Sudahlah Mih, Akbar sudah dewasa. Ingat umur Akbar sekarang berapa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mendukung segala keputusannya.” Pagi itu, Akbar sudah tiba di kantor. Pagi ini dia harus memimpin rapat
Seorang wanita berdiri tidak jauh dari tempat Sussana berada. “Mirip Sussana, tapi lebih kurus.” Wanita itu masih menatap ke arah Sussana berada. Terlihat Sussana yang beranjak bangun. “Benar itu Sussana. Tunggu, perutnya seperti ... Sussana sedang hamil,” ucapnya. Laras, istri dari Bira yang sedang berada di Rumah sakit melihat Sussana. Tanpa menyapa, wanita itu mengikuti Sussana dan yakin saat ini Sussana sedang hamil karena perutnya sudah terlihat buncit. Melihat Sussana menaiki taksi dan meninggalkan rumah sakit, Laras mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bira. Panggilannya tidak dijawab, akhirnya Laras menyusul Bira ke kantor. "Loh, bukannya kamu ke Rumah sakit?" tanya Bira melihat Laras ada di ruang kerjanya setelah Bira menghadiri rapat. "Mas, sini dulu," pinta Laras pada Bira dengan menepuk sofa di sebelahnya.” Bira pun patuh dengan menghampiri dan duduk di samping Laras. “Bagaimana hubungan Mas Akbar dan Sussana?” tanya Laras. Bira menghela nafas mendengar pertany
“Sussana, apa kamu sakit?” tanya Bira sejak tadi penasaran.Sussana hanya menggelengkan kepalanya. Bira menghela nafasnya, “Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ponsel Mamih hilang jadi dia tidak bisa mengabari kamu dan ternyata aku juga tidak punya kontak kamu.”Sussana menyebutkan nomor ponselnya. Setelah cukup berbincang masalah kondisi Akbar, Sussana hanya bisa mendukung semua keputusan keluarga Akbar. Bira pamit undur diri, tapi sebelum pergi dia kembali menanyakan kondisi Sussana.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Sussana.“Baiklah, jaga kesehatan kamu. Pasti berat harus berjuang untuk anak-anak kalian,” ujar Bira. Sussana hanya menyunggingkan senyumnya. Setelah kepergian Bira, Sussana tak sadarkan diri. Halimah memanggil dokter karena khawatir dengan kondisi Sussana. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry yang baru saja datang.“Sedang diperiksa Dokter,” jawab Halimah. Kedua orang tua Sussana menanti penjelasan dokter dengan cemas. Terdengar suara tangisan Yuna, “Biar
Sussana sudah berada di kursi tunggu UGD rumah sakit bersama kedua orangtua Akbar. Menunggu Akbar di periksa dan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi dengan Akbar. Cukup lama, tapi belum ada dokter atau perawat yang datang untuk menyampaikan kondisi Akbar. Meskipun Sussana tau jika Akbar hanya pingsan tapi penyebab pingsannya yang membuat khawatir karena saat ini Akbar masih dinyatakan amnesia. Hari sudah semakin siang, karena sinar matahari sudah tinggi. Zudith menawarkan Sussana untuk bergantian sarapan di kantin. Sussana hanya menggelengkan kepalanya. “Keluarga pasien atas nama Akbar,” ucap seorang perawat. “Saya, Dok,” jawab Yudha. Zudith dan Sussana pun ikut menghampiri. “Ini silahkan diurus dulu untuk kamar rawat inapnya.” “Bagaimana kondisi Akbar? Kami boleh bertemu?” Zudith lebih dulu bertanya, walaupun isi pertanyaannya akan sama dengan Sussana. “Dokter yang akan menjelaskan di ruang rawat ya, silahkan diurus dulu.” Yudha yang tadi menerima dokumen untuk pemindahan A