"Maaf, hari ini saya tidak bisa ke rumah Nona Hanna. Besok pun saya tidak bisa memenuhi janji saya. Bagaimana kalau minggu depan, selama satu minggu saya akan datang pagi-pagi sekali?"
Haris mengajukan sebuah penawaran kepada Hanna. Ia berharap wanita itu mau memberikannya waktu.
"Kamu mau lari dari tanggung jawab?" bentak Hanna.
"Tidak, Nona. Saya pasti akan bertanggung jawab, tapi kali ini saya benar-benar ada urusan keluarga."
"Laki-laki tidak bertanggung jawab, asal mengucap janji, tapi tidak menepati. Kamu akan tahu akibatnya telah berurusan denganku!"
Hanna menutup teleponnya tanpa menunggu penjelasan dari Haris.
"Tunggu, Nona ...."
Haris merasa bimbang, di satu sisi ia ingin menemani Lura di saat sulitnya. Di lain sisi ia sudah terlanjur mengucap janji dengan Hanna.
Melihat kakaknya sedang tidak baik-baik saja, Lura menggerakkan kursi roda untuk mendekati Haris sembari tersenyum, mencoba untuk terlihat tegar di depan san
“Maksudnya apa?” tanya Hanna dengan nada yang tidak bersahabat.“Maaf, Nona Hanna, dia salah paham,” kata Haris. “Ini kucing untuk menggantikan kucing Nona Hanna yang saya tabrak itu.”Haris mengalihkan pembicaraan supaya gadis itu melupakan ucapan sopirnya.“Bayu, kamu berikan kucing itu kepada Nona Hanna!”“Baik, Bos!” Bayu menaruh kandang kucing itu di depan Hanna, lalu mundur beberapa langkah. Ia tidak mau salah bicara lagi yang akan membuat bosnya marah.“Ambilkan kucingnya!” titah Hanna kepada Haris.Laki-laki tampan itu menoleh pada Bayu yang berdiri di belakangnya. “Keluarkan kucingnya, berikan kepada Nona Hanna!”“Siap, Bos!”Sopir pribadi itu melangkah dengan cepat. Namun, seruan Hanna menghentikan langkah Bayu."Tunggu! Berhenti di situ!" bentak Hanna pada Bayu.Bayu diam mematung sembari menunduk
Haris mengedarkan pandangannya, mencari seseorang untuk menemaninya masuk ke dalam kamar Hanna. Ia pun melihat pelayan wanita yang berdiri tidak jauh dari darinya.Ia mendekati wanita itu. “Permisi, Bi. Bisa tolong temani saya untuk masuk ke dalam kamar Nona Hanna?”“Bisa, Tuan,” jawab pelayan itu dengan sopan.“Tolong temani saya di dalam kamar itu sampai kucing ini tertidur. Apa Bibi tidak keberatan?”“Tidak, Tuan. Mari kita masuk!”Pelayan wanita itu berjalan cepat supaya sang nona tidak marah lagi kepada pemuda itu.“Maaf, Nona, izinkan saya untuk menemani Nona di sini! Saya tidak bisa membiarkan orang asing berada di dalam kamar Nona. Saya khawatir dia akan berbuat jahat kepada Nona,” kata pelayan itu sembari membungkuk dengan hormat.Haris terkejut mendengar ucapan pelayan itu, tapi ia tidak memedulikannya, yang terpenting baginya ia tidak berdua saja dengan Hanna
“Kalau dia jatuh cinta sama Bos Haris, dia nggak akan berkata kasar kayak gitu, dia pasti nurut sama suaminya. Andai kan Bos Haris dan Nona Hanna menikah," ucap Bayu sembari terkekeh.“Kamu aja yang jadi suaminya, mau nggak?” Haris balik bertanya kepada sang sopir.“Nggak lah! Istri idaman saya itu wanita yang sederhana, tidak perlu cantik yang penting mau menerima kekurangan dan kelebihan saya,” jawab Bayu dengan yakin.“Perbaiki diri dulu jika ingin mendapat jodoh yang baik!” Haris memejamkan matanya sambil memijat kening di antara alisnya. "Saya juga harus memperbaiki diri."Laki-laki tampan itu selalu kepikiran dengan kesalahan apa yang dia perbuat kepada orang lain, hingga ia bermasalah dengan wanita seperti Hanna.“Siap, Bos!” jawab Bayu sembari melirik Haris dari kaca spion dalam. “Bos sakit?”"Saya pusing,” jawabnya. “Kesalahan apa yang saya perbuat, hingga
Evans membuka topinya. “Ma-maaf, Pak, saya sudah mengganggu perjalanan keluarga Pak Hartono.”Mantan playboy itu merasa gugup berhadapan dengan orang tua angkat Lura.“Tidak, Tuan Evans, sama sekali tidak mengganggu,” balas Pak Hartono. “Tuan muda mau ke mana?”Evans menggaruk belakang kepalanya. ‘Kenapa gue segugup ini? Kayak ketahuan nyolong keperawanan anak gadis orang,’ ucap Evans dalam hatinya. ‘Kalau gue menikah dengan Lura, itu artinya gue nggak bakal merasakan nikmatnya bercinta dengan gadis yang masih perawan dong, tapi nggak apa-apa yang penting gue mempunyai istri yang menyayangi keluarga. Mudah-mudahan gue sama Lura bahagia selamanya,’ batin Evans.Lamaran saja belum diterima dan masih dianggap main-main oleh Lura, tapi laki-laki itu sudah membayangkan membina keluarga dengan gadis impiannya.“Tuan Evans!” Seruan Pak Hartono membuyarkan lamunan Evans.B
Lura terdiam beberapa saat, ia tidak tahu harus menjawab apa. “Nggak tahu, Pa. Aku ingin dijodohkan aja. Aku takut salah memilih.”Mama Riska memeluk Lura sambil mengusap-usap punggungnya. “Kamu pasti akan mendapatkan jodoh yang tepat.”"Aku serahkan semuanya kepada Mama dan Papa. Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi selain kalian." Lura mengeratkan pelukannya pada sang mama."Sayang, jangan bilang seperti itu. Keluargamu pasti selamat, Mama yakin itu."Mama Riska pun tak kuasa menahan air matanya. Berkali-kali ia mendaratkan kecupan di kening anak angkatnya itu."Kita harus tetap optimis, Papa yakin semua akan baik-baik saja."Mobil mewah itu berhenti di persimpangan jalan. Semua akses masuk ke kampung orang tua Lura di tutup.“Tuan, kita tidak boleh masuk daerah itu, bagaimana ini?”“Kita putar arah, Pak! Nggak jauh dari sini ada penginapan,” kata Lura sembari
Evans membalikkan tubuhnya sembari tersenyum bahagia. “Apa Lura sudah bilang, Pak? Bapak setuju saya meminang Lura?”“Saya cuma salah bicara saja,” balas Pak Hartono dingin tanpa ekspresi.Laki-laki tua itu sengaja berbicara seperti itu untuk mengetes keseriusan Evans pada anaknya.Ucapan Pak Hartono membuat senyum mantan playboy itu memudar. Kebahagiaannnya hilang dalam waktu sekejap. “Maaf, Pak, saya pikir, Bapak sudah setuju.”Evans tertunduk malu, ia sudah sangat bersemangat ketika mendengar ucapan Pak Hartono tadi.“Hahaha … apa kamu serius dengan Lura?” tanya Paka Hartono sembari tertawa melihat perubahan sikap Evans.Laki-laki yang memakai sweater hitam itu mengangkat wajahnya. “Saya serius, Pak.”“Tapi, Lura menganggap ucapanmu hanya sebagai candaan saja,” sahut laki-laki tua itu. "Kamu saja belum bisa meyakinkan Lura, bagaimana caranya
"Bukan Lura yang berat, tapi Evans," sahut sang mama."Kenapa Evans? Yang digendong 'kan Lura?" tanya Pak Hartono dengan alis yang tertaut."Berat untuk melepaskan Lura." Mama Riska tertawa sambil berjalan lebih dulu menuju kamarnya."Mama bisa saja," balas suaminya sambil tertawa.Laki-laki tua itu pun segera menyusul sang istri meninggalkan Evans yang berjalan sepeti siput saat menggendong Lura.Ia ingin memberikan kesempatan kepada anaknya untuk lebih dekat lagi dengan laki-laki yang berniat meminangnya."Jadi, Mas Evans bohongin aku?" tanya Lura setelah orang tuanya berada sedikit jauh darinya.“Bohong apa? Aku nggak bohong. Kamu memang berat … berat untuk dilepaskan," ucapnya yang membuat Lura cemberut.Evans tertawa melihat bibir Lura yang mengerucut. Ingin sekali ia mencium bibir mungil itu, tapi Evans mencoba untuk menahannya.Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih meng
Mama Riska terlambat memberitahukan pemuda itu untuk berhati-hati karena Evans sudah terlanjur menabrak tiang pintu.Wanita yang sudah tidak muda lagi itu meringis saat benturan kepala Evans dan tiang pintu terdengar olehnya. "Pasti sakit," gumamnya.Evans mengusap kepala bagian belakangnya sambil tersenyum canggung.Ia merasa malu dengan Lura yang sedang menatapnya. Gadis itu terlihat seperti sedang menahan tawa."Hati-hati, Nak!" kata Mama Riska."Iya, Bu," balasnya sembari tersenyum. 'Telat, Bu. Udah nabrak baru bilang hati-hati,' ucapnya dalam hati.Walau terasa sangat pusing, tapi Evans menahannya. Tidak mungkin ia mengeluh sakit di depan Lura, hanya karena terbentur tiang pintu."Memangnya Mas Evans punya mata di belakang kepala?" tanya Lura sembari tertawa. "Aku baru tahu Mas Evans bisa jalan mundur, walau akhirnya nabrak."Lura mengacungkan jempolnya pada laki-laki itu. "Kamu hebat, Mas."Ia tidak bis
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te