Mama Riska yang merupakan ibu kandung Haris, datang mendekati Lura dan anaknya.
"Siapa yang menjual harga diri?" Wanita yang memakai blouse berwarna abu itu kembali bertanya.
"Aku," jawab Mia Allura pelan sambil menundukkan wajahnya.
Sang mama berdiri di hadapan gadis itu. Wanita yang usianya hampir setengah abad itu mendorong kursi roda ke taman bunga.
Mama Riska duduk di kursi taman sambil berhadapan dengan Lura alias Mia. Sedangkan Haris duduk di samping sang mama.
"Lura, kalau tidak keberatan coba jelaskan sama Tante maksud ucapanmu tadi!" titah Mama Riska dengan sangat lembut.
"Begini, Tante ... saya sempat menjual diri untuk mendapatkan uang," jelas gadis yang duduk di kursi roda itu.
Mia atau yang biasa dipanggil Lura oleh Haris, menceritakan dari awal ia memulai menjual diri hingga alasan di balik semua itu. Aksinya menjebak Gilang pun ia ungkap tanpa ada yang dikurangi atau ditambahkan.
Ia Tidak mau menutupi keburukann
"Tante, terima kasih banyak," ucap Lura dengan tulus setelah Haris melepas pelukannya."Jangan panggil Tante lagi, panggil Mama!" titah sang mama sembari merentangkan tangannya, lalu memeluk gadis itu. "Akhirnya Mama punya anak perempuan."Mama Riska melepas pelukannya. "Kamu semangat ya terapinya. Mama yakin kamu bakal bisa jalan lagi. Setelah sembuh, kita akan pulang ke kampung halamanmu," ucapnya sembari membelai lembut pipi gadis itu."Ada apa? Kenapa kalian semua tersenyum sambil menangis?" tanya Pak Hartono kepada anak, dan istrinya."Mama habis melamar Lura menjadi anak kita," jawab Mama Riska sembari tersenyum."Apa Lura mau menjadi istri Haris?" Sang papa kembali bertanya."Tidak," jawab Haris, "Tapi, Lura menerima saya menjadi kakaknya."Sang papa menoleh pada Lura. "Apa itu benar?"Lura menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. "Apa Papa mau menerimaku sebagai putrimu?""Selamat datang putriku." P
Pak Hartono meninggalkan anak, dan bos-nya sambil terkekeh.'Apa Papa beneran tahu siapa gadis yang saya cinta? Dari mana dia tahu semuanya?' batin Haris sembari menatap punggung papanya yang semakin menjauh.Gilang menepuk bahu asistennya yang membuat laki-laki tampan itu terperanjat."Iya, Bos." Haris langsung menoleh pada Gilang."Kenapa kamu melamun?" tanya Gilang sembari tersenyum, "Apa gadis itu alasan kamu melamar Mia hanya sebagai adik?""Bukan, Bos," sahut Haris cepat. "Lura menolak saya, dia hanya ingin menjadi saudara, bukan seorang istri.""Kejar cintamu saja! Aku akan mendukungmu," titah Gilang sembari menepuk bahu asistennya berkali-kali. "Jangan menikahi wanita yang tidak kamu cintai karena secara tidak sengaja kamu pasti akan menyakitinya."'Andai saja Bos tahu siapa yang saya cintai, mungkin bukan mendukung lagi, tapi membunuh,' ucap Haris dalam hatinya sembari tertawa."Kenapa kamu masih bisa tertawa set
Dua orang wanita seksi langsung menerobos masuk ke dalam apartemen. Mereka terlihat sangat cantik dan menggoda dengan pakaian kurang bahan yang membungkus tubuh sintalnya."Keluarlah!" Gilang mendorong wanita yang menggunakan gaun tanpa lengan berwarna hitam. Namun, wanita yang satunya lagi segera menutup pintu apartemen."Sayang, ayolah kita bersenang-senang!" ucap wanita berbaju merah dengan rambut hitam sebahu.Buah kenyalnya yang bulat langsung menggantung indah di depan mata sang pejantan tangguh saat ia menarik tali gaun di lehernya hingga baju merah berbahan sifon itu luruh ke lantai.Hanya kain segitiga yang menutupi lahan gundulnya. Itu pun tidak tertutup semua, hanya belahannya saja yang tertutup.Gilang menahan air liurnya saat melihat ciptaan Tuhan yang paling indah itu. Walau bagaimanapun ia laki-laki normal yang tidak mungkin tak bereaksi setelah melihat sebuah ladang kenikmatan."Wanita jalang! Keluarlah!" Walau ia
"Nay!" Gilang berteriak di bawah derasnya hujan. Laki-laki itu berdiri di depan rumah Naya, tepatnya di depan kamar calon istrinya.Gilang masih saja berteriak meminta waktu untuk menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Tapi, Naya tidak kunjung keluar, padahal ia yakin gadis itu tahu kedatangannya."Nay!" Bunda Maya mengetuk pintu kamar anaknya. "Kamu temui dulu Gilang! Kasihan dia kehujanan."Sang bunda terus mengetuk pintu kamar anaknya sembari merayu anak gadisnya itu."Biarkan aja, Bun. Dia juga nggak kasihan sama aku, masih aja nyakitin hati, padahal aku sudah memercayainya, tapi lagi, dan lagi dia menyia-nyiakan kepercayaanku," sahut Naya dari dalam kamar."Bunda akan selalu mendukung keputusanmu. Ayah, dan Bunda menyerahkan keputusan padamu, tapi tolong temui Gilang dulu, bicarakan baik-baik kalau kamu ingin membatalkan pertunangan kalian."Tidak ada sahutan dari dalam. Gadis tomboy itu mengintip laki-laki yang berdiri dibawa
"Ar, anterin gue ke rumah sakit sekarang!" Naya menarik tangan sepupunya yang sedang duduk di ruang tamu bersama dengan kedua orang tuanya."Masih hujan, Nay." Arya tidak mau mengantarnya karena di luar hujan deras. Di rumah Naya hanya ada sepeda motor miliknya.Akhirnya Naya memesan taksi online, tapi sudah lama menunggu belum mendapatkan juga."Kenapa nggak ada yang mau sih?" gumam Naya sambil terus menggulir layar ponselnya dengan kesal."Mungkin karena hujan, jadi lagi nggak pada online," sahut sang bunda."Makanya Nay, kalau mau ngapa-ngapain tuh dipikir dulu akibatnya nanti bakal gimana. Orang sehat aja berdiri satu jam di bawah guyuran hujan pasti keok. Apalagi dia yang lagi sakit," kata Arya sembari bangun dari duduknya. "Sekarang nyesel 'kan lo!" ejek Arya sambil menekan hidung Naya dengan jari telunjuknya."Emang selalu begitu, Ar." Sang bunda ikut berkomentar."Memangnya Mas Gilang benar-benar sakit?" tanya Naya setelah men
"Ar, gue pinjem hape lo dong! Gue mau nelepon Mas Haris." Naya menadahkan tangannya di depan Arya."Gue lupa, nggak bawa hape," jawab Arya sembari terus meraba saku celananya, barangkali tiba-tiba, ponselnya ada di saku celana. "Iya, emang gue nggak bawa, Nay." Arya menyeringai sembari mengusap tengkuknya. Dengan terpaksa mereka hanya bisa menunggu di luar ruangan itu. Dua jam sudah Naya, dan Arya menunggu di depan ruang perawatan Gilang. Belum juga ada yang datang menjenguknya.Kemudian Arya bangun, dan berdiri. Melangkah meninggalkan Naya tanpa pamit terlebih dulu."Mau ke mana lo?" tanya gadis tomboy itu. Ia tidak mau ditinggal sendiri karena ia tidak tahu sampai kapan harus menunggu di luar."Gue mau buang air kecil, lo mau ikut?" Arya terkekeh melihat wajah Naya ketakutan ditinggal sendiri."Ogah!" serunya.Berada di rumah sakit saat malam hari membuatnya merinding. Terlebih lagi ia menunggu di luar. Hujan masih sangat der
Naya segera menutup mata Arya dengan telapak tangannya. "Jangan lihat!""Nggak apa-apa kali, Nay, gue 'kan udah punya KTP," jawab Arya sambil berusaha menyingkirkan tangan Naya yang menutupi matanya.Namun, Naya tidak melepaskan tangannya. Ia tidak mau sepupunya melihat tubuh seksi wanita itu."Jangan lihat!" tegas Naya."Lo yang usianya di bawah gue boleh lihat, masa gue nggak," balasnya sembari berusaha menyingkirkan tangan Naya.Terpaksa Naya membiarkan Arya melihat rekaman cctv supaya laki-laki itu diam.Benar yang dikatakan laki-laki itu, usianya lebih tua satu tahun darinya, harusnya dia yang melarang Naya."Makhluk apa itu? Seksi amat." Arya membulatkan matanya saat wanita yang memakai gaun berwarna hitam membuka bajunya."Berisik banget ih!" Naya memukul lengan sepupunya."Ya ampun, bidadari seksi begitu malah didorong sampai terjungkal, kasihan amat. Kalau gue jadi Mas Gilang, pasrah aja deh gue mah.
Gilang kembali membuka matanya. "Hunny, aku sangat ngantuk. Izinkan aku tidur sebentar aja. Mataku udah perih," kata Gilang sembari menutup mulutnya dengan telapak tangan karena menguap.Naya mengembuskan napasnya dengan pelan. "Syukurlah." Ia mengusap air matanya sembari tersenyum.Gadis tomboy itu berpikir kalau calon suaminya terpejam untuk selamanya."Lebay banget lo ah, orang mau tidur juga!" sergah Arya yang panik saat mendengar Naya menangis sembari membangunkan calon suaminya. "Gue 'kan jadi lemes denger lo panik begitu."Arya kembali menghampiri Haris setelah tahu kalau Gilang baik-baik saja. Ia duduk di tempatnya semula sembari menutupi kakinya dengan selimut."Kamu tinggal di mana sebelumnya?" tiba-tiba Haris bertanya kepada pemuda yang terlihat dekat dengan Naya."Tadinya ngekost, Mas," jawab Arya, "Tapi, sekarang tinggal di rumah Naya, disuruh Paman. Lumayan, ngirit," ucapnya sembari tersenyum."Kelihatannya k
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te