Haiii... Jangan lupa tinggalkan komentar kalian, salah satu cara kalian mendukung karya ini. Akan ada giveaway di akhir karya ini yaaaa. Ketentuan masih sama : 10 nama pemberi vote/game terbanyak dan, 3 nama terpilih sebagai pembaca yang rajin komentar Ikuti terus kisah Gendis dan Sakti Chida ❤️
Sudah 20 menit Sakti duduk di ruang tamu sekaligus ruang keluarga rumah Gendis. Sesekali dia melirik Gendis yang duduk di sampingnya sedang melipat baju-baju yang baru saja Gendis angkat dari tempat jemuran. Satu cangkir berisi teh manis hangat pun sudah di sediakan Gendis untuk Sakti. Terkadang tangan usil Sakti dengan sengaja menusuk pinggang gadis itu, hingga mata Gendis melotot alih-alih takut kelakuan kekasihnya itu ketahuan oleh orang di rumahnya. "Itu pakaian dalam kamu?" bisik Sakti saat tangan Gendis melipat pakaian dalam berwarna hitam dengan renda di tengahnya. "Sakti!" geram Gendis dengan mata membola. "Apa?!" Sakti menjawab seraya berbisik. "Usil," ujar Gendis dengan senyum terkulum. "Aku nanya, Gendis. Bener nggak?" Tangan Sakti lagi-lagi mencubit kecil pinggang Gendis "Apaan sih?" Cepat-cepat Gendis memindahkan pakaian dalam miliknya. "Lucu," kekeh Sakti. Suara Hendro yang baru saja datang membuat pasangan kekasih itu menoleh ke belakang. Hendro dengan handuk kec
"Aku sebentar lagi kesana, jangan gugup santai aja," ujar Sakti pada Gendis melalui sambungan telepon pagi itu. "Tunggu aja, ya." Sambil meyakinkan Gendis agar kekasihnya itu tetap percaya diri saat menghadapi sidang skripsi pagi ini. Baru saja Sakti menyudahi percakapannya dan bersiap untuk menemui kekasihnya, Satyo Anggara datang tiba-tiba dan duduk di sofa ruangan itu sambil menyilangkan satu kaki ke kaki yang lainnya tanpa melihat Sakti. "Malam nanti ikut Papa sama Mama makan malam di restoran tempat biasa, Sak ... teman Papa dari Jerman mengundang kita untuk bertemu dengan keluarganya," ujar Satyo. "Oh ... tapi, aku mungkin agak sedikit telat." Sakti menutup laptopnya lalu melangkah mendekati sofa dan duduk di sana. "Papa tunggu, karena ada pembicaraan yang harus di bahas juga nantinya, Papa buruh persetujuan kamu." Satyo memperhatikan gerak gerik Sakti. "Kamu mau kemana? meeting?" "Ada pertemuan di luar, mungkin sampai sore. Mungkin nanti aku agak telat sampai di restoran. M
Sakti mengusap bibir Gendis yang basah karena ulahnya. Berciuman dengan posisi berdiri seperti ini paling di sukai oleh Sakti, entah lah mungkin lebih terasa debarannya. Sakti menarik sudut bibirnya, gadis yang berdiri di depannya itu masih memejamkan matanya, ciuman Sakti wmmang memabukkan. "Setelah ini kita makan, lalu aku antar kamu pulang," ujar Sakti kembali mencium sekilas bibir basah itu. "Aku ada janji sama papa, dinner dengan klien." Gendis mengangguk, kalau masalah pekerjaan Sakti memang tidak dapat di ganggu gugat, apalagi kalau sudah membawa nama Satyo, ayahnya. Sudah pasti itu adalah klien besar, pikir Gendis. Setelah menikmati masakan Bik Sumi sore itu sebagai perayaan kelulusan Gendis, Sakti mengantarkan gadis itu pulang ke rumah susun. "Aku nggak nganter sampe rumah, ya ... enggak apa-apa, kan?" "Enggak apa-apa, kamu hati-hati di jalan, ya." Gendis melepaskan sabuk pengamannya. "Hei," cegah Sakti saat Gendis akan turun dari mobil. "Apa?" "Ini," ujar Sakti menu
Sakti meletakkan garpu dan sendok dari genggamannya, dia menunggu perihal apa yang akan di sampaikan oleh dua orang lelaki yang berada di depannya. "Maya itu bisnisnya sedang maju di Indonesia, sudah dua tahun dia menjalankan bisnisnya dari Jerman. Karena Papa sudah kenal bibit, bebet dan bobot keluarganya, jadi keinginan Papa saat ini adalah menikahkan kalian berdua selain mempererat hubungan silaturahmi kedua keluarga, juga bisa memperbesar perusahaan kita agar semakin kokoh, apalagi usaha Maya di bidang fashion ini sudah terlihat hasilnya." "Maaf, Pa—" "Tapi Sak, yang harus kamu tau ... sebenarnya dari dulu semasa kalian kecil niat perjodohan ini sudah ada. Saat istri Om masih ada, dia berpesan agar Maya mendapatkan lelaki yang sepadan dengan kami." Billy menoleh pada Maya. "Maaf, Om ... tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Om dan keluarga, saya tid—" "Pertunangan kalian akan dilaksanakan minggu depan," kata Satyo menatap tajam pada Sakti. "Ma?? Mama nggak bisa diem aja ka
"Maaf ya, aku nggak bisa," kata Gendis sambil mengancing kemejanya. "Karena aku ngerasa ini belum waktunya," ujarnya lagi lalu kembali berbaring di samping Sakti. "Aku yang minta maaf, aku yang terlalu terburu-buru," ujar Sakti menelusup masuk ke dalam pelukan Gendis, wajah lelaki itu tepat di depan dada Gendis. "Maaf ya," ucapnya lagi. "Hhmm." Gendis mengangguk pelan, debar jantungnya mulai teratur. Setengah jam lebih Sakti mencumbunya, membuatnya terbang ke langit dengan sentuhan-sentuhan yang Sakti berikan walau hanya di dada. Kegiatan itu berhenti saat tangan Sakti pelan-pelan masuk ke celah celana panjangnya. "Antar aku pulang, ya," bisik Gendis lembut. "Nanti, sebentar lagi ... di sini dulu," ujar Sakti mengeratkan kembali pelukannya. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam sudah, Sakti dan Gendis tertidur masih dengan posisi saling memeluk. Hujan di luar sana semakin membuat mereka nyaman satu sama lain, hingga dering ponsel Gendis mau tak mau membuatnya harus membuka mata. "
"Masuk, Sak." Maya meraih tangan Sakti, mengajaknya masuk ke apartemennya. "Duduk dulu, aku ambilin minum, ya." Maya berjalan ke arah bar kecil di ujung ruangan sambil membuka blazernya dan meletakkannya sembarang. "Kenapa nyari apartemen lagi kalo yang ini aja udah nyaman?" tanya Sakti mengedarkan pandangannya ke setiap ruangan lalu mendudukkan dirinya di sofa besar ruangan itu. "Aku itu orangnya bosenan, kalo udah bosen ya aku tinggal," ujar Maya. "Oh ... begitu juga dengan pasangan?" tanya Sakti menerima satu gelas berisi wine dari Maya. Maya duduk tepat di samping lelaki yang mengenakan kemeja slim fit berwarna hitam itu. "Sejauh ini ... iya. Aku termasuk orang yang mudah bosan, pada apapun. Selalu mencari suasana baru, termasuk pasangan, apalagi bercinta." Maya mengedipkan sebelah matanya. Sakti mendengus dingin, sudah dia duga wanita yang berada di hadapannya ini adalah wanita yang sangat-sangat berpengalaman, mungkin 11 12 dengan dirinya dulu. "Tapi, semakin kesini sepert
Udah lama nunggu?" tanya Sakti saat Gendis masuk ke dalam mobilnya sore itu. "15 menit," jawab Gendis tersenyum lalu Sakti memasangkan sabuk pengaman padanya. "Harum kamu beda ... kayak bukan parfum biasa yang di pake," ujar Gendis mengendusi lengan Sakti. "Enggak, perasaan kamu aja. Masih parfum yang kemarin," kata Sakti dengan debar jantung yang secara tiba-tiba berdetak kencang. "Mukanya biasa aja, aku bercanda kok." Gendis meraup wajah Sakti. "Usil," ucap Sakti dengan senyum kelegaan. "Kemana kita?" Sakti meletakkan kepalanya pada kemudi sambil mengamati wajah manis kekasihnya itu. "Terserah, pagi tadi aku udah ijin sama ibu pulang agak malam, mau pergi sama kamu." "Ibu kasih ijin?" "Iya dong, kan calon mantu," kekeh Gendis. "Pinter." Sakti menjawil ujung hidung Gendis. "Berarti kita makan malem aja, kita ke Ancol? gimana?" "Jauh amat makan di Ancol, gimana kalo kita makan pecel ayam di pinggir jalan sambil lesehan? mau?" "Yang makannya pake tangan?" Sakti mulai menyalaka
"Ibu, aku boleh bawa Gendis sebentar?" tanya Sakti saat mengantarkan kedua orang tua Gendis, serta Bayu pulang ke rumah mereka. "Boleh, tapi jangan terlalu malam pulangnya," ujar Wati memberikan isyarat pada Gendis. "Siap, Bu. Pak, aku bawa Gendis sebentar ya," ujar Sakti lagi. "Iya, hati-hati jangan terlalu malam." Hendro menjawab agak datar. Jujur saja hati lelaki paruh baya itu masih belum bisa menerima perlakuan Satyo kemarin. "Aku ikut masuk dulu ke rumah mau ganti baju," kata Gendis yang mau ikut turun dari mobil. "Eh, nggak usah. Gitu aja, cantik ... cantik dengan kebaya itu," ujar Sakti menahan tangan Gendis. "Kita pergi dulu, Pak, Bu," pamit Sakti lalu melajukan mobilnya menembus panasnya kota Jakarta siang itu. "Mau kemana?" "Mau buat kenang-kenangan," ujar Sakti berhenti di sebuah studio foto terkenal di kota itu. "Kan tadi kita udah poto-poto," sungut Gendis. "Sekalian buat poto engagement. Pertunangan kita," ujar Sakti lalu membuka bagasi belakang mobilnya memba
Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S
Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n
Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja
Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya
Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua
Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a
Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin
Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w
Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu