Satu ---> Pertama untuk hari ini. Seharusnya semalam, maaf agak terlalmbat!
Tidak hanya Elvan yang terkejut mendengar ucapan Prisya itu, tetapi juga Diva. Mereka saling lempar pandang dan heran. “Obat terlarang?” Elvan berkata heran. “Ya! Sebenarnya dia mau kabur ke luar negeri hari ini, mungkin ini saran dari Fredy juga, tapi waktu saya berusaha untuk mencari cara agar dia tidak bisa pergi, polisi malah mendatanginya dan membawanya ke kantor polisi karena ternyata katanya dia terlibat kasus peredaran obat terlarang dengan bandar besar yang saat ini sudah ada di luar negeri.” Prisya menjelaskan panjang lebar.Napas Elvan tertahan saat mendengar keterangan dari Prisya, ada rasa tidak percaya di sana. “Kamu yakin Anggala melakukan itu?” tanya Elvan datar. “Maaf, Pak, kalau ini saya tidak tahu fakta yang sebenarnya, tapi menurut saya ini hal yang menguntungkan untuk pihak kita, karena kita tidak perlu cari cara untuk menahannya agar tidak kabur. Dan juga, kita tinggal menambahkan kasus kita padanya juga. Kali ini bukannya dia benar-benar selesai?" Suara Pris
Alisha melihat Elvan yang sedang menghela napas dalam setelah menerima telepon itu. “Kak Fredy menghubungi kakak pasti akan bicara tentang Anggala, kan?” Elvan hanya mengangguk lemah.“Lalu kenapa kakak tidak mau menemuinya?” tanya Alisha lagi.Kembali Elvan menarik napas berat. “Perlu keadaan yang tenang untuk menemui Fredy, karena saat kita tergesa-gesa, semuanya bisa berantakan. Fredy ini bukan orang yang mudah dihadapi, kamu juga tahu dia termasuk salah satu pengacara muda yang mana kasus yang dipegangnya 90% selalu sukses. Sampai sini kamu mengerti kenapa kakak harus menundanya?” Pertanyaan Elvan membuat Alisha mengangguk mengerti, sedangkan Diva hanya diam. Sedari tadi wanita itu hanya memperhatikan saja.“Kak, mama mungkin nanti tidak ke sini, karena ada urusan dengan nenek terkait acara ulang tahun perusahaan kita.” Alisha mengalihkan pembicaraan mereka.“Tidak masalah, dokter sudah bilang kalau keadaannya cukup bagus kakak mungkin bisa pulang dengan cepat. Bisa besok atau ma
Keesokan harinya. Diva sudah ada di lobi kantor pagi sekali, sengaja dia datang cepat ke kantor, disamping dia pergi dari rumah sakit yang jaraknya cukup dekat dari gedung ini, dia hanya ingin tahu lebih tentang apa yang ingin dibicarakan oleh Reni kemarin. Benar saja, seperti dugaan Diva sebelumnya kalau ternyata Reni sudah duduk manis di meja kerjanya sambil berdandan. “Pagi Reni!” sapa Diva dengan ramah, bawaan Diva terlihat sangat santai agar tidak terlalu kelihatan kalau dia menantikan gosip darinya. “Hei! kamu sudah datang, Div?!” Reni merespon dengan sedikit berlebihan dan menghentikan ativitasnya. “Iya dong!” Diva menjawab. Dia sebenarnya ingin sekali langsung bertanya pada wanita itu, tapi ada sedikit rasa gengsi yang harus dia jaga. Reni dengan cepat menyambar semua alat make-upnya dan memindahkannya ke meja Diva, lalu menarik kursi kosong dan duduk di dekat Diva sekarang. Benar saja tebakan Diva, kalau Reni pasti akan mendatanginya dan memulai cerita! “Div, aku mau ta
Diva jelas terlihat sangat gugup saat ini, dia ingin mengatakan yang sesungguhnya, bukankah lebih baik orang lain tahu saja sekalian? Toh, sepertinya di kantor ini sudah banyak juga yang tahu tentang hubungannya, walaupun dia berusaha serapat mungkin menyembunyikannya. “Pagi semua!” Suara Farel terdengar nyaring, lalu pandangannya terhenti saat melihat Diva dan Reni yang sedang bersama di pojok ruangan, kebetulan memang meja Diva terletak di agak sudut tempat ini. “Diva! Kamu masuk hari ini?” Suara Farel terdengar cukup besar. Diva hanya tersenyum melihat ke arahnya lalu pandangannya kembali melihat ke arah Reni. Tatapan Reni masih penuh tanya. Tidak lama berselang, setelah meletakkan barang bawaannya di atas meja kerjanya, Farel dengan cepat mendatangi keduanya yang terlihat dengan wajah tegang. “Kalian berdua … sedang ngebahas hubungan Diva sama Pak Elvan?” Farel berkata dengan suara yang bisa didengar jelas oleh Diva. Untungnya di ruangan ini baru ada mereka bertiga saja.
Tidak mungkin Reni dan Farel tidak tahu dengan suara khas pemiliknya. Mereka hanya saling lempar pandang saat ini. “Udah sampe, sorry aku belum sempet hubungin kamu, soalnya ada hal yang mendesak di kantor pagi ini.” Diva menjawab santai sambil memperhatikan reaksi kedua rekannya yang sangat takjub. “Semendesak apa sampai bisa melupakanku, hehm?” Suara itu terdengar sangat lembut di telinga Diva membuat wanita melengkungkan senyumnya. Sedangkan kedua makhluk yang saat ini sedang memperhatikan tingkah Diva benar-benar terkejut! Handphone Diva tidak menggunakan mode handsfree tapi cukup terdengar besar karena volume panggilan itu sengaja dibuat Diva paling kencang dan mereka juga tidak menyangka kalau Diva sekarang malah memperlihatkan kemesraannya di depan mereka! “Itu … rahasia, sekarang mending kamu istirahat dulu, tadi mama ada hubungin aku, mungkin dia tiba di sana sebentar lagi.” Diva berkata dengan santai. “Baiklah. Harusnya mama tidak perlu datang. Aku bisa sendiri kok. Lagi
Melihat Diva yang terlihat serius, Reni dan Farel diam lalu detik berikutnya mengangguk mengerti. “Baik, kami gak bakalan bilang tentang Pak Elvan ke yang lain. Kalo untuk klarifikasi hubunganmu dengan Pak Elvan gimana?” tanya Reni pada Diva. “Itu … nanti saja, aku tidak berniat untuk terlalu menanggapinya, walau sebenarnya kesal karena dibilang selingkuhan.” Diva berkata dengan menghela napas berat. Tepat setelah mengatakan hal itu, salah satu OB mendatangi Diva dengan membawa kantong makanan. “Bu Diva, ini tadi ada titipan dari Bu Dania,” ucapnya pada Diva. Diva lalu tersenyum dan berterima kasih. Setelahnya Reni mencolek Diva. “Cieee … sarapan dari pak bos nih. Gak mungkin itu dari Bu Dania, kan? hehehe!” godanya sambil terkekeh. Wajah Diva memanas lalu tersenyum singkat. “Ssstt! Jangan berisik nanti didenger yang lain.” Farel menegur Reni, karena ruangan ini sudah cukup ramai. Diva lalu membuka bungkusan itu dan melihat isinya. Dari bungkus dan cara pengemasannya, Diva s
Diva menyipitkan sebelah matanya, dia berpikir sejenak, rasanya dia tidak ingin mempercayainya, tapi dia kembali ingat dengan pengalamannya sendiri, seseorang yang baik dengannya ternyata malah berkhianat.“Yakin aku harus berhati-hati dengannya?” tanya Diva lagi untuk memastikan.“Menurutmu siapa yang memberikan foto itu ke obrolan grup sampai heboh?” Reni berkata dengan santai. “Satu hal lagi yang harusnya kamu perlu tahu, dia bukan orang yang mau dikalahkan oleh sesama kita. Baik itu urusan pribadi, pekerjaan maupun percintaan!” Reni berkata dengan ucapan tajam.“Oh, aku baru tahu ….” Diva berkata dengan perlahan.“Ya, aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau saja ternyata tunanganmu itu adalah … bos besar kita! Itu pasti makin bikin dia kepanasan nanti.” Reni kembali menambahkan.Diva masih diam tidak terlalu cepat menanggapi hal ini.“Ingat 'kan kemarin waktu aku bilang dia punya pacar orang kaya wajahnya gimana?” tanya Reni lagi.Diva lalu kembali mengingat kejadian itu.“
Ya! Sejak pertama kali kalau diingat lagi, benar memang Winda terlihat ingin mencelakainya, sejak awal dia adalah orang yang membantu Diva, tapi … ada hal yang sangat jelas sekali. Ketika pekerjaannya sudah selesai dalam waktu cepat dan Diva sudah menyerahkan bagiannya pada wanita itu, tiba-tiba malah yang terjadi adalah hal diluar dugaannya! File itu berbeda, lalu Deska yang terlihat sejak awal tidak menyukainya dan ingin menjatuhkan malah mendapatkan hukuman dari Elvan.“Eh, Div, ngelamun aja! Ini tolong bantuin aku ngerjain yang ini dong, kemarin soalnya punya kamu udah dikerjain sama Pak Miko loh!” Suara Winda menarik kesadaran Diva yang memikirkan tentangnya.Diva diam sejenak dan melihat ke arah Winda. “Eh, Win, maaf aku tadi gak denger.”“Idih kamu lagi mikirin apa Div?” tanyanya ingin tahu. Setelah mendapatkan informasi dari Reni jelas saja pikiran Diva langsung berubah saat melihat Winda.“Gak ada yang penting banget kok. Eh, mau bantu bagian mana?” tanya Diva padanya.“Ini
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk