Penjelasan Diva membuat Elvan tetap mengerutkan keningnya, dia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh wanita ini kecuali bagian membandingkan dirinya dengan orang lain. “Ucapanmu ini apa sedang … memujiku?” Diva tertawa melihat kebingungan yang muncul di raut wajah kekasihnya itu. Dia lalu berdiri dari tempatnya dan mengajak Elvan bangkit dari posisinya. “Sudah selesai makannya, aku naik ke atas dulu.” Diva mengalihkan fokus pembicaraan mereka. “Tunggu dulu, kamu belum menjelaskannya, aku tidak mengerti–” “Intinya aku makin menyukaimu.” Diva menangkupkan tangannya ke kedua pipi Elvan. “Aku ke atas dulu. Jangan lupa pulang nanti tunggu aku di halte seberang setelah kerjaanku selesai.” Setelah mengatakan hal itu Diva membalikkan badannya dan ingin berjalan ke luar tetapi sayangnya Elvan tidak mungkin melepaskannya begitu saja. Pria itu menahan tangan Diva dan memaksa wanita itu menghentikan langkahnya. “Kenapa Van?” tanya Diva, dia khawatir kalau terlalu lama bersama dengan Elvan
Diva jalan ke ruangannya dengan perasaan yang sangat campur aduk, dia benar-benar sangat merasa hidupnya seperti mimpi saat bertemu dengan Elvan. Entah kenapa pria itu berhasil membuatnya selalu terbang tinggi. Semua perlakuannya sangat manis! Walaupun setelah itu, Diva selalu khawatir kalau-kalau semuanya ini hanya semu, layaknya membangun sebuah istana megah dari tumpukan pasir di pinggir pantai yang siap kapan saja akan hancur karena diterpa ombak besar. "Ya Tuhan ... semoga ini tidak terjadi," ucap Diva dengan sungguh-sungguh. Bukan tidak ada alasan dia berpikir tentang hal seperti ini, sudah banyak contohnya, beberapa hal baik selalu diberikan oleh pria saat di awal hubungan, selanjutnya bisa saja rasa itu akan menguap perlahan seiring dengan rasa penasaran yang kian memudar. Lalu, Diva mengangkat tangannya dan melihat gelang di pergelangan tangannya itu, detik berikutnya dia tersenyum dan bergumam, “Mudah-mudahan dia tidak sama dengan yang lain,” setelahnya dia menarik napas
"Diva kamu tidak perlu takut berlebihan. Pak Elvan memang mengawasi langsung, tapi tidak seperti kemarin, karena Pak Elvan juga banyak kerjaan lainnya. Paling kita hanya memberikan laporan saja.” Deska berkata dengan sedikit tenang. “Mbak Deska, sedang gak kasih angin seger sama saya, kan?” Diva bertanya dengan ragu. Deska hanya menggelengkan kepalanya mendengarkan ucapan Diva barusan. “Hal yang penting sudah didapatkan oleh Pak Elvan dan Pak Miko, jadi kita tinggal mengikuti alur kerja normal saja. Jadi, kalaupun kamu ada yang kurang mengerti atau tidak jelas, segera tanya.” “Baiklah.” Diva berkata dengan nada rendah. Mendengarkan hal itu, Diva langsung mengirim pesan pada Elvan. [Van, apa kamu nanti akan mengawasi langsung pekerjaan ini? Kudengar dari Mbak Deska, katanya pimpinan tim kami ambil cuti.] Diva menunggu jawaban dari Elvan setelah pria itu membacanya, tapi setelah dibaca pesan itu sepertinya tidak dijawab oleh Elvan. “Dasar cowok nyebelin, malah gak dijawab lagi,
Diva keluar dari lift dan berjalan di lobi dengan pikiran yang berkecamuk. Kata maaf ini sangat menakutkan untuk Diva. Memikirkan hal itu, membuat Diva sangat kesal. “Hei Div!” Seseorang menepuk pundaknya dan membuat Diva sangat terkejut nyaris berteriak karenanya “Maaf!” Reni muncul di hadapan Diva. “Ah, kamu ini hampir saja aku teriak.” Diva berkata dengan menghela napasnya. “Kamu jalan bengong gitu, kayak orang banyak pikiran aja!” Reni berkata santai padanya. “Belum pulang Ren?” tanya Diva heran, karena Reni adalah orang yang paling duluan keluar dari ruangan mereka saat itu. “Belum, Aku lagi nungguin adikku yang katanya mau jemput aku, tadi bilangnya dia sudah di bawah ternyata dia bohong!” Reni menggerutu. “Eh, tadi aku ketemu sama pacarnya Winda! Ganteng loh, sepertinya dia orang kaya.” Reni memulai gosip dengan Diva. “Iya, tadi dia bilang emang dijemput sama pacarnya, pacarnya itu sedang nungguin dia di lobby." Diva menanggapi ucapan Reni barusan. "Terus, kamu udah kenal
Reni dan Diva mengawasi dari tempat mereka untuk melihat interaksi antara Deska dan Elvan yang cukup serius, lalu tiba-tiba saja wajah Deska berubah menjadi cerah. “Terima kasih banyak Pak Elvan sudah mau membantu kami. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas budi ini.” Deska berkata pada Elvan. Gelombang Ssara Deska terdengar sampai ke telinga keduanya. Reni dan Diva saling lempar pandang. Setelah mengatakan hal itu, Deska berjalan dengan cepat keluar gedung ini. Sedangkan mereka berdua harus diam di tempat karena sesaat setelahnya Elvan melihat keduanya dengan tatapan yang cukup tajam. Pria itu berjalan mendekati Reni dan Diva. “Div, mati kita!” Reni berseru dengan suara berbisik dan pandangan yang menunduk sedangkan Diva, dia hanya diam dan malah membalas tatapan tajam Pria itu. “Kalian belum pulang?” Datar seperti biasa Elvan berbicara. “Be-belum, Pak, saya sedang menunggu jemputan.” Reni menjawab dengan nada takut-takut. “Kalau kamu?” tanya Elvan pada Diva. “Saya juga sam
Diva benar-benar terkejut dengan tindakan Elvan barusan. “Van, lepasin nanti diliatin orang, hei!” Diva berkata dengan nada panik. “Tidak ada orang lagi, aku sudah melihat sekitar.” Elvan berkata dengan tegas. “Kamu … lepasin dulu.” Diva masih berontak saat ada di dalam lift. “Tidak, kalau aku lepas nanti kamu kabur.” Elvan berkata datar. “Mana mungkin aku kabur dari tempat tertutup ini!” Diva berseru. Elvan menggelengkan kepalanya. Diva hanya bisa pasrah. Saat melewati koridor ke ruangan Elvan, semua sudah nampak sepi, tidak ada satupun orang yang tersisa termasuk Dania. “Sudah cepetan ambil apa yang kamu bilang penting tadi.” Diva berkata dengan suara panik. Bukan apa-apa dalam keadaan sepi seperti ini dan mereka hanya berdua saja, pikiran Diva sudah melayang kemana-mana. Elvan lalu membuka filling kabinet yang ada di belakang meja kerjanya, Dia melihat Diva yang cukup gelisah terlihat lucu. “Diva, kamu tenang saja, aku tidak akan berbuat hal yang tidak masuk akal di sini.”
Anggala mengendarai kendaraannya membelah jalanan dengan cukup kencang. Marissa, wanita itu mengajaknya untuk bertemu di sebuah komplek pergudangan di pinggiran kota, dia mengatakan bahwa tempat itu cukup jauh dari keramaian, hal itu juga untuk berjaga-jaga setelah mempertimbangkan kemungkinan untuk bertemu orang yang mengenali dirinya, Anggala berpikir ini pilihan yang tepat, daripada mereka harus bertemu di area publik yang terbuka. “Apa kamu sudah sampai?” tanya Anggala dalam panggilan teleponnya, dia melirik jam yang ada di dasboard, pria itu sadar saat ini sudah lebih dari sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. “Ya, tentu saja, aku orang yang tepat waktu. Kira-kira berapa lama lagi aku akan menunggumu? Kalau tidak, aku akan membatalkan tawaran menarikku ini.” Suara Marissa terdengar tenang. “Dalam 15 menit lagi.” Anggala menjawab seadanya. “Baiklah, lebih dari itu, tawaran menarikku ini tidak akan berlaku lagi.” Dia cukup yakin Anggala memang sangat perlu aliansi sekarang
Diva merasa bahwa Elvan benar-benar sudah melakukan banyak hal untuknya, mulai dari hal kecil sampai hal yang tidak terduga. Bahkan saat ini tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk keluarganya. Genggaman tangan Elvan juga membuat Diva merasa kalau saat ini dia sangat dilindungi. “Van, terima kasih.” Suara Diva terdengar rendah. “Tidak perlu sungkan, aku sangat bisa diandalkan, kamu tenang saja, Hehm?” “Aku … tidak tahu apa yang harus aku katakan lagi, aku tidak menyangka kalau Ratri setidaknya bisa mendapatkan keadilan.” Diva memandang lurus ke depan, menghela napas berat. “Ratri itu, anak yang baik, dia dulu pernah mengikuti ajang kecantikan setelah tamat sekolah menengah. Saat itu aku menganggapnya sangat beruntung, karena selain dia dianugerahi tubuh yang bagus, wajah yang cantik dan juga kecerdasan yang ada di atas rata-rata dia juga mewakili negara dalam ajang kecantikan tersebut. Walaupun dia tidak membawa predikat juara, setidaknya dia merupakan runner up ketiga di acara
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk