Feni mengeram, "Ah kau itu!" Ia lantas memijit pelipisnya perlahan-lahan. "Ayolah, Ma! Dua jam aja, Ma! Modal masa depan ini." Kembali suara itu memohon. Membuat Feni lantas menghela napas panjang. "Baiklah!" Ujar Feni kemudian. "Untung pesen jasnya di tempat temen Mama. Yasudah nanti kabari lagi!"Tut! Feni menutus sambungan telepon, ia benar-benar dengan anak sulungnya. Selalu begitu, sejak dulu dia selalu membuat Feni pusing sakit kepala. Tapi di balik sikap yang selalu membuat Feni sakit kepala, Morgan terbukti mampu membuat dia bangga dengan segala kemandirian dan kesuksesan yang dicapai oleh anak itu. Feni hendak bangkit, ketika salah satu asistennya datang menemuinya dengan sedikit tergesa. "Maaf, Bu. Ada tamu."Mata Feni membulat. Tamu? Siapa memangnya yang sore-sore begini datang ke rumah? Hendak menemui siapa? "Cari siapa?" Tanya Feni yang masih begitu penasaran. Pasalnya dia tidak membuat janji
"Callista?"Benar dugaan Feni! Gadis ini datang lagi menemuinya! Untuk apa sih? Bisa Feni lihat Callista langsung berdiri, menyodorkan paper bag dengan brand kesayangan Feni. Brand yang varian scanted candles-nya selalu mampu membuat Feni rileks dan begitu tenang. "Maaf ganggu Tante, ini buat Tante."Feni memaksakan diri tersenyum, menerima paper bag yang isinya cukup berat. Apa ini? Scanted candles kesukaan Feni? Atau apa? "Kenapa pakai repot-repot sih, Ta? Duduk dulu." Nampak Feni mempersilahkan tamunya duduk, meletakkan paper bag itu tanpa membukanya lebih dulu walaupun dia begitu penasaran dengan isi dari paper bag yang Callista bawakan. "Nggak repot kok, Tan. Sekalian saja beli buat Callista sendiri tadi." Kembali gadis itu tersenyum. Feni menghela napas panjang, kira-kira angin apa yang membuat gadis itu lantas kemari? Hendak menyogok Feni agar membatalkan rencana pernikahan Morgan dangan Clara? Tidak! Feni tidak b
"Ngantuk? Capek banget, ya?"Clara yang hampir terlelap sontak terbangun ketika belaian lembut itu ia rasakan menyapa pipinya. Wajah itu begitu dekat, tersenyum manis menatap matanya. Clara menggeliat, menguap sebentar lalu mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan yang tadi dilemparkan kepadanya."Ikut aku fitting jas masih kuat, kan, Sayang? Udah ditunggu sama mama." Mohon Morgan sambil menyingkirkan anak rambut yang mengotori wajah cantik Clara. "Boleh. Kalau mama udah nunggu, lebih baik kita berangkat sekarang, Sayang." Clara bergegas memberesi tasnya. Jangan lupa paperbag pemberian Morgan yang sudah berganti isi. Morgan tersenyum, membantu Clara bangkit dan merebut paperbag itu dari tangan Clara. Di genggamnya tangan itu dengan satu tangan miliknya, lalu dibawanya melangkah keluar. "Bagaimana tadi di rumah sakit? Semua baik-baik saja, bukan?" Tanya Morgan sambil menatap wajah lelah itu dari tempatnya.
“Tumben Mama beliin Clara hadiah?” bisik Morgan ketika Clara izin ke toilet. Mereka sudah berada di taylor kenamaan yang sudah sejak dulu menjadi langganan keluarga Morgan untuk urusan bikin jas dan tuxedo. Feni mendelik, menatap gemas ke arah Morgan yang nampak tengah menyindirnya itu. “Memang kenapa? Nggak boleh Mama kasih istri kamu hadiah?” tanya Feni setengah kesal. Tentu dia tidak perlu bertanya dari mana sikap Morgan ini diturunkan, tentu saja dari suaminya yang tidak lain dan tidak bukan adalah papa kandung dari Morgan ini. Mendapat serangan pertanyaan balik membuat Morgan lantas garuk-garuk kepala sambil nyengir lebar. Hal yang kembali membuat Feni menonyor gemas dahi anak lelakinya itu. “Ya nggak biasanya sih.” Morgan masih nyengir lebar. “Udah bisa terima Clara sepenuh hati dong, Ma?” kembali pertanyaan itu membuat Feni mendelik kesal karena seolah seperti ditampar. Feni menghela napas panjang, mengedarkan pandangan sekitar. Me
Rudi meletakkan ponsel di meja, ia lantas bersandar di sofa ruang tamu apartemen. Kenapa sih gadis itu selalu membuat kepalanya pusing? Sejak awal keluarga Wijoyo itu memang selalu merepotkan. Rudi memejamkan mata, berpikir keras strategi apa yang akan dia dan anak buahnya lakukan guna mengamankan dan mengawasi dua orang yang berkemungkinan menjadi biang kerok di acara besar bosnya nanti.Pasalnya pesta itu besok bukan hanya pesta pernikahan ala kadarnya yang sederhana. Hampir semua konglomerat akan dipastikan hadir dalam pesta Morgan. Beberapa menteri pun bahkan sudah memberi kabar bahwa mereka bisa hadir dalam pesta itu. Jadi keamanan dan kelancaran pesta harus diutamakan.“Dokter Arga ....” Rudi bergumam sendiri. “Kira-kira senekat apa kamu akan melakukan sesuatu? Terlebih sekarang kamu sudah jomblo, kan?”Rudi sendiri heran, kenapa ada orang yang begitu berambisi sampai kehilangan akal sehat macam itu? Sungguh kalau Rudi boleh beri tahu, ambisi mereka
"Dokter Indira?" Clara benar-benar gugup, entah mengapa kali ini pertemuan mereka terasa sedikit lain. Indira tersenyum, melangkah mendekati Clara yang sontak membeku di tempatnya berdiri. Apakah sekarang saatnya dokter senior sekaligus anak pemilik rumah sakit itu hendak melabraknya? Tapi bukankah dia yang sepakat hendak bercerai dari Arga sekarang? Clara merasakan jantungnya berdegub dua kali lebih cepat, apa yang hendak Indira lakukan, dia tidak tahu. Indira sudah berdiri tepat di depannya dengan jarak yang lumayan dekat. Tangan itu terulur ke depan, membuat Clara tertegun beberapa detik sebelum kemudian membalas jabat tangan pediatrik itu. "Izinkan saya mengucapkan selamat untuk pernikahan kalian lebih cepat, Ra. Maaf saya mungkin tidak bisa hadir karena ada beberapa urusan yang harus saya selesaikan."Hati Clara seperti disiram air es. Plong, lega dan sejuk sekali rasanya. Dia pikir Indira akan mengamuk, melabraknya dan mungkin j
Clara menatap bayangan dirinya di cermin. Gaun itu membungkusnya dengan begitu indah. Veil itu menjuntai panjang menutupi tiara cantik yang dia pilih untuk dia kenakan di hari spesialnya ini. Hari ini ... Akhirnya setelah sekian lama menanti, Clara akan menjalani prosesi sakral ini juga! Dia akan menikah, sebuah impian sederhana semua gadis di seluruh dunia. "Bapak, Ibu ... Kalian lihat Clara hari ini dari sana, bukan?" Mata Clara berkaca-kaca, seandainya mereka berdua masih ada bersama Clara, pasti hari ini mereka akan sangat bahagia sekali! Clara menahan air matanya agar tidak menitik, pintu ruangan itu diketuk. Sedetik kemudian pintu terbuka, nampak Om Jefri dan Tante Indah muncul. Mata mereka berkaca-kaca, membuat dada Clara sesak seketika. "Sudah siap, Ra?" Tanya tante Indah sambil mendekati dan mengelus lembut pipi Clara yang memerah efek blush-on. "Tentu siap, Tan." Clara tersenyum. "Seandainya ibu sama ba--.""Ssttt!
"Sudah? Sekarang tolong jelaskan pertolongan apa yang mau kau beri padaku!" Callista membiarkan ponselnya jatuh dari tangan. Tergeletak di jok mobil antara dia dan Rudi. Rudi menghela napas panjang. Bisa dia lihat Callista tidak berbohong. Dan percakapan tadi ... Sebuah bukti otentik bahwa Callista memang dijadikan alat kedua orang tuanya. Orang tua yang tidak punya otak dan hati menurut Rudi. "Kau berani kabur? Sembunyi dari kedua orang tua atau bahkan keluarga besarmu agar kau terbebas dari tuntutan menyelamatkan keuangan keluargamu yang defisit karena hobi Jodi papamu?"Callista nampak terkejut, ia menatap Rudi dengan wajah serius dan mata membulat. Rudi tersenyum simpatik, ia meraih ponsel Callista, memberi kode gadis itu agar membuka kunci layar. Callista melakukan apa yang Rudi minta, menyentuh layar ponselnya dan membuka akses benda itu. Rudi segera meraih kembali ponsel dari tangan Callista, entah apa yang dia lakukan, Callista tidak ta
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la