"Lega, kan?" Morgan melirik CLara yang bersandar di jok sebelah, wajah itu lebih santai dari ketika mereka berangkat tadi.
Ya ... makan malam bersama hari ini benar-benar sukses! Bahkan Feni, sang mama nampak tidak banyak bicara dan menyunggingkan senyuman manis untuk Clara. Sebuah senyuman yang Morgan yakin itu pasti hanya sebuah kamuflase belaka. Namun setidaknya itu cukup untuk membuat Clara tidak lagi overthingking mengenai masa lalunya bersama dokter bajingan itu."Lega banget! Papa orangnya lucu, ya?" senyum Clara mengembang, matanya berbinar. Membuat Morgan begitu bahagia luar biasa malam ini."Ya ... papa sih emang kayak gitu, Sayang. Nggak ada masalah, kan?" tanya Morgan dengan hati berbunga-bunga, agaknya setelah ini dia harus menelepon sang papa untuk mengucapkan beribu-ribu ucapan terima kasih."Nggak! Tentu nggak ada masalah, dong! Malah asyik di ajak ngobrol." gumam Clara dengan senyum manis."Well, asal besok jangan keasyikJimmy memekik tertahan ketika ia berhasil membenamkan miliknya ke dalam inti tubuh Indira. Cinta Jimmy untuk Kirana seketika menguap sudah karena Indira begitu sukses membuatnya tergila-gila. Indira begitu luar biasa! Indah tubuhnya dan jangan lupa betapa nikmat luar biasa inti tubuh Indira membuat Jimmy makin liar dan tidak terkendali. Dia sendiri heran, apa yang ada di dalam pikiran lelaki itu sampai istri macam Indira ini dia sia-siakan dan dia tinggal berselingkuh? Ah! Bukankah dia tidak mencintai Indira? Jadi tentu bukan salah Arga sepenuhnya juga, kan? Jimmy mengeram, dipandanginya wajah memerah yang pasrah di bawah kungkungan tubuh Jimmy ini. Wajah bersimbah peluh dengan sorot mata menggairahkan yang makin membuat Jimmy lupa diri. Jimmy terus mendorong miliknya lebih dalam, merengkuh Indira hingga habis dalam pelukannya. Malam ini Jimmy sudah bertekad bahwa dia akan menghisap habis madu wanita yang membuat segala macam rindu Jimmy yang tertahan selama bertahun
Indira mengendurkan pelukannya, melepaskan tubuh yang bahkan masih polos itu dari dekapan. Senyum Indira merekah melihat betapa damai lelaki itu tertidur. Beberapa keringat masih menempel di dahulu dan wajah membuat jemari Indira terulur menyeka bulir keringat itu dari sana. Ini hal paling gila yang pernah Indira lakukan seumur hidupnya! Tidur dengan lelaki yang bukan siapa-siapa dan bahkan baru saja dia kenal! Bagaimana tidak gila? Namun, Indira sudah pikirkan matang-matang akan semua akibat dari apa yang dia lakukan ini. Bahkan beberapa saat yang lalu, lelaki ini malah mengutarakan keinginan untuk menikahi Indira jika ia berhasil cerai dan melepaskan diri dari Arga? Indira bangkit, duduk di atas ranjang dengan sebagian tubuh bagian bawahnya tertutup selimut. Ia menatap jam dinding yang menempel di tembok. Pukul dua dini hari. Jimmy benar-benar tidak membiarkan dia pulang. Kira-kira apa yang akan Arga lakukan jika Indira pulang ke rumah nanti? "Ah! Sebodoh amat
“Kamu dari mana, In?”Indira yang baru saja masuk ke dalam kamar sontak mengangkat wajah, menatap wajah yang tengah berdiri di depan cermin sambil merapikan rambut. Nampak jelas Arga sudah mandi dan bersiap-siap, wangi parfum khas kesayangan Arga sudah menguar memenuhi kamar. Indira hanya tersenyum simpul, melepas sepatunya lalu meletakkan tas di atas meja.Arga yang merasa diabaikan lantas menoleh, menatap Indira yang tengah menyisir rambut. Nampak rambut itu berkilau, dari tempatnya berdiri, Arga bisa melihat kalau rambut itu masih dalam kondisi setengah basah. Hal yang lantas membuat Arga segera melangkah mendekati Indira dan meraup dagunya dengan satu tangan.“Tidur di mana semalam? Kenapa telepon dari ku sama sekali tidak kau gubris?”Indira menatap mata itu tanpa takut sedikitpun, dia malah membalas tatapan tajam itu dengan sama tajamnya. Menyungingkan senyum setengah mengejek lalu dengan kasar menepis tangan Arga yang tengah
Arga mengepalkan tangannya kuat-kuat begitu Indira pergi begitu saja meninggalkan dia di kamar. Langkah wanita itu begitu tegap dan Arga seperti sama sekali tidak mengenali Indira. Tapi sejak kapan Arga mengenali istrinya sendiri? Sejauh apa Arga kenal dengan Indira sampai-sampai dia bisa mengatakan bahwa dia sudah tidak lagi mengenali Indira karena perubahan wanita itu yang nampak sangat drastis.Ah ... agaknya Arga lupa! Hanya satu yang sejak dulu Arga kenali dari Indira, yaitu wanita bodoh yang diam saja ketika Arga perlakukan sesukanya. Wanita yang hanya bisa menangis dan menunduk ketika dia membentak Indira karena rentetan pertanyaan yang kurang lebih sama dengan pertanyaan yang dia ajukan untuk Indira tadi.Kenapa rasanya begitu sakit ketika tatapan tajamnya di balas oleh Indira seperti tadi? Ketika teriakan demi teriakan Arga dia balas dengan sama kerasnya, kenapa hati Arga terasa begitu sakit sekali? Apakah ini yang dulu juga Indira rasakan ketika bentakan demi
"Selamat pagi!"Jimmy yang tengah menulis ulang dan meneliti hasil follow up pasien sontak mengangkat wajah, hatinya lega luar biasa ketika mendapati Indira sudah berdiri di depan pintu ruang residen. "Sepi ternyata, yang lain kemana?"Dengan anggun Indira melangkah masuk, duduk di sisi Jimmy yang tampak tersenyum dengan kedatangan Indira kemari. "Dia tidak melakukan sesuatu terhadapmu, kan, Dok?" Bukan menjawab pertanyaan Indira, Jimmy malah balik bertanya. Tentu itu yang dia khawatirkan. Dia khawatir Arga akan sampai berbuat nekat karena kemarin dia membawa Indira menginap di hotel dan menghabiskan malam bersama. Indira tersenyum, menggeleng perlahan sambil menatap mata itu dalam-dalam. Sebuah tatapan penuh cinta yang dulu biasanya Indira berikan untuk Arga, kini tatapan itu beralih, berpindah pada lelaki yang ada di hadapan Indira ini. "Jangan khawatirkan apapun. Dia tidak sampai melukaiku." Jawab Indira yang kontan membua
"PULANG!"Arga mencekal tangan Indira, menarik tangan istrinya dan menyeret Indira mengikuti langkahnya ke parkiran. Indira tampak melotot kesal, berusaha melepaskan tangan Arga yang mencengkeram kuat pergelangan tangannya."Apaan sih? Ini juga aku mau pulang, Mas!" terlihat sangat bahwa Indira nampak sangat tidak nyama dengan perlakuan Arga, namun Arga nampak tidak memperdulikan protes yang Indira layangkan dari nada bicara dan sorot mata.Arga membisu, tetap membawa Indira dalam genggaman tangan. Begitu sampai di mobil, Arga segera membuka pintu dan mendorong Indira masuk ke dalam. Mengikatkan seat belt lalu menutup pintu itu dengan sedikit kasar. Dengan gusar Arga melangkah ke sisi lain mobil, membuka pintu lalu menjatuhkan diri di jok."Aku bawa mobil sendiri, bagaimana dengan mobilku!" protes Indira sambil melotot tajam."Akan kusuruh orang untuk ambil nanti, tidak perlu banyak protes!" Arga bergeming, segera menyalakan mobil dan mem
"Jangan harap kamu bisa kemana-mana malam ini, In!" Hardik Arga ketika ia berhasil menyeret Indira masuk ke dalam kamar. Indira melepaskan cengkeraman tangan Arga dengan kasar, matanya melotot menatap Arga dengan tatapan penuh benci. Ia mendekatkan wajahnya, menampakkan kemarahan dan kebencian itu secara langsung di hadapan Arga. "Punya hak apa kau mengaturku, Mas?" Tanya Indira tak gentar. Harga tergelak, ia tertawa kecil sambil membalas mendekatkan wajah. Kini wajah mereka begitu dekat dengan sorot yang sama tajamnya. "Kau tidak lupa bahwa aku ini masih suami kamu, bukan?" Tentu ini yang menjadi senjata bagi Arga. Baik secara agama maupun hukum, Arga masih sah suami dari Indira. Indira menarik wajahnya menjauh, tertawa terbahak seraya melangkah menuju meja riasnya. Meletakkan tasnya di sana dan membalikkan tubuh, menatap Arga dengan tangan yang dia lipat di dada. "Kenapa sekarang kau begitu bernafsu memproklamirkan diri s
"Itu Om ... Clara mau minta izin nikah."Clara mengigit bibirnya dengan cemas. Apa kira-kira tanggapan Om Jefri atas izin yang dia minta? Tapi dia tidak berhak menolak atau melarang Clara menikah! Semenjak kedua orang tuanya meninggal beberapa tahun yang lalu, Clara sama sekali tidak merepotkan mereka. Bahkan peninggalan tanah yang kedua orang tua Clara wariskan, Clara pasrahkan untuk dia kelola tanpa Clara minta sepeserpun hasilnya. Hidup Clara di sini ditopang penuh oleh Arga!Ahh ... Sebenarnya Clara tidak menampik bahwa Arga sudah berjasa banyak dalam hidupnya. Hanya saja cara Arga memenjarakan dirinya, dan memperlakukan Clara macam wanita pemuas nafsu, membuat Clara memutuskan berhenti mencintai lelaki itu. Berhenti berharap padanya. Bukankah Arga sendiri yang menyerah mempertahankan hubungan mereka dan setuju dengan segala macam perjodohan itu? Terdengar sosok itu terisak, membuat mata Clara ikut memanas. Hati Clara bergejolak, membayangkan bagaiman
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la