Festival bunga telah usai, namun kehangatannya masih terasa di hati Kaira dan Ezra. Hari itu, keduanya memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di taman kota yang mulai lengang setelah hiruk-pikuk festival. Mereka duduk di bangku kayu yang menghadap ke danau kecil, dikelilingi oleh bunga-bunga yang masih segar.“Lucu, ya. Kadang kita nggak sadar kalau hal-hal sederhana seperti ini bisa jadi momen yang paling berharga,” ujar Kaira sambil melemparkan senyuman kecil ke arah Ezra.Ezra mengangguk setuju. “Mungkin karena kita terlalu sibuk mengejar hal besar, sampai lupa kalau kebahagiaan ada di sekitar kita. Seperti sekarang.”Kaira menunduk, memainkan ujung jaketnya sambil tersenyum. Hatinya dipenuhi rasa nyaman yang tak bisa ia gambarkan. Ezra adalah sosok yang selalu membuatnya merasa tenang, tanpa tekanan.Namun, momen itu terganggu ketika ponsel Kaira berdering. Ia melihat layar dan menemukan nama yang tak asing. Adrian. Lagi.Ezra melihat perubahan ekspresi di wajah Kaira. “Kamu
Hari itu terasa berbeda bagi Kaira. Setelah pertemuannya dengan Adrian, ia merasa seolah-olah telah melepaskan beban besar yang selama ini menekan dadanya. Ia kini bisa benar-benar melangkah maju tanpa lagi dihantui bayang-bayang masa lalu.Ezra datang menjemput Kaira seperti biasa pagi itu, namun wajah Kaira tampak lebih cerah dari sebelumnya. Ia tersenyum lebar begitu melihat Ezra keluar dari mobil.“Pagi, Ez,” sapa Kaira ceria.Ezra memiringkan kepalanya sedikit, mencoba menebak perubahan mood Kaira. “Pagi juga, Kai. Kamu kelihatan... lebih segar hari ini. Ada kabar baik?”Kaira tertawa kecil. “Aku rasa, iya. Aku sudah menyelesaikan semuanya dengan Adrian. Dan aku merasa... bebas.”Ezra mengangguk pelan. Ia tidak ingin terlalu mengorek apa yang terjadi, tetapi ia lega melihat Kaira bahagia. “Itu kabar bagus. Jadi, apa rencana kita hari ini?”Kaira berpikir sejenak. “Aku ingin menghabiskan waktu yang menyenangkan, sesuatu yang ringan dan santai. Gimana kalau kita pergi ke taman? Aku
Hari itu, udara terasa lebih berat dari biasanya bagi Kaira. Meski matahari bersinar terang, ada awan gelisah yang terus menggelayuti pikirannya. Ia tahu pertemuannya dengan Adrian adalah hal yang perlu ia selesaikan, tetapi ada perasaan bersalah yang tidak bisa ia abaikan. Ezra sudah memberinya kepercayaan penuh, dan Kaira tak ingin merusaknya.Di sudut lain kota, Adrian duduk di sebuah kafe kecil, menunggu dengan pandangan gelisah ke arah pintu. Pesan singkat Kaira telah ia terima semalam, dan sejak saat itu, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah Kaira benar-benar bahagia bersama Ezra? Apakah masih ada peluang baginya untuk memperbaiki semuanya?Ketika Kaira tiba, Adrian berdiri untuk menyambutnya. Senyumnya muncul sekilas, namun ada kegetiran di matanya yang tak bisa ia sembunyikan. Kaira hanya memberikan anggukan kecil sebelum duduk di kursi di depannya.“Kaira, terima kasih sudah mau datang,” kata Adrian dengan nada tulus.Kaira mengangguk pelan. “Katakan apa yang ingi
Kembang api mulai menghiasi langit malam, memancarkan warna-warni yang berkilauan. Ezra dan Kaira berdiri di tepian taman, sedikit menjauh dari keramaian. Dari tempat mereka berdiri, pemandangan kembang api terlihat sempurna, menghiasi langit di atas festival bunga yang kini mulai mereda.Kaira bersandar di bahu Ezra, tubuhnya rileks namun hatinya masih bergemuruh dengan berbagai emosi. Ada perasaan damai yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, seolah-olah untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja."Indah sekali," ucap Kaira, suaranya hampir tenggelam dalam bunyi letupan kembang api."Iya," jawab Ezra sambil memandang Kaira, bukan ke langit. "Tapi tidak seindah ini."Kaira menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Ezra yang begitu dalam dan penuh ketulusan. Dia tersenyum, sedikit malu, tetapi hatinya menghangat oleh kata-kata itu."Ezra," panggil Kaira, suaranya lembut."Hmm?""Terima kasih sudah ada untukku," katanya. "Aku tahu, ak
Pagi yang cerah menyambut Kaira di apartemennya. Sinar matahari yang menerobos melalui tirai jendela menari di atas lantai, membawa kehangatan yang lembut. Kaira duduk di meja dapur, menyesap secangkir teh hijau sambil memeriksa kalender di ponselnya. Hari ini akan menjadi hari yang sibuk di toko bunga, tetapi entah kenapa, ia merasa lebih bersemangat dari biasanya.Pikirannya masih melayang pada percakapannya dengan Ezra semalam. Perasaan hangat yang memenuhi hatinya terus bertahan, membuat senyumnya muncul tanpa sadar. Namun, sebelum ia bisa tenggelam lebih jauh dalam lamunan, dering notifikasi dari ponselnya memecah keheningan.Ezra: Selamat pagi, Kaira. Semoga harimu menyenangkan. Jangan lupa makan pagi, ya!Kaira tersenyum, mengetik balasan singkat.Kaira: Selamat pagi, Ezra. Terima kasih sudah mengingatkanku. Kau juga, jangan terlalu sibuk hari ini.Balasan Ezra datang tak lama kemudian, seolah ia juga sudah menunggu.Ezra: Aku akan berusaha. Tapi kalau terlalu sibuk, mungkin ak
Hari-hari setelah momen penuh kebahagiaan mereka di festival terasa begitu indah bagi Kaira. Ia dan Ezra tampak semakin dekat, seperti dua orang yang telah menemukan tempatnya masing-masing. Namun, di tengah kebahagiaan itu, konflik mulai perlahan mengintip dari balik bayang-bayang kesempurnaan hubungan mereka.Konflik pertama bermula ketika Ezra mulai menghabiskan lebih banyak waktu di kantor. Sebagai seorang arsitek yang tengah menangani proyek besar, tuntutan pekerjaan Ezra meningkat drastis. Malam-malam mereka yang biasa dihabiskan bersama di toko bunga atau di kafe kecil kini lebih sering digantikan dengan pesan singkat yang berbunyi, “Maaf, aku masih lembur. Jangan tunggu aku, ya.”Kaira awalnya mencoba memahaminya. Ia tahu betapa ambisiusnya Ezra, dan itu adalah salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta. Namun, semakin lama, perasaan kesepian mulai menyelimuti Kaira. Di saat yang sama, pekerjaan di toko bunga pun semakin menantang dengan datangnya klien besar yang meminta rang
Hari-hari setelah percakapan di toko bunga terasa panjang dan membingungkan bagi Ezra dan Kaira. Keduanya mencoba menjalani rutinitas masing-masing, namun bayang-bayang keretakan di hubungan mereka terus menghantui.Ezra, yang biasanya begitu fokus pada pekerjaannya, mendapati dirinya sering melamun. Di kantornya, ia menatap layar komputer tanpa benar-benar membaca apa yang ada di sana. Perasaan bersalah menghantamnya berkali-kali. Ia sadar bahwa sikapnya selama ini telah membuat Kaira merasa tidak dihargai. Namun, ia juga takut langkah apa pun yang diambilnya sekarang mungkin terlambat untuk memperbaiki segalanya.Sementara itu, Kaira tenggelam dalam pekerjaannya di toko bunga. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuat rangkaian bunga yang indah untuk para pelanggan. Namun, di setiap kelopak yang ia sentuh, ada pertanyaan yang terus menghantui: apakah hubungan ini layak diperjuangkan?Sore itu, ketika toko hampir tutup, sebuah paket kecil tiba untuk Kaira. Pengirimnya adalah E
Hari-hari setelah pembicaraan malam itu menjadi awal dari usaha bersama Ezra dan Kaira untuk membangun kembali hubungan mereka. Meski kehangatan mulai kembali mengisi ruang di antara mereka, sebuah tantangan baru tak terduga mulai menguji hubungan yang rapuh ini.Suatu pagi, ketika Kaira sedang membuka toko bunga, sebuah mobil hitam berhenti di depan tokonya. Seorang pria keluar dari mobil tersebut, mengenakan setelan rapi yang membuatnya tampak seperti seseorang dari kalangan bisnis. Pria itu masuk ke toko dengan senyuman ramah."Selamat pagi. Apakah saya sedang berbicara dengan Kaira Alyssa?" tanyanya.Kaira menatap pria itu dengan bingung. "Ya, itu saya. Ada yang bisa saya bantu?"Pria itu mengulurkan tangan. "Nama saya Reza. Saya datang sebagai perwakilan dari perusahaan real estate yang ingin menawarkan sesuatu kepada Anda."Kaira mengerutkan kening. "Real estate? Maaf, saya rasa saya tidak tertarik."Reza tersenyum, tetap tenang. "Tunggu dulu, Anda mungkin ingin mendengar tawara
Bab 57: Akhir yang kacauKesibukan di kamp semakin terasa. Di bawah redupnya sinar obor, orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, ketegangan memuncak di udara malam. Ezra berdiri di tengah lingkaran, suaranya tegas dan penuh keyakinan saat ia memberi arahan terakhir kepada para pejuang."Kita mungkin tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap mata mereka satu per satu. "Tapi yang pasti, kita tidak akan menyerah. Tetap waspada. Bertahan hidup adalah prioritas kita."Raka berdiri di samping Ezra, pandangannya tajam mengamati persiapan. "Pemanah sudah di posisi tinggi. Kalau musuh mendekat, kita bisa menghentikan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk. Namun, rasa gelisah tak kunjung surut dari dadanya. Bayangan di hutan terus mengusik pikirannya, terlebih ancaman pengkhianatan yang perlahan menjadi nyata.Tiba-tiba, suara jeritan menggema dari sisi utara kamp. Semua mata langsung tertuju ke arah itu."Musuh datang!" teriak salah
Kesibukan di kamp semakin terasa. Orang-orang berkumpul dengan senjata sederhana di tangan mereka, siap menghadapi ancaman yang mendekat. Ezra berdiri di tengah lingkaran, memberi arahan terakhir dengan suara tegas."Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi," katanya sambil menatap tajam ke wajah para pejuangnya. "Tapi satu hal yang pasti: kita tidak akan menyerah begitu saja. Tetap waspada dan jangan bertindak gegabah."Raka berdiri di sampingnya, mengamati persiapan dengan cermat. "Aku sudah menempatkan pemanah di posisi tinggi. Kalau mereka mendekat, kita bisa menjatuhkan mereka sebelum mereka mencapai kamp."Ezra mengangguk, tapi rasa gelisah di dadanya tak kunjung reda. Pikirannya terus memikirkan bayangan di hutan dan kemungkinan pengkhianatan dari kelompok Sinta.Belum sempat mereka menyusun strategi lebih jauh, suara jeritan tiba-tiba terdengar dari sisi utara kamp. Semua orang langsung memandang ke arah suara itu dengan waspada."Musuh datang!" teriak salah satu penjaga.Ezr
Malam semakin larut, namun Ezra dan Raka masih sibuk mematangkan strategi mereka. Di bawah sinar redup lentera minyak, mereka membentangkan peta di atas meja kayu sederhana. Setiap titik dan rute yang digambar di peta diperiksa dengan saksama. Suara binatang malam terdengar dari kejauhan, namun itu tidak cukup untuk meredakan ketegangan di antara mereka."Patroli Ryan biasanya lewat sekitar fajar," Raka berkata sambil menunjuk sebuah jalur di peta. "Jika kita ingin menyerang, kita harus memanfaatkan kegelapan malam untuk mendekati mereka."Ezra mengangguk, matanya masih terpaku pada peta. "Kita harus memblokir rute mundur mereka. Kalau tidak, mereka bisa memanggil bala bantuan, dan kita akan kewalahan."Raka mengusap dagunya, berpikir keras. "Kelompok Sinta memiliki beberapa pemanah yang cukup terlatih. Kita bisa memposisikan mereka di titik-titik strategis untuk menjatuhkan musuh dari kejauhan.""Tapi kita tetap butuh lebih dari itu," Ezra menimpali. "Mereka membawa suplai penting, j
Malam itu, di tengah dinginnya udara dan sinar redup dari api unggun, Ezra duduk termenung. Suara angin yang berdesir di sela-sela pepohonan seakan membawa bisikan-bisikan masa lalu yang tak henti mengganggu pikirannya. Di depannya, Sinta masih sibuk berdiskusi dengan para pemimpin kelompok perlawanan, sementara Raka duduk tak jauh darinya, tampak sibuk dengan catatan mereka.Namun, sesuatu terasa aneh. Ezra bisa merasakan ketegangan yang lebih dari sekadar tekanan akibat perang yang akan mereka hadapi. Beberapa orang dari kelompok itu sering kali meliriknya dengan tatapan tak bersahabat. Bahkan Sinta, meskipun sudah menunjukkan penerimaan terhadap rencana mereka, masih tampak menjaga jarak."Ezra," suara Raka memecah keheningan, membuat Ezra menoleh. "Kamu baik-baik saja?"Ezra mengangguk pelan, meski raut wajahnya menunjukkan sebaliknya. "Aku hanya... merasa ada yang salah di sini. Kamu tidak merasakannya?"Raka menatap sekeliling dengan hati-hati, lalu mencondongkan tubuhnya mendek
Kaira duduk di tepi danau kecil yang tersembunyi di dalam hutan, jauh dari tempat persembunyian utama. Air yang tenang memantulkan bayangan langit malam yang kelam, seolah menjadi cermin bagi kegelisahannya. Tangannya meremas ujung selendang yang melilit bahunya, sementara pikirannya terus-menerus memikirkan Ezra.Dia tahu Ezra selalu mengambil keputusan yang bijaksana, tapi kali ini hatinya dipenuhi rasa takut. Ancaman Ryan bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan, dan meskipun Kaira percaya pada kemampuan Ezra, bayang-bayang kekalahan terus menghantui pikirannya.“Kaira,” suara lembut seorang wanita memanggil dari belakang.Kaira menoleh dan melihat Bu Hana, wanita tua bijaksana yang sering memberinya nasihat. “Bu Hana,” kata Kaira, mencoba tersenyum meski matanya masih dipenuhi kecemasan.Bu Hana duduk di samping Kaira, mengamati air danau yang berkilauan samar di bawah sinar bulan. “Kau memikirkan Ezra, bukan?” tanyanya lembut.Kaira mengangguk pelan. “Aku tahu dia kuat, Bu Hana. Tapi
Ezra berdiri di depan pintu gudang tua, napasnya perlahan namun berat. Udara malam terasa dingin menusuk, namun ia tidak merasakannya. Yang memenuhi pikirannya hanyalah wajah Kaira dan ancaman yang baru saja diterimanya. Ia tahu ini adalah saat yang tidak bisa dihindari lagi.Pintu gudang itu terbuka perlahan, suara berdecitnya memenuhi kesunyian malam. Di dalam, beberapa pria bersandar di dinding dengan ekspresi dingin. Di tengah ruangan, Ryan duduk di sebuah kursi kayu, kakinya terangkat ke meja, menunjukkan sikap santai namun penuh kesombongan.“Ah, Ezra,” sapa Ryan dengan nada sinis. “Akhirnya kau datang. Aku tahu kau tidak akan mengabaikan undanganku.”Ezra melangkah masuk tanpa gentar, menatap Ryan dengan tajam. “Kita selesaikan ini sekarang. Jangan libatkan Kaira atau siapa pun lagi.”Ryan tertawa kecil, mengguncangkan kepala seolah mendengar lelucon lucu. “Kau ini terlalu serius, Ezra. Kau tahu dunia ini tidak bekerja seperti itu. Jika kau berani menantangku, maka segalanya—or
Pagi itu, Ezra memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia sudah cukup lama menghindar dari masalah yang berhubungan dengan Ryan, tapi kali ini, dia tahu tidak ada pilihan lain selain menghadapi pria itu. Ancaman Ryan bukan hanya tentang dirinya lagi; kini Kaira juga terlibat, dan Ezra tidak akan membiarkan orang yang ia cintai berada dalam bahaya.“Ezra, apa kau yakin ini langkah yang benar?” tanya Kaira, mengerutkan kening saat melihat Ezra bersiap untuk pergi. Di atas meja, ponsel Ezra terus berbunyi, menunjukkan pesan-pesan dari kontak yang jarang ia hubungi.Ezra mengangguk, meski wajahnya tampak tegang. “Aku harus melakukannya, Kaira. Jika aku tidak menghadapi dia sekarang, dia akan terus mendekati kita. Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa kuterima.”Kaira meraih tangan Ezra, mencoba mencari keberanian di balik ketakutan yang meliputi dirinya. “Tapi jangan lakukan ini sendirian. Aku tahu kau kuat, Ezra, tapi Ryan bukan orang biasa. Dia licik dan tidak terduga.”Ezra memandang Kai
Ezra merasa darahnya mengalir lebih cepat ketika mengenali wajah orang di hadapannya. Itu adalah seseorang yang dulu menjadi bagian dari hidupnya, bagian dari masa lalu yang sudah lama ia kubur. Wajah itu, dengan sorot mata tajam penuh amarah, adalah milik Ryan—teman lama yang pernah menjadi rekan terdekatnya sebelum segalanya berubah.“Ryan...” Ezra akhirnya berkata dengan nada bergetar. “Kau... Aku pikir kita sudah menyelesaikan semua ini bertahun-tahun lalu.”Ryan tersenyum tipis, tapi ada api dendam di balik senyuman itu. “Menyelesaikan? Tidak, Ezra. Kau yang memilih untuk pergi, meninggalkan semuanya dan memulai hidup baru. Tapi aku? Aku yang menanggung semua akibatnya.”Ezra mengerutkan kening. “Aku tidak pernah meninggalkanmu begitu saja. Aku harus pergi karena keadaan memaksa. Kau tahu itu.”“Keadaan?” Ryan mendekatkan tubuhnya ke meja, menatap Ezra dengan intens. “Kau bisa saja tetap tinggal, Ezra. Kau bisa membantuku. Tapi kau memilih kabur. Dan sekarang, aku di sini untuk m
Matahari pagi perlahan muncul di balik tirai jendela kamar Ezra, memberikan cahaya hangat yang menyinari ruangan yang masih dipenuhi suasana hening. Ezra bangun lebih awal dari biasanya, membawa secangkir kopi hitam ke balkon apartemennya. Ia memandang ke kejauhan, menyaksikan hiruk-pikuk kota yang mulai menggeliat. Namun pikirannya tetap tertuju pada Kaira.Kaira, di sisi lain, juga terbangun lebih pagi. Ia memutuskan untuk berjalan kaki di taman dekat apartemennya. Langkah-langkahnya kecil, tetapi cukup untuk membuatnya merasa lebih dekat dengan dirinya sendiri. Pikiran tentang Ezra dan pesan singkat mereka malam tadi terus terngiang di benaknya. Itu memberinya perasaan tenang, meski ada kekhawatiran yang tetap mengendap.Saat itu, ponsel Kaira bergetar di sakunya. Pesan dari Ezra masuk."Pagi, Kaira. Aku harap hari ini lebih baik untukmu. Kalau kau punya waktu, bagaimana kalau kita bertemu sore ini di kafe biasa? Aku ingin berbicara."Kaira membaca pesan itu dengan hati-hati. Kata-