“Ya Tuhan! Ayah mengagetkanku,” tutur Rakhan sesaat setelah menutup pintu kamar Mentari. Pandangannya tertuju pada Handoko yang berdiri terpaku sekitar dua meter dari depan kamar Mentari. “Apa kau tidur di kamar Mentari semalam?” selidik Handoko. Mata pria itu memindai putra sulungnya dari atas ke bawah. “Apa aku salah tidur di kamar istriku sendiri?” Berlagak berani dan berekspresi seperti orang terjajah, Rakhan justru balik bertanya. “Tidak. Kau tidak salah.” Rona cerah terpancar dari wajah Handoko. Sudut bibirnya yang keriput ditarik ke atas membentuk senyuman. “Apa tidak sebaiknya kalian tidur satu kamar?” Rakhan mengernyitkan dahi. Ia tahu suatu hari nanti pasti ayahnya akan meminta hal yang ditanyakan barusan. Namun, ia tidak menyangka akan secepat
“Sejak pernikahan sialan kita terjadi, sejak itu pula keluarga ini mengalami krisis nama baik.” Rakhan tidak terima dengan tudingan Mentari. Lebih baik untuknya menempatkan pernikahan mereka sebagai biang keladi masalah. Mentari menatap tajam Rakhan. Ia bersedekap. Sejumput sesal teraup dengan cepat. Seharusnya ia tidak keluar kamar dan membiarkan dirinya membusuk di sana daripada bertemu dan bertengkar dengan Rakhan. “Kau pikir aku mau menikah—“ “Sudah cukup,” potong Rakhan, “kau sudah mengatakan hal itu puluhan kali dan telingaku hampir tuli karena mendengarnya.” “Bertengkarnya bisa lain kali saja?” Erlangga menyela adu argumen kedua kakak iparnya. “Meskipun sudah jelas kesalahan ada di pihak mana, tetapi aku harap kalian bisa akur untuk beberapa waktu sampai gosip mereda. Kasihan Ayah jika harus mengetah
Tepat jam 08.30 pagi supir keluarga Mahawira mengantar Mentari dan Rakhan ke Bandara. Mentari duduk dengan tegang di jok penumpang di samping Rakhan. Perjalanan menuju bandara yang diselimuti kesunyian terasa sangat panjang dan lama. Mentari bersabar tidak mengeluarkan kata-kata sampai mereka tiba di bandara. Ia tidak mau bertengkar dengan Rakhan.Menarik sendiri kopernya, Rakhan berjalan meninggalkan Mentari yang kesulitan membawa koper hingga harus dibantu supir mereka. Mentari sendiri merasa pegal hati lantaran ia harus menahan perasaan kesalnya sampai mereka tiba di konter check-in penerbangan domestik.Setelah urusan check-in selesai dan mendapatkan boarding pass, tujuan utama pe
“Oh, iya, Pak. Anda tidak perlu melakukan proses check-in. Kami telah mengurus semuanya sesuai instruksi Pak GM,” jelas Eduardo.Eduardo membawa Rakhan dan Mentari memasuki lobi, sementara bellboy yang bersama Eduardo membawakan koper pasangan itu. Ingin menunjukkan sisi terbaik lobi hotel mewah tersebut, Eduardo meminta Mentari dan Rakhan mengikuti langkahnya ke balkon lobi. Di sana mereka dipersilakan duduk di sofa tamu, sementara Eduardo mengambil kunci kamar di meja resepsionis.Mata Mentari dimanjakan oleh pemandangan alam yang menyejukkan di tengah panasnya cuaca pulau yang terletak di ujung barat provinsi NTT tersebut. Hamparan laut biru dengan pulau kecil bernama pulau Kukusan yang dikelilingi kapal-kapal membuat tatapan Mentari enggan beralih. Selama beberapa saat Mentari terhipnotis oleh panorama yang memikat. Namun, Mentari kemudian
Serta merta Mentari bangkit dari duduknya. Tatapannya tertuju pada sosok pria yang berjalan melintasi area dining beberapa saat lalu. “Ya, Tuhan. Arya!”Mentari membuka sling bag-nya, lalu mengambil tiga lembar uang seratus ribuan dan meletakkan di bawah gelas berisi air putih. Ia berlari mengejar pria itu hingga kembali ke lobi. Sayangnya, ia kehilangan pria itu di antara serombongan pengunjung yang baru memasuki hotel tersebut.“Arya ....” Mentari menekan dada dengan satu tangan berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Ia yakin kalau pria yang baru saja dilihatnya adalah Arya. Aku tidak mungkin salah lihat.
“Aku hanya memperingatkanmu. Kalau kau macam-macam, kau akan merasakan bagaimana rasanya bercinta sampai tak bisa berjalan. Paham?!” Rakhan berusaha membelokkan arah pemikiran Mentari.Mentari mendelik. “Ancaman macam apa itu? Dasar sinting!”“Atau kau ingin kutelanjangi sekarang dan merasakannya?” Rakhan kembali melontarkan intimidasinya.Mentari menelan ludah dengan susah payah. Rakhan tampak serius dengan ucapannya. Mentari menarik wajahnya menjauh dari wajah Rakhan. Dari kemarin malam hingga sore ini, Rakhan sudah berkali-kali menciumnya. Bulu kuduknya meremang. Desir rasa takut kalau Rakhan akan menjadikan nyata ancamannya mengalir hingga ke seluruh pembuluh nadi.“T-tidak mau ....” Mentari menggeleng. Napasnya s
Mentari merasakan bumi berguncang dan suara Rakhan yang memanggil namanya terdengar semakin nyata. Ia pikir sedang berada di tengah bencana alam yang sedang melanda. Namun, serpihan kesadarannya sedikit demi sedikit menyatu dan membuat Mentari terjaga. Mata Mentari terbelalak saat mendapati Rakhan sudah duduk di tepi tempat tidur sambil memandanginya. Ia segera bangkit untuk duduk.“Sedang apa kau?” Mentari bertanya kepada Rakhan dengan suara sedikit parau sambil beringsut ke punggung tempat tidur.Rakhan mengernyitkan dahi. Bukan karena merasa heran, melainkan Rakhan merasa terusik. Rakhan merasa Mentari sedang menuduhnya melakukan sesuatu yang buruk. Ia kemudian menatap Mentari dengan mata menyipit.“Sedang apa?!” Nada suara Rakhan menandaskan ketersinggungan. “Aku sedang
Mentari memalingkan pandangan ke jendela. Ia hanya mengungkapkan ganjalan di hatinya. Namun, ia tidak bisa memungkiri jika Rakhan punya akses untuk terhubung dengan orang-orang yang ahli di bidang itu dan mampu membayar mereka. Sampai bulan menggantikan matahari dan langit menjadi gelap, Rakhan masih belum menyerah untuk membuktikan usahanya kalau ia memang berniat mencari Arya. Terlepas dari benar atau tidaknya pria yang dilihat Mentari adalah Arya, ia sudah melakukan usaha terbaik versi dirinya. Beberapa hotel, dari yang berbintang hingga ke penginapan sekelas losmen, sudah mereka datangi. Namun, mereka masih harus bersabar. Beberapa pria bernama Arya yang sempat mereka temui pun, bukanlah Arya yang mereka maksud. Berupaya menemukan Arya di tengah kota asing bagai mencari jarum di tumpukan jerami. “Kita akan melanjutkan pencarian ini besok,” cetus Rakhan beberapa saat setelah laju mobil berhenti di parkir basemen hotel tempat mereka menginap.“Tidak perlu,” jawab Mentari pelan da
Setelah kejadian siang tadi, Rakhan merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Namun, sebagian dari dirinya tetap merasa gelisah. Setibanya di rumah, ia mendapati Mentari yang sedang duduk di ruang tamu sedang menidurkan Arga di pangkuannya. Kehangatan yang terpancar dari pandangan Mentari selalu menjadi penghiburan bagi Rakhan, meskipun malam itu ia tahu bahwa berita yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang ringan.Rakhan melepas jasnya dan berjalan mendekati Mentari. Ia mengecup bibir Mentari, lalu dahi Arga. Semampunya Rakhan mencoba tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi. Namun, Mentari tahu ekspresi Rakhan tidak seperti biasa. Wanita itu bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal dari cara Rakhan menatapnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Mentari penuh kuriositas sambil menepuk-nepuk paha Arga yang mulai tertidur pulas. Tatapannya penuh dengan kekhawatiran meski ia berusaha terlihat tenang.Rakhan mengambil napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelahnya. “Ada sesuatu
Rakhan mengecup pipi Mentari, lalu berkata pelan di telinganya, “Sampai bertemu sore nanti.”“Hubungi aku kalau kau ada meeting dadakan, ya,” ucap Mentari sambil menurunkan Arga dari gendongannya.“Tentu saja.” Sekali lagi Rakhan mengecup pipi Mentari. “Aku pergi. I love you.”“Aku juga. Hati-hati di jalan.”Usai makan siang bersama Mentari, Rakhan kembali ke kantornya. Siang itu, Jakarta tampak begitu terik, tetapi Rakhan hampir tidak merasakannya. Pikirannya kembali dijejali berbagai urusan pekerjaan, terutama proyek yang melibatkan Annika. Namun, tak dapat dipungkiri, sosok Evander pun kerap muncul di benaknya sejak pertemuan mereka. Ia masih meragukan pria itu meskipun kredibilitasnya sebagai pengacara profesional tidak diragukan lagi. Tanpa ia sadari, mobil yang dikemudikan sopirnya sudah hampir setengah perjalanan. Mereka baru saja berhenti di perempatan ketika tiba-tiba dua orang pria berhelm yag mengendarai sepeda motor sport mendekat ke jendela mobilnya. Rakhan yang tengah a
Rakhan duduk di belakang meja kerjanya. Pandangannya menembus jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Sementara itu, pikirannya dipenuhi dengan informasi yang baru saja diterima. Drew datang ke kantornya pagi itu dengan sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang keluarga Annika.“Evander adalah saudara sepupu Annika,” kata Drew sambil meletakkan map di meja Rakhan. “Anak dari adik tiri ayahnya yang tidak pernah dipublikasikan. Keluarga mereka merahasiakan hubungan itu, karena ibu Evander dan kakak ayahnya Annika tidak pernah menikah.”Rakhan menggenggam tepi meja, mencerna kata-kata Drew dengan hati-hati. “Pantas aku tidak menemukan informasi apa pun tentang hubungan mereka di media sosial dan situs pencarian. ”“Benar,” sahut Drew. “Mereka punya ikatan keluarga yang cukup rumit. Itu sebabnya hubungan mereka disembunyikan. Oh, iya. Kau juga harus tahu bahwa Evander itu seorang duda. Mantan istrinya orang Jerman. Mereka bercerai tiga tahun
Rakhan pulang lebih larut dari biasanya. Pekerjaan di kantor membuatnya kelelahan, tetapi begitu membuka pintu, kehangatan yang familiar segera menyambutnya. Cahaya lampu yang terang dan cerah, aroma harum masakan yang masih tersisa di udara, dan yang paling menyenangkan, Mentari sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman manis yang selalu membuatnya merasa tenang.Mentari berjalan mendekat dan seperti kebiasaannya, ia memberikan ciuman lembut di pipi Rakhan. “Selamat datang, sayang,” bisik Mentari dengan lembut.Rakhan tersenyum, merasakan sejenak kehangatan itu. “Selalu menyenangkan pulang ke rumah,” jawabnya pelan sambil membelai lembut rambut Mentari. Seketika, rasa lelahnya menjadi berkurang.“Aku sudah memasak makanan favoritmu, sup asparagus kepiting.” Mentari mengumumkan menu makan malam yang telah disajikannya di atas meja makan.“Wah, makan besar nih!” Rakhan menanggapi dengan antusias. “Kalau begitu, aku mandi dulu. Nanti kita makan bareng.”“Jangan lama-lama, ya. Aku su
Sore itu, rumah Mentari dan Rakhan dipenuhi dengan kehangatan. Arga sedang bermain di tengah ruang keluarga, sementara Mentari dan Rakhan duduk di sofa sambil menikmati teh hangat. Angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka membawa suasana tenang. Untuk beberapa saat, mereka bisa melupakan kesibukan dan drama di luar sana.Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika suara bel pintu berbunyi. Mentari menatap Rakhan dengan sedikit heran. Mereka tidak sedang menantikan tamu sore ini.“Siapa ya kira-kira?” tanya Mentari sambil berdiri dan menuju pintu.Rakhan mengangkat bahu dan melirik Arga yang masih sibuk bermain, lalu dia berdiri mengikuti istrinya. Ketika Mentari membuka pintu, mereka mendapati Annika berdiri di sana bersama seorang pria bertubuh tinggi yang tidak lain adalah Evander."Annika? Evander?" Mentari terkejut, tapi senyumnya tetap ramah. "Apa yang membawa kalian ke sini?"Annika tersenyum dan mengangkat sebuah bingkisan di tangannya. "Kami datang untuk mengucapkan terim
Rakhan menatap Aldy dengan tajam. "Ketika kau menyakiti seseorang, itu menjadi urusan semua orang. Apalagi kalau dia orang yang aku kenal."Annika terduduk di atas paving block. Kedua tangannya bertumpuk menutupi pipinya yang bengkak sambil menangis. Mentari dengan cepat berjongkok di samping Annika, memeriksa keadaan wanita itu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran.Annika menoleh pelan ke arah Mentari. Sambil terisak-isak, wanita itu berkata dengan suara bergetar dan jelas sekali ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. “A-aku nggak apa-apa.” Aldy melangkah mendekat, masih marah, tapi Rakhan berdiri tegak di depannya, seperti dinding pelindung yang tidak mungkin ditembus. "Pergilah sebelum situasi ini menjadi lebih buruk buatmu," kata Rakhan dingin dan dengan nada mengancam yang jelas.Aldy tampak ragu sejenak. Ekspresi wajahnya terlihat mengeras. “Dia tunanganku. Aku punya hak atas dia!”Rakhan tidak bergeming, hanya menatap Aldy dengan mata yang penuh amarah. "Kau ti
Mentari mengambil napas dalam-dalam, menenangkan degup jantungnya yang terasa berantakan. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia memutuskan bahwa menunggu tanpa kepastian hanya akan membuat pikirannya semakin semrawut. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan melangkah menuju gerai kopi tempat Rakhan dan Annika duduk. Suara langkah kakinya terasa begitu berat, seakan-akan setiap langkah membawa sejuta pertanyaan yang menunggu jawaban.Ketika Mentari tiba di depan meja mereka, Rakhan yang awalnya fokus pada pembicaraannya dengan Annika, mendongak dan terkejut melihat kehadirannya. Dalam sekejap ekspresi serius di wajahnya berubah menjadi bingung. Namun, itu hanya sesaat sebelum akhirnya menyambut Mentari dengan senyum."Tari? Kamu di sini?" Rakhan bertanya, suaranya terdengar tenang tapi menyimpan keheranan.Annika yang duduk di hadapan Rakhan tersenyum manis menyambut istri sang mantan. "Hai, Mentari. Lama tak bertemu."Mentari memaksakan diri tersenyum, berusaha menjaga
"Arga sudah tidur?" Rakhan bertanya pelan, mengintip dari balik pintu kamar.Mentari mengangguk sambil menepuk-nepuk punggung putra mereka yang baru saja terlelap. "Iya, baru saja."Rakhan mendekat, duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah kecil Arga. "Dia sudah semakin besar. Cepat sekali waktu berlalu."Mentari tersenyum tipis. "Iya, rasanya baru kemarin aku menggendongnya untuk pertama kali."Keluarga kecil Mentari dan Rakhan telah menemukan ritme kebahagiaan mereka. Kehadiran Arga, putra mereka yang kini genap berusia satu tahun, melengkapi segala yang pernah diimpikan Mentari. Meski terkadang malam-malam panjang diisi tangisan bayi dan kelelahan, bagi Mentari, setiap detik bersama Arga dan Rakhan merupakan kebahagiaan tersendiri. Rakhan, meski jarang bisa menunjukkan sisi romantisnya, ia selalu membuat hari-hari Mentari penuh dengan kejutan kecil yang manis. Sebuah pelukan tiba-tiba, hadiah yang sederhana tapi bermakna, atau sekadar ikut begadang di sampingnya saat Arga sedan
Gemuruh emosi mendadak memenuhi dada dan membuatnya sesak napas. Berusaha tetap tenang, Mentari melontarkan tanya tanpa emosi berlebihan, “Kau masih berhubungan dengannya?”“Ada pekerjaan yang mengharuskan aku tetap terhubung dengannya.” Rakhan menjelaskan dengan hati-hati.Sementara itu, ponsel Rakhan terus berdering membuat telinga Mentari tidak nyaman. Mentari mengembus napas. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kekesalannya hingga ia hanya diam.“Tari ....”Mentari mengembus napas. Mencoba untuk bersikap dewasa memang tidak mudah tapi perlu dicoba. “Angkat saja.”“Kau yakin?”“Iya.”