Grisel sangat terkejut melihat Kai menangis karena membentur dinding. Dia melepas Eve lalu segera kabur dari sana.Eve berlari menghampiri Kai dan langsung menggendongnya.“Punggungnya cakit, Mami.” Kai merengek karena kesakitan.Eve menggendong Kai kembali naik ke lantai unit apartemennya berada. Dia tidak memedulikan Grisel yang kabur setelah menyakiti putranya.“Mami sakit,” rengek Kai terus menerus.Eve sangat panik hingga hampir menangis. “Ada apa?” tanya Bram terkejut melihat Kai menangis.Eve tak langsung menjawab. Dia membaringkan Kai di sofa, lalu membuka pakaian Kai untuk melihat apa ada memar di punggung karena benturan cukup keras.“Eve, ada apa? Kenapa Kai menangis dan rambutmu acak-acakan begitu?” tanya Bram sangat cemas.“Aku ambil air dingin untuk mengompres punggungnya dulu, Kak.” Eve berlari ke dapur untuk mengambil air es.Bram bingung. Dia duduk di samping Kai dan melihat punggung keponakannya itu merah.“Kenapa Kai bisa luka?” tanya Bram.“Bibi itu jahat. Dia jam
“Ini hanya memar saja, selebihnya tidak ada yang fatal. Namun, untuk berjaga-jaga, saya akan memberikan obat dan salep untuk mencegah pembekuan darah di bagian punggung yang terbentur.”Dokter bicara sambil menulis resep.Kaivan lega. Dia memangku Kai yang tidak mau lepas darinya.Eve menatap Kai. Dia tidak mengerti, kenapa Kai sangat menempel pada Kaivan? Jika Eve meminta Kai menjaga jarak pada seseorang, bocah kecil itu akan patuh. Namun, kenapa Kai tidak patuh kali ini? Apa mungkin karena keduanya memiliki ikatan?Eve menggeleng pelan. Dia mencoba menepis itu. Bisa saja Kai menempel pada Kaivan karena pria itu terus mendekati dan baik pada Kai.“Eve.”Lamunan Eve buyar karena mendengar suara Kaivan. Dia menoleh dan melihat pria itu siap berdiri sambil membawa resep dari dokter.“Terima kasih, Dok.” Eve berdiri mengikuti Kaivan.Keduanya keluar dari ruang pemeriksaan di IGD, menuju apotek.“Kamu melamunkan apa?” tanya Kaivan sambil berjalan bersama Eve.“Tidak ada,” jawab Eve.Kaiva
Kaivan mengantar Eve kembali ke apartemen. Dia sigap keluar dari mobil lalu membuka pintu mobil untuk Eve. Namun, saat Eve akan keluar, Kai bangun dan mencari Kaivan.“Maunya gendong Paman Kaivan.” Kai mengigau dan memberontak tidak mau digendong Eve.Eve menatap Kaivan yang berdiri di luar pintu.Kaivan membungkuk lalu mengambil alih Kai dari pangkuan Eve.“Biar aku yang menggendongnya,” ujar Kaivan.Eve terpaksa memberikan Kai karena terus memberontak. Saat sudah digendong Kaivan, Kai anteng dan langsung mengalungkan kedua lengan di leher pria itu.Mereka masuk bersama. Eve melihat Kai yang kembali tidur dalam gendongan Kaivan. Dia diam sambil terus melangkah, apa begini ikatan antara ayah dan anak meski mereka tidak pernah bertemu? Kenapa begitu erat? Bahkan Kai tidak pernah sedekat ini pada pria lain meski sering bertemu.Mereka sampai di unit apartemen Bram. Saat masuk, ternyata Alana sudah pulang.“Bagaimana kondisinya?” tanya Bram langsung menghampiri bersama Alana.“Dokter bil
Bram mengajak bicara Eve di ruang makan. Alana juga ada di sana, dia dan Bram sama-sama menatap Eve sekarang.“Kamu masih tidak mau jujur dengan apa yang terjadi, Eve? Jujur pada kami, apa kamu tidak menganggap kami lagi?” Bram mencoba menekan karena merasa Eve menyembunyikan kebenaran soal ayah Kai.“Bukan begitu, Kak.” Eve bingung harus bagaimana menjelaskannya.“Kalau begitu cerita, Eve. Kami ini keluargamu, apa tidak cukup kamu berbohong dan menyembunyikan soal kehadiran Kai?” Alana ikut bicara demi kebaikan Eve juga Bram.Eve meremat jemari, lalu memberanikan diri menatap kakak dan kakak iparnya.“Katakan padaku, bagaimana bisa Kai langsung dengan mantan bosmu itu? Kalian punya hubungan khusus atau ….” Bram sengaja menjeda ucapannya agar Eve yang melanjutkan.Eve menelan ludah susah payah. Panik dan takut bercampur jadi satu.“Pak Kaivan adalah ayah Kai. Aku tidak sengaja melakukannya dengan dia.” Eve menjawab dengan suara lirih sambil menundukkan kepala.“Apa?” Bram sangat terkej
Eve mengecek Kai setelah selesai bicara dan meyakinkan Bram kalau dia akan mengurus semua sendiri. Kai mungkin membutuhkan sosok ayah, tapi Eve tidak mau jika Kaivan terpaksa bertanggung jawab karena adanya Kai. Bisa saja ‘kan, dulu Kaivan tidak menginginkan Kai, sedangkan sekarang sudah terlanjur dan terpaksa menerima?Saat Eve masuk kamar. Dia melihat Kaivan ternyata tertidur di ranjangnya. Dia menatap lekat wajah Kaivan dan Kai yang sama-sama tertidur pulas. Keduanya benar-benar sangat mirip, terutama alisnya.Tidak tega membangunkan Kaivan. Eve memilih membetulkan letak selimut, lalu dia keluar dari kamar dan berniat tidur di sofa.“Bagaimana kondisi Kak Bram, Kak?” tanya Eve saat melihat Alana keluar dari kamar.“Sudah tidak apa-apa. Dia berusaha tidur sekarang,” jawab Alana, “kenapa kamu di luar? Apa Kai belum tidur sampai mantan bosmu juga masih di sana?” tanya Alana keheranan.“Ah, itu ….” Eve menoleh ke pintu kamarnya, lalu kembali memandang Alana. “Dia tertidur bersama Kai.
“Kamu sebenarnya mau bicara apa, Kai? Jangan bilang kamu mau membahas wanita bernama Grisel itu! Ibu tidak sudi!” Maria memberi ultimatum lebih dulu karena telinganya terlalu sakit jika mendengar Kaivan bersama Grisel.Kaivan malah tersenyum lalu menggeleng pelan.“Bukan itu yang mau aku ceritakan,” ujar Kaivan karena melihat sang ibu sudah sangat emosi.“Lalu?” Maria menatap curiga.Kaivan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan.“Semalam aku pergi mengantar Kai ke rumah sakit untuk periksa. Dia putraku.”“Kaivan!” Maria berteriak karena syok. “Kai? Siapa maksudmu Kai itu? Dan, apa tadi kamu bilang? Putra? Jangan bilang itu anakmu dengan Grisel!” amuk Maria dengan emosi yang memuncak. Dia mencengkram dada karena merasa nyeri.“Bu.” Kaivan langsung turun dari ranjang. Dia meminta Maria untuk duduk lebih dulu.“Makanya, dengarkan aku bicara sampai selesai agar tidak syok,” ujar Kaivan malah menyalahkan ibunya yang kaget.“Siapa yang tidak syok mendengar pengakuanmu, hah!” M
“Kamu harus bertanggung jawab, Kaivan! Jangan jadi pengecut!” Maria mengamuk karena berpikir Kaivan tidak mau bertanggung jawab.Kaivan memegang tangan Maria, lalu membalas, “Aku bukannya tidak mau bertanggung jawab. Tapi Eve yang sepertinya tidak mau.”Maria mengerutkan alis.“Kenapa tidak mau? Pasti ada alasannya, kan?” Maria penasaran. Jika memang Eve wanita yang akan dijadikan istri Kaivan, dia akan mendukung penuh.“Apa perlu ibu yang minta padanya untuk menikah denganmu?” tanya Maria gemas karena merasa putranya sangat lamban.“Jangan!” Kaivan mencegah. “Tidak semudah itu juga, Bu. Aku tidak tahu alasan pastinya, tapi yang jelas Eve ragu.”Semalam Kaivan mendengar apa yang dibicarakan Eve dan Bram. Dia sekarang tahu alasan Eve terus memintanya menjauh. Kaivan menceritakan itu agar Maria paham dan tidak bersikap gegabah.“Jadi, apa rencanamu?” tanya Maria memastikan.“Aku hanya perlu lebih dekat dan meyakinkannya saja. Sepertinya Kai juga sudah menyukaiku, jadi itu akan lebih mud
Kaivan pergi ke perusahaan. Ekspresi wajahnya begitu dingin, bahkan para staff yang menyapanya merasa merinding karena sikap Kaivan tak seperti biasanya, lebih menakutkan dari sebelumnya.“Apa ada masalah, Pak?” tanya Hendry yang berjalan di belakang Kaivan dan merasa aneh dengan sikap atasannya itu.Kaivan tidak menjawab pertanyaan Hendry. Dia terus mengayunkan kaki masuk lift.Hendry memilih diam. Dia memperhatikan tombol yang ditekan Kaivan. Hendry merasa sedikit aneh, kenapa Kaivan tidak menuju lantainya bekerja, tapi malah ke lantai lain?Lift terbuka di lantai tempat Grisel bekerja. Tentu saja hal itu membuat Hendry bertanya-tanya dengan apa yang terjadi.Saat sampai di lantai divisi itu, ternyata Grisel belum ada di ruang kerjanya.“Di mana Bu Grisel?” tanya Kaivan pada staff yang berdiri saat melihat kedatangannya.“Beliau belum datang, Pak,” jawab staff.Kaivan menyipitkan mata. Dia memandang semua staff yang menunduk, lalu melihat jam dinding menunjukkan pukul setengah delapa
Grisel sangat panik dan bingung, tapi dia juga tidak bisa menghindari hal ini. Grisel turun dari mobil lalu berjalan masuk lobi untuk segera naik ke lantai tempat ruangan Kaivan berada.Namun, sebelum dirinya masuk lift, Grisel lebih dulu mendapat pesan dari kepala HRD.[Datanglah ke ruang HRD untuk pemberitahuan perubahan pekerjaan.]Grisel mengerutkan dahi. Apa maksudnya perubahan pekerjaan? Dia menggigit bibir bawah, bingung harus bagaimana lalu akhirnya memilih pergi ke ruang HRD lebih dulu, sebelum pergi ke ruangan Kaivan.Grisel masuk ke ruang HRD dan langsung menemui kepala HRD.“Ada apa saya diminta ke sini?” tanya Grisel.“Saya baru saja mendapat perintah untuk melakukan mutasi pekerjaan. Kamu akan dipindah ke anak cabang Bramanty Group yang ada di luar kota. Surat pemindahannya belum turun, tapi saya diminta menyampaikan ini lebih dulu, agar kamu bisa mempersiapkan diri dan menyelesaikan pekerjaan yang tertunda,” ujar kepala HRD.Grisel membulatkan bola mata lebar.“Tidak mu
Kaivan pergi ke perusahaan. Ekspresi wajahnya begitu dingin, bahkan para staff yang menyapanya merasa merinding karena sikap Kaivan tak seperti biasanya, lebih menakutkan dari sebelumnya.“Apa ada masalah, Pak?” tanya Hendry yang berjalan di belakang Kaivan dan merasa aneh dengan sikap atasannya itu.Kaivan tidak menjawab pertanyaan Hendry. Dia terus mengayunkan kaki masuk lift.Hendry memilih diam. Dia memperhatikan tombol yang ditekan Kaivan. Hendry merasa sedikit aneh, kenapa Kaivan tidak menuju lantainya bekerja, tapi malah ke lantai lain?Lift terbuka di lantai tempat Grisel bekerja. Tentu saja hal itu membuat Hendry bertanya-tanya dengan apa yang terjadi.Saat sampai di lantai divisi itu, ternyata Grisel belum ada di ruang kerjanya.“Di mana Bu Grisel?” tanya Kaivan pada staff yang berdiri saat melihat kedatangannya.“Beliau belum datang, Pak,” jawab staff.Kaivan menyipitkan mata. Dia memandang semua staff yang menunduk, lalu melihat jam dinding menunjukkan pukul setengah delapa
“Kamu harus bertanggung jawab, Kaivan! Jangan jadi pengecut!” Maria mengamuk karena berpikir Kaivan tidak mau bertanggung jawab.Kaivan memegang tangan Maria, lalu membalas, “Aku bukannya tidak mau bertanggung jawab. Tapi Eve yang sepertinya tidak mau.”Maria mengerutkan alis.“Kenapa tidak mau? Pasti ada alasannya, kan?” Maria penasaran. Jika memang Eve wanita yang akan dijadikan istri Kaivan, dia akan mendukung penuh.“Apa perlu ibu yang minta padanya untuk menikah denganmu?” tanya Maria gemas karena merasa putranya sangat lamban.“Jangan!” Kaivan mencegah. “Tidak semudah itu juga, Bu. Aku tidak tahu alasan pastinya, tapi yang jelas Eve ragu.”Semalam Kaivan mendengar apa yang dibicarakan Eve dan Bram. Dia sekarang tahu alasan Eve terus memintanya menjauh. Kaivan menceritakan itu agar Maria paham dan tidak bersikap gegabah.“Jadi, apa rencanamu?” tanya Maria memastikan.“Aku hanya perlu lebih dekat dan meyakinkannya saja. Sepertinya Kai juga sudah menyukaiku, jadi itu akan lebih mud
“Kamu sebenarnya mau bicara apa, Kai? Jangan bilang kamu mau membahas wanita bernama Grisel itu! Ibu tidak sudi!” Maria memberi ultimatum lebih dulu karena telinganya terlalu sakit jika mendengar Kaivan bersama Grisel.Kaivan malah tersenyum lalu menggeleng pelan.“Bukan itu yang mau aku ceritakan,” ujar Kaivan karena melihat sang ibu sudah sangat emosi.“Lalu?” Maria menatap curiga.Kaivan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan.“Semalam aku pergi mengantar Kai ke rumah sakit untuk periksa. Dia putraku.”“Kaivan!” Maria berteriak karena syok. “Kai? Siapa maksudmu Kai itu? Dan, apa tadi kamu bilang? Putra? Jangan bilang itu anakmu dengan Grisel!” amuk Maria dengan emosi yang memuncak. Dia mencengkram dada karena merasa nyeri.“Bu.” Kaivan langsung turun dari ranjang. Dia meminta Maria untuk duduk lebih dulu.“Makanya, dengarkan aku bicara sampai selesai agar tidak syok,” ujar Kaivan malah menyalahkan ibunya yang kaget.“Siapa yang tidak syok mendengar pengakuanmu, hah!” M
Eve mengecek Kai setelah selesai bicara dan meyakinkan Bram kalau dia akan mengurus semua sendiri. Kai mungkin membutuhkan sosok ayah, tapi Eve tidak mau jika Kaivan terpaksa bertanggung jawab karena adanya Kai. Bisa saja ‘kan, dulu Kaivan tidak menginginkan Kai, sedangkan sekarang sudah terlanjur dan terpaksa menerima?Saat Eve masuk kamar. Dia melihat Kaivan ternyata tertidur di ranjangnya. Dia menatap lekat wajah Kaivan dan Kai yang sama-sama tertidur pulas. Keduanya benar-benar sangat mirip, terutama alisnya.Tidak tega membangunkan Kaivan. Eve memilih membetulkan letak selimut, lalu dia keluar dari kamar dan berniat tidur di sofa.“Bagaimana kondisi Kak Bram, Kak?” tanya Eve saat melihat Alana keluar dari kamar.“Sudah tidak apa-apa. Dia berusaha tidur sekarang,” jawab Alana, “kenapa kamu di luar? Apa Kai belum tidur sampai mantan bosmu juga masih di sana?” tanya Alana keheranan.“Ah, itu ….” Eve menoleh ke pintu kamarnya, lalu kembali memandang Alana. “Dia tertidur bersama Kai.
Bram mengajak bicara Eve di ruang makan. Alana juga ada di sana, dia dan Bram sama-sama menatap Eve sekarang.“Kamu masih tidak mau jujur dengan apa yang terjadi, Eve? Jujur pada kami, apa kamu tidak menganggap kami lagi?” Bram mencoba menekan karena merasa Eve menyembunyikan kebenaran soal ayah Kai.“Bukan begitu, Kak.” Eve bingung harus bagaimana menjelaskannya.“Kalau begitu cerita, Eve. Kami ini keluargamu, apa tidak cukup kamu berbohong dan menyembunyikan soal kehadiran Kai?” Alana ikut bicara demi kebaikan Eve juga Bram.Eve meremat jemari, lalu memberanikan diri menatap kakak dan kakak iparnya.“Katakan padaku, bagaimana bisa Kai langsung dengan mantan bosmu itu? Kalian punya hubungan khusus atau ….” Bram sengaja menjeda ucapannya agar Eve yang melanjutkan.Eve menelan ludah susah payah. Panik dan takut bercampur jadi satu.“Pak Kaivan adalah ayah Kai. Aku tidak sengaja melakukannya dengan dia.” Eve menjawab dengan suara lirih sambil menundukkan kepala.“Apa?” Bram sangat terkej
Kaivan mengantar Eve kembali ke apartemen. Dia sigap keluar dari mobil lalu membuka pintu mobil untuk Eve. Namun, saat Eve akan keluar, Kai bangun dan mencari Kaivan.“Maunya gendong Paman Kaivan.” Kai mengigau dan memberontak tidak mau digendong Eve.Eve menatap Kaivan yang berdiri di luar pintu.Kaivan membungkuk lalu mengambil alih Kai dari pangkuan Eve.“Biar aku yang menggendongnya,” ujar Kaivan.Eve terpaksa memberikan Kai karena terus memberontak. Saat sudah digendong Kaivan, Kai anteng dan langsung mengalungkan kedua lengan di leher pria itu.Mereka masuk bersama. Eve melihat Kai yang kembali tidur dalam gendongan Kaivan. Dia diam sambil terus melangkah, apa begini ikatan antara ayah dan anak meski mereka tidak pernah bertemu? Kenapa begitu erat? Bahkan Kai tidak pernah sedekat ini pada pria lain meski sering bertemu.Mereka sampai di unit apartemen Bram. Saat masuk, ternyata Alana sudah pulang.“Bagaimana kondisinya?” tanya Bram langsung menghampiri bersama Alana.“Dokter bil
“Ini hanya memar saja, selebihnya tidak ada yang fatal. Namun, untuk berjaga-jaga, saya akan memberikan obat dan salep untuk mencegah pembekuan darah di bagian punggung yang terbentur.”Dokter bicara sambil menulis resep.Kaivan lega. Dia memangku Kai yang tidak mau lepas darinya.Eve menatap Kai. Dia tidak mengerti, kenapa Kai sangat menempel pada Kaivan? Jika Eve meminta Kai menjaga jarak pada seseorang, bocah kecil itu akan patuh. Namun, kenapa Kai tidak patuh kali ini? Apa mungkin karena keduanya memiliki ikatan?Eve menggeleng pelan. Dia mencoba menepis itu. Bisa saja Kai menempel pada Kaivan karena pria itu terus mendekati dan baik pada Kai.“Eve.”Lamunan Eve buyar karena mendengar suara Kaivan. Dia menoleh dan melihat pria itu siap berdiri sambil membawa resep dari dokter.“Terima kasih, Dok.” Eve berdiri mengikuti Kaivan.Keduanya keluar dari ruang pemeriksaan di IGD, menuju apotek.“Kamu melamunkan apa?” tanya Kaivan sambil berjalan bersama Eve.“Tidak ada,” jawab Eve.Kaiva
Grisel sangat terkejut melihat Kai menangis karena membentur dinding. Dia melepas Eve lalu segera kabur dari sana.Eve berlari menghampiri Kai dan langsung menggendongnya.“Punggungnya cakit, Mami.” Kai merengek karena kesakitan.Eve menggendong Kai kembali naik ke lantai unit apartemennya berada. Dia tidak memedulikan Grisel yang kabur setelah menyakiti putranya.“Mami sakit,” rengek Kai terus menerus.Eve sangat panik hingga hampir menangis. “Ada apa?” tanya Bram terkejut melihat Kai menangis.Eve tak langsung menjawab. Dia membaringkan Kai di sofa, lalu membuka pakaian Kai untuk melihat apa ada memar di punggung karena benturan cukup keras.“Eve, ada apa? Kenapa Kai menangis dan rambutmu acak-acakan begitu?” tanya Bram sangat cemas.“Aku ambil air dingin untuk mengompres punggungnya dulu, Kak.” Eve berlari ke dapur untuk mengambil air es.Bram bingung. Dia duduk di samping Kai dan melihat punggung keponakannya itu merah.“Kenapa Kai bisa luka?” tanya Bram.“Bibi itu jahat. Dia jam