Kaivan mengajak Eve duduk di balkon atas sambil menikmati malam.Eve sudah cemas dengan informasi yang Kaivan dapat, tapi pria itu masih saja bersikap santai.“Apa benar kakakku punya hutang?” tanya Eve agak ragu.Kaivan baru saja menyesap kopi, lalu menganggukkan kepala.“Ya, ternyata jaminannya surat apartemen dan ternyata sudah jatuh tempo empat bulan sehingga mendapat surat peringatan ketiga,” ujar Kaivan menjelaskan.Eve sangat terkejut.“Pasti uang itu digunakan untuk biaya rumah sakit Kak Bram, apalagi Kak Alana waktu itu juga bilang kalau sudah kehabisan biaya, pasti mereka meminjam bank karena tak punya pilihan.”Eve terlihat sangat sedih. Meski sisanya dia yang membayarkan semuanya, tapi sebelumnya Alana dan pasti melakukan segala cara untuk pengobatan Bram.Kaivan melihat Eve kebingungan. Dia ingin bicara, tapi Eve sudah lebih dulu membuka suara.“Kalau tahu Kak Bram punya tunggakan cicilan, aku tidak akan menghabiskan uangku untuk membuka kafe. Jika bisa, lebih baik uangny
Kai bangun lebih awal pagi itu. Dia turun dari ranjang sendirian tanpa membangunkan Maria. Kai keluar kamar mencari maminya, tapi saat ke kamarnya, sang mami tidak ada di sana.“Kai mau ke mana?” tanya pelayan yang melihat Kai berjalan sendirian.“Kai mau cari Mami,” jawab Kai, “Mami bobok di mana?” tanyanya kemudian.Pelayan itu bingung karena tidak ada kamar tamu yang diminta disiapkan untuk tidur Eve.“Mungkin di kamarnya Papi,” jawab pelayan sambil menunjuk ke lantai atas.Kai memandang ke lantai atas. Dia akhirnya berjalan ke sana menuju kamar Kaivan.Kai memutar gagang pintu meski agak kesusahan, ternyata pintunya tidak dikunci, sehingga Kai bisa masuk dengan mudah. Saat sampai di dalam, Kai melihat sang mami tidur di ranjang bersama papinya.“Mami cama Papi nakal! Maca Kai tidak diajak bobok bareng!” Kai merajuk sambil berkacak pinggang.Eve terkejut mendengar suara Kai. Dia bangun dan melihat Kai sudah memasang wajah kesal.“Katanya Mami bobok kamarnya Kai,” gerutu bocah itu.
Siang itu, Bram dan Alana panik karena pihak bank meminta mereka datang.“Siang Pak Bram, Bu Alana. Mari ikut saya ke ruangan,” ajak petugas bank begitu sopan.Bram dan Alana mengangguk, keduanya saling menggenggam karena takut dan menebak jika pemanggilan mereka akibat cicilan yang macet.“Silakan duduk, Pak, Bu.” Petugas itu bersikap ramah.Alana dan Bram duduk di depan meja petugas, sambil menunggu petugas itu menjelaskan.“Seperti yang Bapak dan Ibu ketahui, pembayaran cicilan pinjaman kalian mengalami keterlambatan, jadi di sini kami memanggil Bapak dan Ibu untuk membahas hal ini,” ujar pegawai bank.Alana dan Bram saling tatap, mereka tentunya panik jika sampai pihak bank ingin mengambil jaminan berupa surat hak guna bangunan apartemen yang mereka miliki.“Begini, apa bisa beri kami kelonggaran? Setidaknya sampai akhir bulan ini, sampai gaji kami keluar,” pinta Bram. Dia takut jika sampai Eve tahu soal utangnya, lalu ikut memikirkan pembayaran yang seharusnya dia lakukan.Petuga
Dania pergi ke kafe Eve untuk makan siang. Dia langsung menghampiri Eve yang sedang membereskan meja.“Eve, aku mau makan siang.” Dania bertingkah manja pada Eve.Eve menatap pada Dania dengan seulas senyum di wajah.“Duduklah,” ujar Eve mempersilakan, “kamu mau menu apa hari ini?” tanya Eve lalu memberikan buku menu pada Dania.“Seperti biasanya saja, aku sedang cocok dengan menu itu,” kata Dania.Eve mengangguk. Dia mencatat pesanan Dania, lalu bersiap pergi ke dapur.“Eve.” Dania memanggil lagi.“Kamu mau pesan yang lain?” tanya Eve.“Bukan,” jawab Dania, “itu, apa Brian tidak di sini?” tanya Dania karena tidak melihat pria itu.Eve mengerutkan alis. Dia meminta karyawannya untuk membawa pesanan Dania ke belakang, sedangkan dia duduk bersama Dania.“Ada apa mencarinya? Entah, dia memang belum datang hari ini,” ujar Eve saat sudah duduk berhadapan dengan Dania.Dania terlihat ragu. Dia meremat jemarinya, lalu menatap Eve lagi..“Tidak ada yang penting, hanya tanya saja,” jawab Dania
“Aku bilang tidak.” Eve tetap menolak. Dia berjalan untuk menjauh dari Damian. Namun, ternyata Damian menahan lengannya, membuat Eve berhenti melangkah lalu menatap pada Damian.“Apa kamu benar-benar akan menikah dengan Kaivan?” tanya Damian dengan tatapan tidak senang.Eve merasakan cengkraman Damian yang cukup kuat. Dia mencoba melepas tapi tidak berhasil.“Untuk apa kamu mengurusi hidupku? Aku sudah diam dan membiarkanmu melakukan sesuatu seenakmu, tapi bukan berarti kamu bisa mengaturku,” hardik Eve lalu melepas tangan Damian yang menahannya.“Apa kamu yakin kalau Kaivan itu baik? Kamu tidak tahu, apa yang sudah dilakukannya, kan?” Damian mencoba memprovokasi, dia tidak akan melepas sebelum Eve mendengarkannya.Eve menatap kesal. Lalu melepas tangannya dari Damian dengan agak kasar.“Kamu pikir sudah menjadi pria yang lebih baik? Kamu pikir, apa yang kamu lakukan dulu padaku adalah sikap yang menunjukkan kalau kamu lebih baik dari Kaivan? Tolong, Damian. Aku ingin hidup tenang, apa
Kai berjalan keluar kamar memakai jas hingga terlihat begitu menggemaskan. Dia didandani pelayan, lalu pergi mencari Kaivan yang masih bersiap-siap di kamar.“Papi, apa Kai cudah mirip Papi?” tanya Kai sambil memamerkan jasnya ketika masuk kamar Kaivan.Kaivan menoleh pada Kai, lalu memulas senyum sambil menghampiri.“Tentu saja sudah mirip, tapi Kai lebih tampan dari papi.” Kaivan berjongkok lalu membetulkan letak dasi kupu-kupu di kerah kemeja Kai.Kai tersenyum lebar.“Kenapa Mami tidak ke cini?” tanya Kai.“Kita yang akan ke rumah Paman Bram, jadi Kai harus berpakaian rapi,” jawab Kaivan.Kai mengangguk-angguk paham.Kaivan sudah selesai bersiap-siap, lalu mengajak Kai turun ke lantai bawah menemui Maria untuk segera berangkat ke apartemen Bram.“Apa barang yang ibu beli sudah cukup? Ada yang kurang tidak?” tanya Maria.“Itu sudah cukup, Bu. Lagi pula ini bukan acara resmi, nanti saat acaranya saja Ibu boleh memberikan banyak barang untuk keluarga Eve.” Kaivan tahu Maria berlebiha
Dania baru saja pulang setelah mencari makan malam. Saat sampai di apartemennya, Dania terkejut melihat Damian menunggunya di depan pintu sambil membawa sesuatu di tangan.Dania mengerutkan alis. “Mau apa lagi dia?”Dania selalu saja kesal pada Damian karena sikap arogan sang kakak. Dania kembali melanjutkan langkah, hingga dia berdiri di depan Damian.“Mau apa di sini?” tanya Dania sambil menatap tak senang pada Damian.“Kamu tidak pernah pulang dan sudah lama kita tidak mengobrol, jadi aku mau sedikit berbincang denganmu,” kata Damian sambil memperlihatkan tas plastik yang dibawa.Dania menatap curiga.“Baru saja kita berdebat dan kemudian kamu ingin berbincang? Kamu pikir aku akan percaya?” Dania ingin mengabaikan Damian. Dia mau masuk ke unit apartemennya, tapi Damian mencegahnya.“Apa kamu sama sekali tidak memercayaiku? Bahkan meski aku ini kakak kandungmu?” Damian menahan tangan Dania yang hendak memutar gagang pintu.Dania menatap datar, melihat tatapan Damian yang begitu seri
Keesokan harinya. Dania sudah bangun pagi karena harus ke kantor. Dia keluar dari kamar dan melihat Damian yang masih tidur di sofa. Semalam mereka bicara banyak hal, akhirnya setelah sangat lama mereka saling diam dan tak peduli satu sama lain, kini mereka bisa bicara dan meluapkan apa yang mereka rasakan selama ini.“Dia ini, memangnya tidak kerja sampai semalam mabuk berat dan sekarang masih terkapar,” gumam Dania.Dania pergi ke dapur, tapi baru ingat jika di dapur tidak ada apa-apa, dia juga tidak pernah memasak akhir-akhir ini. Akhirnya Dania memilih keluar untuk mencari sarapan di sekitar apartemen, dia tidak mungkin membiarkan Damian pergi dengan perut kosong.Dania berjalan menuju area tempat makan yang biasa buka pagi, hingga tanpa sengaja bertemu dengan Brian yang sedang jogging..“Kenapa kamu bisa sampai di sini?” tanya Dania terkejut.“Aku menginap di sana.” Brian menunjuk ke area kos yang ada di dekat apartemen Dania. Dia merasa lebih irit menginap di sana daripada di ho
Hari pernikahan Eve dan Kaivan tiba. Malam sebelum acara pernikahan, Eve berada di kamar sedang istirahat setelah makan malam.“Eve, boleh aku masuk?” tanya Alana setelah sebelumnya mengetuk pintu.“Masuklah, Kak.”Alana membuka pintu kamar Eve. Dia melihat adik iparnya itu sedang duduk memegang ponsel.“Ada apa, Kak?” tanya Eve sambil menggeser posisi duduknya di ranjang untuk memberi tempat agar Alana bisa duduk.Alana duduk di dekat Eve. Dia menatap pada adik iparnya itu.“Besok kamu akan menikah. Aku dan kakakmu selama ini menyadari, belum pernah memberikan yang terbaik, terutama aku yang sering sekali bersikap tak baik karena rasa iri padamu. Tapi, semua sudah berlalu. Aku tidak bisa memberi apa pun selain mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaanmu,” ucap Alana sambil menggenggam erat telapak tangan Eve.Bola mata Eve berkaca-kaca. Dia mengulum bibir untuk menahan tangisnya.“Tidak memberi apa-apa bagaimana, Kak? Aku bisa kuliah dan tumbuh juga karena usaha kalian. Ya, meski Kak
Siang itu Eve pergi ke perusahaan Kaivan. Dia mengantar makanan karena Kaivan berkata jika sangat sibuk.“Kamu masih sibuk?” tanya Eve saat masuk ruangan Kaivan.Kaivan menatap pada Eve. Melihat calon istrinya itu datang, Kaivan langsung menutup tirai dinding kaca agar para staff tak melihat apa yang dilakukannya.“Kenapa tirainya ditutup?” tanya Eve keheranan.Kaivan mendekat pada Eve, lalu mengecup pipi wanita itu.“Biar mereka tidak melihat ini,” jawab Kaivan.Eve terkejut sampai memukul lengan Kaivan karena gemas.Eve mengajak Kaivan duduk. Dia membuka pembungkus makanan agar Kaivan bisa segera menyantap makan siang.“Aku sebenarnya masih harus memilah berkas, sepertinya tidak bisa makan siang dulu,” kata Kaivan.Eve menatap pada Kaivan, lalu membalas, “Kamu tetap harus makan meski sedang sibuk. Kamu memilah berkas, biar aku yang menyuapi.”Senyum mengembang di wajah Kaivan saat mendengar ide Eve. Dia mengajak Eve ke meja kerja, memosisikan kursi lain di samping kursi kerjanya agar
Eve dan Kaivan masih duduk berdua di samping rumah setelah semua orang pulang. Kaivan menggenggam erat telapak tangan Eve seperti tak berniat melepas.“Kamu dan Damian benar-benar sudah berbaikan?” tanya Eve memastikan.“Ya, anggap saja begitu. Tapi aku akan tetap memantaunya, meski bisa dibilang kalau dia sudah berumur, tapi Damian itu masih labil.”Eve terkekeh pelan mendengar ucapan Kaivan.“Kenapa malah tertawa?” tanya Kaivan dengan dahi berkerut halus.“Ya, labil sepertimu tampaknya,” balas Eve sambil melirik Kaivan.“Siapa bilang aku labil?” Kaivan tidak terima Eve mengatainya seperti itu.Eve menahan tawa. Dia menggeser posisi hingga menatap pada Kaivan lalu menjelaskan, “Jika kamu tidak labil, kamu pasti akan segera menikahi Grisel waktu itu.”Kaivan terkesiap, lalu mengelak, “Itu bukan labil, tapi hanya belum yakin.”“Aku memang berjanji akan menikahi, tapi itu untuk wanita yang aku tiduri. Dan saat Grisel mengakuinya, entah kenapa ada yang janggal, karena itu aku tidak seger
Malam itu. Kaivan dan yang lain makan malam bersama di rumah Maria. Ada Bram dan Alana juga yang diundang ke rumah.“Kalian jangan sungkan, ya. Makan saja apa yang kalian suka, kalau mau memilih menu lain yang tidak ada di meja, bilang saja. Tidak usah malu-malu, anggap rumah sendiri,” ucap Maria pada Bram dan Alana.Bram dan Alana mengangguk. Mereka benar-benar canggung diajak makan malam di rumah Maria.Saat mereka sedang makan malam, pelayan datang menemui Maria.“Itu, Bu. Pak Damian dan Mbak Dania datang,” kata pelayan.“Oh, suruh masuk saja. Aku yang mengundang mereka untuk makan malam bersama,” balas Maria.Pelayan itu mengangguk lalu segera pergi ke depan untuk mempersilakan Damian dan Dania masuk.Eve menoleh pada Kaivan. Dia melihat pria itu memasang wajah datar dan tak senang. Eve memilih diam dan tak berkomentar sama sekali.Damian dan Dania masuk. Dania langsung menyapa Maria dan yang lain, sedangkan Damian menatap pada Kaivan yang tak memandang ke arahnya sama sekali.“Ay
Bram buru-buru turun dari mobil saat sampai di rumah Kaivan. Dia dijemput sopir Kaivan karena sangat mencemaskan Eve ketika tadi menghubungi.“Bagaimana keadaanmu? Kenapa kamu tidak segera menghubungiku?” tanya Bram langsung mengecek apakah Eve terluka atau tidak.“Aku baik-baik saja, Kak. Kak Bram tidak perlu mencemaskanku seperti ini,” ucap Eve mencoba menenangkan.Bram menatap sendu, lalu menghela napas pelan.Eve mengajak Bram duduk lebih dulu, kemudian menceritakan yang terjadi dan kondisi Grisel saat ini.Bram menghela napas kasar, baru kemudian berkomentar.“Dia punya pilihan agar hidupnya lebih baik, tapi dia malah memilih cara yang salah dan memaksakan sesuatu yang seharusnya tak dia miliki,” ujar Bram, “ya sudahlah, terpenting kamu baik-baik saja.”Bram menatap Eve penuh kelegaan.Eve mengangguk-angguk sambil memulas senyum agar Bram lega.**Setelah Eve merasa lebih baik, dia dan Kaivan pergi mengunjungi Grisel ke rumah sakit untuk melihat perkembangan dan laporan medis dar
Eve mengajak Kaivan menemui ibu Grisel. Bagaimanapun mereka harus memberitahu kondisi Grisel pada wanita itu. Eve sendiri juga tidak bisa merasa tenang begitu saja karena secara langsung atau tidak, Eve juga memperburuk depresi Grisel.“Pak.” Wanita tua itu langsung sedikit membungkuk saat melihat Kaivan di belakang dan menemuinya.Eve langsung merangkul pundak wanita tua itu, kemudian berkata, “Bibi ada yang mau aku bicarakan.”Wanita itu terkejut, bahkan terlihat takut.“Apa saya membuat kesalahan?” tanya wanita tua itu.“Tidak, Bi. Bibi tidak berbuat salah, hanya saja ada yang memang harus kami bicarakan dengan Bibi,” ucap Eve mencoba tenang meski takut dengan reaksi ibu Grisel.“Duduklah, Bi.” Kaivan bicara dengan tegas agar wanita itu tidak kebingungan.Eve mengajak ibu Grisel duduk, begitu juga dengan Eve dan Kaivan yang duduk berhadapan dengan wanita itu.Wanita itu terlihat gemetar, bahkan jemarinya saling meremas sambil menatap pada Eve dan Kaivan secara bergantian.Eve ingin
Kaivan pergi ke rumah sakit setelah Eve agak tenang. Dia juga sudah berpesan pada Maria untuk menjaga Eve.Sesampainya di rumah sakit, Kaivan menemui Hendry yang ada di depan ruang inap bersama pengacara yang ditunjuk untuk menangani kasus itu, hanya berjaga-jaga jika Grisel tiba-tiba menuntut Eve.“Bagaimana?” tanya Kaivan begitu sudah berada di hadapan Hendry dan pengacara.Hendry dan pengacara itu menatap aneh pada Kaivan, membuat Kaivan mengerutkan alis.“Ada apa? Grisel ingin menuntut Eve, atau dia membuat onar lagi?” tanya Kaivan menaruh curiga.“Bukan,” jawab Hendry sambil menggeleng.“Lalu?” tanya Kaivan dengan satu sudut alis tertarik ke atas.“Lebih baik Anda lihat sendiri, dokter juga ada di dalam,” kata Hendry.Kaivan tentunya semakin penasaran, ada apa sebenarnya sampai Hendry tak menjelaskan langsung padanya. Dia akhirnya masuk ke ruang inap, lalu melihat sendiri apa yang terjadi pada Grisel.Dokter masih mengecek kondisi Grisel bersama dua perawat, bahkan kini Grisel ha
Eve dan Kaivan masih menunggu sampai Grisel selesai CT-Scan, saat itu Hendry datang setelah mengecek kamera Cctv di apartemen.“Bagaimana?” tanya Kaivan.“Saya mendapat salinannya, Pak. Sebentar saya kirim ke Anda,” kata Hendry.Hendry mengirimkan video rekaman Cctv ke ponsel Kaivan, lalu menjelaskan, “Semua murni karena kesalahan Grisel yang menyerang Eve dulu, Pak. Bahkan jatuhnya Grisel sebenarnya tidak sepenuhnya salah Eve karena seperti yang terlihat di rekaman itu, kaki Grisel tersandung kakinya sendiri yang membuatnya jatuh ke belakang dan kepalanya langsung menghantam cermin.”Eve dan Kaivan mengamati rekaman itu, ternyata benar jika kejadian yang menimpa Grisel sepenuhnya bukan salah Eve.“Tapi tetap saja, dia terluka karena aku mendorongnya lebih dulu,” ucap Eve tetap cemas. Dia bisa terlibat dengan hukum karena masalah ini.Kaivan menggenggam erat tangan Eve, lalu berkata, “Kamu tenang saja. Biar pengacaraku yang mengurus semuanya. Ada bukti yang kita pegang juga ada saksi,
Eve terus mempertahankan cincinnya. Dia takkan mengalah lagi dari Grisel setelah apa yang Grisel lakukan padanya selama ini.“Kamu tidak layak memakai cincin ini. Ini seharusnya menjadi milikku!” teriak Grisel terus mencoba melepas cincin dari jari Eve.Eve terus mempertahankan cincin itu, begitu tangannya bisa lepas dari genggaman Grisel, Eve langsung mendorong Grisel agar menjauh darinya.Namun nahas, Grisel terdorong cukup kuat, hingga mundur sebelum akhirnya menabrak cermin yang terpajang di dinding dekat lift. Kaca itu pecah seiring Grisel yang terjatuh berlumuran darah karena luka akibat benturan cukup keras.Eve sangat syok. Dia tak berniat mencelakai Grisel, tapi ternyata Grisel malah terluka karena perbuatannya.Semua yang di sana juga terkejut, apalagi Grisel langsung tak sadarkan diri.Eve gemetar karena panik.Grisel dibawa ke rumah sakit. Eve juga ikut karena merasa harus bertanggung jawab. Dia sudah menghubungi Kaivan karena ketakutan, Eve juga tidak mungkin menghubungi