Parkiran penuh dengan mobil bukanlah sesuatu yang kau harapkan saat aku tiba di rumah Rudy setelah pulang kerja. Lapangan golf sudah sangat membuatku sibuk dan kelelahan tadi sehingga aku hanya bisa berhenti sekali untuk saat memberikan minuman.
Dia tidak mengirimkan pesan lagi sepanjang hari. Perutku terasa sakit karena gelisah. Ada apa ini? Apakah perlakuan manis yang dia berikan padaku memudar begitu cepat?
Aku harus memarkir jauh hingga keluar dari tepi jalan. Menutup pintu trukku, aku mulai berjala n ke arah pintu.
"Kau tidak ingin berada di dalam sana." Suara akrab jafin terdengar di kegelapan. Aku melihat sekeliling dan melihat cahaya orange kecil jatuh ke tanah kemudian ditindis oleh sepatu sebelum Jafin keluar dari tempat persembunyiannya.
"Apakah kau datang ke pesta ini hanya untuk berkeliaran di luar?" Tanyaku. Ini kedua kalinya sejak aku tiba di sini menemukan Jafin hanya senderian di luar.
"Aku tidak bisa berhenti merokok. Rudy mengira
Meninggalkan Rudy di tempat tidur pagi ini sangat sulit. Dia tidur begitu nyenyak, aku tidak ingin membangunkannya. Tidur membuatnya tidak terlihat khawatir. Aku tidak menyadari betapa intens dan waspadanya dia sampai aku memperhatikan dia tertidur.Membuka pintu menuju ruang staff aku di sambut dengan wangi donat dan Jery yang sedang tersenyum."Selamat pagi sayang." Sapanya dengan riang."Selamat pagi.. kau akan membagi donat itu denganku atau tidak?" Balasku."Aku membeli extra hanya untukmu. Aku tahu kau akan datang bekerja hari ini." Jawabnya.Aku duduk di depannya dan meraih donat. "Seandainya saja kau menyukainya, aku akan mencium wajahmu." Aku menggodanya.Jery mengangkat sebelah alisnya. "Siapa yang tahu? Wajah sepertimu bisa membuat pria menjadi gila."Sambil tertawa, aku memakan donat yang masih hangat. Donat ini sangat enak."Makanlah karena kita mempunyai hari yang sangat panjang. Pesta debut malam ini dan ki
"Whoa..." Jery mengulurkan tangannya untuk menangkapku saat aku memasuki dapur. "Yang terjadi di sana tadi cukup brutal tapi bisa saja lebih buruk lagi. Setidaknya Rudy datang untuk menyelamatkan." Jery memelukku dan menepuk punggungku pelan.Aku tidak ingin Jery mengetahui betapa murahannya diriku. Aku tidak mampu mengatakan padanya kalau air mata ini disebabkan karena aku adalah rahasia kecil yang kotor dari seorang pria kaya raya. Bukan karena gadis itu yang telah menumpahkan makanan ke seluruh tubuhku di ruangan yang di penuhi banyak orang."Kembalilah kesana. Aku akan bicara dengan Aileen." Kata Raka ketika dia berjalan masuk ke dapur.Jery memelukku dengan sangat erat kemudian berbalik. "Kau, bersikap baiklah padanya." Kata Jery saat berjalan melewati Raka.Raka tidak menjawab. Dia sedang mengamatiku. Aku pikir inilah saatnya. Momen besar. 'Ini adalah kesalahanmu jadi kau bisa pergi sekarang.'"Aku telah mengambil resiko memperingatkanm
Aku sendirian. Aku melindungi mata dari sinar matahari dengan tanganku dan melihat ke sekeliling ruangan. Rudy tidak ada di sini. Itu mengejutkan. Aku duduk dan melihat jam, hampir jam sepuluh. Tidak heran dia tidak di sini. Aku tidur sepanjang hari. Hari ini kami harus bicara. Dia telah membiarkanku masuk ke hidupnya.Aku berdiri dan berjalan menuju ke lantai bawah. Aku sudah siap untuk menemui Rudy. Pintu lorong di sisi ruang keluarga terbuka. Aku membeku. Apa artinya? Pintu itu selalu tertutup. Lalu aku mendengar suara-suara. Aku berjalan menuju tangga kedua dan mendengarkan. Suara akrab ayahku terdengar melalui tangga. Dia sudah pulang.Aku mengambil langkah pertama dan berhenti. Bisakah aku menghadapinya? Apakah dia akan menyuruhku pergi? Apakah dia tahu kalau aku tidur dengan Rudy? Apakah Grizelle akan membuat ibunya membenciku juga? Aku tidak punya waktu untuk memikirkan semua ini.Ayahku menyebut namaku dan aku tahu kalau aku harus turun ke sana dan meng
Aku tidak menoleh ke belakang dan dia tidak memanggil namaku lagi. Aku melangkah menuruni tangga dengan koper di tanganku. Ketika aku sampai ke anak tangga paling bawah, aku melihat ayahku sedang berdiri di depan pintu ruangan tadi. mimik cemberut terukir di wajahnya.Dia tampak lebih tua sekarang. Lima tahun terakhir ini sepertinya tidak berlangsung baik untuknya."Aileen, jangan pergi.Kita bisa bicarakan mengenai hal ini. Luangkan waktumu untuk memikirkan hal ini."Dia ingin aku tetap tinggal. Kenapa? Agar dia bisa membuat dirinya terlihat baik setelah menghancurkan hidupku? Menghancurkan hidup Grizelle? Aku mengeluarkan ponsel yang pernah dia berikan dari sakuku dan mengulurkannya padanya. "Ambil ini kembali. Aku tidak menginginkan ponsel itu."Dia menatap ponsel itu lalu kembali menatap padaku. "Kenapa aku harus mengambil ponselmu?""Karena aku tidak ingin apa pun darimu." Jawabku marah dan aku sudah lelah. Aku hanya ingin keluar dari sini."Aku
Rasa lega yang aku harapkan ketika aku mengemudi keluar dari lampu lalu lintas pertama dari tiga lampu lalu lintas yang ada di sepanjang jalan. Mati rasa telah mengambil alih keseluruhan waktu mengemudiku. Kata-kata yang aku dengar dari ucapan ayahku tentang ibuku terngiang-ngiang dan terus menerus di dalam benakku sehingga aku tidak lagi mampu merasakan apapun untuk siapa pun.Aku belok kiri di lampu merah kedua dan menuju ke pemakaman. Aku perlu berbicara dengan ibuku sebelum aku menginap di salah satu hotel di sini. Aku ingin dia tahu wanita seperti apa dia. Ibu seperti apa dia. Tidak ada yang bisa menandinginya. Dia menjadi sandaranku padahal saat itu dialah yang sedang sekarat. Tidak pernah sedikitpun aku takut kalau dia akan meninggalkanku.Parkiran pemakaman kosong. Terakhir kalinya aku datang kemari banya penduduk yang datang memberikan penghormatan terakhirnya pada ibuku. Hari ini, matahari telah beranjak turun dan hanya bayangan yang menemaniku.
Aku kembali berada di dua jalur. Aku mengemudi sekitar setengah jam ke lampu merah pertama lalu belok kanan ke sebuah hotel bangunan ke dua sebelah kiri. Aku tidak pernah menginap di sini sebelumnya. Aku punya beberapa teman yang sering ke sini setelah berpesta semalaman.Membayar untuk satu malam cukup mudah. Gadis yang menjaga di meja depan terlihat akrab tapi dia lebih muda dariku. Mungkin masih SMA. Aku mengambil kunci kamarku dan segera menuju keluar.Range Rover hitam mengkilap terparkir di sebelah trukku kelihatan tidak pantas berada di sini. Hati yang kukira telah mati, rasa berdegup kencang di dadaku dalam satu dentuman yang menyakitkan seiring mataku bertatapan dengan mata Rudy. Dia berdiri menatapku di depan mobilnya dengan kedua tangan di dalam sakunya.Aku tidak berharap bertemu dengannya lagi. Setidaknya tidak dalam waktu dekat ini. Aku ingin membuat perasaanku lebih tenang. Bagaimana dia bisa tiba di sini? Aku tidak pernah mengatakan daerah asalku
1 kilo meter di luar kota sepertinya sudah cukup jauh. Tidak ada seorang pun yang pergi sejauh ini hanya untuk pergi ke apotik. Kecuali, tentu saja kalau mereka berusia dua puluh tahun dan sedang memerlukan sesuatu yang tidak ingin banyak orang tahu apa yang akan mereka beli. Sesuatu yang di beli di apotik dalam kota akan tersebar ke seluruh tempat dalam beberapa jam. Terutama kalau kau belum menikah dan membeli kondom... atau alat tes kehamilan.Aku meletakkan alat tes kehamilan di atas meja dan tidak menatap pada kasir. Aku tidak bisa. Rasa takut dan bersalah di mataku adalah sesuatu yang tidak ingin kubagi dengan orang asing. Atau juga pada Bobi. Seja aku mengucapkan selamat tingal pada Rudy agar pergi dari kehidupanku tiga minggu yang lalu, aku perlahan-lahan kembali ke rutinitasku yang dulu dengan menghabiskan waktu bersama Bobi. Ini mudah. Dia tidak menekan atau memaksaku untuk berbicara tapi ketika aku membicarakannya dia langsung diam dan mendengarkanku."Dua p
Makam ibuku adalah satu-satunya tempat yang ada dalam pikiranku untuk kutuju. Aku tidak punya rumah. AKu tidak bisa kembali ke rumah nenek Bobi. Bobi mungkin ada di sana menungguku. Atau mungkin juga tidak. Mungkin aku juga yang sudah mendorongnya pergi. Aku duduk di ujung makam ibuku. Aku menarik lutut di bawah dagu dan melingkari tangan di kakiku.Aku pulang kembali ke kota ini karena kota ini satu-satunya tempat yang kutahu akan kudatangi. Sekarang, aku harus pergi. Aku tidak bisa tinggal di sini. Keadaan yang tidak siap kuhadapi. Ketika aku masih gadis kecil ibuku pernah membawa kami ke sekolah minggu di gereja setempat. Aku teringat sebuah ayat suci yang mereka bacakan untuk kami dari Alkitab tentang Tuhan tidak memberikan beban lebih banyak dari pada beban yang mampu kita hadapi. Tuhan memberikan beban karena Tuhan tahu kalau kita mampu melewatinya. Aku mulai bertanya-tanya apakah itu hanya berlaku pada orang-orang yang pergi ke gereja setiap hari munggu dan berdoa sebe