Semoga suka dengan tiga bab hari ini, MyRe. Mohon maaf yah karena jadwal up bab 50 jadi mundur jauh ...(人 •͈ᴗ•͈) Dukung selalu novel kita dengan cara vote gems, hadiah, dan komentar manis. Jaga slalu kesehatan, dan semangat. Papai .... I-G:@deasta18
Carmen terbangun dan menemukan dirinya sudah dalam kamar. Pakaiannya telah diganti–saat ini mengenakan gaun tidur vintage berwarna putih gading. Carmen menatap ke sebelahnya dan tak menemukan Raymond di sana. Syukurlah, Carmen memang tak ingin bertemu dengan pria jahat itu! "Untung saja aku tidak mundur dari lomba memasak," jawab Carmen pelan, mengingat kembali kejadian tadi malam. Sampai sekarang Carmen masih sedih sebab Raymond membentaknya. Beruntung Carmen tak mundur dari lomba memasak, karena ini adalah satu-satunya jalan Carmen pergi dari Raymond. Jika dia menang, dia bisa memperoleh uang untuk biaya hidup. Raymond juga tak akan bisa mengusiknya karena Carmen akan mendapat perlindungan dari pihak penyelenggara kompetisi, selama di luar negeri. Carmen menoleh ke arah meja nakas, memperhatikan jam kecil yang menunjukkan jam dua belas siang. Mata Carmen membola, cukup panik karena dia terlambat bangun! "Bagaimana ini?" panik Carmen, buru-buru turun dari tempat tidur.
Padahal saat itu-- Raymond sangat senang karena akan memiliki saudara, dia sangat antusias menunggu kelahiran adiknya. "Apa jangan-jangan saat ini kau memiliki rencana untuk melenyapkanku, Heh?! Setelah Talita lalu aku?" "Tuan muda, jaga bicara anda!" tegur Vior cepat. Raymond berdecis lalu setelah itu kembali menertawakan ayahnya. Sejujurnya, dia membenci pria tua yang duduk di depannya, tetapi-- dia tetap melindunginya. Masalah Talita, dia bersedia namanya yang diseret hanya agar nama ayahnya tetap baik. Padahal pria tua ini sangat jahat padanya, tetapi kenapa Raymond tak bisa membiarkannya hancur?! Padahal jika pria tua ini hancur, bukankah dendamnya akan terbalas? Yah, Raymond punya dendam pada ayahnya. Dia ingin membuat pria ini menderita, tetapi saat ayahnya punya sedikit kendala, dia diam-diam turun tangan untuk membantu. Dia ingin ayahnya cepat mati, tetapi saat ayahnya sakit, Raymond malah panik dan khawatir. Dia bahkan diam-diam mengirim dokter terbaik untuk mengob
"Kamu ngapain beli pengharum ruangan sebanyak itu, Kal?" tanya Teresia, menatap kantong plastik yang Carmen pegang, "dan ngapain kamu minta aku nyuruh Chef Bayu ke sini?" "Kemarin Chef Bayu datang pakai mobil kan? Dan tadi-- kamu bilang dia juga pakai mobil. Jadi--" Carmen tak melanjutkan ucapannya, malah menunjukkan cengiran pada sang sahabat. "Hah? Aku nggak paham, Carmen sayang! Apa hubungannya Chef Bayu sama pengharum mobil?" Teresia mengerutkan kening, bingung dengan semuanya. "Nanti kamu akan tahu." Carmen menjawab santai. Tak lama Bayu datang, terkejut karena Teresia bersama Carmen. Namun, dia tidak bertanya apa-apa. Carmen dan Teresia masuk dalam mobil Bayu, keduanya kompak duduk di belakang. "Ck, aku bukan supir kalian. Salah satu pindah ke depan," ucap Bayu, menatap berang pada kedua perempuan yang duduk manis di kursi jok belakang. "Tere, ke sini," lanjutnya. "Kenapa aku? Carmen saja yang di depan soalnya dia yang punya rencana." "Kau ingin membunuhku?" B
Cup' Raymond kembali mengecup pundak Carmen, terus mencoba membujuk perempuan itu agar berbicara padanya akan tetapi Carmen hanya diam. Meskipun dia mengatakan Carmen boleh bendiamnya selama yang Carmen mau, tetapi Raymond tak bisa membiarkan perempuan ini terus mendiamnya. Suara Carmen adalah nyanyian indah baginya, dan diam perempuan ini adalah sunyi yang menyiksa. Raymond merampas buku Carmen kemudian meletakkannya di atas meja. Dia ingin Carmen protes dan marah padanya, tetapi perempuan itu memilih tetap menunduk. Tangan istrinya bergerak seperti membalik halaman buku–bersikap layaknya masih membaca buku. Padahal tak ada buku di pangkuan Carmen, Raymond telah merampasnya. Raymond menghela napas. Ternyata sulit menaklukan diamnya istrinya. Namun, Raymond tak akan menyerah. Dia mengendong Carmen dan membawanya ke arah ranjang. Dia yakin sekali sentuhannya akan membuat Carmen bersuara."Aku menginginkanmu, Sweetheart," ucap Raymond, memperhatikan wajah gugup Carmen yang sudah ia b
Carmen sudah berada di lokasi kompetisi memasak. Carmen tersenyum lebar karena dia berhasil ke tahap final. Juara tiga sudah ditangan tentunya dan semoga Carmen juara pertama supaya dia bisa ke luar negeri untuk meninggalkan Raymond yang jahat! "Kompetisinya akan dimulai. Semangat yah, Sayangku!" ucap Teresia pada Carmen, sudah ada di lokasi karena dia ingin menjadi pendukung garis depan untuk sang sahabat. "Semangat!" seru Carmen dengan nada riang. Dia berpelukan dengan Teresia dan setelah itu buru-buru masuk ke lokasi yang akan menjadi tempat ketiga peserta untuk menunjukkan keahlian memasak. 'Aku pasti menang. Aku yakin aku bisa!' batin Carmen, tersenyum lebar sembari masuki tempat–setelah sebelumnya dia dipersilahkan untuk masuk oleh panitia. Saat sudah di dalam, jantung Carmen berdebar kencang–gugup tetapi bersemangat secara bersamaan. Dia senang karena sebentar lagi dia akan lepas dari Raymond sang monster! "Para peserta silahkan memasak dalam waktu yang sudah ditentukan
"Se-sebenarnya Carmen ikut kompetisi ini untuk kabur dari Tuan Raymond," cicit Teresia pada rekan kerjanya, pada akhirnya mengungkapnya karena dia sangat panik melihat Raymond muncul di sini. Dia saja panik setengah mati, apalagi Carmen bukan? "Apa?" Bayu dan yang lainnya sama-sama menyeru kaget. "Tu-Tuan Raymond kan dekat dengan janda pirang-- eh, maksudku Nona Siran. Oleh karena itu sepertinya ingin lari dari pernikahannya. Aku sebenarnya tidak tahu dengan jelas karena Carmen sangat menutup diri. Tapi-- soal ingin pergi, dia sendiri yang bilang padaku. Sayangnya, di final, Tuan Raymond malah muncul," ucap Teresia dengan nada iba. Dia kasihan pada Carmen yang sudah berjuang selama enam hari ini tetapi pada akhirnya berakhir bertemu Raymond di final. Raymond pasti akan menjadi rintangan untuk Carmen. "Aku tidak bisa berkata-kata," ucap Bayu pelan, tak tahu harus memberikan komentar apa. Di sisi lain, Raymond sudah mencicipi masakan sang istri. Dia tidak mengatakan apa-apa da
"Aku akan menghabisi mu sekarang juga!" Carmen terus menjambak rambut Raymond, melupakan kemarahan yang menyelimuti dirinya. "Tu-Tuan," ucap Diego, panik dan cemas melihat kondisi sang tuan–dia melihatnya dari kaca depan mobil. "Abaikan dan anggap kau tidak melihat apa-apa," jawab Raymond, berkata tenang meskipun rambutnya ditarik kuat oleh sang istri. Ini lebih baik daripada Carmen melarikan diri ataupun mendiaminya. "Aku-- aku minta ceraiiii!" pekik Carmen kencang, menarik rambut Raymond sekuat mungkin dan setelah itu memukul pundak pria itu dengan membabi buta. "Tidak akan!" jawab Raymond tegas. Carmen melepaskan tangannya dari rambut Raymond, menggeser tempat duduk dan meringsut di pintu. Dia menangis pilu, menatap ke arah jalanan karena tak ingin melihat wajah Raymond yang menyebalkan. Raymond sangat jahat! Dia membuat Carmen kalah dalam kompetisi memasak. Padahal ini kesempatan terakhir yang Carmen miliki supaya bisa bebas dari Raymond orang-orang jahat di negara i
"Kau ingin balas dendam pada keluargamu bukan?" ucap Raymond tiba-tiba–berhasil membuat Carmen seketika berhenti memberontak. "Aku bisa membantumu, Sweetheart." "Aku tidak butuh bantuan penjahat," jawab Carmen ketus, "aku benci Mas Kaizer!" "Aku juga sangat mencintaimu." Raymond mengecup pucuk kepala Carmen, "lagi-lagi kau mengutarakan cinta padaku. Ah, bagaimana jika kita melakukan perayaan kecil, Sweetheart? Mau bercinta denganku?" Carmen seketika langsung menunjukkan muka syok bercampur julid–tak habis pikir dengan cara kerja otak Raymond. Sangat gila dan mesum! Carmen memilih diam, tak menanggapi kegilaan suaminya. Namun, mengingat sesuatu, Carmen kembali bersuara. "Sebenarnya aku memanfaatkan Mas Kaizer. Aku hanya ingin uang dan harta mas Kaizer, dan aku ingin menjadikan Mas tameng supaya bisa balas dendam pada Tiara dan Clarissa," ucap Carmen dengan nada serius, sengaja mengatakan hal tersebut untuk membuat Raymond marah padanya. Carmen mendongak untuk memperhatikan ek
Hal tersebut membuat mata Selin membelalak lebar. Jantungnya berpacu kencang dan punggungnya panas dingin. Ke-kenapa pria tua ini perhatian? Astaga, Selin tidak bisa! 'Dia memijat kepalaku?' batin Selin, meneguk saliva secara kasar sambil melirik tangan Lennon yang sedang memijat keningnya. "A-aku sudah merasa jauh lebih baik, Tuan. An-anda tidak perlu memijat kepalaku," ucap Selin gugup, mencoba bangkit tetapi Lennon menahan pundaknya."Akhir-akhir ini kita banyak masalah. Mungkin itu mempengaruhi kesehatanmu," ucap Lennon, masih memijat pelan kening istrinya. Selin hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Pada akhirnya dia membiarkan Lennon memijat kepalanya. 'Tuan Lennon semakin baik padaku. Lama-lama aku merasa tak enak. Aku-- canggung sekali.' batin Selin, mencoba memejamkan mata, mulai menikmati pijatan suaminya di kepalanya. ***"Mas Kaizer sangat hebat," puji Carmen, bertepuk tangan sambil menatap suaminya dengan kagum. "Tadi itu, aku sangat terpesona pada Mas Kaizer."
"Sekarang kau tinggal di sini. Jangan menyusahkan putraku dengan meminta tinggal bersamanya," peringat Lennon pada Talita. Kebetulan hanya Lennon dan Talita yang berada di tempat ini, Carmen sedang memasak bersama Raymond. Sedangkan Selin, tengah mengambil kacamata untuk Lennon. Talita menatap takut bercampur gugup pada ayahnya. Dia sangat ingin tinggal dengan kakaknya karena Raymond baik. Ayahnya-- Talita sangat takut pada ayahnya. "Ta-pi Tata ingin tinggal bersama Kakak Lemon," cicit Talita pelan, meremas dress berwarna pink yang dia kenakan sambil menundukkan kepala. "Kakakmu sudah memiliki istri, dan Kakak Ura sedang hamil. Dia butuh perhatian lebih dari Kakak Lemon. Jika kau di sana, perhatian Kakak Lemon akan terbagi padamu. Kasihan Kakak Ura kalau begitu," ucap Lennon, berbicara datar dan tegas akan tetapi menirukan nama panggilan Talita pada kakak laki-lakinya dan kakak iparnya. "Ck, lama sekali perempuan itu. Hanya mengambil kacamata ke kamar, tapi kenapa kenapa lamanya s
Lennon mengangkat pandangan, menatap putranya dengan tatapan kagum bercampur tak percaya. Yah, pria yang sering diteriaki iblis tak berhati itu adalah putranya. Dia orang yang sama dengan anak kecil yang melihat ayahnya membunuh ibunya yang sedang hamil besar. Dia anak yang tumbuh dengan kasih sayang yang sangat kurang, dan mental yang terluka. Namun, kenapa dalam hal ini, putranya terlihat seperti seseorang yang tumbuh tanpa luka?! Lennon tahu Raymond sangat ingin punya adik, dan dulu-- dia sangat menunggu kelahiran adiknya. Lennon juga tahu Raymond melindungi Talita karena gadis kecil itu adiknya. Hanya saja, Lennon tetap tak percaya bahwa putranya bisa melakukan hal ini; membuat adiknya percaya pada hari baik, menjaganya, dan menjamin kehidupan bagi adiknya. Lennon tak menyangka kalau Raymond sangat tulus pada Talita. Ketulusan anak itu sampai di titik-- membuat Talita lebih memilih kakaknya dibandingkan ibu ataupun ayahnya. "Kemari," panggil Raymond pelan pada Talita. Anak
"Kak Lemon," jawab Talita dengan nada takut bercampur gugup. Jawabannya tersebut membuat orang-orang menatap terkejut pada Talita, merasa aneh ataupun heran. Sebab, kenapa Talita malah memilih Raymond? Bukankah seharunya Talita memilih salah satu dari orang tuanya? Bukan Raymond. "Sayang, Tuan Raymond bukan pilihan," ucap Laudia lembut pada cucunya. Hanya pura-pura karena dia juga tak menyukai Talita, anak ini akan menjadi beban di keluarga Klopper. Yah, kecuali Siran menikah dengan Lennon, mungkin anak ini akan menjadi cucu kesayangannya. Talita melepas pelukan Siran dari tubuh kecilnya. Dia berdiri ditengah dengan tubuh kecil yang ketakutan. Talita menatap satu per satu orang-orang di sana, memperhatikan wajah mereka yang terlihat menakutkan bagi Talita. Meski masih kecil, tapi Talita tahu mereka semua tak menginginkan Talita. Tapi …-Talita menatap ke arah Raymond yang menampilkan air muka datar. Kemudian dia menatap ayah dan berakhir pada mamanya. "Talita tidak menyayangi Mam
"Tetapi Ayah tidak mau menikah dengan Mama, jadi kamu harus memilih salah satunya," ujar Siran lagi dengan nada sendu supaya mendapat simpati dari yang lainnya. Dia sengaja mengatakan hal itu, agar Talita memaksa Lennon untuk menikahinya. Secara ragu, Talita menatap ke arah Lennon, akan tetapi anak itu langsung menunduk takut karena melihat wajah marah ayahnya. Dia tidak berani! "Jadi Talita ingin bersama Ayah atau Mama?" tanya Siran kembali dengan nada rendah, sengaja membelai rambut Talita agar dia terlihat lembut dan menyayangi anak itu. "Bukankah dulu Kak Lennon tidak ingin Talita? Jadi biarkan saja Talita ikut dengan Siran. Toh, status Talita juga bukan anak sah keluarga Abraham," ucap Rihana dengan nada tegas, memberi tanggapan pada Lennon. Memang benar, Rihana ingin Lennon menikahi Siran, karena dengan begitu nama baik Lennon perlahan akan pudar. Selain itu, dia ingin balas dendam pada Selin. Sebab jika Lennon menikah dengan Siran, maka posisi Selin akan semakin rendah. Itu
"Aku hanya ingin anakku kembali padaku. Aku yang membesarkan Talita dengan segenap jiwa. Sedangkan kalian semua, dulu kalian ingin melenyapkannya kan?" ucap Siran dengan sedih, duduk di lantai sebagai hukuman dari ayahnya. Sebelumnya, dia mendapat tamparan di wajahnya dari Lennon. Itu sangat sakit! Untungnya ayahnya memohon supaya Lennon berhenti menamparnya. Mantan suami dan mertuanya juga datang ke sini. Mereka ingin mengetahui apa sebenarnya terjadi, dan seperti apa selanjutnya. Selain itu, mereka datang untuk menuntut Raymond pada Lennon karena Raymond menendang perut Harlen. Perut Harlen lebam dan sakit, dan itu perbuatan kejam Raymond. "Itu karena kami tidak tahu kalau anak yang kau kandung, itu anak Kak Lennon," ucap Rihana dengan nada lembut, tetapi terkesan menyindir–seperti menggiring orang-orang supaya berpikir kalau Lennon adalah pria bejad. Padahal semua sudah tahu jika Lennon adalah korban kelicikan Siran. Lennon dijebak oleh wanita menjijikan ini! "Apa mak
Carmen langsung melebarkan senyuman pada Raymond, melambaikan tangan pada suaminya tersebut. Namun, dia tetap berdiri di kaku di tempatnya. Faktanya, bukan hanya chef lain yang takut Raymond di sini. Carmen juga sangat takut karena dia yang akan menjadi bulan-bulanan suaminya di sini. Melihat Vincen tak jauh darinya, Carmen mendekati pria itu lalu berbisik padanya. "Kepala Chef yang memanggilnya ke sini yah?" bisik Carmen pelan. "Menjauh, Carmen. Saya dalam masalah besar," balas Vincen, sudah berkeringat dingin sambil menatap panik pada Raymond. Tiba-tiba Carmen mendekatinya dan Raymond yang ada di depan sana langsung melayangkan tatapan membunuh padanya. "Makanya jawab, Kepala Chef." Carmen berbisik lagi. Vincen menganggukkan kepala. "Saya takut Tuan Harlen melukaimu, Carmen. Oleh sebab itu saya menghubungi Tuan Raymond.""Hehehe … terimakasih, Kepala Chef. Kamu membuat kita semua dalam bahaya," cengenges Carmen, menatap tertekan pada Vincen. Astaga! Kenapa atasannya ini harus
"Hah?" Carmen melongo kaget mendengar penuturan Harlen. Menurut Carmen, pria ini sangat tidak sopan dan keterlaluan karena membahas hal seperti itu pada Carmen. Pertama, mereka tak sedekat itu dan yang kedua, apa hak nya membongkar masalah 'itu seseorang? 'Kupikir Abraham paling tak sopan itu Mas Kaizer, ternyata masih ada Fir'aun satu ini.' batin Carmen, menatap malu bercampur meringis mendengar ucapan Harlen barusan. Namun, Carmen mencoba tenang dan tak terpancing kemarahan. "Yah, suamimu seorang hyper. Dan suatu saat, setelah kau tidak bisa memuaskannya lagi, kau akan dicampakkan. Lebih baik sekarang minta cerai lah padanya, Carmen, sebelum kau dicampakkan," lanjut Harlen, menyunggingkan smirk tipis karena merasa Carmen terhasut oleh ucapannya. Lihatlah! Raut muka Carmen seperti menahan jijik. Tentu saja! Perempuan baik-baik seperti Carmen akan sangat menghindari pria hyper. Karena itu dianggap tidak benar. "Sok tahu! Orang Mas Kaizer tank kok," ucap Carmen tiba-tiba. R
"Pipiku sudah tidak apa-apa, Mas," ucap Carmen, di mana saat ini dia dan suaminya telah di rumah mereka. Raymond tengah mengompres pipinya, padahal sebelumnya pria ini juga sudah mengobatinya. "Syuttt." Raymond memberi isyarat supaya Carmen diam, "pipimu merah karena wanita gila itu. Apa masih sakit, Sweetheart?" tanya Raymond kemudian, menyentuh pipi istrinya dengan lembut pada pelan. Dia sangat berhati-hati karena takut menyakiti istrinya. Carmen menggelengkan kepala. "Ini tidak sakit, Mas. Percaya deh padaku," ucapnya pelan, berusaha meyakinkan suaminya yang terlihat masih sangat khawatir. "Seharusnya aku tidak membawamu ke sana." Raymond menarik Carmen dalam pelukannya, mendekap istrinya secara hangat, "maaf," lanjutnya. "Ti-tidak perlu meminta maaf, Mas Kaizer," cicit Carmen, merasa tak enak pada Raymond. Suaminya tidak salah sama sekali dan Carmen juga tak punya pikiran untuk menyalahkan Raymond. Malah, dia sangat senang! Karena ketika dia mendapat masalah di keluarga