Semoga suka, MyRe. Dukung novel kita dengan cara Vote gems, Hadiah, dan komentar manis. Sehat selalu untuk kalian semua. Bagi yang berpuasa, semangat yah .... IG:@deasta18
Setelah mengatakan hal itu, Carmen meraih cangkir kopi–dia meneguk habis cappucino yang masih hangat, membuat dadanya yang terasa panas akibat sesak bertambah panas. Carmen mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja kemudian segera beranjak dari sana, melangkah buru-buru agar cepat keluar dari cafe ini. "Carmen," panggil Nicolas, berniat menyusul Carmen. Namun, sebelum pergi, dia membungkuk hormat pada Raymond dan istri pria itu. Carmen bilang perempuan itu istri Raymond, jadi dia merasa harus menghormatinya juga. "Carmen, tunggu aku …," teriak Nicolas di luar, suaranya yang kencang terdengar hingga ke dalam cafe. Sayangnya, Nicolas tidak bisa mengejar Carmen. Perempuan itu naik taksi dan pergi begitu saja. Raymond mengatupkan rahang, tangannya mengepal kuat dan matanya memancarkan kemarahan yang sangat besar. Carmen dan pria itu-- mereka berpegangan tangan, berdua dan … Carmen tidak mengakuinya sebagai suami di hadapan pria itu. "Raymond, sepertinya Carmen semaki
"10 Miliar bukan?" Mendengar nama cinta sejatinya disebut oleh Lennon, mata Carmen langsung melebar. Senyuman indah seketika terbit di bibir. "Iya. Iya, Ayah mertua," ucap Carmen sembari menganggukan kepala dengan kuat. Melihat Lennon mengeluarkan cek, binar-binar terang seketika menghiasi manik perempuan cantik tersebut. Wow! Sebentar lagi Carmen dan cinta sejatinya akan bersatu. Akhirnya!! Lennon menyerahkan cek tersebut pada Carmen, dengan riang Carmen langsung menerima. Seperti sebelumnya, perempuan itu menghitung jumlah nol yang tertulis di sana lalu setelahnya mencium cek tersebut dengan penuh perasaan gembira. Namun, perasaan gembira tersebut berubah menjadi bencana ketika dia melihat sosok pria kejam yang ia hindari muncul di sini. Pria dengan tubuh tinggi dan gagah tersebut terlihat berjalan ke arah Carmen. Wajahnya begitu galak dan masih ada sisa kemarahan. Tatapan mata pria itu tajam, menghunus tepat ke arah Carmen. "Tidak tidak tidak!" gumam Carmen panik da
Carmen buru-buru berlari ke arah pintu, berniat untuk kabur dari kamar. Namun sayangnya, pintu terkunci. Raymond yang menyadari Carmen telah lepas, segera menghampiri Carmen dengan langkah panjang dan cepat. Dia memeluk pinggang Carmen lalu menariknya secara paksa–membawa Carmen ke arah ranjang. "Kau tidak bisa kabur dariku, Carmen Gaura Abraham!" dingin Raymond, mengigit daun telinga Carmen cukup kuat. "Ahck!" Carmen menjerit sakit, meronta-ronta supaya pria ini melepaskannya. "Lepaskan aku! Lepas!" Bug' Alih-alih melepasnya, Raymond melempar Carmen ke atas ranjang kemudian dia menindihnya–langsung mendaratkan ciuman kasar dan penuh kemurkaan pada perempuan itu. *** "Andai kau menurut, pasti kau tidak akan merasakan ini, Sweetheart," ucap Raymond, membelai pinggiran wajah Carmen secara lembut. Carmen menepis kasar tangan Raymond dari wajahnya, mengusap air m
Carmen ketiduran di sofa, dalam posisi duduk. Karena terkurung di kamar ini, Carmen memilih membaca buku memasak favoritnya. Namun, Carmen berakhir ketiduran. Derttttt' Deringan handphone terdengar dan cukup mengusik Carmen yang sedang tidur. Awalnya dia mencoba mengabaikan, tetapi deringan tersebut mulai menggangu dan membuat tidurnya tak nyaman. Carmen membuka kelopak mata, menoleh malas ke arah handphone yang berdering. Ketika dia ingin meraih handphone tersebut, Carmen baru menyadari sesuatu–pahanya terasa berat dan seseorang memegang tangan kirinya. Carmen sontak menunduk ke bawah, cukup terkejut mendapati Raymond tengah tidur dengan berbantalkan pahanya. Kekagetannya bertambah ketika melihat tangannya yang terluka telah dibalut dengan kain kasa. 'Apa Mas Kaizer yang mengobati? Ta-tapi … kenapa dia tahu tanganku terluka?' batin Carmen, memperhatikan telapak tangan yang sudah diobati–kini dibalut kain kasa. Derrrt' Handphone di sebelahnya kembali berdering. Perha
"Tolong, maafkan kelalaianku hari ini, Sweetheart," pinta Raymond serak, berkata dengan nada berat dan rendah. Pelukannya semakin erat pada tubuh mungil istrinya yang sedang rapuh. "U'uhm." Carmen mengagukkan kepala, membalas pelukan Raymond secara tidak sadar karena dia merasa lebih baik dalam dekapan ini. Dia tidak percaya Raymond mencintainya dan menjadikannya prioritas. Tetapi, kalimat tak meyakinkan ini berhasil membuat Carmen entah kenapa merasa lega dan tenang. "Talita-- maaf jika keberadaannya membuatmu terganggu. Tolong berikan aku waktu untuk bisa memberitahumu." Lagi-lagi Carmen menganggukan kepala, efek mengantuk sehingga dia mengangguk-angguk saja. Tak lama, dia tertidur dalam dekapan Raymond. Selain makan, dia juga suka mengantuk jika sedang sedih. Jika level sedihnya hanya biasa, Carmen akan lapar. Namun, jika sangat sakit dan menyiksa, emosionalnya meluap lebih banyak, energinya jauh lebih cepat habis dan dia akan berakhir lelah–berujung mengantuk. "Ka
"Ra-Raymond, tolong maafkan aku," ucap Siran gemetar, bertekuk lutut di depan Raymond dengan raut muka ketakutan. Mata perempuan itu melebar karena rasa takut, air matanya jatuh dan membanjiri pipi. Raymond bukan hanya membuatnya takut, akan tetapi memberikan rasa sakit di pipi. Raymond awalnya sudah lupa pada kemarahannya, akan tetapi mendengar suara Siran, amarah kembali menguasai dirinya. Dengan isyarat, Raymond menyuruh Diego menarik Talita. Setelah itu dia berjalan ke arah Siran dan memukul gelas ke kepala perempuan itu. Namun, sebelum itu terjadi, tangannya lebih dulu ditahan oleh seseorang. Sebuah tangan mungil menggenggam pergelangannya, menahannya agar tidak memukul gelas ke kepala Siran. "Aku takut pada pria kasar, Mas Kaizer," ucap Carmen gugup ketika Raymond menatap ke arahnya, dia buru-buru melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Raymond kemudian menjauh dari pria itu. Aura Raymond sangat mengerikan, pekat dan seakan melilit tubuh dengan kencang. Tatapa
"Umm-- ada kompetisi memasak yang diadakan oleh perusahaan ternama di negara kita. Hadiahnya-- OMG, your dream banget, Sayang!" pekik Teresia, mencubit pipi Carmen gemas. "Chef senior di sini sudah pada tahu tetapi karena jadwal mereka padat, mereka tidak bisa ikut. Hanya kamu dan aku yang bisa ikut, karena kita masih dianggap bocah sama mereka. Tetapi karena ini impian sahabatku, aku mempersilahkan mu dengan segala hormat," ucap Teresia manis, merangkul pundak Carmen dengan akrab. "Hadiahnya besar, pemenang pertama mendapat uang sebesar 5 miliar, sertifikat dan piala kemenangan. Juga berkesempatan kursus memasak dengan chef terkenal di dunia. Juara dua, dapat uang 3 miliar dan sertifikat. Kalau juara tiga, dapat uang 1 miliar sama sertifikat." Mata Carmen berbinar-binar mendengar hal itu, akan tetapi mengingat sesuatu dia menekan diri untuk tak terlalu antusias. "Umm, kompetisi ini diadakan oleh perusahaan apa?" "Perusahaan InMie yang berkolaborasi dengan lima universitas yang
Indah. Tapi-- kenapa Carmen sedih? "Setelah Tuan sembuh, sebuah peristiwa naas terjadi. Siran hamil dan kehamilannya adalah bencana bagi keluarga kami. Suaminya menceraikannya karena masalah itu, dan seseorang yang menghamilinya tak ingin bertanggung jawab. Bahkan berniat membunuh janin Siran. Awalnya, Tuan juga tak ingin bayi itu lahir karena bagi Tuan, anak itu merupakan bencana. Siran menghilang dan kembali dengan seorang anak perempuan. Anak itu ingin dilenyapkan oleh keluarga Abraham, tetapi Tuan melindunginya. Tuan punya kenangan masa kecil yang sangat buruk, dan Talita-- penting bagi Tuan. Dia satu-satunya untuk Tuan dan dia tak ingin masa kecil Talita sulit sepertinya. Beberapa kali Tuan melindungi Talita yang berniat dilenyapkan oleh seseorang, beberapa kali juga dia berusaha mendapatkan hak asuh Talita-- karena Tuan tahu Talita akan menjadi luka untuk anda, sebab adanya Siran. Namun, Tuan selalu gagal mendapatkannya karena Tuan bukan ayah Talita. Sampai sekarang Tuan mas
"Jamal," gumam pria itu pelan, menatap dingin dan kesal pada Carmen. Itu membuat Carmen mengerutkan kening karena bingung. Dia tak melakukan apa-apa, tapi pria ini menunjukkan wajah kesal padanya. Aneh! "Hai, Pak Harlen. Selamat pagi menjelang siang, Pak," sapa Carmen ramah, meskipun Harlen terlihat menunjukan ekspresi bad mood padanya. Harlen keluar dari lift kemudian berhenti di depan Carmen. Sejujurnya Carmen perempuan yang cantik dan menarik. Hanya saja tingkahnya luar biasa menguji kesabaran! Sampai sekarang dia masih bertanya-tanya, kenapa Raymond mempertahankan perempuan abnormal ini sebagai istrinya? Padahal Raymond terkenal mudah marah. "Untuk apa kau datang ke sini?" tanya Harlen dengan nada ketus. "Loh." Carmen mengerjap beberapa kali, menatap cengang pada Harlen, "ini kan perusahaan suamiku. Terserah aku dong mau datang ke sini untuk apa. Seharusnya aku yang bertanya, Pak Harlen ke sini buat a
***"Bagaimana? Trik Tanteku berhasil di kamu nggak?" tanya Teresia, di mana saat ini Carmen sudah di hotel. Dia kembali bekerja seperti biasa. Meskipun tadi malam Raymond sempat baik saat menyentuhnya, akan tetapi paginya pria itu langsung berubah dingin padanya. Sejujurnya Carmen sangat galau, dia bimbang antara ingin melanjutkan misinya untuk mendamaikan suaminya dan ayah mertuanya, atau dia berhenti. Raymond memperingatinya secara keras. 'Aku tidak ingin hubungan kita retak.' Itu perkataan Raymond yang berhasil membuat Carmen cemas. Kalimat itu bahkan menghantuinya hingga ke alam mimpi– di mana dalam mimpinya dia tetap nekat membantu Lennon untuk berdamai dengan Raymond, akan tetapi pada akhirnya Carmen gagal, berakhir Raymond menceraikannya lalu mengusirnya saat tengah malam yang dingin. Itu mimpi yang sangat buruk, Carmen sangat takut jika itu menjadi kenyataan. "Heh!" Teresia menepuk pund
"Aku ingin Mas dan Ayah berdamai," lanjutnya dengan nada pelan dan hati-hati, supaya suaminya tak tersinggung ataupun terpancing kemarahan. Raymond melayangkan tatapan yang menghunus tajam pada Carmen. "Berdamai dengan orang yang telah melenyapkan Ibu dan adikku yang bahkan belum lahir?" dinginnya, sudah mengatupkan rahang dan memancarkan kemarahan dari sorot matanya. "Mas Kaizer salah paham. Ayah memang membunuhnya, tetapi Ayah melakukan itu untuk melindungi Mas …-" "Diam!" Sentak Raymond tiba-tiba, membuat Carmen terdiam seketika. Carmen terlonjak kaget, memejamkan mata rapat ketika Raymond membentaknya. Jantungnya berdebar kencang, kembali dia merasakan takut. Namun kali ini takut yang berbeda! "Jangan ikut campur pada urusanku dan dia!" geram Raymond, bangkit dari ranjang kemudian berniat pergi–tanpa mengenakan baju, topless pada bagian atas. Persetan! Ini rumahnya dan para pria biasa bertelanjang dada. Raymond sadar saat ini dia sedang berbalut emosi–marah dan tak ter
Sialnya! Lingerie yang Raymond angkat, itu lingerie paling ekstrim dan seksi abis. Bukan hanya malu, Carmen rasanya ingin tiada saat itu juga. Wajah Raymond yang awalnya terpasang dingin dan tak bersahabat, seketika full senyum setelah melihat isi paper bag tersebut. Dia menoleh ke arah Carmen, di mana perempuan itu segera masuk dalam selimut–membalut tubuh mungilnya dengan selimut lalu berbaring membelakangi Raymond. 'Apa kubilang?! I-ini bukan ide yang bagus!' batin Carmen, sudah ketakutan bahkan sebelum Raymond melakukan apa-apa padanya. Yang paling Carmen takuti adalah perasaan malu! Dia tak bisa membayangkan dirinya saat mengenakan lingerie seksi tersebut di hadapan suaminya. "Cih." Tiba-tiba saja terdengar menyeru geli, lalu disusul tawa yang merdu dan menyenangkan hati. Sebelumnya tawa itu sangat lembut dan menembus kalbu. Namun, entah kenapa Carmen merinding dan semakin ketakutan mendengar tawa suaminya tersebut. Alarm bahaya dalam kepala sudah berbunyi! "Kau me
"Selamat? Kau selamat dari apa, Ura?" Deg'Jantung Carmen terasa akan copot saat mendengar suara bariton milik suaminya dari belakang tubuhnya. Punggung Carmen seketika terasa panas, tubuhnya kaku dan mematung.'Tolong selamatkan aku, Tuhan. Nya-nyawaku dalam bahaya,' batin Carmen, langsung merapalkan doa supaya diberikan keselamatan oleh sang pencipta. Setelah itu, Carmen menoleh secara perjalan ke arah belakang. Tubuhnya bergerak, berputar posisi menghadap pria yang menjulang tinggi–di mana pria itu sekarang ada di hadapannya. "Ti-tidak ada," jawab Carmen gugup dan cepat, menyembunyikan paper bag ke belakang tubuhnya. Dia takut Raymond melihat paper bag tersebut lalu bertanya apa isi dari paper bag nya. "Kau dari mana?" Raymond menatap sejenak ke arah paper bag yang Carmen sembunyikan di belakang tubuhnya. Perlahan dia mendekat pada istrinya, membuat perempuan itu bergerak mundur. Dug'Carmen terus mundur karena Raymond melangkah mendekatinya. Akan tetapi, punggung Carmen telah
"Hais!" Carmen menggaruk kening yang tak gatal. Saat ini dia sedang di luar rumah, di sebuah cafe–reflek menjadi ninja demi kabur dari rumah, efek ketahuan mengintip Raymond. Tak ada yang bisa menghentikannya. Para maid dan bodyguard tak bisa menangkapnya. Carmen lega setelah berhasil kabur dari rumah itu, akan tetapi dia kembali gugup ketika mengingat dia akan balik lagi ke rumah suaminya. Dia pasti akan berhadapan dengan Raymond, lalu pria itu-- pasti menghukumnya. "Oke, kesampingkan hukuman. Mari pikirin cara supaya Mas Kaizer bisa berdamai dengan Ayah," gumam Carmen pelan, mencocol kentang goreng yang ia pesan ke es krim. "Ayah, Paman Vior dan Pak Diego sangat percaya padaku. Tapi aku sedikit ragu. Mas Kaizer pasti sangat sensitif jika membahas masa lalunya. Terlebih Ibunya." "Apa aku sogok dia dengan Chestnut saja yah?" Carmen berpikir keras, berusaha mencari cara agar bisa mengajak Raymond berbicara untuk membahas perihal ibu pria itu, tanpa menyinggung suaminya. "Ck, man
"Untuk apa dia datang kemari?" ucap Raymond dengan nada datar, melirik tak berselera ada chestnut ditangan istrinya. "Ayah datang untuk melihat tembok di belakang. Catnya luntur," jawab Carmen asalan, mendapat tatapan datar dari Raymond. Tiba-tiba saja pria itu merampas paper bag di tangan Carmen lalu menyerahkannya pada seorang maid. "Bawa ini pergi. Tak ada yang membutuhkannya," ucap Raymond dengan nada dingin, setelah itu menarik Carmen secepatnya dari saja. Carmen menatap paper bag berisi chestnut tersebut. Awalnya dia senang karena tanpa memberitahu Raymond, suaminya tahu sendiri jika itu pemberian ayahnya. Namun, perasaan senang itu berganti menjadi kesedihan ketika Raymond menyerahkan chestnut tersebut pada maid. Itu makanan kesukaan Raymond saat kecil, akan tetapi karena yang memberinya adalah ayahnya, Raymond menolaknya. Apakah hati suaminya tak tersentuh karena ayahnya masih mengingat makanan kesukaannya?! "Aku ingin tidur. Jangan kemana-mana dan tetap di si
Setelah usianya 16 tahun, Ayah mencoba mendekatinya tetapi Raymond langsung menunjukkan kebencian pada Ayah. Ayah ingin mengatakan yang sejujurnya padanya, tetapi Ayah takut melukai perasaannya. Anak itu pasti kesakitan jika tahu ibunya tak mencintainya. Raymond pasti terluka kalau sampai tahu ibunya berniat membunuhnya demi anak orang lain. Ayah tidak ingin melukai perasaannya, dan sampai sekarang Ayah tak pernah mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Biarlah dia membenci Ayah, asal dia tidak terluka ketika tahu ibunya membencinya." Carmen mengerjap-erjap, berupaya mencegah air matanya tak jatuh, akan tetapi dia tidak bisa. Bulir kristal mengalir dari pelupuk, membasahi pipi perempuan cantik itu. Cerita Lennon benar-benar membuat hatinya sakit hingga ke bagian terdalam. Cinta Lennon begitu besar untuk putranya. Dia rela dibenci oleh putranya sendiri, melakukan apapun untuk menjaga Raymond, dan mencurahkan seluruh cintanya pada putranya. Carmen tersenyum getir lalu menunduk
"Irene perempuan yang baik, dan kami saling mencintai. Raymond Kaizer Abraham adalah bentuk cinta terindah kami," Lennon mulai menceritakan masa lalunya pada Carmen. Keduanya saat ini ada di halaman samping rumah, hanya berdua supaya memberikan Lennon ruang agar bisa mengungkapkan masa lalu beratnya pada menantunya. Dia sejujurnya tak ingin memberitahu Carmen, dia juga tak ingin memberatkan Carmen dengan menceritakan kehidupannya yang pahit. Namun, sedikit keegoisan muncul dalam hati Lennon–dia sudah sangat merindukan putranya, dan dia berharap Carmen dapat membantunya setelah menceritakan ini. "Kehidupan kami bahagia. Irene dikenal dengan perempuan lemah lembut dan anggun. Raymond sangat menyayangi ibunya, dan selalu bangga ketika menceritakan tentang ibunya pada siapapun. Saat Raymond berusia lima tahun, Irene izin bekerja pada Ayah. Dia ingin kembali menggeluti dunia fashion–desainer. Ayah setuju karena tak ingin menghambat impiannya. Toh, Raymond juga sudah cukup besar. Na