Sudah dua bulan Renata dan Arjuna menjalin hubungan. Selama dua bulan itu juga hubungan mereka semakin romantis, tanpa ada gangguan lagi dari Dara. Wanita itu kini memilih untuk pindah magang dari Marabella Hotel ke hotel yang lain. Ayah Dara marah besar karena perjodohan anaknya dengan Arjuna batal.
Semakin lama menjalin hubungan, semakin banyak kebiasaan dari Arjuna yang baru Renata ketahui. Pria itu terkadang romantis, tapi kadang-kadang juga sangat menyebalkan. Romantis, pria itu suka sekali menghujaninya dengan perhatian-perhatian kecil. Bisa sangat menyebalkan jika pria itu sedang ada maunya sebenarnya maunya Arjuna cuma satu, olahraga tubuh. Bila sudah begini, dia akan mengeluarkan banyak alasan supaya Renata tidak menolak. Anggap aja ini sebagai latihan, sebelum kita melakukan malam pertama nanti. Antara kesal dan ingin tertawa, jika Renata mendengar alasan basi itu dari mulut manis Arjuna.
"Sayang.." panggil Renata kepada Arjuna saat mereka sedang makan siang
"Cukup panggil saya Om, karena saya bukan papa kamu," potong pria itu dengan nada dingin, sambil melirik Renata tajam."Baik, Om." Renata menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Saya tidak tahu apa yang terjadi antara Om sama Arjuna. Tapi, saya mohon, Om jangan pernah melarang Arjuna untuk melakukan apa yang disukainya."Ayah Arjuna mendengus lalu bangkit dari duduknya. "Anak itu memang tidak tahu diuntung. Saya menjodohkannya dengan Dara, karena wanita itu lebih baik dari kamu."Pada detik selanjutnya kedua mata mereka bertemu. Tersirat amarah dari cara pandang pria itu dan Renata akan berbohong bila dia berkata dia tidak bergetar takut. Tapi, Renata tidak datang ke sini untuk merasakan takut, dia datang ke sini demi Arjuna, demi masa depan mereka."Seharusnya, Om tidak boleh berbicara seperti itu. Karena saya merasa harga diri saya direndahkan jika Om membandingkan-bandingkan saya dengan Dara. Itu tidak benar, Om.""Lalu, mau kamu apa?"
Tak ada yang lebih indah dan lebih membahagiakan selain mendengar bahwa ayahnya menyadari tindakannya selama ini. Arjuna salut kepada ayahnya, bahkan pria itu tidak segan meminta maaf dan mengakui keegoisannya. Arjuna juga salut kepada Renata yang dapat membuat ayahnya luluh. Entah apa yang dikatakan oleh Renata, sehingga pria tua keras kepala itu bisa luluh."Kamu bilang apa aja sama Papa?" tanya Arjuna yang kini sedang menyetir mobil untuk pulang ke rumah. Seperti biasa, pria itu selalu meminta Renata untuk tidur di rumahnya dengan modus 'saya nggak akan minta kamu main'."Kamu nggak boleh tahu saya sama Papa ngomong apa aja.“Rahasia," kekeh Renata yang dibalas dengan raut wajah kecewa dari Arjuna."Oh, jadi mau main rahasia sama calon suami kamu?""Calon?" Renata berusaha menggoda Arjuna dengan pura-pura tidak tahu. "Calon apa?""Calon suami," balas Arjuna singkat."Kapan kamu pernah bilang kita mau nikah?"Arjuna men
Seperti biasa, matahari tidak bisa menelusup masuk ke dalam kamar Arjuna. Semua jendela tertutup rapat oleh gorden tebal, karena Arjuna sangat tidak menyukai matahari pagi yang membuatnya silau terbangun. Hanya ada jam weker yang berada di atas nakas dan benda itulah yang selalu setia berbunyi setiap jam setengah tujuh pagi.Ketika benda itu kembali berbunyi, Renata membuka kedua matanya secara perlahan. Dia mengambil satu-dua detik untuk mengumpulkan energi dan memfokuskan diri. Lalu, dia meraih jam weker yang masih terus berbunyi dan mematikan benda tersebut.Mata Renata langsung menelusuri sekitar, melihat ke arah sofa yang menjadi tempat tidur Arjuna. Ternyata, pria itu sudah tak ada di sana. Entah ke mana perginya. Renata dengan malas beranjak dari tempat tidur, berhenti di samping ranjang untuk mengikat rambutnya yang terurai secara asal sebelum berjalan keluar kamar."Bi, Arjuna mana?" tanya Renata kepada Bi lyah yang sedang sibuk membereskan rumah.
“Aww!" Renata meringis kesakitan, masih mengusap lututnya yang berdarah karena terbentur aspal sementara mencoba berdiri.Ia tidak mau menghadapi Dara dalam posisi yang tidak menguntungkan sepert ini. Wanita itu terlihat gila, entah apalagi yang akan dilakukannya jika Renata masih tersungkur di tanah."Dasar jalang!!!" teriak Dara, begitu keras sehingga Renata terkejut.Kedua matanya mengeras, menyiratkan amarah yang membuat Renata sedikit panik. Renata melihat sekelilingnya dan tak menemukan apa-apa. Tidak ada siapa-siapa, sunyi, bahkan untuk jika dia berteriak meminta tolong pun, mungkin tidak akan ada yang datang. Renata merasa takut, panik dan gelisah, bahkan telanjang karena kemeja Arjuna yang dikenakannya hanya menutupi sedikit paha atasnya.Rapuh - ya, itulah yang Renata rasakan. Rapuh dan kecil. Dengan perasaan tak menentu, Renata berusaha mundur sedikit demi sedikit. Tetapi, Dara langsung saja merendahkan tubuhnya dan berjongkok di hadapan
Renata tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya saat ini. Renata tahu dia bukan jalang, kata-kata kasar Dara seharusnya tidak mempengaruhinya.Di tidak merebut Arjuna dari siapa-siapa. Arjuna memilihnya lebih dulu, Arjuna mencintainya, begitu juga dengan Renata. Bahkan Arjuna menjelaskan hubungannya dengan Dara, yang tak lebih dari sekadar keinginan dua orangtua untuk mempersatukan anak-anak mereka."Ayah Dara dan Papa sudah berteman sejak lama. Tapi, saya nggak tahu kalau Dara itu anak teman Papa."Saat Renata memasukkan kunci ke lubang pintu rumahnya, diamerasakan keanehan tersebut. Rumahnya tak terkunci! Dan matanya menangkap sepasang sepatu yang tidak dikenalinya.Renata tak sekalipun merasakan takut seperti yang kini dirasakannya. Perasaan panik menjalarinya. Sebut saja Renata paranoid, tapi dia membayangkan Dara sedang menunggunya di dalam, bersiap-siap kembali menghajarnya. Tetapi itu tidak mungkin, ia menggeleng keras pada dirinya sendiri, Dara tidak ta
Tangan Renata yang masih memegang kenop pintu terus saja bergetar. Dadanya kembali sakit dan air matanya terus saja mengalir. Apa yang sudah dilakukannya benar-benar di luar kendali. Renata tidak tahu apakah yang dilakukannya ini benar ataukah salah. Bibirnya berkata ingin berpisah tetapi hatinya berkata tidak. Renata bukan lemah ataupun pesimis, dia hanya berpikir inilah yang harus dilakukannya. Renata tidak ingin jika hidupnya terancam oleh Dara. Mungkin, dia kejiwaannya terguncang, mungkin trauma karena perlakuan Dara-lah yang mendorongnya mengucapkan perpisahan, tapi Renata masih bersikukuh bahwa apa yang dilakukannya adalah yang terbaik.Benarkah itu yang terbaik? Mengorbankan perasaan mereka berdua hanya karena dia takut pada Dara? Membiarkan Arjuna terluka dan Dara menang?"Kak.." panggil Renita lembut saat melihat kakaknya yang masih terpaku berdiri dengan air mata yang belum usai.Renata menoleh ke arah adiknya, kemudian berjalan maju dan memeluk Renita
Selama satu minggu penuh, Renata tidak bekerja dan memilih untuk istirahat sejenak. Dia juga menyembuhkan lukanya dengan bantuan Renita, dan tentu saja menyembuhkan hatinya yang terluka karena perlakuannya sendiri terhadap Arjuna. Selama seminggu itu, Renata menggunakan seluruh waktunya untuk memulihkan diri - fisik dan jiwanya, mental dan raganya.Pagi ini, seperti biasa, Renata pergi bekerja dengan semangat yang sama. Fakta bahwa dia akan bertemu dengan Arjuna sebenarnya cukup membuatnya gentar, tapi Renata berusaha menepis pemikiran tersebut. Selama seminggu ini, dia menghindari Arjuna, tidak ingin membuka pintu untuk pria itu, tidak menjawab panggilan Arjuna ataupun membalas pesannya. Renata membutuhkan waktu dan dia masih bimbang. Renata tidak ingin bertemu dengan Arjuna sementara kebimbangan masih menggelayuti dirinya."Good morning, guys," sapa Renata seperti biasa.Seluruh karyawan langsung menoleh ke arah Renata dan tersenyum. Imelda yang masih terkejut
Sepanjang perjalanan menuju dapur, Renata tak henti-hentinya meremas dadanya yang sedang berdebar hebat. Sikap Arjuna membuatnya melayang seketika dan salah tingkah. Kenapa sih, dia tidak pernah kebal dari Arjuna? Kenapa hanya diperlukan usaha yang begitu sedikit untuk membuat Renata kalang kabut?Apa yang harus aku lakukan?Kelebatan mimpi itu membayang di benaknya. Belum lagi rasa sakit yang masih tersisa di tubuhnya, ingatan akan betapa ganas dan kejamnya Dara. Sedikit banyak itu kembali membuat Renata tertekan.Apa yang harus dia lakukan? Renata masih belum bisa menemukan jawabannya.Sesampainya di dapur, Renata langsung bekerja seperti biasa. Bekerja bisa menjadi pengalih perhatiannya. Tak lama kemudian, Imelda dayang dan berdiri di sampingnya seraya menyunggingkan senyum tidak jelas.“Ciee…” kata Imelda dengan nada menggoda."Apaan sih, Del? Nggak jelas lo," balas Renata yang sedang sibuk memotong daun bawang."Benar ya
Renata menatap dirinya sendiri pada pantulan cermin yang ada di ruang ganti. Tubuhnya sudah terbalut oleh busana pernikahan hasil rancangan Anne. Masih dengan veil yang belum menutupi wajahnya, Renata terus saja menatap dirinya sendiri. Renata tidak percaya, bahwa sebentar lagi, dia akan menjadi istri dari seorang Arjuna Tunggajaya Nuraga. Dan tentu saja, namanya akan berubah menjadi Renata Deanita Tunggajaya Nuraga. Panjang sekali memang, tetapi Renata menyukainya.Tok...tok..tokSuara ketukan dan decitan pintu membuat Renata menoleh ke belakang. Dilihatnya Imelda yang sudah tampak cantik dengan balutan dress tosca panjang dan rambut yang tergerai indah. Sahabatnya itu akan menjadi penggiring mempelai wanita."Yang sebentar lagi bakalan jadi Nyonya Nuraga, lagi deg-degan ya?" ucap Imelda seraya melangkahkan kaki mendekati Renata, lalu memegang kedua bahu Renata.Renata tersenyum samar, berusaha menutupi rasa gugupnya, tetapi gagal."Lo nggak usah
"Dua bulan yang lalu, aku nyaris buat kamu sengsara. Aku telah menyakiti kamu saat itu. Aku nggak tau harus bagaimana, mendengar kamu menangis membuat hatiku sakit. Aku bodoh, ya? Udah membuat kamu menangis.""Sayang..." Renata mengusap pipi Arjuna sekilas. "Nggak usah menyalahkan diri sendiri. Aku bahagia karena kamu kembali padaku. Kamu ada di sini sekarang, itu yang terpenting. Jadi, kita nggak perlu bahas masalah itu lagi, oke?"Arjuna mengangguk."Bae, aku janji nggak-""Udah," potong Renata cepat. "Aku udah nggak percaya sama janji kamu. Dulu kamu janji nggak akan ninggalin aku, tapi buktinya kamu hampir pergi selamanya. Kamu juga janji nggak akan buat aku nangis, tapi nyatanya kamu selalu buat aku nangis."Re,""Aku nggak percaya janji kamu lagi. Tapi, aku percaya kalau kamu akan selalu berusaha ada dan selalu menjagaku dengan cinta yang kamu berikan.""Jadi," Renata menarik tangannya yang sedang digenggam oleh Arjuna. Kemudian
Sayang, bangun. Saya mohon sama kamu, tolong bangun..Suara itu sudah tak asing lagi, sangat familiar. Suara yang selama ini selalu membuatnya nmerasa tenang dan bahagia.Kamu bilang akan merasa bersalah jika saya nangis. Arjuna, saya lagi nangis sekarang, jadi kamu buka, ya, mata kamu.Dia mencoba untuk membuka mata, tapi apalah daya, dia tak sanggup. Dadanya terasa semakin sesak saat mendengar wanita itu menangis. Dia juga ingin menangis, tetapi tak bisa. Tubuhnya selalu saja menolak jika dia ingin berusaha. Kegelapan semakin dalam menyelimuti dirinya. Seakan-akan berada di dasar Samudra yang paling dalam dan sulit untuk mencapai ke atas. Berusaha berenang tetapi tak bisa. Tak ada yang bisa dia lakukan selain berdiam.Dia terus saja mendengar Renata menangisi dirinya. Dia ingin sekali nembuka mata dan mengatakan pada Renata bahwa dia merasa bersalah. Tangisan Renata membuat hatinya menjerit sakit. Renata hanya ingin dia bangun, tapi ke
Setelah menemui Anne, selanjutnya Renata bertemu Ivan wedding organizer yang akan mengurusi pernikahannya nanti. Saat Renata memasuki kantor pria itu, dilihatnya Ivan sedang memegang secangkir kopi dari kedai kopi ternama di Indonesia."Hai..." sapa Ivan sembari mengulurkan tangan kanannya."Hai juga, Van." Renata menerima jabatan tangan Ivan sambil tersenyum hangat.Pria itu langsung mempersilahkan Renata duduk. Bahkan, dia sudah memesankan Renata coffee latte, kopi favoritnya."Jadi, gimana, Ren?" tanya Renata seraya mengambil cangkir dan menyesap cofee latte-nya."Semuanya udah beres. Undangan sudah, alat dan bahan dekorasi pun udah, kateringnya juga sudah siap.""Untuk pelunasan sisa biaya, kira-kira kapan?" tanya Renata."Seminggu sebelum hari pernikahan," balas Ivan yang diikuti dengan anggukan kepala Renata. "Eh, kok sendiri ke sininya? Mana calonnya?""Sibuk kerja, dia masuk siang. Jadi, nggak bisa temenin saya ke sini.
Tuhan, kenapa kau bawa dia pergi sebelum aku benar-benar bahagia?Kenapa kau jauhkan dia saat aku ingin selalu dekat dengannya?Kenapa kau buat dia menjadi pria berengsek yang ingkar pada janjinya?Apa salah aku, Tuhan?Hingga kau membuatku seperti ini.Dia,Hanya dia satu-satunya yang membuatku bahagia.Setiap kata dan tindakan kecil yang dilakukannya selalu membuatku bahagia.Senyum, tawa, dan tangisnya sudah menjadi temanku selama ini.Tuhan,Jika aku boleh minta, tolong kembalikan dia.Atau,Jika kau tak bisa nengembalikannya...Tolong sampaikan padanya bahwa aku rindu...Dari Renata yang selalu merindukan pria bernama Arjuna.☆☆☆☆☆Dua bulan kemudian...Renata baru saja meletakkan sebuket bunga di atas salah satukuburan di pemak
Tiga hari berikutnya kondisi Arjuna masih sama. Masih koma, sepertinya pria itu masih menolak untuk bangun. Renata yang sudah rapi dengan chef jacket-nya berdiri di samping ranjang Arjuna. Tidak ada pilihan, dia harus kembali bekerja untuk menggantikan posisi Arjuna. Namun, Renata tak pernah absen menemani Arjuna sebelum dan sepulang kerja."Sayang.." Renata mengusap puncak kepala Arjuna. "Saya kerja dulu, ya? Kamu jangan kayak kemarin."Renata berjalan keluar dan mendapati Ayah Arjuna sudah siap menggantikannya. Setelah berpamitan, dengan berat hati, Renata terpaksa pergi ke hotel. Jujur saja, semuanya terasa salah tanpa kehadiran Arjuna, tapi bekerja akan membantu Renata tetap waras. Dia juga tidak ingin lagi terpuruk menangis, itu tidak akan membantu dirinya sendiri dan juga Arjuna."Selamat pagi," sapa Renata yang dibalas dengan sapaan serta senyuman oleh karyawan lain.Imelda juga merasa senang karena Renata berusaha keras untuk bersikap nor
Tangis Renata menggema di lorong rumah sakit berdinding putih tersebut. Tubuhnya bergetar hebat dengan bercak air mata menutupi wajahnya. Ditatapnya telapak tangannya sendiri yang terbuka dan bergetar, bercak darah Arjuna memenuhi permukaan kulitnya. Renata masih tidak bisa menyingkirkan ingatan mengerikan itu, ketika Arjuna nyaris saja mati di hadapannya, tertembak oleh wanita gila yang terobsesi padanya.Sudah dua jam berlalu sejak kejadian naas itu, namun kondisi Arjuna masih kritis. Itu sudah cukup untuk membuat tangis Renata semakin menjadi. Di seberang sana, Ayah Arjuna tampak sedang menatap kosong ke arah ubin rumah sakit yang mengilat. Pria itu tidak menangis, hanya terdiam seperti orang yang baru saja kehilangan nyawanya."Arr-Arjuna.." lirih Renata dengan bibir yang terus saja bergetar hebat.Imelda yang kini sedang duduk di sampingnya hanya bisa merangkul bahu temannya itu. Memeluknya erat serta memberikan kehangatan kepada Renata. Imelda bergegas dat
Sepanjang perjalanan, Renata menyimpan kecemasan tersendiri. Dia takut jika Ayah Arjuna tidak menyukai penampilannya sekarang, tetapi Arjuna seperti bisa mencium kecemasannya. Pria itu menyentuh lembut lengannya, meremas tanpa kata-kata seolah sedang memberi kekuatan dalam diam.Waktu sudah menunjukan pukul 20.00 dan mereka telah di tiba di kediaman Ayah Arjuna yang sudah penuh oleh para tamu undangan. Memang, setiap tahunnya, perayaan ulang tahun Ayah Arjuna selalu dirayakan besar-besar, hitung-hitung sebagai ajang berkumpulnya teman lama.Pria itu sedang berbincang dengan salah satu temannya Ketika dia menoleh untuk menyambut anaknya dengan hangat. "Arjuna, apa kabar?""Baik, Pa," balas Arjuna. "Maaf pa, Arjuna nggak bisa ngasih hadiah. Arjuna cuman bisa ngasih Renata sebagai calon istri Arjuna."Ayahnya terkejut dengan pengakuan Arjuna barusan. Bahkan pria itu tidak menyangka jika anaknya sudah melamar Renata. Begitupun dengan Renata, yang menunjukan c
Renata tersentak dan spontan memukul bahu Arjuna dengan keras, terbukti dengan suara ringisan Arjuna. "Enak aja. Kamu itu milik saya, karena kamu adalah my hottest chef.""Oh, jadi cuma sebatas chef?" protes Arjuna dan Renata tertawa kembali. Rasanya menyenangkan jika dia dan Arjuna tertawa bahagia seperti ini.Renata berhenti sejenak, dikuti dengan Arjuna yang ikut menghentikan langkah. Wanita itu pun mendekatkan wajahnya pada telinga kanan Arjuna. "You're my hottest chef and my future husband."Arjuna terkekeh dan membalas bisikan Renata dengan ciuman di pipi seraya berkata, "And, you're my future wife. I'm so lucky to have you. "Mereka pun kembali berjalan hingga kedua tiba di samping mobil Arjuna. Pria itu membukakan pintu penumpang bagi Renata lalu berjalan mengelilingi mobilnya untuk duduk di jok kemudi."Oh iya, Hari Minggu, Papa ulang tahun," ucap Arjuna sebelum menyalakan mesin mobilnya."Ulang t