"Ibu bisa tetap puas dengan hobinya berhaha-hihi dan berdrama, dan aku tetap tenang merawat Bagas dan Tika tanpa terpengaruh sikap ibumu yang absurd, bukankah ini solusi terbaik?"Hubunganku dengan Mas Pamuji semakin hari semakin renggang, ada tembok dingin yang sengaja kubangun untuk melindungi diriku sendiri. Dari sifat dan watak ibu, dan juga dari ketidak tegasan Mas Pamuji bersikap.Meski sekarang kopi dan teh kami setiap pagi terasa manis, tapi hubungan kami justru menghambar. Mungkin sekarang perut kami lebih terjamin, karena tidak ada lagi beras segelas yang harus dimasak lembek, tapi tidak ada lagi cinta yang terhidang sebagai lauk makan.Mungkin anak-anak kami sudah tidak lagi bersedih karena tidak mampu membeli mainan yang mereka mau, tapi canda tawa kami hampir tidak hangat lagi. Mungkin taraf hidup kami telah jauh lebih baik, tapi ranjang kami sepi tidak ada lagi obrolan hangat menjelang tidur malam.Untunglah Bagas dan Tika masih leluasa tertawa, terkadang karena mereka-l
"Sekar, kalo cuma ibu yang bermasalah sama Susi, mungkin aja ibu yang bermasalah. Tapi Susi bermasalah sama banyak orang, artinya dia sendirilah masalah itu!" pungkas Bu Wandi seraya pergi meninggalkanku dalam kekalutan.Kasihan sekali Mas Pamuji, aku benar-benar syok mengetahui kenyataan ini. Terbesit dalam pikiranku untuk menjauhkan Mas Pamuji dari ibu.Apa aku berdosa?Aku seharusnya memahami, sakit batin yang Mas Pamuji derita. Dia hanya ingin dicintai, hanya ingin ada seseorang yang nyaman untuk tempatnya pulang. Naluri seorang anak pastilah menganggap seorang ibu adalah segalanya.Aku kembali menyesal mendiamkannya selama ini, mengurungnya dalam tembok dingin, padahal dia berharap aku adalah tempatnya berkasih sayang tanpa tapi.Dengan hati kalut kutinggalkan Bagas dan Tika di rumah, Bagas sudah cukup besar untuk bisa kuandalkan. Aku pergi ke rumah Bude Rum untuk mencari kebenaran. Hanya Bude Rum yang kupercaya."Kenapa, Kar? Kok wajahmu kayak orang linglung begitu?" tanya Bude
"Mau kondangan kemana Nur?" tanya Mas Pamuji."Ke luar kota Mas, sodaranya Mas Dani hajatan," jawab Nurma."Nggak usah dikasih, Mas! Giliran kita ada mobil tiba-tiba suaminya punya sodara di luar kota yang hajatan, gitu?" bisikku di telinga Mas Pamuji."Besok aku lembur, Nur, mobilnya kepake," tutur Mas Pamuji."Mas pake motor aja, dulu juga Mas pake motor terus," rajuk Nurma."Wong lemburnya juga keluar kota, kunjungan industri, mau ngeliat vendor baru," ucap Mas Pamuji."Dulu kerjaan Mas cuma di pabrik, sekarang kan harus sering ke luar kota, banyak mobilitasnya, makanya dikasih inventaris mobil, kalo enggak ya nggak dikasih sama kantor," lanjut Mas Pamuji menjelaskan.Nurma terlihat kesal, aku tidak peduli benar atau tidak alasan lemburnya Mas Pamuji, aku merasa puas. Kemana mereka saat kami susah?Saat kami punya mereka datang bagaikan lalat. Aku tidak akan membiarkan suamiku mengemis kasih sayang lagi pada mereka."Ya udah aku pinjemnya hari minggu aja," pinta Nurma pantang menye
Kudekatkan mulutku ke telinga Ibu, kubisikan kalimat yang sudah kutahan-tahan."Mulai sekarang aku akan ngelindungin Mas Pamuji dari orang yang suka manfaatin dia, terutama dari orang yang udah mencoba membunuh Mas Pamuji sebelum dia lahir!"Mata ibu membelalak, dan aku puas.Sikap ibu yang terlihat sangat terkejut dan panik, menunjukan bahwa dia benar-benar pernah melakukan usaha aborsi itu. Rasa kecewaku semakin memuncak. Sebutan ibu hampir tidak pantas disandangnya.Nurma terlihat bingung menyaksikan ekspresi ibunya yang terkejut. Dadaku naik turun menahan emosi, keberanian yang kukumpulkan untuk melawan mereka sudah mulai berbaur dengan amarah."K-kamu?" ucap ibu tergagap."Iya, aku tahu semua!" tegasku."Ada apa, Bu?" tanya Nurma panik, dia yang datang dengan percaya diri sekarang terintimidasi."Dari mana kamu tahu?" tanya ibu sedikit berbisik, berusaha agar Nurma tidak tahu."Udah waktunya aja rahasia Ibu kebongkar," jawabku sengaja membuat ibu bingung."Jangan sok tahu kamu!"
"Apa?!" pekik ibu.Ibu berlari pulang di susul Nurma di belakangnya, aku yang penasaran pun ikut berlari.Ibu mendekap Rima yang menangis, Nurma duduk di sampingnya dan mengusap lembut punggung Rima. Kuberanikan diri mendekat, aku juga ingin tahu apa yang menimpanya.Tampak sebuah tas besar di sisi lain kursi, nampaknya milik Rima. Ada Dani dan Adeva juga, suami dan anak Nurma, ternyata mereka juga ada di sini."Aku nggak mau pulang ke sana lagi, Bu, aku nggak mau!" raung Rima dalam tangisnya."Iya ... iya," sahut ibu."Tapi Rafa gimana? Ibu harus ambil Rafa dari keluarga mas Irfan!" raung Rima lagi."Sudah kamu tenang dulu, Rim, kalo udah tenang baru bisa nyari solusi," ucap Nurma.Cukup lama akhirnya sampai Rima tenang, aku berinisiatif membuatkan teh manis untuknya. Sependek ini aku hanya tahu Rima pergi dari rumahnya karena suaminya ketahuan berselingkuh. Awalnya Rima akan membawa Rafa, anaknya, tapi dihalangi oleh ibu mertuanya.Ibu tampak kalut dengan masalah rumah tangga anakn
"Sepeda Bagas bagaimana, Mas?" tanyaku."Kita beli pake motor?" usul Mas Pamuji ragu."Ishk!"Kutinggalkan Mas Pamuji yang sedang menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Kemarin udah terlanjur bilang iya sama Nurma kan?" ucap Mas Pamuji sambil mendekatiku yang kesal."Iya, sih," gumamku pelan, kembali kuhela napas.Aku pikir sikap Nurma yang arogan mengisyaratkan kalau dia tidak jadi meminjam mobil hari ini. Ternyata dia tetap memakainya meskipun sudah membuat keributan kemarin.Ternyata gengsinya tidak setinggi gaya bicaranya. Apalagi kata-kata suaminya tentang kepemilikan mobil itu, semakin membuatku geram."Lihat, Mas! Nurma yang serumah sama ibu, juga nggak simpati-simpati amat sama masalah Rima, ketelen aja tuh dia jalan-jalan sama keluarganya," ucapku pada Mas Pamuji."Itu kan kondangan, Kar, mungkin nggak enak sama keluarga Dani," jawab Mas Pamuji."Aku nggak yakin Dani punya sodara di kota itu, tempat wisata mah ada, pemandian air panas, mungkin aja Nurma ke sana, alesannya kon
"Nurma sama Dani kecelakaan, katanya nelpon ke hape Ibu sama Rima nggak diangkat dari tadi, sekarang di rumah sakit," jawab Mas Pamuji panik."Innalilahi!" seru semua hampir berbarengan."Dimana?" tanya ibu panik."Keadaannya gimana?" tanyaku, padahal aku khawatir pada mobil yang dipakai Nurma."Ehm, kita harus ke sana, tapi naik apa? Minimal 2 jam dari sini," ucap Mas Pamuji.Kami kompak melirik ke arah Irfan, dia datang kemari membawa mobil. Irfan yang tahu arah pikiran kami mendengkus kesal, disaat musawarah tentangnya dan Rima belum menemukan jalan keluar justru Nurma memberikan masalah baru."Pake mobilku, tapi nggak bisa ikut semua, mobilku kecil!" ucap Irfan setengah hati, tapi mau bagaimana lagi tidak ada pilihan lain.Akhirnya diputuskan bahwa yang berangkat Mas Pamuji, Irfan, dan juga ibu. Tentu saja aku tidak bisa karena harus menjaga Bagas dan juga Tika. Sementara Rima masih belum mau banyak berinteraksi dengan Irfan sehingga lebih memilih tinggal."Rim ... Irfan kok kaya
Masalah yang kami hadapi cukup pelik, hingga akhirnya mereka pulang dan hanya meninggalkan Dani di penjara, untuk sementara Nurma dan Rima tetap tinggal di rumah ibu.Mas Pamuji mendapat surat peringatan dari perusahaan karena masalah ini, untung saja biaya kerusakan mobil ditanggung oleh asuransi. Namun tetap saja aku was-was karena mobil ini sudah pernah membunuh orang, aku takut sial.Belakangan diketahui bahwa Nurma dan Dani memang bertamasya, bukannya kondangan seperti yang mereka katakan. Mereka menabrak sebuah warung kecil dipinggir jalan ketika jalanan menurun dan Dani gagal mengendalikan mobilnya. Gadis yang meninggal sedang menunggu dagangan orang tuanya di warung tersebut.Semua terbongkar karena keluarga Dani datang dan semua terkejut atas musibah itu, tidak ada yang sedang hajatan di antara mereka. Nurma tidak bisa lagi mengelak.Kini semua sedang mengusahakan kebebasan Dani dengan meminta damai pada keluarga korban. Terakhir korban meminta uang duka 500 juta untuk berda
Hari ini rumah ibu sudah penuh dengan persiapan, hanya Nurma yang antusias dan penuh semangat. Aku akui, di usianya yang mendekati senja ibu masih terlihat cantik.Ya pastilah, dulu gaji Mas Pamuji banyak meresap ke kulitnya dari pada ke perut anak-anakku. Nurma sibuk merias ibu, entah apa yang mereka berdua bincangkan dengan semangat.Mas Pamuji enggan hadir dengan memilih lembur, sementara Rima tidak diijinkan pergi oleh suaminya. Pakde dan Bude Rum turut hadir sebagai yang dituakan, sementara Bulek Tri dan keluarganya tidak hadir, kabarnya mereka tidak akur."Eh, jangan dimakan, belum mulai udah mau ngabis-ngabisin aja anakmu!" tegur Nurma padaku ketika Bagas dan Tika mengambil kue di nampan, padahal jelas-jelas itu sisa dari kue yang sudah tertata rapi di piring."Mamah ... Bagas cuma ngambil satu," rengek Bagas padaku sementara Tika tetap memakan kue di tangannya tanpa peduli pada teguran Nurma."Makan aja, Gas, kalau kurang ambil lagi masih banyak kok," ucapku pada Bagas."Hih,
"Arum ... pulang duluan aja, ibu masih ada urusan," ucap Bude pada Mbak Arum yang menunggu di teras, nampaknya dia tidak tertarik sama sekali dengan drama keluarga kami."Tapi udah malem, Bu! Dan Ibu belum bener-bener sembuh," tolak Mbak Arum sedikit protektif pada ibunya."Sebentar aja, nanti pulangnya biar dianter Pamuji," ucap Bude bersikeras. Mbak Arum mengikuti arahan Bude Rum dengan berat hati, dia naik dan memutar sepeda motornya."Maafin aku ya Mbak Arum, tadi aku bingung ... panik, jadi aku telpon Bude, dan terpaksa harus ngerepotin Bude lagi," bisikku pada Mbak Arum sebelum dia pergi, jujur aku merasa bersalah dan tidak enak hati."Nggak papa, Kar. Tolong dijaga aja jangan kebanyakan pikiran budenya," ucap Mbak Arum sebelum memacu motornya menjauh."Bude mau ngomong sama kalian."Akhirnya kami pulang ke rumah setelah Pak Wandi diusir oleh Bude Rum. Sesampainya di rumah kusuguhkan teh hangat karena di rumah ibu, Bude tidak minum apa pun, sementara perdebatan tadi telah mengur
Mas Pamuji berhenti dan melangkahkan kakinya dengan cepat hendak masuk ke sana."Mas?" Percuma panggilanku tidak dihiraukan.Aku lari sebisaku, akhirnya tangan Mas Pamuji berhasil kuraih dan kupegang erat."Mas!" seruku lagi sambil menarik lengannya, aku mulai panik."Ada anak-anak!" sentakku keras.Mas Pamuji tersadar, dia menatapku ragu, antara menegur ibunya atau melindungi kepolosan anak-anaknya."Aku nggak mau anak-anakku terkena pengaruh buruk!" seruku lagi.Aku juga tidak mau berurusan lagi dengan ibu. Aku tidak ingin Mas Pamuji terluka. Aku tidak ingin anak-anakku melihat sejarah buruk neneknya, apa jadinya bila peristiwa ini terekam sampai mereka dewasa dan mengerti betapa bobroknya semua ini?Aku ingin bahagia!Tanpa ibu!Apa bisa?!Kutatap mata Mas Pamuji penuh arti."Apa kita bisa pura-pura nggak tahu aja, Mas?" ucapku dengan bergetar."Aku capek!" ungkapku.Aku lelah dengan cobaan ini, semua sisi hidupku seperti dihajar oleh ibu tanpa ampun. Ekonomi, mental, kesehatan, ka
Sesampainya di depan rumah ibu, terlihat pintu sedikit terbuka, tampak sebuah sepeda motor besar terparkir di depannya, sepasang sandal lelaki juga bertengger manis di teras ibu.Jangan-jangan!Dengan jantung berdegup kencang kuberanikan diri mendekat dan membuka pintu agar semakin melebar."Assalamualaikum, Bu!" seruku.Ibu dan Pak Wandi kompak menengok ke arahku, mereka terkejut begitu pun aku. Pasangan kakek dan nenek yang tidak halal, sedang duduk saling menyuapi makanan dengan mesra. Aku geli melihatnya."Ada apa, Kar?" tanya ibu kasar.Dia tetap bersikap wajar seolah apa yang sedang mereka lakukan adalah hal biasa.Ibu meletakan garpu bekas mangga kembali ke piring dan berjalan ke arahku dengan raut wajah, bangga? Ya ampun."Ada apa? Ditanya malah plenga-plengo begitu!" ucap ibu membuyarkan pikiranku.Kutarik lengan ibu ke teras menghindari tatapan Pak Wandi yang nakal. Aku jijik."Jadi gosip itu bener, Bu?" tanyaku sedikit berbisik."Gosip? Gosip apa?" tanya ibu berlagak."I-ib
"Sekalinya murahan tetaplah murahan si Susi itu! Wanita gatal! Kamu pun anak hasil dia melo*te!" teriak Bu Lasmi lagi."Bu! Cukup!" bentakku."Tapi bener, Kar! Si Susi emang murahan," seru Bu Lasmi lagi."Kalau Bu Lasmi pikir memaki ibu di depan kami bisa bikin Bu Lasmi puas, Bu Lasmi salah! Apa bedanya Bu Lasmi sama ibu mertuaku?" Aku tidak terima dia mengungkit masa lalu ibu tentang kelahiran Mas Pamuji.Bu Lasmi menunduk dan kembali tergugu, aku prihatin pada sakit hatinya, aku paham dia hancur. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan Bu Lasmi menghancurkan Mas Pamuji. Reflek kupeluk Bu Lasmi yang mulai melunglai lemas, membiarkannya kembali menangis meluapkan sakit hatinya.Mas Pamuji duduk terdiam, sesekali dia melirik ke arah kami."Tidur aja, Mas. Biar aku nemenin Bu Lasmi dulu," usulku pada Mas Pamuji, aku takut akan lebih banyak kalimat menyakitkan keluar dari bibir Bu Lasmi.Dengan berat Mas Pamuji meninggalkan kami berdua, memberikan ruang yang lebih luas agar Bu Lasmi bisa mel
"Tapi ... mantannya Mas Pamuji cantik, kan?!" seru Nurma padaku."Cantik sih, tapi dia cantik dan sukses buat balas dendam! Apa kamu nggak sadar?!" ucapku marah.Nurma terlihat semakin kesal padaku, ibu pun sama tapi sepertinya dia mencoba menahannya."Sudah, Kar, ayo kita pulang!" ajak Mas Pamuji.Aku menuruti ajakan Mas Pamuji, meladeni Nurma bisa-bisa membuatku ikut kehilangan akal sehat. Terlihat Nurma kembali sibuk mengagumi uang di depannya sementara ibu menatap tidak rela."Kamu kenapa diem aja, Kar?" tanya Mas Pamuji setibanya di rumah."Aku kesel, Mas! Mala emang cantik, kan?" tanyaku memojokkan Mas Pamuji."Eh, enggak ... cantikan kamu Sekar," jawab Mas Pamuji tergagap, sepertinya Mas Pamuji tahu pertanyaan seperti ini akan salah apapun jawabannya."Mas ... jangan bohong, siapapun juga tahu kalo Mala itu cantik, aku mah apa atuh, bedak aja barengan sama Tika sama Bagas, lipstik harga 15 ribu belinya bisa dua tahun sekali, sabun mu--""Hust, sudahlah, Kar, nanti kalo kita pun
"Coba dulu Mbak Mala jadi iparku!" ucap Nurma.Seketika darahku mendidih, Nurma benar-benar menguji kesabaranku. Mungkin saja saat ini wajahku semerah tomat."Heh, nggak boleh gitu kamu, Nur!" tegur ibu pada Nurma.Aku terkejut, jelas sangat terkejut.Apa ibu sedang membelaku? Nampaknya ibu benar-benar mengibarkan bendera putih sekarang."Bercanda, Bu!" kilah Nurma."Pamali ngomong gitu, Nur, lagian kalo aku dulu jadi sama masmu, mungkin aku nggak di titik ini sekarang," ucap Mala sambil tersenyum."Jadi Mbak Mala ini mantannya Mas Pamuji?" tanyaku pura-pura tidak tahu."Bisa dibilang begitu, Mbak Sekar, tapi dulu kami nggak direstui," jawab Mala tanpa ragu.Aku melirik pada Mas Pamuji dan ibu."Tapi jangan salah paham, aku nggak maksud apa-apa, aku emang pengen beli sesuatu buat si mbokku, kebetulan liat postingannya Nurma jadi aku beli," lanjut Mala, dan aku meragukannya."Oh ... kenapa nggak direstui?" tanyaku penasaran, susah sekali menyembunyikan rasa cemburu, apalagi Mala sangat
Pada akhirnya ibu setuju menjual ruko warisan dari mbah kakung dan mbah putri, alias orang tua ibu mertuaku. Sayangnya tidak mudah menjual properti dengan cepat, semua yang menawar memberikan harga yang tidak wajar.Jika ruko itu terjual pun uang yang Nurma butuhkan masih kurang, semua teman-temannya tidak ada yang peduli. Terakhir ibu dan Nurma mendatangi Bude Rum dan Bulek Tri, ibu menawarkan ruko tapi keduanya menolak, akhirnya keduanya kompak menyumbang masing-masing 25 juta."Assalamualaikum." Terdengar suara Mas Pamuji pulang kerja."Waalaikumsalam," jawabku seraya membukakan pintu untuknya.Mas Pamuji kembali menggunakan motor legend kami untuk berangkat kerja."Kenapa kok Mas lesu?" tanyaku melihat gestur suamiku."Aku punya kabar buruk, Kar! Maafin aku!" jawab amas Pamuji menunduk, dia meletakan bobot tubuhnya di sofa."Ada apa, Mas?" tanyaku antusias, batinku menerka-nerka cobaan apa lagi yang menghampiri kami."Aku dimutasi, gara-gara mobil kemarin aku dianggap nggak bisa m
Masalah yang kami hadapi cukup pelik, hingga akhirnya mereka pulang dan hanya meninggalkan Dani di penjara, untuk sementara Nurma dan Rima tetap tinggal di rumah ibu.Mas Pamuji mendapat surat peringatan dari perusahaan karena masalah ini, untung saja biaya kerusakan mobil ditanggung oleh asuransi. Namun tetap saja aku was-was karena mobil ini sudah pernah membunuh orang, aku takut sial.Belakangan diketahui bahwa Nurma dan Dani memang bertamasya, bukannya kondangan seperti yang mereka katakan. Mereka menabrak sebuah warung kecil dipinggir jalan ketika jalanan menurun dan Dani gagal mengendalikan mobilnya. Gadis yang meninggal sedang menunggu dagangan orang tuanya di warung tersebut.Semua terbongkar karena keluarga Dani datang dan semua terkejut atas musibah itu, tidak ada yang sedang hajatan di antara mereka. Nurma tidak bisa lagi mengelak.Kini semua sedang mengusahakan kebebasan Dani dengan meminta damai pada keluarga korban. Terakhir korban meminta uang duka 500 juta untuk berda