Mas Bayu menatapku. Sepertinya ada yang ingin dia sampaikan. Aku yang tengah menyesap teh mencoba tidak peduli.
Jika memang ada hal penting, tentu dia akan segera menyampaikannya bukan?
Nyatanya sampai saat kopi di cangkir miliknya tinggal separuh dia tetap diam.
Mas Bayu berangkat kerja bahkan tanpa menyentuh sarapan yang disajikan Bibik. Setelah dia pergi, aku memilih masuk kembali ke kamar. Rumah ini masih saja asing bagiku.
Setiap sudutnya seolah memandangku remeh. Apalah aku yang hanya anak seorang pekerja kebun. Bisa tinggal di rumah ini pun tak pernah terpikirkan olehku.
Aku masih belum tahu, kenapa Bapak memintaku menerima pinangan keluarga Mas Bayu. Belum sempat aku bertanya, Bapak sudah sibuk mempersiapkan pernikahan kami.
Bahkan saat ijab kabul, itu kali kedua ku bertatap muka dengan suamiku. Dan setelah ijab kabul terlaksana, acara pesta pernikahan meriah yang Bapak gadang-gadang nyatanya berubah.
Ya, pesta pernikahanku yang seharusnya penuh canda tawa berubah jadi lautan tangis. Bapak telah merubahnya.
Seharusnya aku dan Mas Bayu duduk di kursi pelaminan. Tapi Bapak telah merubah pelaminanku menjadi meja panjang tempat jenazahnya.
Ya, Bapak meninggal setelah menyerahkanku pada keluarga Mas Bayu.
Bapak, lelaki cinta pertamaku, meninggalkan aku dengan status baru.
***
Menjelang siang aku memutuskan untuk membaca novel di teras samping. Di sana terdapat sebuah sofa dan rak buku. Di depan sofa ada sebuah kolam kecil berisi ikan-ikan kecil berwarna kuning, entah apa namanya. Yang jelas ikan-ikan itu berenang dengan lincah.
Dan aku senang menghabiskan waktu sambil menikmati gerakan mereka. Mereka sama sepertiku. Bebas, namun berada dalam kurungan. Semua gerakku seolah diawasi. Layaknya aku ini gembel yang tiba-tiba dipungut oleh orang kaya.
Bahkan asisten rumah tangga di sini pun seolah menganggap aku hanya hama pengganggu. Mereka hanya menunduk saat berpapasan denganku. Dan saat aku bertanya, mereka menjawab dengan enggan.
Aku sudah duduk di sofa, ketika sayup kudengar bisik-bisik ruang sebelah. Teras samping dan ruang laundry hanya terpisah oleh tembok. Dan suara dari balik tembok sering kali terdengar cukup jelas.
Mencoba tidak peduli dan melanjutkan bacaanku. Baru kemarin aku membeli novel secara online.
"Enak ya, tapi aku kasihan sama Mbak Inara."
Deg, mendengar nama Inara disebut, konsentrasiku buyar.
"Iya …, Mbak Inara kurang apa coba, sudah cantik, kaya, ramah lagi …,"
Aku memejamkan mata. Jelas itu suara Bibik dan Rum, wanita yang bertugas membersihkan rumah. Sementara Bibik bertugas untuk memasak dan mencuci.
"Kalau aku jadi Mbak Inara, sudah pasti Gendhis sudah tak heh …," suara Rum kembali ku dengar. Suara kekehan terdengar.
Mungkin mereka tidak tahu aku berada di samping mereka dan hanya terhalang oleh tembok.
"Hahaha, kamu ini."
"Iyalah Bik, Gendhis itu kan pelakor!"
"Pelakor ki apa to Rum?"
"Perebut laki orang Bik."
Rum, kenapa mulutmu tajam sekali? Bahkan kamu tak tahu apa-apa tentangku. Kutahan air mata yang ingin mengalir.
Hatiku kemudian memanas. Segera ku langkahkan kaki menuju ruang laundry.
"Ngomong apa kamu Rum?" Aku yang muncul tiba-tiba membuat Bibik dan Rum terperanjat.
"Ti--tidak Bu," jawab Rum terbata. Tangannya yang sedang memegang kain lap terlihat sedikit bergetar. Sementara Bibik masih tetap menyetrika setelah menatapku.
"Aku dengar ucapanmu tadi. Tahu apa kamu tentang pelakor, hah?" Aku menatapnya tajam.
Rum menatapku. Berani sekali wanita itu.
"Aku istri sah Mas Bayu kalau kamu belum tahu. Dan aku Nyonya di rumah ini. Paham!"
Rum membuang wajah. Tingkahnya sungguh tak memiliki sopan santun.
"Iya, saya tahu Ibu istri sah Pak Bayu, tapi kan Ibu hanya istri kedua. Apa sebutan yang pas untuk wanita yang mau menikah dengan suami orang?"ucapnya tajam.
Astaga, berani sekali dia. Tanganku mengepal. Ingin ku layangkan segala caci untuk Rum.
"Dan sebelum Ibu menikah, bukankah derajat kita sama? Bahkan mungkin lebih rendah daripada saya."
"Rum …, kamu--"
"Sudah-sudah. Tolong jangan ribut. Bapak tidak suka ada keributan di rumah ini." Bibik memotong ucapanku.
Rum menghentakkan kaki dan keluar dari ruangan. Bibik menatapku sekilas, sebelum akhirnya melanjutkan kegiatannya.
Akupun segera keluar dari ruangan yang tiba-tiba terasa sangat panas ini.
Rum, sepertinya aku harus menunjukkan siapa aku. Tunggu saja, kamu belum mengenal Gendhis itu perempuan seperti apa!
Hatiku penuh dengan berbagai rasa. Semua bergumul dan memaksa menyeruak ke luar. Kata-kata Rum sangat membekas, dan membuatku seketika seperti dihempas ke lubang penuh kotoran.Seolah tak punya harga diri.Hampir dua bulan aku menjadi nyonya di rumah ini, tapi seseorang yang bahkan mendapatkan sesuap nasi dari suamiku berani menghina.Aku marah. Ya, marah pada Bapak yang membuatku berada di posisi ini. Marah pada Mas Bayu yang mengacuhkan aku. Marah pada mertua yang memintaku pindah ke rumah Mas Bayu.Jika saja Mas Bayu bisa sedikit lebih tegas untuk menolak pernikahan kami, tentu jalan cerita hidupku akan berbeda. Aku bisa hidup bebas, dan tak akan mendapatkan hinaan di rumah suamiku.
Tanpa suara aku meletakkan novel di atas nakas, dan beringsut turun. Sambil mengikat rambut aku berjalan menuju pintu.Saat pintu terbuka, aku terperanjat. Sebuah kejutan …!Mas Bayu yang semula bersandar di samping pintu pun sepertinya ikut terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan keluar.Sesaat mata kami bertemu, gerakan tanganku yang sedang merapikan rambut pun terhenti. Beberapa anak rambut masih terburai."Sedang apa disini?" tanyaku sesaat setelah rasa kagetku hilang.
Pagi ini aku menikmati segelas teh. Tanpa menghidangkan kopi. Bibik yang sedang memasak untuk sarapan memandangku heran. Tapi dia sama sekali tidak bicara apapun.Ya, aku asing di sini. Bahkan asisten rumah tangga pun tidak menganggapku ada. Atau mungkin terganggu oleh kehadiranku?Ku lihat Mas Bayu seperti mencari sesuatu, atau mungkin memastikan sesuatu. Dia menatapku sesaat, dan aku memilih tidak berkomentar apapun."Bik …, tolong buatkan kopi." Suamiku meminta Bibik membuatkannya kopi.Lihat! Sebenarnya mudah saja dia memintaku untuk membuatkan secangkir k
Rizal mengangguk dan sedikit menjauh, namun aku yakin tangannya akan sigap menangkap jika aku jatuh lagi.Tak tahu kenapa aku merasa ada yang mengawasiku. Dan benar, saat aku melihat ke arah pintu masuk, sosok Mas Bayu ada di sana.Kenapa dia disana? Oh tidak, apakah dia melihatku hampir jatuh tadi?Aku berjalan pelan mendekatinya. Kakiku benar-benar terasa nyeri."Mas Bayu," sapaku canggung. Mas Bayu menatapku dengan pandangan tajam."Selamat siang, Pak, maaf saya tidak
"Gendhis, tunggu …!"Sepertinya Inara berusaha mengejarku."Gen … ahhh!"Aku menoleh dan terkejut saat melihat Inara, perempuan itu tersungkur dan bagian bawah bajunya basah!Terlihat pecahan beling bertebaran di sekitarnya. Seorang pelayan laki-laki berdiri kaku dengan nampan kosong."Gimana sih, resto sebagus ini kenapa punya pelayan ceroboh kayak kamu!" Inara menuding pelayan malang itu. Si pelayan tidak menjawab, tapi terlihat sekali dia menahan diri untuk tidak membalas tudingan Inara."Kamu tahu, bajuku ini mahal, kena tumpahan juice mana bisa hilang," keluhnya. Tangannya sibuk
Seketika ruangan hening, bahkan setelah Mas Bayu menjauhkan wajahnya dariku.Tatap matanya yang tajam memaksaku untuk mengangguk. Pria dingin itu kemudian kembali menggenggam tanganku dan memaksa mengikuti langkahnya.Kami berdua menaiki tangga. Di sudut yang tersembunyi aku berhenti dan melepaskan genggaman tangannya.Mas Bayu menyerngit tak suka. Namun aku tak perduli. Aku tak ingin terus terbuai oleh sikap manisnya di kantor. Dan akan terasa sakit saat menemukan realita berbeda sesampainya di rumah nanti.Dengusan kasar terdengar, dan hentakan kakinya kembali terdengar menaiki tangga.Tuhan, tolong hentikan debaran kurang ajar yang lancang datang tanpa k
Aku tergagap, bodoh … bodoh! Aku bahkan tak tahu alamat tempat tinggalku saat ini …!Sopir taksi menepikan mobilnya, dan menoleh ke arahku, "maaf, Mbak … tujuan kita kemana ya?" Dia bertanya sekali lagi.Aku yang dari tadi menahan kesal tanpa sadar mengalirkan air mata. Sopir tadi menghembuskan nafas, mungkin dia sedang berusaha bersabar. Apa dia tidak tahu, aku lebih kesal darinya.Pagi tadi dengan rasa bahagia aku keluar dari rumah, membeli tanaman, sampai akhirnya dijemput paksa oleh laki-laki yang bergelar suami. Di situ kebahagiaanku mulai terkikis, semakin habis ketika harus menjemput Inara.Ditambah ucapan kasar Mas Bayu tadi di kantor! Ah …!
Mas Bayu mencekal tanganku dan menarik masuk ke kamar. Sesampainya di kamar, tubuhku didorongnya ke tempat tidur. Aku yang tidak menduga mendapat perlakuan seperti itu tentu saja hilang keseimbangan. Apalagi Mas Bayu yang berbadan tinggi kekar seolah mengerahkan seluruh tenaganya."Jangan banyak tingkah dan mempermalukan dirimu sendiri. Apalagi di depan asisten rumah tangga," sentaknya kasar. Dia berdiri tegak, kakinya berada di kanan kiri lututku, dengan telunjuk mengarah lurus kepadaku.Aku cepat berdiri dan mendorong tubuhnya, "Aku tidak peduli. Toh posisiku dan mereka tak ada bedanya. Hanya sebagai pelengkap rumah mewahmu ini kan?"Mas Bayu sepe
Rasa tak percaya diri muncul. Apa bentuk tubuhku berubah mengerikan? Apa lemak yang mengiringi kehamilanku membuat hasratnya lebur?Lagi-lagi aku patah.Kuputuskan untuk mengunci pintu, dan menangis diam-diam. Berusaha meredam amarah agar tak salah arah.Duduk diam dan membiarkan air mata mengalir begitu saja.Hampir tengah malam seseorang mencoba membuka pintu. Aku tetap diam. Tak berusaha bangun untuk membukanya.Saat ini aku ingin sendiri. Berdamai dengan rasa yang menyakitiku.***"Kenapa p
Hari-hari selanjutnya kulalui dengan normal. Tidak ada yang mengusikku, selain Mas Bayu.Lelaki itu nyaris setiap saat memintaku kembali ke rumah. Sayangnya aku masih merasa nyaman disini. Rumah Diana yang sudah dibeli suamiku dengan harga fantastis.Diana bahkan mampu membeli rumah lain yang lebih besar dan juga liburan ke luar kota. Aku tidak akan melupakan saat Mas Bayu juga menjanjikan sebuah toko kue lengkap dengan karyawan untuknya.Entahlah, aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran suamiku itu. Terlalu mudah menghamburkan uang.Sepertinya setelah kepergianku, dia berubah bekerja keras hingga lupa waktu. Mungkin itu caranya untuk melupakan aku. Menurut Inara, harta Mas Bayu tak akan
"Kamu mau makan apa?" tanya Mas Bayu. Tatapannya tak beralih dari jalan raya yang padat ileh kendaraan."Tidak," jawabku pelan."Anakku, apa dia tidak lapar?" Kali ini Mas Bayu menatapku sebentar.Rasa hangat kembali memenuhi dadaku. Aku tersenyum. Semudah itu membuatku bahagia."Kenapa?""Hmm? Kenapa apanya?" Aku menoleh. Mengamati tangan kekarnya yang memegang setir."Kamu, senyum-senyum begitu.""Nggak boleh?" rajukku.Mas Ba
Tidak apa?" Aku masih mencoba mencari kepastian.Mas Bayu masih berdiri tegak. Tak menoleh, juga tak menyahut. Dengan cepat kulempar bantal ke arahnya.Hanya terdengar helaan nafas darinya. Aku hampir putus asa. Sikapnya semakin mambuatku yakin pada apa yang kupikirkan. Pak Mahmud telah meninggal."Aku ikut," putusku cepat.Ternyata ucapanku kali ini menimbulkan reaksi. Dia berbalik dan memandangku. Aku berdiri dan segera meraih jaket untuk menutupi piyama yang kukenakan. Selanjutnya aku menabrak lengannya untuk keluar menuju kamar mandi."Ndhis!"Seruannya tak kuhiraukan. Dengan cepat aku mencuci muka dan menggosok gigi. Tak lupa kuikat rambut menyerupai gaya ekor kuda."Ayo," ajakku."Kamu di rumah saja." Dia masih berusaha membujuk."Tidak. Aku ikut atau kamu tidak akan pernah bisa menemukanku lagi. Aku akan pergi," ancamku."Bagaimana bisa kamu pergi, sedangkan dun
"Katakan, di mana Pak Mahmud?" Aku mencecar Mas Bayu. Lelaki itu menghela nafas kasar."Entahlah. Terakhir yang kutahu, dia mengantar ayah melakukan perjalanan bisnis. Beberapa malam yang lalu, dia menghubungiku. Memberi tahu tentang kamu. Semua begitu cepat. Seperti sesuatu mengejarnya.""Kamu tidak melacak ponselnya?" tanyaku khawatir. Hal mudah bagi Mas Bayu untuk mengetahui keberadaan seseorang melalui ponsel. Apalagi ada beberapa karyawannya yang dibidang itu."Sudah. Dan hanya ponsel yang kutemukan." Mas Bayu membuang muka. Terlihat sekali dia tengah menyembunyikan sesuatu."Lalu, siapa laki-laki yang tadi berkelahi denganmu?""Mereka suruhan ibu.""Suruhan? Untuk apa?" Heranku."Kamu mengandung pewaris mereka," ucapnya pelan."Apa hubungannya?""Jika anak kita lahir, mereka akan membawanya, dan tidak mustahil mengakhiri hidup kita."Gila! Aku tidak habis pikir, ini ha
Aku berpura tidak peduli dengan raut wajahnya yang terlihat kesal. Dengan gerakan santai kubereskan peralatan untuk membersihkan luka Mas Bayu tadi.Selain obat pereda nyeri, orang-orang itu juga membeli kain kasa dan beberapa lembar plester.Cangkir kopi kubawa ke dalam. Sebagai gantinya aku membuatkan teh manis untuknya dan empat orang yang berdiri siaga di teras. Sebenarnya aku sudah mempersilahkan mereka untuk duduk, tapi aura Mas Bayu yang kehilangan secangkir kopi begitu kelam. Mungkin itu membuat mereka memilih berdiri.Hari sudah malam, dan aku menyiapkan makanan untuk lima lelaki dewasa. Mudah saja bagiku yang memang senang bergelut di dapur. Apalagi si kecil yang biasanya aktif, entah kenapa kurasa tenang. Apa mungkin dia senang, bisa merasakan kehadiran ayahnya?Senyum muncul saat menyentuh perutku sendiri. Ah, bagaimana rasanya jika Mas Bayu mengelusnya?Aku menggigit bibir. Tiba-tiba dorongan untuk merasakan tangan
"Aku terluka, tidakkah kamu ingin melihatnya?"Melihat lukanya? Dia terluka?Hatiku mulai sedikit goyah. Apalagi bayi dalam kandunganku seolah memaksa untuk mendekati sang ayah."Aku yang masuk, atau kamu keluar," tegasnya. Matanya tak lepas dariku.Terlihat Mas Bayu mulai melangkah, tanpa melepas pandangan. Semakin dekat, dan semakin terlihat luka lebam di wajahnya. Dia benar-benar terluka!"Berhenti! Aku akan keluar." Segera kututup ponsel dan berjalan membuka pintu.Pintu terbuka, angin senja menyambutku. Memainkan anak rambut di dahiku.Setelah sekian lama, aku kembali bisa menatapnya. Ada rasa membuncah yang memaksaku untuk berlari. Ingin meraup wajah tampannya, menenggelamkan diri di pelukannya."Jangan lari!" Serunya tertahan. Sorot matanya terlihat khawatir."Tidak, aku tidak berlari," elakku. Aku hanya mempercepat langkah, agar bisa segera berdiri di depanmu. Berada dala
Sangat jelas dia mengawasiku. Salah satu dari empat lelaki yang tempo hari melakukan pengeroyokan.Lelaki itu terlihat mengamati, lalu menengok ke segala arah. Siapa dia?Apa yang dia inginkan?Aku cepat-cepat mengambil ponsel, berusaha menghubungi Rizal. Sesaat aku ragu. Apa Rizal benar-benar bermaksud baik? Atau ada sesuatu yang dia dan Pak Mahmud sembunyikan dariku?Atau mungkinkah Pak Mahmud mengirim orang-orang itu untuk menjagaku? Ah, tidak!Tatapan lelaki itu terlihat begitu kelam. Seperti menunggu waktu tepat untuk berbuat jahat.Apa yang harus aku lakukan?Bingung. Ya, aku tak tahu siapa yang benar-benar peduli saat ini. Tak ada satupun yang berusaha menemuiku.Aku seperti terbelenggu di tempat ini.Aku hidup, tapi kebebasanku terenggut. Aku lelah. Sangat lelah.***Tak tahu berapa lama aku bergelung di balik selimut. Keringat dingin terus mengalir. Suara
Kandunganku saat ini memasuki bulan ketujuh. Aku begitu menikmati setiap prosesnya. Perut yang perlahan membesar, membuatku merasa semakin percaya diri.Percaya diri, dan berusaha untuk meyakinkan diri jika aku bisa melalui ini semua. Setiap saat aku membaca dongeng untuk calon anakku. Semua kasih sayang tercurah penuh untuknya. Apalagi saat ini hanya dia yang benar-benar kumiliki.Orang-orang disekitar tempat tinggalku sangat baik. Mereka percaya jika aku majikan Diana yang sedang 'tirah' (istirahat di tempat lain untuk memulihkan kesehatan).Mereka tak mempersoalkan aku yang tinggal seorang diri. Sedikit aneh bagiku, mereka sama sekali tidak mengusik ataupun menatapku curiga. Tapi tak apa. Bukankah ini lebih baik?Di pagi hari aku sering berjalan mengitari komplek. Seperti pagi ini, aku mengambil rute memutar lewat area belakang yang masih berupa perkebunan milik warga. Suasana yang masih asri mengingatkan aku pada desa yang kutinggalkan