“Dengar, Dayyan, sebelum mengambil kesimpulan, kau harus menunggunya sadar. Rawat dulu dia, sekalipun andaikata dia mata-mata, dia harus diinterogasi sesuai prosedur. Setelah dia sadar aku serahkan urusan ini padamu. Tapi sekarang bawa dulu dia ke rumah sakit. Kau jangan gegabah.” Maira menaikkan tubuh Nuwa yang ringan ke atas brankar milik bantuan medis yang datang. Ia ikut masuk ke dalam ambulance dan membawa wanita Suku Mui itu ke klinik dekat perbatasan. “Kalau kau benar berasal dari Xin Hua dan merupakan bagian dari abdi negaranya. Maka berkatalah dengan jujur, dan hukumanmu tidak akan menyakitkan. Kalau kau bukan mata-mata, pasti kau mengalami kisah yang sangat pahit sampai hari kabur ke sini dalam sebuah kotak seperti peti mati.” Maira memegang tangan wanita itu. Cuaca di luar terasa panas menyengat, tetapi tubuh Nuwa terasa dingin. Sampai di klinik, Maira menyerahkan Nuwa pada pihak yang berweang. Tak lama setelah itu Dayyan menyusul kakaknya. “Aku tinggalkan dia padamu. Ta
Nuwa membuka matanya tiba-tiba sambil menarik napas panjang. Peruta wanita bermata kelam itu terasa sangat nyeri sejenak. Lalu ia menarik napas dengan teratur dan rasa sakit tersebut menghilang. Barusan ia bermimpi latihan bersama dengan Kai. Awalnya wanita Suku Mui itu tersenyum lalu menangis ketika mengingat mereka tidak akan bisa bertemu di alam nyata, dan hanya bisa memiliki di alam mimpi. Dua orang tenaga medis perempuan masuk ketika ada yang melaporkan kalau Nuwa telah sadar. Wanita berusia 20 tahun itu menghapus air matanya. Janda Kai tersebut perlu tahu di mana dirinya berada sekarang dan siapa orang-orang yang tadi menanyainya. “Sister, kau sudah sadar?” tanya dokter yang datang wanita sambil tersenyum. “Iya, terima kasih atas semua pertolongan ini, tapi kalian siapa dan aku di mana?” tanya Nuwa. Wanita Suku Mui itu mengira tempat yang ia singgahi sekarang banyak umat muslimnya. Terbukti tiga perempuan yang ia temui tadi memakai penutup aurat lengkap dari ujung rambut sam
Lekas saja Nuwa kenakan cadar daripada mencari masalah di negeri orang. Wanita itu dikawal oleh dua tentara di depan dan tiga tentara di belakang. Nuwa seperti mengulang kisah kelam dua minggu lalu. Bedanya dari tadi di tempat itu ia melihat banyak tulisan arab di dinding. Kebanyakan bertuliskan dalil atau hadits.“Naik,” pinta para petugas. “Jeep lagi.” Wanita itu seperti trauma melihat kendaraan tersebut. Belum lama ia membunuh empat tentara untuk melarikan diri. “Cepat, kita tidak punya banyak waktu.” Mendengar desakan kedua kalinya, Nuwa pun mau tak mau ikut. Persenjataan di rumah sakit itu juga sangat ketat. Senjata laras dan pendek, panjang, bahkan granat ada di setiap pinggang tentara. Lebih ketat daripada saat ia melarikan diri di Xin Hua.“Apa kalian akan membunuhku?” tanya Nuwa dalam bahasa Xin Hua. Empat tentara yang menjaga dirinya saling melirik satu sama lain. Dua di antara mereka bahkan mulai memegang pistol. Nuwa tersenyum di balik cadarnya. Hatinya merasa dipermain
“Tempat yang sunyi, tapi tidak gelap,” ucap Nuwa di dalam penjara di Negeri Syam. Dayyan akan mencari lebih banyak bukti seperti apa katanya. Beberapa detik kemudian lampu di dalam penjara itu dimatikan. “Akhirnya gelap lagi.” Tidak ada ketakutan lagi di hati Nuwa mendapatkan perlakuan yang sama. Hanya saja bedanya, dulu ia bersama Kai dan sekarang bersama anak di dalam kandungannya saja. “Bersabarlah, anak Ibu, apa pun takdir yang terjadi harus kita terima. Andai Ibu dihukum mati kita akan bertemu Ayah lebih cepat, andai Ibu masih diberi kesempatan hidup, akan Ibu besarkan kau seorang diri. Kita berdua kuat, pasti bisa melewati semua ini.” Nuwa berbaring di atas tikar tipis di dalam penjara. Lantai itu terbuat dari semen halus. Di siang hari memang ketika musim panas akan sangat menyengat. Namun, di malam hari angin yang berhembus terasa sangat dingin. Penjara di mana Nuwa dikurung agak dalam letaknya dan anginnya masih terasa menggigit sampai ke tulang. Beruntung ia menggunakan
“Apakah ada perkembangan dari wanita bermata besar itu?” tanya Dayyan baru saja tiba. “Seperti biasa, Tuan!” Lapor bawahannya. “Dia sholat?” tebak putra pertama Ali, lelaki yang dilemparkan makanan itu menjawab iya. “Tunggu saja sampai dia mengaji, lama-lama juga kemampuan mereka akan dikerahkan semuanya.” “Dia belum mau buka mulut juga.” “Tunggu selama dua hari, setelah itu siksa dia. Kita butuh banyak keterangan untuk menangkap sisa dari mereka yang menyebar.” “Disiksa, Tuan. Apa kau yakin?” “Yakin, tapi jangan menimbulkan bekas luka di tubuhnya. Kita tidak punya pilihan lain. Aku tidak mau jumlah orang yang tidak berdosa meregang nyawa di negeri ini terus saja bertambah.” Dayyan berjalan menuju penjara tempat Nuwa ditahan, berdua dengan bawahannya tadi. “Si keledai dungu, kau datang juga akhirnya.” “Apakah itu arti dari makianmu kemarin?” tanya Dayyan.“Iya, aku bahkan bisa lebih kasar dari yang kau kira. Lepaskan rantai ini kita duel satu lawan satu. Jangan kau pikir karen
“Sayang, kepalamu kenapa?” tanya Feme ketika Dayyan menjemput dirinya. Dahi suaminya diberi sebuah plester kecil. “Tidak ada apa-apa. Hanya tersandung tadi dan jatuh,” jawab lelaki bermata abu-abu itu. Ia berbohong karena tidak mau Feme bertambah beban pikirannya. Anak lelaki mereka yang paling besar berusia delapan tahun namanya Albani. Anak kedua yang perempuan berusia tiga tahun namanya Shabira. Dua amanah yang sudah membuat ibu mereka cukup lelah mengurus semuanya. Dayyan tidak membawa dua anaknya untuk ikut melakukan pengobatan kali ini. Bani sudah bisa dipercaya untuk menjaga adiknya. Sedangkan Bira sudah tidur dari tadi dan biasanya sore baru akan bangun. Sepasang suami istri itu pergi mengendarai mobil ke sebuah tempat pengobatan tradisional. Segala cara dilakukan Dayyan agar Feme masih bisa menemani dirinya. Sebab kata wanita itu dia tak sanggup ikut kemoterapi lagi. Tulang dan seluruh sendinya terasa sangat sakit.“Aku hanya bisa menyusahkan semua orang saja,” ucap Feme
“Kalian pasti saling mengenal, bukan?” Dayyan seperti memaksakan kehendak pada Nuwa. “Tidak!” Sampai kapan pun Nuwa tidak akan mengaku sebagai mata-mata karena ia memang bukan penyusup. Ia penyintas yang butuh pertolongan. “Kau mengenal wanita ini?” tanya Dayyan pada penyusup di dalam rumahnya. “Kenal,” dusta tentara wanita itu. “Nǐ zhège piànzi (kau berdusta),” ucap Nuwa pada wanita yang sama sekali tidak ia kenal.“Wǒ sǐ nǐ sǐ (aku mati kau mati).” Tentara itu tidak mau menderita sendirian. “Lihatlah, kalian bahkan berbicara dengan bahasa yang hanya kalian berdua paham saja. Sudah jelas kalian saling mengenal dan merencanakan sesuatu.” Dayyan menarik kesimpulan. “Aku malas sekali berbicara dengan keledai tolol sepertimu. Apa tidak ada orang yang lebih kompeten di sini?” “Kau sedang berbicara dengannya.” “Bitch!” maki Nuwa lagi. Sudah cukup rasanya Dayyan mendengar umpatan wanita Suku Mui di telinganya. “Artinya kalian berdua mata-mata?” tanya adik Maira pada tentara wanita
Dayyan tidak pernah main-main dengan keputusannya. Sebab didukung oleh bukti yang belum bisa dibantah pula. Di hari menjelang malam ketika angin panas telah berganti dengan angin yang mulai dingin, Nuwa benar-benar mendapatkan siksaan. Dikatakan keji tapi tidak menimbulkan luka. Tidak keji tapi membuat wanita Suku Mui itu semakin membenci putra pertama Ali. Janda Kai itu dimasukkan ke dalam sebuah bak berisikan air di mana ada banyak batu es berukuran besar. Sekilas memang tidak menimbulkan luka, tetapi rasa dingin hingga menggigit tulang tidak mampu ditepis oleh Nuwa. Giginya bergemeratakan dan bibirnya bergetar. Dayyan memperhatikan dari luar penjara. “Padahal dia hanya tinggal mengaku saja, lalu beritahu semua yang dia tahu, perkara selesai. Tinggal dijatuhkan hukuman mati,” ucap Dayyan dari luar penjara melihat wanita itu disiksa. Sebenarnya ia tak tega, tetapi tidak ada jalan lain agar Nuwa buka mulut. Dari arah kiri datang Maira yang baru saja kembali dari perbukitan mencari
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun