"Lihat dan pahami siapa orang yang kamu cintai. Jangan sampai buta. Cinta juga butuh mata untuk memahami benar atau salahnya pasanganmu."
***"Ini cek dua miliar, ambil dan tinggalkan anak saya!"Ava Kinandhita hanya dapat tersenyum ketika Praba Bhanu Winnata menawarinya uang yang sangat banyak. Ava sudah menduganya saat asisten pribadi pria itu menelponnya beberapa hari lalu. Gadis muda berusia dua puluh tiga tahun itu sudah tidak heran dengan sikap Praba yang selalu alergi padanya. Selain miskin, Ava juga seorang anak yatim piatu.Praba sendiri hanya bisa menghela napas melihat Ava yang sulit diusir. Seperti benalu, Ava begitu erat menempel pada Djati. Pria itu tidak suka saat mengetahui anak angkat satu-satunya itu tergila-gila pada seorang gadis. Buatnya, dunia hitam tidak butuh cinta, wanita hanya sebuah hiasan yang bisa didapat dari mana saja."Kalau saya tidak mau, bagaimana?" tanya Ava menantang. Gadis itu memajukan tubuhnya, lalu berbisik pada pria yang telah membesarkan Djati hingga berhasil seperti sekarang. "Djati bisa memberi saya lebih banyak dari itu. Jadi, saya tidak tertarik.""Pikirkan baik-baik, Ava!" titah Praba dengan penuh penekanan. Pria itu masih terlihat santai, namun hatinya sudah kocar-kacir karena gadis itu. Entah mengapa, Praba selalu tidak nyaman sejak kali pertama melihat gadis itu. "Suatu hari nanti kamu akan menyesal karena keputusan kamu."Ava dengan spontan menggelengkan kepalanya. Ava memang jenis gadis realistis yang mencintai uang. Namun hatinya memang benar-benar mencintai Djati. Pria itu adalah cinta masa kecilnya, masa remajanya, dan ia berharap hingga tua pun Djati akan menjadi orang yang ia cintai."Sekali lagi, saya katakan bahwa saya tidak tertarik," ucapnya masih dengan suara berbisik.Praba menyilangkan tangan di dada. Binar matanya kini mengarah ke Ava dengan tajam. Senyumnya sinis, menandakan bahwa pria itu siap berperang jika Ava tak menurut padanya. "Baiklah," lirihnya sambil mengambil napas sedetik, lalu membuangnya dengan perlahan.Pria itu lalu melanjutkan, "Kamu ingin melawan, silahkan! Saya sudah memberimu penawaran yang sangat bagus."Ava diam saja. Dia tak mau berbuat sesuatu yang merugikannya. Jadi gadis itu memilih tersenyum.Praba lalu mengambil cek bernilai dua miliar yang berada di atas meja. Praba memasukkan cek itu kembali ke dalam amplop coklat sambil berkata, "Berhati-hatilah Ava. Ajal bisa bertemu siapa saja di saat seseorang menginginkannya, dan Tuhan akan mengabulkannya dengan cepat.""Anda mengancam saya?" tanya Ava dengan nada lantang. Ava tak takut. Tubuhnya masih condong ke arah Praba, menandakan bahwa gadis itu siap menerima konsekuensi apapun dari keputusannya. "Tuhan memiliki seleksi yang bijak. Tidak ada yang menyukai niat dan keinginan jahat, termasuk Tuhan!"Setelah mengatakan itu, Ava memundurkan tubuhnya. Ia meminum air putih yang tersedia di atas meja. Ava sudah lelah, jadi gadis itu membereskan barang-barangnya, bergegas untuk pergi."Terima kasih jamuannya," ucap Ava sambil berdiri dari kursinya. Tatapannya tak kalah tajam melawan Praba. Menunjukkan bahwa gadis itu tak gentar dengan segala ancaman Praba. "Saya tidak akan pernah meninggalkan Djati. Ingat dan ulang kalimat itu terus menerus di kepala Anda!"***Ava melihat mobil SUV hitam dengan nomor polisi yang ia cari sudah terparkir di depan restoran tempat Ava bertemu dengan Praba. Ava menghampirinya, dan membuka pintu depan di sisi penumpang. Di belakang kemudi, sudah duduk seorang pria tampan berseragam polisi. Pria itu adalah Dewandaru Angkasa Biru."Mohon maaf, mengapa tiba-tiba Anda memaksa untuk bertemu? Seingat saya, tidak ada satu pun tindak kriminal yang saya lakukan selama 23 tahun hidup."Ava langsung to the point begitu Biru menjalankan mobilnya ke arah Senayan, di mana kantor Ava berada. Biru tersenyum. Sepasang lesung di pipinya langsung muncul, membuat Ava membenarkan ucapan Padma, sahabatnya tentang ketampanan sang polisi."Maaf, Nona. Anda memang tidak memiliki satu pun catatan kriminal. Tapi, tujuan saya menelpon Anda dan meminta bertemu adalah untuk meminta bantuan kepada Anda."Ava mengernyitkan dahinya begitu mendengar jawaban Biru. Biru lagi-lagi tersenyum, membuat Ava sulit fokus. Di dalam pikirannya, ia berusaha keras untuk berhenti menyebut pria itu tampan berkali-kali."Tidak bisakah Anda berhenti tersenyum?" tanya Ava spontan, dan dengan sadar menyesalinya. Biru sendiri langsung menoleh padanya. Ekspresinya penuh tanda tanya. "Lupakan! Anda boleh tersenyum sesuka hati Anda.""Memangnya ada apa dengan senyuman saya?"Ava tidak menjawab. Dia jadi salah tingkah karena ulahnya sendiri. Satu hal yang tidak seharusnya ia lakukan, karena Ava memiliki Djati sebagai kekasihnya."Tidak ada," jawab Ava asal. Biru lagi, dan lagi tersenyum mendengar jawaban Ava. Membuat Ava geram dalam hati. "Jadi, kembali ke topik utama. Bantuan seperti apa yang Anda inginkan dari saya?""Saya dan tim sedang menyelidiki kasus narkoba. Kasus ini bukan lagi skala kecil, karena Bandar yang ingin kami tangkap disinyalir adalah pimpinan dari komplotan pengedar narkoba terbesar se-Asia Tenggara. Bandar ini sangat sulit dideteksi, dia sangat licin dan cerdik. Kami menduga ada salah satu mantan mafia berpengaruh sedang melindunginya."Ava mengernyit, bingung. "Lalu hubungannya dengan saya, apa?" tanya Ava mengonfirmasi."Mantan mafia yang saya maksud adalah orang yang baru saja Anda temui," jawab Biru lugas sambil menyetir dengan fokus. Sesekali kepalanya menoleh untuk melihat ekspresi Ava. Kali ini gadis itu terlihat sangat kaget dengan informasi yang diterimanya. "Maaf, membuat Anda kaget."Biru mengangguk, lalu melanjutkan, "Praba Bhanu Winnata dua belas tahun lalu adalah pemilik sebelas diskotik terkenal di seluruh Indonesia. Dia juga pernah dipenjara karena menyelundupkan senjata ilegal ke Indonesia. Dia juga terlibat puluhan kasus korupsi yang tak pernah terungkap."Ava menutup mulutnya. Kaget dengan informasi yang baru saja diterimanya. Hatinya tak karuan, karena baru saja mengajak perang salah satu pria paling berbahaya di Indonesia."Lalu kenapa pria itu bisa bebas? Kenapa tidak dipenjara dalam waktu yang lama?""Karena dia sepintar dan sehebat itu dalam kejahatan. Makanya dia terkenal dan disebut mafia." Biru membelokkan mobilnya ke sebuah gedung. Terdiam sebentar karena fokus untuk parkir. Selesai parkir, Biru melanjutkan, "Saya sebenarnya cukup kaget saat Anda bilang ingin makan siang dengan Praba. Saya jadi berpikir mungkin keputusan Praba untuk pensiun benar adanya.""Tidak, kurasa dia belum benar-benar pensiun," lirih Ava mengingat akan ancaman yang Praba tunjukkan padanya."Kenapa?" tanya Biru heran. Tubuh tegap dan kekarnya sudah benar-benar menghadap Ava. Ekspresinya lagi-lagi dipenuhi pertanyaan saat gadis itu hanya diam dengan wajah pucat pasi. "Ada apa, Nona?" tanya pria itu khawatir."Dia mengancam."Biru terdiam kali ini. Dugaannya salah ternyata selama ini. Ekspresi yang tadi bingung, kini berubah tegang. Biru tahu bahwa Ava mungkin sedang tidak baik-baik saja."Apa ini karena Djati?" tanya Biru langsung. Ava langsung menoleh, memandang Biru dengan tatapan nanar tak percaya. "Kami mengintai kalian beberapa bulan ini. Karena tidak ada hasil, maka kami memutuskan untuk meminta bantuan Anda. Kami menduga Anda tidak tahu apapun.""Astaga, kejutan apa lagi ini." Ava mengusap wajahnya, frustrasi. Sepasang netranya terpaku ke gedung tempat ia bekerja. Beberapa sudah kembali dari makan siang. Namun Ava belum bisa fokus, kepalanya penuh dengan segala informasi yang baru diterimanya."Tidak hanya itu. Ada satu kejutan lagi yang Anda harus tahu." Biru meraih amplop dari belakang kursi kemudi. Lalu mengambil beberapa foto dari dalamnya. Foto-foto itu berisi figur Djati sedang masuk ke dalam sebuah klub malam. Ava mematung melihatnya. Tatapannya berpindah dari foto ke Biru. "Dia bukan mafia, kalau itu yang Anda ingin tanyakan."Biru mengeluarkan lagi beberapa kertas dari amplop yang sama. Kertas itu ternyata adalah rekening koran atas nama kekasihnya. Betapa kaget gadis itu saat melihat nominal saldo yang tertera di sana."Banyak sekali, kan?" tanyanya saat melihat ekspresi Ava. "Dia kaya bukan karena menjual kayu. Ada beberapa transferan besar yang tidak diketahui sumbernya, dan kami juga tidak berhasil menemukan apapun. kami hanya menduga bahwa bandar yang dilindungi Praba kemungkinan besar adalah Djati Gaharu Mahesta, kekasih Anda."Dari semua informasi, Ava paling tidak bisa membayangkan bahwa kekasihnya adalah bandar narkoba. Ava bingung. Buatnya Djati adalah pria terbaik yang pernah dikenalnya.Lalu bila dugaan polisi tampan itu memang benar, bagaimana mungkin Ava bisa tetap mencintai Djati sebesar sebelumnya? Apa yang harus dilakukannya? Sayangnya pertanyaan itu hanya berputar-putar tanpa bisa Ava tahu jawabannya.***"Terkadang ajal adalah hal tabu. Tidak ada manusia yang mau tahu, jadi mereka memilih bisu dan pura-pura lupa."***"Lo jadi ketemu polisi tampan itu, Va?" Ava menoleh saat mendapati sahabatnya, Padma Nayana Aryotodjo sedang mengambil kursi untuk duduk di kubikelnya. Ava hanya mengangguk, menjawab pertanyaan Padma. Ada banyak hal yang bisa diceritakan, namun Biru melarang Ava untuk menceritakannya pada siapapun. Ava pun paham dan memilih untuk mengabulkan permintaan Biru. Ava mengambil ponselnya, lalu mengecek notifikasi di layar. Beberapa pesan kebanyakan dari Djati, namun Ava memilih untuk mengabaikannya. Gadis itu tidak tahu bagaimana caranya menghadapi Djati setelah runtutan informasi yang didapatkannya hari ini. Pikirannya buntu, dan berakhir dengan keruwetan yang tidak ia dapatkan jawabannya. "Va, hello!" panggil Padma yang sejak tadi merasa dicueki oleh si empunya kubikel. Ava menoleh dan tersenyum tipis sebagai tanda maaf. "Gila lo, ya! Ada cewek cantik di sini, malah didie
"Cinta tidak kenal hitam dan putih. Kamu jahat atau baik, cinta bisa tetap tumbuh subur, tanpa pupuk dan cahaya matahari."***Biru duduk di depan ruang Unit Gawat Darurat saat Padma tiba. Gadis itu tampak sangat khawatir. Matanya memerah karena menangis sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Padma tak ingin kehilangan Ava, gadis sebatang kara itu adalah sahabat satu-satunya yang ia miliki di hidup ini. "Pak, bagaimana keadaan Ava?" tanya Padma pada Biru yang langsung berdiri menyambutnya. "Sahabat saya baik-baik saja, kan?" Biru menggeleng sebagai jawaban. Pria itu tidak tahu keadaan Ava dengan pasti, karena dokter juga belum keluar dari ruangan. Biru berharap Ava baik-baik saja. Selain sebagai rasa kemanusiaan, Ava juga adalah kunci keberhasilan Biru menangkap bandar yang diincarnya. Melihat gelengan Biru, Padma langsung merasa lemas. Beberapa menit lalu, Ava berjanji akan menunggunya di resto untuk makan malam. Namun yang terjadi sungguh memilukan. Bukannya makan malam di rest
"Saat cinta tak lagi membuatmu bahagia, dan justru membuatmu takut artinya kamu harus mengakhirinya."***"Bagaimana dengan Ava?"Praba langsung bertanya begitu tangan kanannya, Radjarta masuk ke ruang kerjanya. Radja sudah bekerja lebih dari dua puluh tahun bersamanya. Radja adalah satu-satunya orang yang tahu rahasia terkelamnya. Praba begitu percaya pada Radja bahkan melebihi rasa percayanya pada Djati, putra angkatnya sendiri."Keadaannya membaik. Setelah empat hari koma, kemarin sore akhirnya Nona Ava sadar. Namun hal tersebut tak penting, ada hal lain yang lebih penting, Pak."Radja membenarkan kacamatanya. Pria itu memberikan sebuah amplop coklat pada Praba. Terdapat beberapa foto saat Praba membuka dan mengambil isi dari amplop coklat tersebut."Ini bukannya AKBP Biru?" tanya Praba saat melihat pria yang dikenalinya terdapat di dalam foto bersama Padma, sahabat Ava. Radja mengangguk. "Buat apa dia di sana? Bukannya dia mengurus narkoba?""Anak buah kita melapor bahwa AKBP Biru
"Cinta itu masalah waktu. Jalani, rasakan, dan pahami. Sesungguhnya yang tadinya mustahil akan terasa mungkin dan benar."***"Menikah dengan saya, bagaimana?""APA?"Ava tahu Biru sedang tidak bercanda. Permintaannya nyata, maka dari itu Ava sangat kaget. Gadis itu masih menutup mulutnya, seolah tak percaya bahwa ajakan menikah akan ia dapatkan dari pria lain. Bukan Djati yang notabenenya adalah kekasih Ava.Biru mendekati Ava. Pria yang tadinya hanya berdiri, kini mulai duduk di tepian tempat tidur Ava. Biru masih menatap gadis di hadapannya dengan serius."Ava, dengarkan saya baik-baik," ucap Biru secara perlahan. Pria itu ingin Ava menganggap apapun yang diucapkannya adalah sebuah kebenaran. "Saya tahu ucapan kamu tadi hanya candaan, tapi setelah saya pikirkan, candaan itu ada benarnya."Biru menunggu respon Ava sebentar, lalu melanjutkan, "bila kamu menikah dengan saya, prioritas yang saya dapatkan, akan kamu dapatkan juga. Bila memang Praba ada di balik kecelakaan ini, maka sudah
"Pernikahan adalah penyatuan dua jiwa. Entah itu karena mencintai atau tidak. Esensi terpentingnya adalah keuntungan. Tak ada keuntungan, maka tak ada pernikahan."***"Kamu belum menemukan Ava?"Djati duduk di kursinya, berpikir dan berspekulasi di mana kekasihnya berada. Bernardio, tangan kanannya yang berada di kursi kemudi, hanya menjawab dengan kata 'belum'. Djati yang sejak tadi memandang kosong ke luar jendela, memilih untuk tak menanggapi. Hatinya selama lima hari ini begitu kosong, karena kehilangan sosok yang begitu berarti."Saya juga sudah mengawasi semua gerak-gerik orang-orang Pak Praba, namun tidak ada satu pun yang mencurigakan," lapor Dio pada bosnya. "Sepertinya Pak Praba tak tahu apapun mengenai hilangnya Nona Ava.""Tidak mungkin," sanggah Djati cepat. keyakinannya akan sanggahan itu seribu persen adanya. Ava tidak mungkin hilang, bila Praba tidak melakukan sesuatu."Lalu bagaimana, Bang?" tanya Dio sambil melirik ke kaca spion. Djati tampak masih diam, tak bereaks
"Dia berjanji melindungiku. Bukan sejenis janji cinta, tapi cukup membuatku bersyukur karena hidupku bisa kutitipkan padanya sepenuh jiwa."***"Katakan yang sebenarnya, di mana Ava?"Djati yang sudah habis kesabaran, langsung menggebrak meja kerja ayah angkatnya. Netranya begitu tajam memandang Praba yang masih dalam mode santai. Pria itu tampak tak terpengaruh, meskipun Djati sudah sangat kesal dan mungkin berniat akan membunuhnya jikalau keinginannya tak terkabul. Namun Praba memang tidak tahu di mana keberadaan Ava, gadis itu seperti hilang ditelan bumi.Djati sendiri langsung menemui Praba, saat tahu bahwa salah satu anak buah Radja tertangkap tangan tengah melakukan percobaan pembunuhan di rumah sakit. Bersama Dio, Djati pergi ke rumah sakit dan mencari tahu. Betapa kagetnya ia saat menyadari bahwa selama beberapa hari lalu Ava dirawat di sana. Tak perlu diklarifikasi, Djati langsung bisa menebak siapa yang coba untuk dibunuh oleh anak buah Radja."Gadis itu takut, dia menghilan
"Terkadang yang kamu pikir baik, belum tentu berakhir bersama. Terkadang yang baru mampir, namun siap belajar bersabar, akan jadi pemenang. Bukan waktu yang salah, namun takdirnya yang memang belum berpihak." *** "Ini benar-benar, Ava? Lo menipu gue, Ma?" Djati yang sedang murka, melempar undangan yang diterimanya pagi ini pada Padma. Gadis yang sedang menandatangani beragam laporan kerjasama itu, langsung menghela napas. Ia lalu menyuruh bawahannya untuk keluar, agar Padma bisa menghadapi Djati dengan benar. Padma tahu pada akhirnya ia akan bertemu di posisi ini, di mana menghadapi seorang Djati yang murka adalah perkara yang ditakutinya. Padma mengambil undangan yang ada di mejanya, membukanya, dan memperlihatkannya pada Djati. Dia sudah punya rencana. Sekarang Padma hanya bisa berdo'a Djati akan percaya lagi pada aktingnya. "Lo lihat siapa pendampingnya?" tanya Padma sambil menunjuk wajah Biru. "Lo pikir gue kenal? Lo pikir gue tahu? Kalau gue tahu pun, gue enggak akan melapor
"Ada kalanya manusia perlu menangis, hanya untuk belajar bertahan dari dunia yang tak mudah dijalani. Ada kalanya juga manusia harus bangkit, hanya untuk menjalani hari yang tetap berjalan." *** "Saya dengar kamu bertemu dengan Djati. Apa yang kalian bicarakan?" Nuansa sore yang indah, tak sepadan dengan perasaan gundah yang dirasakan Ava. Langit oranye yang begitu cantik nyatanya tak mempan bagi Ava menyembuhkan rasa sesaknya. Gadis itu tetap merasa sedih, meskipun keputusannya telah lama ia yakini. Cinta nyatanya tak bisa hilang dalam sekejap, seperti tali hubungan yang dalam sedetik bisa berubah dan berganti. Biru duduk di sebelah Ava. Ia menunggu hingga gadis itu siap untuk bercerita tentang segala hal yang terjadi pada dirinya. Biru melihat bahwa mata Ava sayu, dan napasnya terdengar sangat berat. Bisa Biru tebak, Ava telah melewati sisa hari dengan menangis. "Dia bilang, dia mencintaiku. Tapi, pria bodoh itu tidak yakin saat mengatakan bahwa kita bisa pergi. Pria bodoh itu
"Lepasin tangan gue! Lo tuh, sudah punya istri. Mau apa lagi sih?"Padma memaksa Travis untuk melepas tangannya. Tapi, pria itu seperti menolak permintaannya. Padahal Travis sudah menjadi suami Ayunda, tapi mengapa masih saja mengemis untuk menjelaskan hal yang sudah berlalu. Padma tak segila itu untuk mendengarkan, dan membuang waktunya hanya untuk pria itu.Travis masih kencang memeganginya, padahal tangan Padma sudah merah karena terus dipaksa. Padma ingin berteriak, tapi di tangga darurat itu tak ada siapa pun. Pria itu sengaja menariknya ke sini untuk menyudutkannya, dan melakukan apa pun yang pria itu ingin lakukan. Namun Padma jelas tak akan membiarkannya."Dia minta dilepasin, lo enggak dengar memangnya? Apa karena lo bule, makanya harus pakai bahasa Inggris? Cepat lepasin, sebelum gue terpaksa mematahkan tangan itu."Padma, dan Travis kaget. Ternyata ada orang lain di koridor tersebut. Ia sedang duduk tak jauh dari kami, dan sepertinya sudah memperhatikan kami sejak tadi. Tra
"Maaf, anda siapa ya?"Istri dari Radjarta bertanya, saat Bernardio berdiri di depan rumahnya. Ia sengaja langsung bertemu sang pemilik untuk memberikan aset yang sedianya dititipkan Praba padanya kepada keluarga Radjarta. Karena amanat, Bernardio pun langsung melakukannya, dan menjalankan tugasnya secepat ia bisa."Maaf, kalau saya mengganggu." Bernardio pun menyodorkan tangannya, dan istri Radjarta langsung menjabatnya. "Saya Bernardio. Saya tangan kanannya Pak Djati, anaknya Pak Praba. Saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Praba untuk anda.""Oh, ya, silahkan masuk."Bernardio pun masuk, dan diminta duduk di salah satu kursi di ruang tamu tersebut. "Mohon maaf sebelumnya, Ibu. Karena saya tidak tahu nomor rekening Ibu, atau pun Pak Radja. Jadi, saya memberikannya dalam bentuk cek. Jadi, nanti anda bisa datang ke bank terdekat, dan meminta untuk mentransfernya ke rekening yang Ibu miliki.""Aduh, maaf Mas Bernard, tapi ini tuh, maksudnya apa ya? Bisa bicaranya pelan-pelan. Saya ini
"Anda tahu kan, kesempatan anda sempit untuk tidak mendapat hukuman seumur hidup. Meskipun kita ajukan banding sekali pun, pastinya akan sulit untuk menang. Kesalahan anda terlalu banyak, dan itu tidak bisa ditukar hanya dengan kerja sama dengan pihak kepolisian sekali pun."Praba mengangguk, ia mengerti segala konsekuensi yang ia harus hadapi kedepannya. Semenjak Djati dinyatakan meninggal, dan Ava sudah mau menemuinya, segala keputusan yang diberikan padanya akan diterimanya dengan ikhlas. Praba tak akan pernah menuntut apa-apa. Apa pun yang diterimanya adalah ganjaran dari seluruh perbuatannya di masa lalu."Saya sudah bilang tidak apa-apa kan, Jeremy? Jadi, jangan tanya lagi. Apa pun yang diputuskan oleh hakim, saya akan menerimanya.""Tidak ada akan menyesal?"Praba menggeleng. "Jika saya takut menyesal, maka saya tidak akan melakukan semua kejahatan di masa lalu, Jeremy. Apa pun yang terjadi ke depannya, saya akan terima. Kamu tidak perlu takut. Kamu juga patutnya berubah. Pilih
"Ada permulaan, dan ada akhir. Ada pertemuan, dan juga perpisahan. Jadi, jangan pernah sesali apapun."***"Mama bahagia deh! Ava mau melahirkan, dan Asla dinyatakan hamil. Nah sat set begini dong. Dalam waktu yang enggak lama keluarga kita akan ramai dengan tangisan bayi. Ya Tuhan, terima kasih!"Ava tertawa sambil merangkul bahu mertuanya yang terlihat sangat bahagia. Kini, meskipun tantangan di hadapannya akan lebih berat, namun Tarissa lebih bahagia. Tidak hanya sebagai nenek, Tarissa akan menyandang status baru, yakni menjadi ibu negara. Perhitungan cepat dilakukan, dan untuk sementara hasil akhir menentukan kalau ayah mertuanya, Berdaya Adinegara unggul dengan enam puluh satu persen. Jauh mengungguli pesaingnya.Walaupun demikian, Tarissa tak peduli. Kebahagiaan anak-anaknya sekarang adalah hal utama. Ia sangatlah senang melihat kalau kedua putranya tak lama lagi akan menjadi ayah. Menjalani pernikahan yang bahagia bersama istri-istri mereka. Masalah negara, itu urusan nanti."K
"Tak ada yang pasti dalam hidup ini. Termasuk manusia yang tiap hari, jam, menit, dan detik bisa berubah pikiran, serta sikap."***"Wah, sudah berapa bulan, Mbak kehamilannya?"Seorang ibu yang mengantar putrinya cek kandungan bertanya, dan Ava hanya menjawab sekadarnya sambil tersenyum. Ia lalu menceritakan kalau putrinya juga hamil tak jauh dari usia kandungan Ava. Sayangnya tak sebahagia Ava yang bisa diantar kemana-mana oleh sang suami. Ava sebenarnya enggan mendengarkan masalah rumah tangga orang lain, tapi karena Biru tak juga kembali dari toilet membuat Ava akhirnya terpekur mendengar kisah cinta orang lain.Baru setengah jalan Ibu itu bercerita, terdapat keributan di ujung lorong lantai rumah sakit tempat Ava duduk menunggu untuk diperiksa dokter kandungan. Ava, dan sang ibu menoleh. Mereka mendapati seorang perempuan tengah berteriak, dan membentak si laki-laki dengan caci maki yang begitu keras. Awalnya Ava tak peduli, ia melengos, dan kembali melemparkan pandangan ke korid
“Setiap hal di muka bumi ini akan ada timbal balik. Setiap kejahatan yang manusia tanam, akan mendapat imbas yang serupa. Setiap kebaikan yang manusia berikan, maka akan mendapat hadiah yang besar, bahkan berlipat ganda nikmatnya.” *** “Apa anda yakin akan membongkar semuanya?” Praba mengangguk dengan yakin. Tak pernah ada sedikit pun kegundahan di hatinya yang membuat Praba tidak yakin dengan pernyataannya. Ia ingin mengungkapkan segalanya, seperti permintaan Biru, dan juga Ava. Bila mereka ingin Praba menghabiskan waktu untuk selamanya di penjara, maka akan ia lakukan semua itu dengan sukarela, dan juga ikhlas. Ia tahu kesalahannya sangatlah banyak, dan juga tak terbendung. Ia bahkan rela menanggung kesalahan Djati untuk ia tanggung, karena memang semua yang terjadi pada Djati adalah salahnya. Ia yang menjerumuskan Djati ke dunia ini. Ia pula yang memaksa, dan mengancam Djati untuk tetap menjual narkoba, meskipun anak itu tak menginginkannya sama sekali. “Tolong catat semua ora
"Kata orang-orang, saat mencintai pria, standar pertama bagi seorang perempuan adalah ayahnya. Lalu bagaimana jika figur ayah tak pernah muncul dalam diri seorang perempuan?"***Ava meringis saat melihat ayah kandungnya sendiri. Lama tak melihat Praba, membuatnya lupa akan sosok itu. Sosok yang dahulu pernah sangat ia benci sedemikian rupa, sekarang terkurung menyedihkan di dalam jeruji besi yang dingin. Inilah yang Ava inginkan, meskipun kini rasa iba itu muncul, menyeruak memenuhi seluruh hatinya."Apakabar Pak Praba?" tanya Ava memulai pembicaraan. Ava menunggu, tapi Praba tak juga memulai pembicaraan, jadi ia mendahuluinya dengan suara bergetar. "Ini pertemuan pertama kita, setelah segala permasalahan dan plot twist yang tersaji di hidup kita."Praba diam, tapi ia tak mungkin duduk di situ, dan tak memulai apa pun. "Walau saya tak suka tempat ini, tapi saya baik-baik saja. Tempat ini tak seburuk pikiran saya. Kemungkinan saya mulai merasa nyaman di sini.""Ini serius, atau hanya
"Terkadang dalam hidup banyak hal yang tak terduga. Termasuk sebuah keinginan yang tak terwujud, tapi digantikan dengan hal lain yang lebih besar oleh Tuhan."***"Kalian bertengkar?"Biru melirik istrinya dari balik kertas-kertas berisi laporan keuangan perusahaannya. Biru benar-benar banyak sekali pekerjaan, selepas platform permainannya viral, dan brand pakaiannya mengalami peningkatan penjualan yang sangat drastis. Mengalahkan pekerjaannya sebagai seorang polisi, Biru hampir saja menghabiskan sisa dua puluh empat jam hanya untuk pekerjaan sampingannya. Belum lagi, kini ia harus membagi waktunya yang sudah sempit untuk istri, dan calon bayi mereka.Ava yang baru selesai mandi, dan tengah mengeringkan rambutnya tersebut juga hanya menghela napas. Ia tahu akan percuma membagi kisah ini pada suaminya, tapi selain Biru, Ava tak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Jadi, meskipun Biru tak memahami alasannya marah pada Padma, ia tetap menjelaskan kronologi pertengkarannya dengan sahabat
"Tak ada yang sempurna dalam hidup, termasuk sebuah pernikahan. Pasti ada pasang surut yang membuat sebagian orang pasangan akhirnya berpisah, dan memilih jalan lain sendiri-sendiri."***"Selamat ya, Mas Samudera, dan Mbak Asla. Semoga kalian langgeng terus hingga maut memisahkan. Benar-benar deh, kalian berdua cocok banget!"Celetukan Irvin membuat beberapa keluarga tertawa saat mendengarnya. Namun apa yang dikatakan Irvin benar adanya. Samudera yang tampan sangat cocok bersanding dengan Asla yang sangat manis, dan cantik. Samudera yang hanya memakai kemeja putih, dan Asla yang memakai gaun putih selutut sangatlah padu bersama.Belum lagi dengan latar belakang pantai Anyer di Novus Jiva Villa, membuat suasana yang terasa begitu intim, serta indah. Dengan dihadiri oleh keluarga besar kedua mempelai, pernikahan Samudera, dan Asla terasa sangat berkesan. Keduanya seperti larut dalam bahagia bersama orang-orang yang mereka kenal dekat sejak kecil."Peenikahan yang indah, ya?" tanya Asta