"Pernikahan adalah penyatuan dua jiwa. Entah itu karena mencintai atau tidak. Esensi terpentingnya adalah keuntungan. Tak ada keuntungan, maka tak ada pernikahan."
***"Kamu belum menemukan Ava?"Djati duduk di kursinya, berpikir dan berspekulasi di mana kekasihnya berada. Bernardio, tangan kanannya yang berada di kursi kemudi, hanya menjawab dengan kata 'belum'. Djati yang sejak tadi memandang kosong ke luar jendela, memilih untuk tak menanggapi. Hatinya selama lima hari ini begitu kosong, karena kehilangan sosok yang begitu berarti."Saya juga sudah mengawasi semua gerak-gerik orang-orang Pak Praba, namun tidak ada satu pun yang mencurigakan," lapor Dio pada bosnya. "Sepertinya Pak Praba tak tahu apapun mengenai hilangnya Nona Ava.""Tidak mungkin," sanggah Djati cepat. keyakinannya akan sanggahan itu seribu persen adanya. Ava tidak mungkin hilang, bila Praba tidak melakukan sesuatu."Lalu bagaimana, Bang?" tanya Dio sambil melirik ke kaca spion. Djati tampak masih diam, tak bereaksi apapun, maka dari itu Dio memberanikan diri melanjutkan pendapatnya, "Kita tidak mungkin memaksa Pak Praba untuk bicara. Bila dia mengetahui sesuatu, pasti dia akan lebih memilih menyangkal atau diam."Djati lagi-lagi diam. Maka, Dio pun kembali menutup mulutnya dan menyetir dengan fokus. Kesunyian mereka terpecah, saat sebuah notifikasi masuk ke ponsel Djati.Terlihat di layar, beberapa pesan masuk dari bawahan Djati. Isinya adalah foto-foto Padma selama di Bali. Gadis itu tidak berbohong, wajah lesu memperlihatkan bahwa Padma benar-benar kesepian dalam menjalankan pekerjaannya. Di Bali, Padma juga hanya berada di tempat event, selebihnya dia akan habiskan waktunya di hotel untuk istirahat."Padma benar-benar bekerja," gumam Djati lebih kepada dirinya sendiri. Namun gumaman itu juga sampai ke telinga Dio. "Dio, coba kamu cek ke mana saja Praba dan Radja pergi empat hari kemarin. Jangan sampai ada yang terlewat."Titah Djati langsung disanggupi oleh Dio. Pria itu tahu jika Djati sudah memiliki insting, maka dia akan percaya sepenuhnya. Lagipula selama bekerja bersama bosnya, insting pria itu tidak pernah salah. Selalu tepat dan nyata.***"Kamu sudah bangun?"Ava tak langsung menjawab. Gadis itu lebih tertarik memperhatikan langit-langit ruangan yang berbeda. Netranya kini beralih, berkeliling, dan mengamati tiap inchi ruangan. Sekali lihat, Ava tahu bahwa ia sudah tak lagi berada di kamar rawat rumah sakit."Bolehkan saya minta air?" pinta Ava dengan suara serak.Biru mengangguk. Sebelum mengambilkan minum, pria itu menambah bantal di kepala Ava agar gadis itu tak tersedak. Ava berterima kasih atas bantuan Biru. Ia menenggak setengah air dari gelas dengan sedotan yang Biru taruh."Cukup. Terima kasih," ucap Ava tulus. "Ini di mana? Sepertinya ini bukan kamar rumah sakit yang kemarin."Biru yang baru saja menaruh gelas di nakas, langsung menoleh dan memandangi Ava yang terlihat sangat lemas. Hatinya sedih melihat keadaan gadis itu. Hanya karena mencintai seorang pria, gadis itu harus menanggung hidup yang begitu berat."Ini rumah pribadi orang tua saya," jawab Biru jujur. "Di sini kamu akan aman, tidak akan ada yang menemukan kamu di sini."Ava mengangguk paham. Ia tahu bersama Biru, keadaanya akan baik-baik saja. Bila ia bertahan sendiri, Ava mungkin sudah lama mati. Siapapun yang melakukan hal ini padanya benar-benar sudah keterlaluan.Ava akan membalasnya. Rasa sakit yang ia terima akan dirasakan oleh orang itu juga. Ava berjanji pada dirinya sendiri untuk mengingat hari ini, hari di mana ia tak berdaya karena hampir mati dua kali."Kamu baik-baik saja? Kenapa diam saja? Apa perlu saya panggilkan dokter?" tanya Biru bertubi-tubi.Ava hanya menggeleng. Sekujur tubuhnya memang sakit, tapi bukan dokter yang diperlukannya saat ini. Ava hanya ingin menumpahkan air matanya. Entah mengapa Ava merasa sangat lelah hidup di dunia ini."Saya baik-baik saja," lirih Ava pelan, tapi cukup terdengar oleh Biru. "Saya hanya lelah. Beberapa hari ini begitu sulit untuk saya bertahan hidup. Saya jadi bertanya-tanya, apa salah saya? Kenapa ada orang yang ingin membunuh saya?"Ava meneteskan air matanya. Terlihat bahwa tubuh mungil itu begitu rapuh dan kesakitan. Biru terenyuh memandanginya. Ia raih tisu di nakas, lalu diusapnya air mata Ava yang telah jatuh."Tolong, jangan menangis!"Bukannya berhenti, tangisan Ava justru makin pilu. Biru sangat bingung. Ia tidak pernah mengatasi tangisan seorang gadis.Maka dari itu, Biru memilih diam. Menunggu emosi Ava reda, dan mereka bisa bicara nantinya. Biru tahu Ava pasti sangat takut dan bingung. Biru juga tahu Ava harus menumpahkan emosinya, agar esok gadis itu bisa berdiri lebih kuat dalam menghadapi musuh yang berniat melenyapkannya.***"Gue pikir, gue akan menikah dengan Biru."Ekspresi Padma langsung kaget saat mendengar penuturan sahabatnya di panggilan video. Biru yang berada di ruangan itu sama kagetnya. Biru memandang Ava, namun hanya ada raut keseriusan di sana. Sepertinya Ava benar-benar sudah bulat dalam mengambil keputusan."Lo yakin? Lo kan, enggak kenal dia!" seru Padma dengan suara lantang. Ia tak ingin Ava menyesali keputusannya. "Pikir lagi baik-baik, Va. Jangan gegabah, ini sebuah pernikahan di mana lo bisa terjebak di dalamnya selama mungkin."Ava terdiam sejenak, lalu menjelaskan kepada Padma mengapa ia harus melakukan hal itu. Ava tidak terpaksa, karena tahu Biru akan memenuhi janji untuk melindungi dirinya. Ava butuh Biru, dan Biru butuh Ava untuk mengungkap kejahatan Djati."Biru satu-satunya orang yang bisa menjaga gue. Dia anak bungsu Wakil Presiden. Kalau gue jadi menantu Wakil Presiden, enggak akan ada yang berani membunuh gue. Gue akan aman, Ma.'Padma membenarkan pikiran Ava. Bila ada di posisi Ava, kemungkinan besar ia akan melakukan hal yang sama. Ia akan memilih menikahi orang asing daripada hidup dalam kecemasan.Padma menghela napas, lalu berkata pada akhirnya, "Oke, bila itu membuat lo tetap hidup. Gue selalu dukung lo, gue enggak mau kehilangan lo. Kalau menikah dengan Biru bisa membuat lo tetap aman, maka lakukan!"Ava mengangguk, lagi-lagi gadis itu meneteskan air mata. Kali ini ia terharu. Ava benar-benar bersyukur, Tuhan memberinya Padma yang begitu baik dan tulus. Ingin sekali rasanya Ava memeluk sahabat satu-satunya itu.Netra Ava lalu beralih pada Biru. Pria yang kelak menjadi suaminya itu tersenyum memandangnya. Seakan memberi kekuatan dan dukungan bahwa apa yang menjadi keputusan Ava adalah yang terbaik. Ava percaya menikahi Biru adalah tindakan paling benar di hidupnya."Jangan menangis, bestie! Lo akan menikah. Ini adalah salah satu fase terbaik yang akan lo lewati. Gue pengin lo bahagia, Va."***"Dia berjanji melindungiku. Bukan sejenis janji cinta, tapi cukup membuatku bersyukur karena hidupku bisa kutitipkan padanya sepenuh jiwa."***"Katakan yang sebenarnya, di mana Ava?"Djati yang sudah habis kesabaran, langsung menggebrak meja kerja ayah angkatnya. Netranya begitu tajam memandang Praba yang masih dalam mode santai. Pria itu tampak tak terpengaruh, meskipun Djati sudah sangat kesal dan mungkin berniat akan membunuhnya jikalau keinginannya tak terkabul. Namun Praba memang tidak tahu di mana keberadaan Ava, gadis itu seperti hilang ditelan bumi.Djati sendiri langsung menemui Praba, saat tahu bahwa salah satu anak buah Radja tertangkap tangan tengah melakukan percobaan pembunuhan di rumah sakit. Bersama Dio, Djati pergi ke rumah sakit dan mencari tahu. Betapa kagetnya ia saat menyadari bahwa selama beberapa hari lalu Ava dirawat di sana. Tak perlu diklarifikasi, Djati langsung bisa menebak siapa yang coba untuk dibunuh oleh anak buah Radja."Gadis itu takut, dia menghilan
"Terkadang yang kamu pikir baik, belum tentu berakhir bersama. Terkadang yang baru mampir, namun siap belajar bersabar, akan jadi pemenang. Bukan waktu yang salah, namun takdirnya yang memang belum berpihak." *** "Ini benar-benar, Ava? Lo menipu gue, Ma?" Djati yang sedang murka, melempar undangan yang diterimanya pagi ini pada Padma. Gadis yang sedang menandatangani beragam laporan kerjasama itu, langsung menghela napas. Ia lalu menyuruh bawahannya untuk keluar, agar Padma bisa menghadapi Djati dengan benar. Padma tahu pada akhirnya ia akan bertemu di posisi ini, di mana menghadapi seorang Djati yang murka adalah perkara yang ditakutinya. Padma mengambil undangan yang ada di mejanya, membukanya, dan memperlihatkannya pada Djati. Dia sudah punya rencana. Sekarang Padma hanya bisa berdo'a Djati akan percaya lagi pada aktingnya. "Lo lihat siapa pendampingnya?" tanya Padma sambil menunjuk wajah Biru. "Lo pikir gue kenal? Lo pikir gue tahu? Kalau gue tahu pun, gue enggak akan melapor
"Ada kalanya manusia perlu menangis, hanya untuk belajar bertahan dari dunia yang tak mudah dijalani. Ada kalanya juga manusia harus bangkit, hanya untuk menjalani hari yang tetap berjalan." *** "Saya dengar kamu bertemu dengan Djati. Apa yang kalian bicarakan?" Nuansa sore yang indah, tak sepadan dengan perasaan gundah yang dirasakan Ava. Langit oranye yang begitu cantik nyatanya tak mempan bagi Ava menyembuhkan rasa sesaknya. Gadis itu tetap merasa sedih, meskipun keputusannya telah lama ia yakini. Cinta nyatanya tak bisa hilang dalam sekejap, seperti tali hubungan yang dalam sedetik bisa berubah dan berganti. Biru duduk di sebelah Ava. Ia menunggu hingga gadis itu siap untuk bercerita tentang segala hal yang terjadi pada dirinya. Biru melihat bahwa mata Ava sayu, dan napasnya terdengar sangat berat. Bisa Biru tebak, Ava telah melewati sisa hari dengan menangis. "Dia bilang, dia mencintaiku. Tapi, pria bodoh itu tidak yakin saat mengatakan bahwa kita bisa pergi. Pria bodoh itu
"Jangan bicara soal cinta, bila itu hanya kata dan rayuan. Jangan bicara soal cinta, bila hanya dusta yang terucap."***"Apa kita culik Ava saja dari pria itu?"Bernardio mendelik, dengan berani menimpali pikiran gila bosnya dengan sindiran, "Kalau pun berhasil kita culik, dia juga tidak ingin kembali bersama Anda."Djati langsung menoleh, dan memicing pada tangan kanannya. Ekspresi lelah Dio menggambarkan bahwa ia tidak ingin lagi mendengar mengenai Ava. Sudah cukup seminggu ini, Dio dihadapkan dengan tingkah laku gila Djati karena cinta butanya pada gadis itu."Lama-lama kamu persis seperti pria tua itu, tahu enggak?" lontar Djati tiba-tiba. "Sinis dan jahat, apa salahnya sih, mempertahankan cinta? Gue yakin Ava masih mencintai gue.""Masalahnya dia berada di pelukan polisi itu." Sahutan Dio membuat Djati bungkam. "Bagaimana mungkin polisi itu tidak mencekoki Nona Ava dengan segala praduganya tentang Anda? Kalau Nona Ava tidak
"Pernikahan mungkin bisa berdiri tanpa cinta. Namun pernikahan tanpa komitmen adalah bunuh diri. Pernikahan tanpa komitmen sama saja seperti rumah tanpa pondasi. Mudah hancur dalam sekejap."***"Saya terima nikah dan kawinnya Ava Kinandhita binti Abdullah dengan mas kawin tersebut, tunai." "Sah?" Semua saksi dan tamu yang hadir mengucapkan kata sah secara serempak. Mereka semua terlihat begitu lega, dan bahagia dalam suka cita karena satu sesi penting telah terlewati. Biru memandangi Ava, yang sedang duduk di sampingnya. Mereka saling melempar senyum canggung setelah resmi menjadi suami istri. Pak penghulu pun melanjutkan dengan lantunan do'a. Selepas itu, Ava dan Biru diminta menandatangani buku nikah dan dilanjutkan dengan pemakaian cincin nikah. Biru sengaja memesan cincin nikah perak, agar tak hanya Ava, Biru pun juga bisa memakainya. Setelah cincin nikah terpasang, Ava menyalami tangan biru dengan senyum manis terpasang di wajah cantiknya. Biru begitu terpesona dengan gadis i
"Saat ada seseorang di sampingmu, dunia jadi lebih mudah dijalani. Karena saat kamu lelah, dan hari terasa begitu berat ada dia yang menjadi tempatmu pulang untuk mengadu."***"Gimana enggak langsung dinikahi, secara pengantin wanitanya secantik itu. Gue paham deh, kenapa selama ini Biru seperti enggak doyan sama kita. Levelnya secantik Miss Universe begitu."Djati menoleh, dan dalam hati membenarkan apa yang gadis-gadis penggosip itu katakan. Tiap kali sepasang netranya menangkap figur Ava, hanya sebuah kekaguman yang terpancar. Selama bertahun-tahun, hanya gadis itu yang tercantik. Djati belum menemukan tandingannya.Sayangnya hal tersebut sirna. Gadis tercantik itu bukan miliknya lagi. Ia telah kehilangan, dan kini hanya kenangan yang tertinggal. Djati berharap kenangan itu cukup mampu mengupas keputusan Ava untuk setia pada suaminya."Kita akan masuk, Bang?" tanya Bernardio yang berdiri di belakangnya. Dio sebenarnya enggan mengantar Djati ke pesta itu, namun di sisi lain ia juga
"Pernikahan tidak hanya mengubah kebiasaan tidurmu. Pernikahan juga mengubah kebiasan menyendirimu, kebiasaan makanmu, kebiasaan berbelanjamu, hingga kebiasaan-kebiasaan lain yang nantinya akan kamu sukai dan kamu benci." *** "Wow, ini enggak berlebihan?" Ava melongo saat memasuki kamar pengantin mereka. Terdapat banyak hadiah bernilai fantastis yang disusun cantik di sudut kamar. Dari tas harga ratusan juta, sampai perhiasan yang Ava taksir harganya tidak main-main. Walau bagaimana pun, Ava adalah seorang perempuan yang pastinya melek akan barang fashion dan aksesoris yang memanjakan mata. Ava melihat semuanya. Ada sekitar lima belas item barang yang Ava taksir harganya bisa mencapai hampir setengah miliar. Ia menggelengkan kepala, lalu menoleh pada Biru yang sedang berdiri di belakangnya. Pria itu mengangkat bahu, seakan pura-pura tidak tahu dan tidak peduli dengan itu semua. "Ini dari kamu?" tanya Ava dengan mata memicing seakan ingin meminta kebenaran dari sebuah kejahatan. "K
"Ada banyak penyebab yang membuat seseorang yang tadinya baik berubah menjadi jahat. Namun tidak banyak penyebab yang membuat seseorang yang tadinya jahat berubah menjadi baik."***"Ava Kinandhita, berhenti menatap saya!"Ava tersentak saat mendengar Biru berkata demikian. Pria itu ternyata sudah bangun dari tidurnya. Ava tersenyum, dan menutup kembali matanya. Kini gantian Biru yang membuka mata, dan menatap gadis itu.Semalam mereka mengobrol hingga pukul dua dini hari. Karena mengantuk, mereka akhirnya memutuskan untuk beranjak ke tempat tidur. Awalnya Biru ingin tidur di sofa, namun Ava melarangnya. Ia mengatakan bahwa kamar itu miliknya juga, jadi gadis itu menyuruhnya berbaring di tempat tidur yang sama."Saya tidak menatap kamu sama sekali," ucap Ava dalam keadaan menutup mata. Biru langsung tersenyum begitu mendengarnya."Ava."Karena dipanggil, Ava pun membuka matanya. Ia menemukan sepasang bola mata sehitam kelam milik Biru sedang memandanginya dengan serius. Bibirnya yang
"Lepasin tangan gue! Lo tuh, sudah punya istri. Mau apa lagi sih?"Padma memaksa Travis untuk melepas tangannya. Tapi, pria itu seperti menolak permintaannya. Padahal Travis sudah menjadi suami Ayunda, tapi mengapa masih saja mengemis untuk menjelaskan hal yang sudah berlalu. Padma tak segila itu untuk mendengarkan, dan membuang waktunya hanya untuk pria itu.Travis masih kencang memeganginya, padahal tangan Padma sudah merah karena terus dipaksa. Padma ingin berteriak, tapi di tangga darurat itu tak ada siapa pun. Pria itu sengaja menariknya ke sini untuk menyudutkannya, dan melakukan apa pun yang pria itu ingin lakukan. Namun Padma jelas tak akan membiarkannya."Dia minta dilepasin, lo enggak dengar memangnya? Apa karena lo bule, makanya harus pakai bahasa Inggris? Cepat lepasin, sebelum gue terpaksa mematahkan tangan itu."Padma, dan Travis kaget. Ternyata ada orang lain di koridor tersebut. Ia sedang duduk tak jauh dari kami, dan sepertinya sudah memperhatikan kami sejak tadi. Tra
"Maaf, anda siapa ya?"Istri dari Radjarta bertanya, saat Bernardio berdiri di depan rumahnya. Ia sengaja langsung bertemu sang pemilik untuk memberikan aset yang sedianya dititipkan Praba padanya kepada keluarga Radjarta. Karena amanat, Bernardio pun langsung melakukannya, dan menjalankan tugasnya secepat ia bisa."Maaf, kalau saya mengganggu." Bernardio pun menyodorkan tangannya, dan istri Radjarta langsung menjabatnya. "Saya Bernardio. Saya tangan kanannya Pak Djati, anaknya Pak Praba. Saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Praba untuk anda.""Oh, ya, silahkan masuk."Bernardio pun masuk, dan diminta duduk di salah satu kursi di ruang tamu tersebut. "Mohon maaf sebelumnya, Ibu. Karena saya tidak tahu nomor rekening Ibu, atau pun Pak Radja. Jadi, saya memberikannya dalam bentuk cek. Jadi, nanti anda bisa datang ke bank terdekat, dan meminta untuk mentransfernya ke rekening yang Ibu miliki.""Aduh, maaf Mas Bernard, tapi ini tuh, maksudnya apa ya? Bisa bicaranya pelan-pelan. Saya ini
"Anda tahu kan, kesempatan anda sempit untuk tidak mendapat hukuman seumur hidup. Meskipun kita ajukan banding sekali pun, pastinya akan sulit untuk menang. Kesalahan anda terlalu banyak, dan itu tidak bisa ditukar hanya dengan kerja sama dengan pihak kepolisian sekali pun."Praba mengangguk, ia mengerti segala konsekuensi yang ia harus hadapi kedepannya. Semenjak Djati dinyatakan meninggal, dan Ava sudah mau menemuinya, segala keputusan yang diberikan padanya akan diterimanya dengan ikhlas. Praba tak akan pernah menuntut apa-apa. Apa pun yang diterimanya adalah ganjaran dari seluruh perbuatannya di masa lalu."Saya sudah bilang tidak apa-apa kan, Jeremy? Jadi, jangan tanya lagi. Apa pun yang diputuskan oleh hakim, saya akan menerimanya.""Tidak ada akan menyesal?"Praba menggeleng. "Jika saya takut menyesal, maka saya tidak akan melakukan semua kejahatan di masa lalu, Jeremy. Apa pun yang terjadi ke depannya, saya akan terima. Kamu tidak perlu takut. Kamu juga patutnya berubah. Pilih
"Ada permulaan, dan ada akhir. Ada pertemuan, dan juga perpisahan. Jadi, jangan pernah sesali apapun."***"Mama bahagia deh! Ava mau melahirkan, dan Asla dinyatakan hamil. Nah sat set begini dong. Dalam waktu yang enggak lama keluarga kita akan ramai dengan tangisan bayi. Ya Tuhan, terima kasih!"Ava tertawa sambil merangkul bahu mertuanya yang terlihat sangat bahagia. Kini, meskipun tantangan di hadapannya akan lebih berat, namun Tarissa lebih bahagia. Tidak hanya sebagai nenek, Tarissa akan menyandang status baru, yakni menjadi ibu negara. Perhitungan cepat dilakukan, dan untuk sementara hasil akhir menentukan kalau ayah mertuanya, Berdaya Adinegara unggul dengan enam puluh satu persen. Jauh mengungguli pesaingnya.Walaupun demikian, Tarissa tak peduli. Kebahagiaan anak-anaknya sekarang adalah hal utama. Ia sangatlah senang melihat kalau kedua putranya tak lama lagi akan menjadi ayah. Menjalani pernikahan yang bahagia bersama istri-istri mereka. Masalah negara, itu urusan nanti."K
"Tak ada yang pasti dalam hidup ini. Termasuk manusia yang tiap hari, jam, menit, dan detik bisa berubah pikiran, serta sikap."***"Wah, sudah berapa bulan, Mbak kehamilannya?"Seorang ibu yang mengantar putrinya cek kandungan bertanya, dan Ava hanya menjawab sekadarnya sambil tersenyum. Ia lalu menceritakan kalau putrinya juga hamil tak jauh dari usia kandungan Ava. Sayangnya tak sebahagia Ava yang bisa diantar kemana-mana oleh sang suami. Ava sebenarnya enggan mendengarkan masalah rumah tangga orang lain, tapi karena Biru tak juga kembali dari toilet membuat Ava akhirnya terpekur mendengar kisah cinta orang lain.Baru setengah jalan Ibu itu bercerita, terdapat keributan di ujung lorong lantai rumah sakit tempat Ava duduk menunggu untuk diperiksa dokter kandungan. Ava, dan sang ibu menoleh. Mereka mendapati seorang perempuan tengah berteriak, dan membentak si laki-laki dengan caci maki yang begitu keras. Awalnya Ava tak peduli, ia melengos, dan kembali melemparkan pandangan ke korid
“Setiap hal di muka bumi ini akan ada timbal balik. Setiap kejahatan yang manusia tanam, akan mendapat imbas yang serupa. Setiap kebaikan yang manusia berikan, maka akan mendapat hadiah yang besar, bahkan berlipat ganda nikmatnya.” *** “Apa anda yakin akan membongkar semuanya?” Praba mengangguk dengan yakin. Tak pernah ada sedikit pun kegundahan di hatinya yang membuat Praba tidak yakin dengan pernyataannya. Ia ingin mengungkapkan segalanya, seperti permintaan Biru, dan juga Ava. Bila mereka ingin Praba menghabiskan waktu untuk selamanya di penjara, maka akan ia lakukan semua itu dengan sukarela, dan juga ikhlas. Ia tahu kesalahannya sangatlah banyak, dan juga tak terbendung. Ia bahkan rela menanggung kesalahan Djati untuk ia tanggung, karena memang semua yang terjadi pada Djati adalah salahnya. Ia yang menjerumuskan Djati ke dunia ini. Ia pula yang memaksa, dan mengancam Djati untuk tetap menjual narkoba, meskipun anak itu tak menginginkannya sama sekali. “Tolong catat semua ora
"Kata orang-orang, saat mencintai pria, standar pertama bagi seorang perempuan adalah ayahnya. Lalu bagaimana jika figur ayah tak pernah muncul dalam diri seorang perempuan?"***Ava meringis saat melihat ayah kandungnya sendiri. Lama tak melihat Praba, membuatnya lupa akan sosok itu. Sosok yang dahulu pernah sangat ia benci sedemikian rupa, sekarang terkurung menyedihkan di dalam jeruji besi yang dingin. Inilah yang Ava inginkan, meskipun kini rasa iba itu muncul, menyeruak memenuhi seluruh hatinya."Apakabar Pak Praba?" tanya Ava memulai pembicaraan. Ava menunggu, tapi Praba tak juga memulai pembicaraan, jadi ia mendahuluinya dengan suara bergetar. "Ini pertemuan pertama kita, setelah segala permasalahan dan plot twist yang tersaji di hidup kita."Praba diam, tapi ia tak mungkin duduk di situ, dan tak memulai apa pun. "Walau saya tak suka tempat ini, tapi saya baik-baik saja. Tempat ini tak seburuk pikiran saya. Kemungkinan saya mulai merasa nyaman di sini.""Ini serius, atau hanya
"Terkadang dalam hidup banyak hal yang tak terduga. Termasuk sebuah keinginan yang tak terwujud, tapi digantikan dengan hal lain yang lebih besar oleh Tuhan."***"Kalian bertengkar?"Biru melirik istrinya dari balik kertas-kertas berisi laporan keuangan perusahaannya. Biru benar-benar banyak sekali pekerjaan, selepas platform permainannya viral, dan brand pakaiannya mengalami peningkatan penjualan yang sangat drastis. Mengalahkan pekerjaannya sebagai seorang polisi, Biru hampir saja menghabiskan sisa dua puluh empat jam hanya untuk pekerjaan sampingannya. Belum lagi, kini ia harus membagi waktunya yang sudah sempit untuk istri, dan calon bayi mereka.Ava yang baru selesai mandi, dan tengah mengeringkan rambutnya tersebut juga hanya menghela napas. Ia tahu akan percuma membagi kisah ini pada suaminya, tapi selain Biru, Ava tak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Jadi, meskipun Biru tak memahami alasannya marah pada Padma, ia tetap menjelaskan kronologi pertengkarannya dengan sahabat
"Tak ada yang sempurna dalam hidup, termasuk sebuah pernikahan. Pasti ada pasang surut yang membuat sebagian orang pasangan akhirnya berpisah, dan memilih jalan lain sendiri-sendiri."***"Selamat ya, Mas Samudera, dan Mbak Asla. Semoga kalian langgeng terus hingga maut memisahkan. Benar-benar deh, kalian berdua cocok banget!"Celetukan Irvin membuat beberapa keluarga tertawa saat mendengarnya. Namun apa yang dikatakan Irvin benar adanya. Samudera yang tampan sangat cocok bersanding dengan Asla yang sangat manis, dan cantik. Samudera yang hanya memakai kemeja putih, dan Asla yang memakai gaun putih selutut sangatlah padu bersama.Belum lagi dengan latar belakang pantai Anyer di Novus Jiva Villa, membuat suasana yang terasa begitu intim, serta indah. Dengan dihadiri oleh keluarga besar kedua mempelai, pernikahan Samudera, dan Asla terasa sangat berkesan. Keduanya seperti larut dalam bahagia bersama orang-orang yang mereka kenal dekat sejak kecil."Peenikahan yang indah, ya?" tanya Asta