Alvan terlihat sedikit kaget, namun kelihatannya dia sudah lama mengingat tentang gadis kecil yang pernah menolongnya itu dan ingat betul kalau gadis itu bernama Amanda. Tapi dia cuma pura-pura tidak tahu dan merasa hal itu tak terlalu penting untuk dibahas maupun diingat-ingat. “Apaan sih, lo? Nama gue kan emang Ken. Kenzie Alvan. Emang kapan gue pernah ganti nama?” “Iya, kan? Gue bener, kan? Lo itu bocah laki-laki yang waktu itu nangis di pinggir jalan karena jatuh dan kakinya luka. Lo nangis sambil manggil Mama lo. Itu pasti lo, kan? Gue bener-bener inget sekarang.” Berbeda dengan Alvan yang kesal diingatkan akan hal itu, Amanda malah terlihat senang karena dia sudah berhasil mengingatnya. Pertanda bahwa ingatannya tidak terlalu buruk. “Gue nggak pernah nangis di pinggir jalan asal lo tahu.” Alvan jelas malu sekali diingatkan kejadian memalukan di masa kecilnya. Yang bisa dia lakukan hanya pura-pura tidak tahu. “Emangnya lo nggak inget ya, Van? Waktu itu gue juga ngasih s
Akhirnya Amanda bertemu dengan Alvan, orang yang selama ini dia cari, dan secara langsung bisa mengatakan apa yang dari dulu ingin dia katakan. Walaupun semuanya sangat sulit karena harus ada masalah dulu antara dia dengan Alvan, tapi pada akhirnya Amanda merasa lega sudah berhasil mengatakan keinginannya. Sebenarnya bukan masalah yang besar untuk Amanda langsung mengatakannya begitu tahu Alvan lah orangnya, tapi mengingat perasaannya yang saat itu juga sedang kacau karena terus terbayang Aldy dalam diri Alvan, membuat Amanda merasa bingung dan khawatir selamanya dia tidak akan bisa menghilangkan bayangan itu. Tapi ya sudahlah, Amanda yakin semua itu hanya masalah waktu saja. Nanti juga Amanda akan terbiasa dengan semua ini dan menerimanya dengan lapang dada. Toh tidak ada ruginya juga untuk Amanda mencoba memperbaiki hubungannya yang tidak jelas itu dengan Alvan. Terlepas dari masalah Aldy, memang sebaiknya Alvan itu didekati agar bisa merubah sifat dinginnya perlahan-lahan, kar
Suntuk selama di dalam kelas, saat istirahat membuat Amanda harus mencari udara segar di lingkungan sekolah untuk membuat pikirannya fresh kembali dan bisa berkonsentrasi belajar lagi. Dia memilih memisahkan diri dari Benny dan Natasha agar bisa jalan-jalan sendiri men-scan otaknya dari bayang-bayang Alvan. Semakin lama cowok itu makin sering memenuhi otak Amanda meskipun Amanda tidak suka memikirkannya.Kenapa otaknya ini tidak pernah menurut pada Amanda? Memikirkan orang yang salah. Amanda selalu menyalahkan otaknya sendiri. Dan ini membuatnya semakin yakin untuk memeriksakan dirinya ke RSJ. Lebih baik dia dinyatakan gila sepenuhnya daripada dinyatakan waras karena memikirkan Alvan. Benar-benar membuat pusing.Tapi di dalam hati Amanda menertawai dirinya sendiri, karena baru kali ini ada orang yang dengan suka rela memeriksakan diri ke RSJ dan berharap dia gila.Langkah kaki Amanda masih terus berjalan menyusuri teras sekolah, masih berusaha mencari hiburan segar. Dia butuh ketenang
Arga sedang bermain mobil-mobilan bersama dengan Bi Roro-babysitter-nya. Dia sangat gembira saat menjalankan mobil-mobilannya dan meniru-nirukan suara mobil menderu-deru. Bi Roro cuma bisa tersenyum saja melihat anak asuhnya gembira dan tidak merepotkan hari ini. Karena yang namanya anak-anak kalau lagi bad mood pasti rewel, apa saja yang sesuai dengan keinginannya dan bawaannya nangis melulu. Tapi kali ini Arga tidak rewel dan membuat Bi Roro senang. “Nah, Arga. Kita makan siang dulu, ya?” Bi Roro mengambil sepiring nasi goreng spesial lengkap dengan lauknya. Siap untuk menyuapi Arga. Sepertinya tadi dia menunggu sampai Arga benar-benar santai dan dia bisa menyuapinya tanpa harus diwarnai tangisan dan amukan Arga yang susah makan. “Ayo Bibi suapin, ya?” Arga menggelengkan kepalanya dan menutup mulutnya rapat-rapat. “Nggak mau!” “Lho kok nggak mau? Arga kan harus makan. Nanti kalau nggak makan sakit gimana, hayo? Ini Bibi udah masakin nasi goreng kesukaan Arga. Ada paha
“Alvan, ini sudah ke sekian kalinya kamu bersikap kasar sama adik kamu. Papa nggak mau lagi melihat kamu membuat Arga menangis seperti ini. Apa susahnya sih, bersikap lebih manis di depan Arga? Kamu itu sudah besar. Sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Kamu nggak bisa terus-terusan bersikap seperti anak kecil begini.” Andra memarahi Alvan. Alvan membuang muka dan nggak mau menatap papanya. “Kenapa juga aku harus baik sama anak ini?” “Arga itu adik kamu.” “Aku nggak punya adik dan aku nggak mau punya adik.” “ALVAN!!!” bentak Andra penuh kemarahan. “Pa, jangan terlalu keras sama anak.” Nayla berusaha menenangkan Papa. Alvan menoleh, kali ini dia bertatapan dengan papanya. Mereka berdua ayah dan anak. Sebanyak apa pun perbedaan di antara mereka, pasti ada satu atau dua persamaan yang sama-sama mereka miliki. Yaitu sifat keras kepala mereka berdua. Hal itulah yang mengakibatkan Alvan dan Andra selalu bertengkar karena di antara mereka tidak ada yang mau mengalah dan
Andra duduk di pinggiran tempat tidur Alvan sambil memandangi putranya yang tertidur. Meskipun kondisi Alvan sudah lebih baik dari sebelumnya, tetap saja Andra tidak bisa meninggalkan anaknya sendirian dalam keadaan sakit seperti ini. Terlihat juga penyesalan di wajahnya saat dia menatap anak laki-lakinya itu. Andra menyesal telah mengatakan sesuatu yang menyakiti Alvan sampai membuatnya sakit. Dia benar-benar menyesal apalagi saat teringat ucapan dokter sebelum ini. “Seharusnya Anda tahu kalau Alvan tidak boleh terlalu tertekan. Atas alasan apa pun, itu sangat tidak baik untuk kondisi jantungnya. Apalagi dia memiliki riwayat penyakit jantung sejak lahir. Meskipun transplantasi itu sudah berhasil, tapi bukan berarti dia boleh tertekan. Usahakan agar dia tidak terlalu merasa tertekan.” Andra memijat kepalanya, pusing. Dia tidak pernah tahu kalau kata-kata kasarnya yang terbawa emosi bisa membuat Alvan sakit. Kalau dia tahu akan seperti ini jadinya, dia pasti tidak akan menga
“Duh, siapa sih nih, yang nimpukin gue pake beginian?” Amanda mengomel-ngomel sendiri sambil memegang kaleng kosong yang sudah penyok itu. “Nggak lihat ada orang lagi jalan, apa?” Mata Alvan melebar melihat Amanda berada sekitar lima puluh meter di depannya. Hebat juga tendangannya, bisa menendang kaleng sampai sejauh itu. Tapi buru-buru Alvan melupakan tentang kehebatan tendangannya itu, karena dia yakin pasti akan ada kejadian sebentar lagi. Dia tadi pergi dari rumah dengan tujuan untuk menghindari pertengkaran dengan papanya, tapi sekarang dia malah mendapat masalah baru. Bertemu dengan Amanda saat ini sudah bisa dipastikan akan memicu masalah baru. Pertengkaran yang tidak bisa dielakkan lagi. Untuk mencegah semua itu terjadi, Alvan cepat-cepat memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi Amanda. Berharap cewek itu tidak tahu kalau dia yang menendang kaleng ke arahnya. Toh Alvan juga tidak sengaja melakukannya. Dengan tegang, dia melangkahkan kakinya panjang-panjang meninggalkan Am
“Bukan gue yang suka sama pantai. Tapi orang lain.” Jawaban Amanda sukses membuat Alvan menatap cewek itu dan melupakan keindahan ombak yang dari tadi dia perhatikan. “Aldy?” Amanda mengangguk. Alvan tiba-tiba berhenti berjalan dan menarik tangan Amanda, mengajaknya duduk di atas pasir halus pantai yang sejak tadi mereka injak-injak untuk dirasakan kehalusannya. Dengan terpaksa Amanda menurut dan duduk di samping cowok itu sambil menekuk lutut dan menatap lautan lepas. Ombak masih terus datang. Suaranya yang menggelegar dan umumnya membuat orang lain yang mendengarnya merasa ngeri, tapi tidak untuk Amanda dan Alvan. Ombak itu indah dan hanya bisa mereka temui kalau mereka sedang berada di pantai saja. “Lo lagi ada masalah, ya?” Amanda sudah sejak tadi menahan dirinya untuk nggak bertanya hal ini, tapi dia sudah tidak tahan lagi. Daripada dia terus terbawa masa lalu yang mengingatkannya pada Aldy, Amanda merasa lebih baik mengobrol dengan Alvan. “Kalo pun iya gue ngga
"Semua orang pernah mengalami rasa sakit saat kehilangan seseorang yang kita sayangi. Tapi terus-terusan menyimpan rasa sakit itu di hati, cuma bakal bikin kita terus-terusan terpuruk dalam kesedihan. Lo harus belajar buat bisa menerima semua itu meskipun tahu itu sulit.” “...” “Lo juga pasti bisa.” Amanda memegang bahu Alvan. “Yang harus lo lakuin cuma satu kok, Van. Lo harus coba buat buka hati lo untuk menerima Mama tiri lo dan juga Arga. Kalo hal itu udah bisa lo lakuin, gue yakin hal berikutnya pun lo juga pasti bisa ngelakuinnya.” “...” “Terima mereka semua yang sayang sama lo. Bikin hati lo jangan pernah menolak kasih sayang mereka semua. Dan yang paling penting lo harus bisa coba buat memaafkan diri sendiri. Selama lo belum bisa memaafkan diri lo sendiri, lo nggak bakalan bisa memaafkan orang lain.” Alvan masih diam dan membiarkan Amanda memberikan nasihat padanya. Baru kali ini Alvan menerima nasihat semacam itu dari orang lain, karena biasanya tidak ada orang
Alvan tidak menjawab pertanyaan si kembar, dia cuma menatap mereka berdua dengan wajah tidak berdosanya seolah-olah memang tidak mau menjawab pertanyaan seperti itu. Dia sudah kembali ke sifat dinginnya dengan mengabaikan pertanyaan si kembar lalu menikmati teh hangatnya untuk menghangatkan tubuhnya. Melihat sikap cuek Alvan, si kembar pun tidak kehabisan ide dan langsung bisa menafsirkan sendiri apa jawaban yang seharusnya diberikan Alvan pada mereka. Sudah diputuskan setelah keduanya saling beradu pandang sebentar, bahwa Alvan dan Amanda memang punya hubungan yang tidak biasa. “Oke, kalo emang lo nggak mau jawab,” ujar Bagas. “Gue sebagai kakaknya berhak tahu siapa-siapa aja cowok yang udah deketin dia. Gue harus tahu bibit, bebet, dan bobotnya tuh cowok, pantes apa enggak buat pacaran sama adik gue.” “Betul itu.” Bagus mengacungkan jempol tepat di depan Alvan. “Lo harus tahu dulu apa syarat-syarat yang harus dipenuhi cowok yang bakal jadi pacarnya Amanda.” “Pertama...” Ba
Cowok itu berdiri mematung di depan pintu gerbang rumah Amanda dengan hati yang hancur. Dia tidak bisa melupakan apa yang dia dengar di rumah tadi tentang kebenaran yang baru saja dia ketahui. Alvan masih belum sanggup untuk bertatap muka dengan papanya lagi karena itu cuma akan memunculkan kemarahannya saja. Alvan memutuskan untuk tidak pulang malam ini. Dan tempat yang bisa dikunjungi Alvan hanyalah rumah Amanda. Bahkan di sini pun Alvan tidak bisa melakukan apa pun meskipun cuma sekedar memanggil Amanda untuk menemuinya. Dia tetap berdiri di bawah hujan dan kilatan petir. Membiarkan tubuhnya basah kuyub diterjang hujan dan nggak peduli apakah nanti petir-petir menakutkan itu akan menyambar tubuhnya atau tidak. “Itu beneran Alvan.” Amanda sekarang benar-benar yakin dan percaya kalau orang yang dilihatnya itu adalah Alvan yang dia kenal. Amanda berlari menuju lemari di sudut ruangan dan mengambil sebuah payung berwarna kuning dari sana, lalu dengan kilat tanpa menutup pintu l
“Kamu sudah pulang?” “MAMA!” Arga berlari ke arah mamanya dan memeluknya. “Arga, kamu sudah pulang Sayang?” tanya mamanya sambil tersenyum. “Udah dong, Ma. Tadi Arga seneng banget, Ma. Arga main seharian sama Kak Alvan dan Kak Amanda.” Nayla tahu Arga begitu bahagia. Tapi melihat situasi sekarang, dia tahu tidak baik kalau Arga ada di sana melihat hal buruk yang mungkin akan terjadi antara Andra dan Alvan. “RORO! RORO!” Bi Roro datang tergopoh-gopoh dari belakang. “Iya, Nyonya.” “Kamu ajak Arga ke kamar, ya? Mandiin dia. Nanti soal makan malamnya biar saya yang suapin.” Bi Roro mengangguk. “Baik, Nyonya. Arga, ayo kita mandi.” Arga pun pergi ke belakang dengan Bi Roro. Dengan langkah berat, Andra berusaha mendekati Alvan untuk memastikan apa Alvan mendengar semuanya atau tidak. Kalau pun Alvan mendengar, apa saja yang didengarnya dan tugas Andra adalah memberikan penjelasan agar Alvan mau mengerti meskipun dia tahu itu akan sangat sulit. “Van .... “ Andra berusaha menyentuh
Setelah naik bianglala, masih banyak wahana-wahana permainan yang mereka naiki. Amanda memaksa Alvan karena Arga yang memintanya. Amanda juga menyuruh Alvan yang bayar semuanya. Tentu saja Alvan ngomel – ngomel lagi karena merasa sudah dipalak habis-habisan hari ini. Tapi semuanya masih belum selesai, mereka pun membeli es krim dan makan es krim bertiga. “Senyum!” Amanda siap memotret Alvan dan Arga. Arga tersenyum manis ke arah kamera, sedangkan Alvan tetap dengan wajah juteknya dan tidak mau melihat ke kamera. Pada saat itu Arga melihat beberapa badut sedang bernyanyi dan bergoyang dengan banyak anak kecil sambil membagikan banyak balon. Arga ingin ke sana dan Amanda memaksa Alvan untuk ikut dengan mereka. Sudah bisa dipastikan kalau Alvan pasti menolak mentah-mentah bermain dengan banyak anak kecil seperti itu, tapi Amanda memaksanya dan menariknya berlari ke arah badut. Arga gembira sekali mendapat balon dari badut. Amanda tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan satu detik pun
Amanda kaget, ternyata mereka sudah sampai ke kelas dan Amanda tidak sadar karena terlalu serius menasihati cowok itu. Dia langsung ikutan berbelok dan masuk ke dalam kelas. Tanpa paksaan apa pun, kali ini Amanda duduk dengan Alvan. “Terserah gue ya, gue mau duduk di mana.” Kali ini Amanda tidak mau ambil pusing berdebat mengenai bangku. Masalah itu sudah basi dan sekarang bagi Amanda dia mau duduk dengan siapa aja nggak masalah. “Pokoknya lo harus mau ngelakuinnya.” “Ngelakuin apa?” Alvan kesal dan jadi nggak mood untuk membuka bukunya karena cerocosan Amanda. “Gue nggak mau ngelakuin apa pun yang lo suruh. Emangnya lo siapa ngatur-ngatur gue harus gimana?” “Gue Amanda. Gue guru lo.” Alvan tertawa sinis mendengar hal konyol itu. “Guru? Guru apaan? Sejak kapan cewek berotak ayam macam lo ini bisa jadi guru gue? Nggak usah ngimpi deh, lo.” Amanda memukul Alvan dengan bukunya. “Gue ini bukan otak ayam.” “Kenapa lo mukul?” Alvan mulai sewot. “Emang lo ini suka banget
Amanda heran. Dia sempat berpikir kalau dia sedang mimpi saat mengatakan hal itu. “Kenapa gue harus marah?” Amanda speechless. “Apa aja yang udah berhasil lo pelajari dari Aldy selain kebahagiaan?” Tidak pernah dia duga sebelumnya kalau ternyata Alvan menerima ucapannya yang dia kira mimpi tadi. Alvan tidak marah dan justru tertarik dengan kata-kata Amanda tentang hal yang dia pelajari dari Aldy? Apa benar cowok ini serius ingin tahu? “Kenapa diem?” “Hah? Oh ... eh .... “ Amanda jadi salah tingkah dan tetap bingung. Tapi meskipun bingung dia senang Alvan ternyata tidak seburuk yang dia pikir. “Untuk mendapatkan kebahagiaan itu mudah, kok. Tiap orang pasti bisa melakukannya. Karena itu lo harus berubah sekarang. Dan hal pertama yang harus lo lakuin untuk mendapatkan kebahagiaan itu adalah memaafkan diri sendiri.” Memaafkan diri sendiri? Itu memang hal yang selama ini belum bisa Alvan lakukan? Karenanya dia masih belum bisa memaafkan kesalah papanya di masa lalu karena d
“Bukan gue yang suka sama pantai. Tapi orang lain.” Jawaban Amanda sukses membuat Alvan menatap cewek itu dan melupakan keindahan ombak yang dari tadi dia perhatikan. “Aldy?” Amanda mengangguk. Alvan tiba-tiba berhenti berjalan dan menarik tangan Amanda, mengajaknya duduk di atas pasir halus pantai yang sejak tadi mereka injak-injak untuk dirasakan kehalusannya. Dengan terpaksa Amanda menurut dan duduk di samping cowok itu sambil menekuk lutut dan menatap lautan lepas. Ombak masih terus datang. Suaranya yang menggelegar dan umumnya membuat orang lain yang mendengarnya merasa ngeri, tapi tidak untuk Amanda dan Alvan. Ombak itu indah dan hanya bisa mereka temui kalau mereka sedang berada di pantai saja. “Lo lagi ada masalah, ya?” Amanda sudah sejak tadi menahan dirinya untuk nggak bertanya hal ini, tapi dia sudah tidak tahan lagi. Daripada dia terus terbawa masa lalu yang mengingatkannya pada Aldy, Amanda merasa lebih baik mengobrol dengan Alvan. “Kalo pun iya gue ngga
“Duh, siapa sih nih, yang nimpukin gue pake beginian?” Amanda mengomel-ngomel sendiri sambil memegang kaleng kosong yang sudah penyok itu. “Nggak lihat ada orang lagi jalan, apa?” Mata Alvan melebar melihat Amanda berada sekitar lima puluh meter di depannya. Hebat juga tendangannya, bisa menendang kaleng sampai sejauh itu. Tapi buru-buru Alvan melupakan tentang kehebatan tendangannya itu, karena dia yakin pasti akan ada kejadian sebentar lagi. Dia tadi pergi dari rumah dengan tujuan untuk menghindari pertengkaran dengan papanya, tapi sekarang dia malah mendapat masalah baru. Bertemu dengan Amanda saat ini sudah bisa dipastikan akan memicu masalah baru. Pertengkaran yang tidak bisa dielakkan lagi. Untuk mencegah semua itu terjadi, Alvan cepat-cepat memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi Amanda. Berharap cewek itu tidak tahu kalau dia yang menendang kaleng ke arahnya. Toh Alvan juga tidak sengaja melakukannya. Dengan tegang, dia melangkahkan kakinya panjang-panjang meninggalkan Am