Kuburan-kuburan itu jumlahnya ratusan. Tersebar dari ujung pemakaman ke ujung lainnya. Nisan yang ada di atasnya bertuliskan berbagai nama. Namun, yang aneh adalah, usia lahir dan wafat sang penghuni liang lahat adalah di hari yang sama!
"Apa semua ini? Ya Allah, ya Rabbi!"Dia menatap nanar sekeliling, dibalik pintu yang dia buka adalah pemakaman. Yang lebih menyeramkan, rumah mertuanya sudah menghilang. Dia terdampar di pemakaman antah-berantah yang tidak diketahui letaknya di desa mana.Dea mencoba berjalan, tetapi saat hendak melangkah sesuatu menahan kakinya. Saat dia melihat ke bawah, tangan-tangan kecil memegangi betisnya!"Ya Allah!" Dia berteriak.Wanita itu mengibas-ngibaskan kakinya dengan keras agar tangan tangan itu terlepas. Tangan-tangan kecil yang penuh dengan tanah dan berbau busuk itu tercampak ke sana kemari. Saat tangan tangan itu terlepas, tangan lain muncul dari dalam tanah dan menggantikannya.Dea terus menghentakkan kakinya, sambil menangis ia mencoba melafalkan ayat-ayat yang dia ketahui."Ya Allah, ampuni hamba, lindungi hamba dari syetan yang terkutuk," kata Dea di sela-sela tangisannya yang menyayat hati.Dia sangat takut, entah kenapa ini terjadi kepadanya. Apakah ada hubungannya dengan kematian Maya?Dia menggeleng, itu tidak mungkin! Orang yang sudah meninggal akan kembali kepada Allah. Tidak ada ceritanya orang mati bisa bangkit dan meneror manusia, kecuali itu dirangkai oleh jin yang ingin memfitnah manusia.Semakin keras Dea menarik kakinya, semakin kuat pula pegangan yang dia rasakan. Seolah-olah para penghuni liang lahat itu ingin menyeret tubuhnya ke dalam tanah."Ya Allah, aku tidak mau berada di sini ya Allah. Tolong kembalikan aku ke rumah. Hanya Engkaulah Tuhan tiada Tuhan selain Engkau. Audzubillahiminasyaitonirrojim.""Kau harus di sini."Sebuah suara tiba-tiba terdengar. Dea menatap sekeliling, tetapi tidak menemukan sumber suara itu."Kau harus di sini dan melihat semua ini." Suara itu kembali bergema."Siapa kau?" kata Dea."Ini bukan tentang siapa aku, tetapi ini tentang apa yang harus kau lakukan.""Kau di mana? Apa yang sudah kulakukan?" Lagi-lagi Dea bertanya."Aku ada di dekatmu selama ini," kata suara itu lagi.Tiba-tiba saja Dea yang yang tadi berada di pemakaman mendadak terdampar di sebuah ruangan yang seluruhnya berwarna putih. Dia tidak bisa melihat apa pun di ruangan itu selain warna putih. Mendadak sebuah cahaya menyilaukan muncul di hadapannya."Aku akan memberikanmu sebuah anugerah atas izin Allah. Kamu akan membantu makhluk makhluk Allah yang tidak mendapatkan keadilan di dunia bahkan sebelum mereka lahir.""Maksudmu apa? Kamu siapa?" tanya Dea."Aku adalah makhluk Allah. Kamu adalah makhluk Allah dan kita adalah ciptaan Allah. Mulai sekarang bantulah bayi-bayi manusia itu dan berilah pencerahan kepada para manusia agar mereka makin mendekatkan diri pada penciptanya, Allah subhanahu wa ta'ala."Dia tidak mengerti apa yang orang itu katakan. Dea hanya pasrah, wanita itu bahkan tidak tahu sedang berada di mana atau orang itu siapa. Hal terakhir yang dia ingat adalah tiba-tiba saja cahaya menyilaukan itu mendekat padanya dan membuatnya tak sadarkan diri***"Dek, sadar Dek, Dek!" Zuhal menepuk-nepuk wajah istrinya dan menciprati wajah wanita itu dengan air, tetapi Dea masih tak sadarkan diri."Kenapa ini bisa pingsan?" tanya Zuhal."Ndak tahu ini, tadi tiba-tiba aja dia pingsan pas keluar dari kamar. Tiba-tiba aja jatuh. Bapak juga kaget melihatnya," kata Roslan."Lebih baik kita baringkan saja di kamar sebelah. Tolong ambil minyak kayu putih," kata seorang warga.Zuhal membawa Dea ke kamar sebelah, di dekat kamar Maya, dan membaringkannya di kasur. Setelah itu dia mengoleskan minyak kayu putih di kening dan hidung istrinya agar sang istri lekas siuman.Tak lama setelah itu, Dea pun mulai sadarkan diri. Matanya mengerjap-ngerjap dan dia melihat Zuhal ada di depannya."Ada apa Dek? Adek kenapa?" tanya Zuhal.Dea duduk dan memegangi kepalanya. "Tidak tahu, Bang. Tiba-tiba aja kepala adek berat," ujar wanita itu."Mungkin Adek kecapean. Ayolah kita istirahat dulu," kata Zuhal."Mungkin aja, Bang. Tadi itu ...." Perkataan Dea terpotong saat dia melihat berapa warga perempuan berada di dekatnya.Dea ingin menceritakan mimpi yang baru saja dia alami kepada sang suami, tetapi dia takut warga malah mengartikan yang tidak-tidak."Iya mungkin adek kecapean," kata Dea akhirnya."Ya sudah tidur saja ayo abang antar ke kamar anak-anak," kata Zuhal."Iya tapi sebelum itu adek harus mandi dulu," kata Dea.Zuhal membantu istrinya berdiri dan mereka pergi ke kamar di mana anak mereka tidur.***Tepat pukul jam 11 malam Dea turun mandi. Dia mau tak mau harus segera mandi karena baru selesai mengurus mayat.Wanita itu memilih kamar mandi di lantai atas karena kamar mandi lantai bawah dipakai oleh warga. Sedangkan kamar mandi lantai atas kosong.Dia meletakkan handuk di gantungan dan mulai membersihkan dirinya. Namun saat menyiramkan air, dia seperti mendengar bisikan-bisikan. Entahlah, seperti orang berbicara dan suara-suara itu seperti suara wanita.Dea berhenti menyiram tubuhnya dan mendengarkan suara-suara tersebut, tetapi suara itu menghilangDia pikir mungkin itu suara-suara warga perempuan yang ada di dapur karena kamar mandi lantai atas ini bertepatan dengan dapur di bagian bawah. Jadi dia tidak menghiraukan hal itu dan melanjutkan mandinya.Saat menyiramkan air kembali ke tubuhnya, Dea kembali mendengar suara-suara. Kali ini seperti orang tertawa. Pada saat itu dia baru sadar kalau suara tersebut bukanlah suara manusia.Bulu kuduknya merinding dan dia cepat-cepat menyelesaikan mandi. Setelah itu, Dea melilitkan handuk ke tubuhnya dan membuka pintu kamar mandi. Alangkah terkejutnya dia ternyata seseorang muncul di hadapannya."Ya Allah ya Allah!" Dea memekik.Ternyata itu suaminya sendiri."Allah Dek, ini abang Dek. Kenapa malam-malam teriak nih. Bikin jantungan." Zuhal menggeleng-gelengkan kepala. Dia meletakkan gelas di meja. Ternyata pria itu habis minum air putih."Ya Allah, adek pikir siapa tadi, Bang.""Pasti Adek pikir abang hantu kan?""Hehehe," kata Dea sembari tersenyum.Zuhal kemudian menggandeng sang istri masuk ke kamar. Ibu mertuanya sudah pindah ke bawah menemani Pak Roslan dan Tarman untuk menjaga jenazah Maya. Sementara itu, Zuhal dan Dea gantian menjaga anak-anak dan bayi Maya yang baru saja lahir."Lihatlah bayi itu, Dek. Berkali-kali abang pandang keponakan abang itu, abang sangat bersyukur kepadamu karena sudah menyelamatkan dia. Kalau tidak, mungkin malam ini bayi itu sudah dikubur hidup-hidup karena ketidaktahuan kita semua. Untung ada kamu, Dek," kata zuhal sembari menatap sang bayi yang tertidur pulas.Bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu itu bergerak sedikit, mulutnya yang imut bergerak-gerak seperti mengemut. Mungkin dia mimpi sedang menyusu pada ibunya. Tak lama kemudian, bayi tersebut diam dan kembali tertidur."Kira-kira mau diberi nama siapa, Dek?" tanya Zuhal."Adek nggak tahulah, Bang. Itu kan anak si Tarman. Biar dia saja yang memberinya nama," kata Dea."Abang ada rencana mau mengadopsi anak ini, Dek," kata Zuhal tiba-tiba.Dea sedikit terkejut. "Ya ndak bisa gitu, Bang. Kan ada bapaknya, kita mana berhak," sahut wanita itu."Abang kesal kepada si Tarman itu, Dek. Bagaimana dia mau mengasuh anaknya, dia sendiri sibuk dengan kesedihannya. Tak kau lihat tadi dia, Dek asik menangis aja aku lihat. Tak kan ada dia mau mencium anaknya atau memeluk anaknya. Macam hilang akal sekali dia, Dek. Macam mana dia mau mengasuh anaknya. Ckckck," kata Zuhal sembari berdecak prihatin."Iya, Bang. Adek tahu, tapi biarkanlah dia berduka dulu. Siapa tahu dengan lahirnya anak ini dia bisa mencintai dan mengasuhnya. Jadi dukanya tidaklah terlalu besar. Setidaknya masih ada warisan Maya untuk dia, yaitu anaknya," balas Dea.Wanita sudah memakai baju tidur lengkap, dia nak ke ranjang dan bersiap-siap untuk tidur."Kita kan sudah punya Ayu dan Sita. Lagi pula bayi ini bukan anak kita. Adek tahu Abang kesal, tapi ditahan dululah kesel itu. Kasihan si Tarman. Abang bayangkan kalau Abang di posisi dia, nda mungkin Abang langsung bangkit, ndak mungkin abang langsung terima kematian istri Abang, gitu kan?" sambungnya."Ya Allah, jangan ngomong begitulah, Dek. Abang tak pernah kepikiran hal itu. Iya abang tahu. Cuma kesel aja Abang lihat dia. Mana dia menghilang pula tadi. Orang sibuk ngurus istrinya dia malah pergi ke mana."Mati itu pasti, Bang. Kita tak tahu umur, bisa jadi ndak sampai tua, bisa jadi mati muda. Mana kita tahu ya ndak, Bang?"Zuhal hanya terdiam. Dia berpikir istrinya benar, Tarman mungkin masih sedih mengingat sang istri yang baru dinikahinya satu tahun setengah yang lalu."Mereka masih muda, Bang. Mereka baru saja menikah langsung dilanda ujian seperti ini siapa yang tak sedih."Zuhal mengangguk lalu merangkul istrinya tak lupa dia berikan kecupan di pipi sang istri."Terima kasih, Dek. Terima kasih atas perjuanganmu. Abang takkan lupakan ini. Abang mencintaimu, Dek."Dea tersenyum dan membalas kecupan sang suami. Tiba-tiba saja dia teringat mimpi yang tadi."Sebenarnya Dea tadi mendapatkan mimpi Abang ...."Dea pun menceritakan apa yang dia alami tadi di dalam mimpi. Tentang pemakaman, tentang ruangan putih, tentang suara, dan cahaya putih yang masuk ke dalam dirinya."Dea juga masih ingat pesan suara itu tentang memberikan pencerahan kepada manusia untuk mengagungkan Allah dan bersaksi bahwa tiada yang sanggup memberikan pertolongan kecuali Allah. Bagaimana pendapat Abang, Bang?" tanya Dea."Apa:pun mimpi itu, anggap saja itu mimpi yang baik sebab Adek juga adalah orang yang baik. Adek adalah pribadi yang suka membantu orang lain, lembut hatinya dan paling mudah tersentuh orangnya. Jadi mimpi itu mungkin bukanlah sesuatu yang buruk anggap saja ia mimpi yang baik lagi pula suara itu berkata untuk mengingatkan sesama di jalan Allah. Jadi tidak akan terjadi apa pun. Abang yakin," kata Zuhal.Dea tersenyum mendengar penuturan suaminya, dia makin yakin saat ini bahwa mimpi yang dialaminya adalah mimpi yang baik.Mereka berdua berbaring di tempat tidur. Ayu dan Sita terlihat nyenyak sekali, kedua anak perempuan dia tidur di antara adik bayi. Mereka menjaga dan memeluk bayi itu dari sisi kiri dan kanan seolah-olah tidak ingin melepaskannya lagi.Dea tersenyum melihat itu, juga terharu melihat sang bayi. Jika saja dia tidak mengikuti nalurinya, mungkin bayi itu sudah tidak bernyawa saat ini karena dikubur hidup-hidup oleh ketidaktahuan. Bagaimanapun juga, dia bersyukur kalau keras kepalanya ternyata adalah sebuah kebenaran.Dea memejamkan mata, menghilangkan lelah yang tadi menderanya, berharap besok semoga semua akan baik-baik saja.Tanpa Dea dan Zuhal ketahui, tanpa disadari warga bahwa di rumah Pak Roslan terjadi pertarungan antara kebaikan dan kejahatan.Cahaya merah tampak bertempur dengan cahaya putih. Cahaya merah tampak berusaha memakan cahaya putih dan cahaya putih sekuat tenaga melindungi diri dan menjaga rumah Pak Roslan.Pada akhirnya sebuah ledakan terjadi dan cahaya-cahaya itu hancur berkeping-keping. Cahaya merah berhamburan dan berubah menjadi api, lalu cahaya putih menyebar di sekitar rumah dan melingkupi kediaman tersebut seperti perisai. Cahaya merah yang kembali bersatu ini mencoba menembus perisai itu, tetapi tidak berhasil. Cahaya merah itu pecah kembali dan menghilang di kegelapan malam.Menyusul pertempuran itu, suara teriakan dari sudut kampung memecah kesunyian malam."Dea!!! Kurang ajar kau!"Seorang perempuan meremas boneka yang telah berubah menjadi abu. Perempuan berambut panjang dan berwajah buruk itu marah."Akan kubunuh kau!!!" Katanya sembari menghamburkan sesajen yang ada di meja.Tujuh hari setelah kematian Maya, suasana kembali seperti semula. Orang-orang sudah melupakan kematian tragis yang dialami wanita muda itu. Namun, keberanian Dea masih menjadi buah bibir.Cerita itu tersebar dari mulut ke mulut, dari rumah ke rumah, dari pos kamling ke pos kamling, dan kampung ke kampung. Tentunya, beberapa orang menambah-nambahi kabar itu. Ada yang mengatakan kalau Dea mewarisi ilmu itu dari orang tuanya yang merupakan guru ngaji di kampung sebelah. Ada juga yang mengatakan kalau Dea memang sejak dahulu ada yang menjaganya. Sosoknya berwarna putih dan bercahaya, orang menyebutnya sebagai orang kebenaran. Katanya mereka melihat orang kebenaran itu selalu mengikuti ke mana Dea pergi. Ada juga yang mengatakan kalau kematian Maya itu karena santet.Seperti biasa, kalau sebuah cerita sudah menyebar dari mulut ke mulut pasti ada banyak tambahan dan bumbu-bumbu. Mungkin hanya 1% saja yang benar dan itu pun sisanya berupa gosip tak berdasar.Dea dan zuhal tidak terganggu ak
"Bagaimana dia mau mengasuhnya ya Allah. Kasihan kamu, Nak" kata Dea dalam hati.Sekarang bayi itu sudah tertidur kembali setelah diberi minum susu formula dan digendong oleh Dea."Lagi apa, Dek?" tanya Zuhal saat melihat istrinya menggendong bayi sembari memasak."Ya Allah, mana bapaknya Dek?" tanya Zuhal.Zuhal sudah tahu Tarman ada di mana, dia hanya kesal saja pada iparnya yang labil itu. Dea yang melihat raut marah di wajah suaminya langsung menggeleng dan memberikan isyarat pada Zuhal agar bersabar. Zuhal menghela napas."Sudah punya anak masih saja kayak orang bujang," gerutu pria beranak dua itu."Sudahlah Bang," kata Dea. "Jangan buat keributan pagi-pagi begini."Zuhal menghela napas. "Sudahlah. Sini bayinya, kamu masak dulu setelah itu baru urus yang lain oke?" kata Zuhal.Dea menyerahkan bayi tersebut kepada Zuhal dan meneruskan acara memasaknya. Zuhal adalah seorang ayah yang telaten dan seorang suam
Dea menatap suaminya sebentar kemudian kepada ibu dan bapak mertua nya. Zuhal mengangguk dan memberi isyarat kepada Dea untuk membantu Makcik."Baik Makcik, Dea akan mengecek terlebih dahulu, tapi dia nggak janji bisa bantu. Dea hanya orang biasa, bukan dukun beranak atau bidan," kata Dea."Iya ... Tolong sekali ini saja, Dea." Makcik memohon."Bang titip anak-anak, kompor sudah Dea matikan," ujar Dia kemudian bergegas memakai sandal.Zuhal yang merasa tidak enak membiarkan istrinya pergi sendiri, kemudian memberikan bayi kepada orang tuanya."Zuhal mau menemani Dea, tolong jaga anak-anak ya Pak Buk?" Tak lama setelah itu, zuhal pun menyusul Dea dan Makcik yang telah terlebih dahulu pergi. Kabut tebal mengiringi perjalanan mereka. "Duh kenapa tiba-tiba ada kabut pagi-pagi gini. Tadi pas pulang dari pasar cerah terang benderang kok," kata Dea kepada Makcik."Sudahlah Dea, ayo kita cepat. Kabut gini biasa terjad
Setelah selesai, wanita itu meminumkan airnya kepada Suci. Sisanya dia percikkan. Setelah itu, semuanya hening. Tidak terjadi apa pun. Suci yang lemah, kian bertambah lemah. Orang-orang yang menungguinya pun semakin resah."Insya Allah dengan pertolongan Allah, anak ini akan lahir. Tiada Tuhan yang dapat disembah dan tiada sebaik-baiknya menolong kecuali Allah." Dea menutup rangkaian doanya sambil memegang perut Suci.Tiba-tiba saja entah bagaimana, suci yang sudah terkulai kembali menegakkan kepalanya. Dia berkata, "Tolong, Suci mau ngeden, Buk."Dea langsung pergi ke ke ujung ranjang, dia menunggu di bawah. Bidan yang tadi keluar, tiba-tiba masuk kembali. Mereka ikut membantu Dea.Lalu, dengan tiga kali, dorongan bayi tersebut terlahir ke dunia.Semua orang yang ada di sana serempak mengucapkan alhamdulillah tatkala mendengar suara tangisan bayi. Mereka terharu, wajah-wajah yang tadinya gusar kini telah lega. Sang bayi diambil
Setelah ketegangan di pagi itu, Dea akhirnya bisa menikmati istirahat di malam hari bersama anak dan suaminya. Setelah melaksanakan salat isya, dia berbaring di kasur bersama suaminya. Tadi sore mereka pun telah resmi menamai anak si Tarman. Abdurrahman Farizi nama bayi laki-laki itu. Tepat di hari ke-7 kematian Maya, bayi itupun akhirnya punya nama.Sita dan Ayu sangat senang, mereka yang sejak dulu menginginkan adik kecil laki-laki memperlakukan Farizi dengan penuh kasih sayang.Setelah drama Suci melahirkan tadi pagi, warga berbondong-bondong datang ke rumah Pak Roslan, mereka semua ingin bertemu Dea. Beberapa juga mengantarkan hasil kebun, ternyata mereka semua adalah keluarga Suci."Terima kasih sudah menyelamatkan Suci, Nak. Kalau ndak ada kamu, mungkin dia sudah lewat," kata ibu Suci.Wanita berusia setengah abad yang sering dipanggil Mbah itu, menyalami Dea dan hampir mencium tangannya. Namun, Dea mencegah beliau melakukan itu."S
Dea terperanjat lalu menjauh dari dinding. Suara itu ... suara itu benar-benar menakutkan. Bulu romanya merinding. Suara teriakan itu sangat jelas di telinganya, seakan-akan sumber suara tersebut berada begitu dekat. Dea memucat, tubuhnya dingin. Wanita itu mencoba membangunkan suaminya."Bang ... Bang!" Wanita itu mencoba membangunkan Zuhal."Bang, Bang!" katanya sembari menggoyangkan tubuh sang suami.Dea duduk di dekat suaminya dan Zuhal pun terbangun. Lelaki itu duduk. "Apa, Dek?" tanya Zuhal."Abang dengar suara gak, Bang?" tanya Dea."Gak dek," jawab Zuhal sambil menguap."Ya Allah, ada suara dari kamar Tarman. Dea dengar jelas tadi," kata Dea.Zuhal mengucek matanya dan berdiri. Pria itu membuka pintu dan menengok keluar sebentar, tak lama dia pun masuk kembali. "Gak ada apa-apa di luar? Suara apa? Adek yakin?" tanya Zuhal."Suara teriakan perempuan, Bang," kata Dea.Saat Dea mengatakan itu, tiba-tiba saja terdengar tawa cekikikan dari luar. Sejenak, keduanya membeku. Suara ce
Pak RT dan Pak Roslan naik ke mobil, saat Zuhal mau ikut, bapaknya melarang. "Jaga Ibuk dan keluargamu di rumah, biar bapak yang pergi," katanya."Iya, Pak," ujar Zuhal, lalu dia pun turun dari kendaraan roda empat itu.Tak lama, kendaraan itu pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Zuhal dan para pemuda duduk di depan rumahnya, berjaga-jaga."Bang, kami bisa jaga di rumah Abang, kalau Abang mau," kata pemuda lainnya yang tertinggal."Pulanglah, istirahat di rumah kalian. Ada abang di sini Abang bisa," kata Zuhal menimpali.Pemuda-pemuda itu pun bubar, begitu juga dengan warga lainnya. Beberapa masih berjaga di luar. "Tadi kalian ngeliat sesuatu, ya?" tanya Zuhal pada pemuda tanggung yang masih ada di teras rumahnya."Iya, Bang. Kayak orang pakai baju merah gitu, melayang-layang," sahut pemuda itu.Zuhal yang sudah tahu arah pembicaraan mereka, hanya diam. Tak lama kemudian para pemuda itu pun pulang ke rumah ma
Zuhal bertandang ke rumah pak RT setelah berdiskusi dengan Dea. Sebagai kamuflase agar kepergian mereka tidak dicurigai kedua orang tuanya, Dea dan Zuhal beralasan mengirim kue kepada seluruh warga kampung dari hasil kebun pemberian mereka kemarin.Mertua Dea paham dan tidak curiga sama sekali. Kebetulan, rumah Pak RT sangat dekat. Sekitar 2 menit saja menggunakan motor. Jika mereka pergi lama pun, Marini dan Pak Roslan akan menganggap keduanya masih mengantar kue.Dea dan Zuhal mengetuk pintu begitu mereka sampai. "Assalamualaikum ... Assalamualaikum."Tak lama kemudian, terdengar sahutan dari dalam. "Waalaikumsalam."Ternyata istrinya Pak RT yang membuka pintu, beliau dikenal dengan sebutan Bu Reni."Oh, Nak Zuhal, Nak Dea. Masuk masuk." Bu Reni mempersilakan keduanya masuk.Dea dan Zuhal pun mengikuti wanita itu, tak lupa Dea menyerahkan kue yang sudah dia bawa. "Silakan duduk," kata wanita itu sembari tersenyum.
"Bunuh anak ini, Nak. Dia akan mengacaukan segalanya di masa depan. Seperti saya, mungkin Farizi pun akan kembali ke desa ini suatu saat dan membangkitkan iblis itu. Bunuh dia, Nak." Nek Saidah memohon sembari menggenggam tangan Dea. "Jangan lakukan kesalahan seperti kakek buyutmu. Dia menolak membunuh saya padahal dia tahu saya akan jadi malapetaka," katanya kemudian.Dea terdiam dan menatap wanita tua itu. Dari raut wajahnya, dia begitu memerlukan pertolongan. Wajah pucat dan keriput itu begitu memprihatinkan. Dea kasihan padanya. Namun sesaat dia tersadar kalau semua ini tidak benar."Bayi yang suci dan tidak berdosa ini bukanlah penyebab kutukan itu kembali." Suara seseorang berbisik di telinga Dea. "Jangan tertipu bujuk rayu setan!"Dea mengambil Farizi dan menggendongnya. "Mungkin saya harus kembali ke ruang tamu, Mbah. Saya sudah selesai," kata Dea.Wanita itu ingin berlalu, tetapi Nek Saidah menggenggam pergelangan tangan Dea. Wajahnya ber
Dea menarik pegangan kursi roda nenek Saidah dan mendorong perempuan tua itu menuju kamar Farizi. Rumah kuno ini sangat luas. Sebelum menuju kamar keponakannya, Dea melewati lorong dengan banyak kamar di dalamnya. Padahal mereka hanya beberapa orang, tetapi kenapa banyak sekali kamar?Wanita itu juga melewati dapur, ada Dewi dan Uni yang sedang bekerja di dapur. Saat Dea dan nenek Saidah melewati mereka, kedua perempuan itu hanya menatap dengan tatapan kosong."Mereka berdua tidak menikah, makanya masih tinggal dengan saya," kata Nek Saidah kepada Dea."Maaf, Mbah, Pak Sopian dan Pak Bejo juga?" tanya Dea ingin tahu."Iya," kata Saidah.Keduanya melewati dapur dan menuju kamar Farizi. Sesaat kemudian sampailah mereka di sana. Farizi sedang tertidur di kasur ketika Dea sampai. Anak itu tampak begitu pulas dan tenang.Dea duduk di kasur dekat Farizi dan memandangi bayi tersebut."Kasian dia, ibu bapaknya sudah berpulang."
Hari itu adalah hari yang sangat mengejutkan dan mengubah hidup banyak orang, termasuk Dea dan keluarganya.Setelah tidak sadarkan diri selama satu minggu di rumah sakit sejak operasi karena tusukan pisau itu, Dea akhirnya bisa kembali ke rumahnya.Tentu saja Zuhal dan para warga kampung tidak tinggal diam. Mereka sudah melaporkan Tarman jauh-jauh hari ke polisi, tetapi semuanya terlambat. Lelaki itu ditemukan gantung diri di kamarnya sehari setelah menusuk Dea.Polisi tentu saja menanyai keluarga tersangka, tetapi tidak mendapatkan apa pun. Tarman sendiri tidak meninggalkan surat, catatan, dan rekaman apa pun tentang kenapa dia menusuk Dea. Polisi tidak tau dan tidak bisa menyimpulkan apakah itu dilandasi oleh dendam kesumat atau sebagainya. Keluarga Tarman juga tidak memberikan penjelasan yang kongkrit. Jadi, kasus itu ditutup begitu saja karena tersangka bunuh diri.Sementara itu, setelah pulang, Dea dijaga betul oleh Zuhal dan keluarganya. Mer
Dea mendekat, diikuti sang pemuda. Banyak warga berkumpul di sana, tetapi tidak ada satu pun yang bergerak untuk memadamkan apinya.Dea panik melihat itu, dia begitu gusar sehingga menyuruh pemuda yang mengaku sebagai qorin kakek buyutnya itu untuk membantu."Siapa tahu ada warga di dalam," kata Dea.Pemuda itu tak menggubris Dea, dia memandangi wanita itu dengan tatapan yang tidak bisa Dea artikan. Wanita tersebut lantas tidak menyerah, dia memberitahu warga desa yang ada di sana untuk menolong. Namun, teriakannya bagaikan suara tak kasat mata Begi mereka. Tidak ada satu pun yang bergerak ketika Dea berteriak."Percuma, mereka tidak akan mendengar suaramu," kata pemuda itu.Dea diam, lantas menyadari kalau saat ini yang dia lihat adalah semu semata. Wanita itu akhirnya menyerah dan memilih menyaksikan kebakaran tersebut bersama yang lainnya.Saat itu Dea melihat seorang pemuda yang begitu mirip dengan orang yang mengaku qorin ka
Dea mencoba meraih portal itu, dia mengulurkan tangan dan ingin menjangkaunya. Detik berikutnya, kaki Dea mengambang dan perlahan-lahan tubuhnya terangkat.Dea tersenyum, perasaannya bahagia sekali. Aura teduh dan menenangkan yang datangnya dari portal itu membuat Dea ingin segera memasukinya. Namun mendadak, sebuah tangan terasa menggenggam pergelangan kaki Dea.Otomatis Dea melihat siapa yang mengusik dirinya. Ternyata seorang pemuda tampan berpakaian serba putih tengah tersenyum padanya.***Dea berjalan keluar dari gedung yang menurut Dea tampak seperti rumah sakit itu didampingi oleh pemuda yang tadi menahannya memasuki portal.Sejak tadi keduanya hanya diam. Dea tidak bertanya apa pun, pemuda itu juga tidak mengatakan sebarang kalimat. Dea pun berpikir kenapa pemuda itu menariknya? Apakah Dea mengenalinya? Orang-orang tidak melihat keberadaan Dea, tetapi kenapa pemuda itu bisa melihat dan menyentuhnya?"Bukan waktumu untuk
Marini dan Pak Roslan pergi ke sawah, sedangkan Sita dan Ayu di rumah Aini. Zuhal pergi entah ke mana setelah zoom meeting tadi pagi. Hari ini wanita itu memasak jantung pisang lodeh dengan sambal terasi dan ikan goreng. Tak lupa dia membuat kue untuk makan keluarganya. Saking seringnya memakan makanan buatan Dea, Zuhal dan anak-anaknya sangat sehat. Marini yang walaupun masih kurang suka terhadap menantunya pun tidak memungkiri kalau masakan Dea sangat enak. Perempuan itu jadi suka makan ketika sang menantu tinggal di sini. Sementara Dea, seperti kebanyakan ibu rumah tangga biasa, sangat senang kalau anggota keluarganya menghabiskan semua makanan yang dia buat. Wanita itu seolah tak kehabisan akal mengolah hasil kebun yang selalu dia dapatkan dari warga desa. Kebetulan para warga yang bersawah dan berkebun sering lewat di depan rumah Pak Roslan, karena jalan ke kebun ya lewat situ saja. Warga desa sering memberi hasil kebun buah Dea. Mereka sangat mengagumi Dea
Dea berpikir ada benarnya juga. Namun larangan dari suami Ningsih ditambah gunjingan serta pandangan tuduhan dari warga membuat dia tak berani maju. Zuhal menghampiri istrinya dan mencoba menahan Dea. Bisa jadi masalah jika Dea tidak mengindahkan. Sebagai gantinya, Zuhal meminta Pak RT untuk bermufakat dengan pejabat desa setempat agar membujuk keluarga Ningsih. Keluarga Ningsih dan Prayitno juga terpecah menjadi dua. Ada yang setuju membiarkan Dea menolong, ada yang tidak."Kubur aja, anaknya sudah meninggal. Mungkin itu cuma kebetulan!" seru salah seorang ibu-ibu."Gimana kebetulan, Cu? Coba Cu lihat sendiri, janinnya masih gerak! Lihat!" kata Intan sembari menunjuk ke jenazah Ningsih. "Kalian semua nggak mikirin itu permintaan tolong dari sang bayi! Nggak mikir kalian?" pekik gadis itu. Semua yang ada di sana terdiam. Dea kagum melihat Intan yang masih muda tetapi sangat pemberani. Sejak tadi hanya gadis itu yang memihaknya. Dea pun tidak bisa bicara b
Wajah Dea memucat, jantungnya seolah berhenti Dea terkejut saat Mbah dengan kasar menepis tangannya."Mbah, kenapa?" tanya Dea.Mbak Menik menangis, air mata berjatuhan di wajah keriputnya. "Kalau kamu ndak menyarankan ke rumah sakit, pasti Ningsih masih ada sekarang," kata perempuan itu sembari menunjuk muka Dea.Dea gemetaran, sendinya seketika lunglai. Wanita itu tidak menyangka Mbah Menik akan menyalahkan dirinya. Apakah dia memang benar-benar bersalah atas kematian Ningsih? Apa kesalahannya sesungguhnya? Batin Dea. Wanita beranak dua itu bingung ingin merespon masalah ini ini dengan cara apa."Maafkan Dea, Mbah. Sa-saya pikir kalau di rumah sakit, Ningsih akan bisa melahirkan. Lagian Dea bukan dukun bera .....""Pikar, piker! Katanya jenengan itu bisa bantu orang susah beranak. Ngapain ke rumah sakit kalau jenengan bisa. Jangan-jangan ilmu jenengan cuma bualan aja!" maki Mbah Menik.Dea gemetaran, air matanya mulai menggenan
Mbah yang sudah sepuh itu akhirnya mengangguk melihat ketulusan dalam hati Dea. Kemudian dia berkata, "Sing dicoba ya, Nak?"Dea mengangguk. Wanita itu lalu menyuruh pemuda yang tadi untuk mengangkat Ningsih. Dibantu Zuhal, mereka membawa Ningsih ke mobil menggunakan tandu. Sebelum pergi, Dea menyuruh Ningsih meminum air yang telah diberikan. Tak lupa botol itu pun dia bekalkan untuk Ningsih. Di dalam mobil sudah ada anak Pak RT, Mbah Menik, dan juga pemuda tadi. Mereka berangkat begitu semuanya selesai. Rumah gubuk itu terlihat sepi rumah seiring dengan kepergian semua penghuninya. Dea menutup pintu rumah dan bersiap untuk pulang. Pak RT sudah mendahului tadi, katanya mau mengabari RT setempat tentang kepergian warganya ke rumah sakit. Sekaligus mengurus surat keterangan tidak mampu yang diminta oleh Mbah tadi. Dea dan Zuhal pun naik ke motor untuk berangkat pulang. Di perjalanan, mereka mengobrol sedikit."Adek mau bicara sama siapa