Pak RT dan Pak Roslan naik ke mobil, saat Zuhal mau ikut, bapaknya melarang. "Jaga Ibuk dan keluargamu di rumah, biar bapak yang pergi," katanya."Iya, Pak," ujar Zuhal, lalu dia pun turun dari kendaraan roda empat itu.Tak lama, kendaraan itu pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Zuhal dan para pemuda duduk di depan rumahnya, berjaga-jaga."Bang, kami bisa jaga di rumah Abang, kalau Abang mau," kata pemuda lainnya yang tertinggal."Pulanglah, istirahat di rumah kalian. Ada abang di sini Abang bisa," kata Zuhal menimpali.Pemuda-pemuda itu pun bubar, begitu juga dengan warga lainnya. Beberapa masih berjaga di luar. "Tadi kalian ngeliat sesuatu, ya?" tanya Zuhal pada pemuda tanggung yang masih ada di teras rumahnya."Iya, Bang. Kayak orang pakai baju merah gitu, melayang-layang," sahut pemuda itu.Zuhal yang sudah tahu arah pembicaraan mereka, hanya diam. Tak lama kemudian para pemuda itu pun pulang ke rumah ma
Zuhal bertandang ke rumah pak RT setelah berdiskusi dengan Dea. Sebagai kamuflase agar kepergian mereka tidak dicurigai kedua orang tuanya, Dea dan Zuhal beralasan mengirim kue kepada seluruh warga kampung dari hasil kebun pemberian mereka kemarin.Mertua Dea paham dan tidak curiga sama sekali. Kebetulan, rumah Pak RT sangat dekat. Sekitar 2 menit saja menggunakan motor. Jika mereka pergi lama pun, Marini dan Pak Roslan akan menganggap keduanya masih mengantar kue.Dea dan Zuhal mengetuk pintu begitu mereka sampai. "Assalamualaikum ... Assalamualaikum."Tak lama kemudian, terdengar sahutan dari dalam. "Waalaikumsalam."Ternyata istrinya Pak RT yang membuka pintu, beliau dikenal dengan sebutan Bu Reni."Oh, Nak Zuhal, Nak Dea. Masuk masuk." Bu Reni mempersilakan keduanya masuk.Dea dan Zuhal pun mengikuti wanita itu, tak lupa Dea menyerahkan kue yang sudah dia bawa. "Silakan duduk," kata wanita itu sembari tersenyum.
"Yang jelas, mungkin saja ... Ini hanya mungkin ya, Dea ini memiliki kemampuan untuk menghalangi pemuja setan ini dari menumbalkan ibu-ibu yang akan melahirkan. Seperti yang kakek buyutnya lakukan dahulu."Dea kaku, lidahnya kelu. Dia tidak tahu akan mengatakan atau melakukan apa. Jika benar, maka kekuatan ini datang dengan tanggung jawab yang besar. "Saya hanya wanita lemah dan ibu rumah tangga biasa Pak RT, bagaimana mungkin saya bisa melakukan hal sebesar itu?""Mungkin kalian tidak akan percaya, tetapi jangan sampai ketidakpercayaan kalian bisa membuat pemuja setan itu itu semakin merajalela. Kejahatan harus dihancurkan. Bukankah lazimnya seperti itu?"Dea dan Zuhal mengangguk. Mereka hanya saling memandang satu sama lain. Keduanya butuh waktu untuk memikirkan dan menerjemahkan apa yang sedang terjadi dan apa yang baru saja Pak RT katakan. Apalagi beliau berkata tidak ada yang bisa ditanyai soal ini karena pemeran utama yang terlibat langsung dengan mitos ini telah tiada, yaitu k
Pagi itu kabut belum turun, padahal jam sudah menunjukkan pukul 7. Dea yang siap-siap ingin ke pasar segera menyambar jaketnya demi menghindari dingin yang menggigit kulit. Wanita itu menggunakan kaos kaki dan juga kaos tangan sekalian, tak lupa dia mengenakan helm dan masker."Dea pergi dulu ya, Bang. Harus keburu nih, sebelum barang-barang habis," kata Dea berpamitan pada Zuhal.Lelaki itu yang sejak pagi sibuk di depan laptopnya hanya melambaikan tangan. Zuhal bekerja di sebuah kantor swasta dan saat ini dia meminta izin kepada kantor untuk melakukan pekerjaan secara daring. Memang, semenjak pandemi pun semua pekerjaannya dilakukan secara daring, jadi sangat memudahkan sekali. Zuhal pun tidak tahu sampai kapan dia bisa kembali ke rumahnya, jika sang Ibu masih menahan-nahan mereka.Saat akan menstarter motor, Dea melihat iring-iringan warga mengantarkan jenazah. Dea heran, siapa yang meninggal? Tidak ada pengumumannya pun di masjid.Saat itu tet
Sesampainya di tepi liang lahat, ketiganya tersentak saat melihat kondisi makam yang teramat kacau. Mayat Minah begitu berantakan. Kain kafannya bersimbah darah. Terlihat potongan-potongan daging tersebar di sana sini. Bahkan ada usus yang tersangkut di batu nisan sehingga membuat nisan itu berdarah. Yang membuat bulu kuduk berdiri adalah, terlihat jelas kalau perut Minah telah dirobek oleh sesuatu. Yang lebih menyeramkan, janin yang ada di rahim Minah telah menghilang!Tung ... Tung ... Tung!!!Ramli mengetok pentungan sekeras mungkin sembari berteriak. "Iwak Merah, Iwak Merah!"Keluarga Zuhal yang mendengar itu terperanjat dan langsung terbangun. Jam sudah menunjukan pukul 12 malam, kenapa orang ribut jam segini? Pikir Zuhal.Pria itu keluar diikuti oleh Pak Roslan. Ramli dan beberapa pemuda memukul pentungan dan berteriak sejak tadi."Kenapa ini?" tanya Zuhal pada orang yang lewat."Iwak Merah, Bang. Minah perutnya b
"Bapak-bapak, atas persetujuan dari Tarno, jenazah istrinya akan diangkat dan dikafankan ulang. Mari kita sama-sama membantu untuk prosesi ini. Saya harap warga saling gotong royong di sini. Karena pengurus dari pihak wanita gak ada, terpaksa kita andalkan warga yang ada di sini ya. Tolong bantuannya," kata Pak RT Dusun Anak."Siap, Pak RT." Warga serempak menjawab.Malam itu, para warga bergotong-royong membenahi makam Minah yang berantakan. Jenazah wanita itu juga diangkat untuk dikafankan ulang besok. Liang lahat yang terbuka, digali lagi oleh warga, dibentuk semula. Semua daging dan potongan tubuh Minah yang berserakan dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk diperbaiki besok. Entahlah, pengurus jenazah mana yang mau melakukan itu. Sementara itu, Tarno masih sedih melihat kenyataan yang terjadi di depannya. Bagaimana dia bisa lalai menjaga makam istrinya sendiri. Dia sungguh suami yang bodoh, tidak berguna, tak habis-habis Tarno menyalahkan dirinya sendiri.
Mayat Minah menoleh ke arah Dea dan membelalakkan matanya. Dea terkejut, dia mundur ke belakang. Dia belum terbiasa menghadapi semua ini, lain halnya dengan sang suami yang memang sejak kecil sering melihat penampakan. Dea pasti terkejut saat tiba-tiba mayat yang tadinya tidak bergerak malah menoleh dan menampakkan muka seram.Wanita itu tidak bisa mengelak, tatapan mata Minah membuat sendi-sendinya membeku. Mayat yang sudah dikafani itu mengeluarkan tangannya, dan perlahan-lahan pangan tersebut menyentuh wajah Dea.Jari-jemari Minah yang dingin dan kaku bisa Dea rasakan di pipinya. Lama kelamaan dingin itu seolah-olah merasuki tulang-tulang Dea dan membuatnya membeku. Dea terlena, wanita itu tidak dapat mengendalikan pikirannya.Tak lama kemudian, Dea seperti dibawa pergi ke suatu tempat yang gelap dan pekat. Tubuh wanita itu terasa melayang di udara, dia bahkan bisa melihat raganya sedang terduduk di lantai karena terkejut melihat jenazah Minah yang tiba
"Adek gak papa?" tanya Zuhal.Dea mengangguk. "Gak papa, Bang. Cuma pusing," katanya.Zuhal menyuapkan nasi yang tadi disajikan oleh Mbah Yuli. "Makan dulu, Dek," kata Zuhal sembari mendekatkan sendok ke bibir Dea.Dea membuka mulutnya dan memakan nasi itu. Setelah beberapa suapan, wajah Dea yang pucat berangsur membaik. Zuhal meminumkan air putih pada istrinya."Lain kali kita sarapan dulu, demi menghadapi situasi yang tidak diduga-duga," kata Zuhal."Tadi udah sarapan kue padahal, Bang," sahut Dea."Iya, tapi kayaknya kue aja gak cukup. Butuh kalori biar bisa jadi superhero yang hebat," kata Zuhal.Dea tertawa. Suaminya sedang sarkastik saat ini. Zuhal memang begitu jika dia jengkel pada Dea. Tidak marah langsung, tetapi sarkasnya minta ampun."Iya, iya, Sayang," kata Dea.Zuhal memutar bola mata. Pria itu menghela napas."Abang jangan risau, setelah ini kita pulang. Adek mau mandi dan istira
"Bunuh anak ini, Nak. Dia akan mengacaukan segalanya di masa depan. Seperti saya, mungkin Farizi pun akan kembali ke desa ini suatu saat dan membangkitkan iblis itu. Bunuh dia, Nak." Nek Saidah memohon sembari menggenggam tangan Dea. "Jangan lakukan kesalahan seperti kakek buyutmu. Dia menolak membunuh saya padahal dia tahu saya akan jadi malapetaka," katanya kemudian.Dea terdiam dan menatap wanita tua itu. Dari raut wajahnya, dia begitu memerlukan pertolongan. Wajah pucat dan keriput itu begitu memprihatinkan. Dea kasihan padanya. Namun sesaat dia tersadar kalau semua ini tidak benar."Bayi yang suci dan tidak berdosa ini bukanlah penyebab kutukan itu kembali." Suara seseorang berbisik di telinga Dea. "Jangan tertipu bujuk rayu setan!"Dea mengambil Farizi dan menggendongnya. "Mungkin saya harus kembali ke ruang tamu, Mbah. Saya sudah selesai," kata Dea.Wanita itu ingin berlalu, tetapi Nek Saidah menggenggam pergelangan tangan Dea. Wajahnya ber
Dea menarik pegangan kursi roda nenek Saidah dan mendorong perempuan tua itu menuju kamar Farizi. Rumah kuno ini sangat luas. Sebelum menuju kamar keponakannya, Dea melewati lorong dengan banyak kamar di dalamnya. Padahal mereka hanya beberapa orang, tetapi kenapa banyak sekali kamar?Wanita itu juga melewati dapur, ada Dewi dan Uni yang sedang bekerja di dapur. Saat Dea dan nenek Saidah melewati mereka, kedua perempuan itu hanya menatap dengan tatapan kosong."Mereka berdua tidak menikah, makanya masih tinggal dengan saya," kata Nek Saidah kepada Dea."Maaf, Mbah, Pak Sopian dan Pak Bejo juga?" tanya Dea ingin tahu."Iya," kata Saidah.Keduanya melewati dapur dan menuju kamar Farizi. Sesaat kemudian sampailah mereka di sana. Farizi sedang tertidur di kasur ketika Dea sampai. Anak itu tampak begitu pulas dan tenang.Dea duduk di kasur dekat Farizi dan memandangi bayi tersebut."Kasian dia, ibu bapaknya sudah berpulang."
Hari itu adalah hari yang sangat mengejutkan dan mengubah hidup banyak orang, termasuk Dea dan keluarganya.Setelah tidak sadarkan diri selama satu minggu di rumah sakit sejak operasi karena tusukan pisau itu, Dea akhirnya bisa kembali ke rumahnya.Tentu saja Zuhal dan para warga kampung tidak tinggal diam. Mereka sudah melaporkan Tarman jauh-jauh hari ke polisi, tetapi semuanya terlambat. Lelaki itu ditemukan gantung diri di kamarnya sehari setelah menusuk Dea.Polisi tentu saja menanyai keluarga tersangka, tetapi tidak mendapatkan apa pun. Tarman sendiri tidak meninggalkan surat, catatan, dan rekaman apa pun tentang kenapa dia menusuk Dea. Polisi tidak tau dan tidak bisa menyimpulkan apakah itu dilandasi oleh dendam kesumat atau sebagainya. Keluarga Tarman juga tidak memberikan penjelasan yang kongkrit. Jadi, kasus itu ditutup begitu saja karena tersangka bunuh diri.Sementara itu, setelah pulang, Dea dijaga betul oleh Zuhal dan keluarganya. Mer
Dea mendekat, diikuti sang pemuda. Banyak warga berkumpul di sana, tetapi tidak ada satu pun yang bergerak untuk memadamkan apinya.Dea panik melihat itu, dia begitu gusar sehingga menyuruh pemuda yang mengaku sebagai qorin kakek buyutnya itu untuk membantu."Siapa tahu ada warga di dalam," kata Dea.Pemuda itu tak menggubris Dea, dia memandangi wanita itu dengan tatapan yang tidak bisa Dea artikan. Wanita tersebut lantas tidak menyerah, dia memberitahu warga desa yang ada di sana untuk menolong. Namun, teriakannya bagaikan suara tak kasat mata Begi mereka. Tidak ada satu pun yang bergerak ketika Dea berteriak."Percuma, mereka tidak akan mendengar suaramu," kata pemuda itu.Dea diam, lantas menyadari kalau saat ini yang dia lihat adalah semu semata. Wanita itu akhirnya menyerah dan memilih menyaksikan kebakaran tersebut bersama yang lainnya.Saat itu Dea melihat seorang pemuda yang begitu mirip dengan orang yang mengaku qorin ka
Dea mencoba meraih portal itu, dia mengulurkan tangan dan ingin menjangkaunya. Detik berikutnya, kaki Dea mengambang dan perlahan-lahan tubuhnya terangkat.Dea tersenyum, perasaannya bahagia sekali. Aura teduh dan menenangkan yang datangnya dari portal itu membuat Dea ingin segera memasukinya. Namun mendadak, sebuah tangan terasa menggenggam pergelangan kaki Dea.Otomatis Dea melihat siapa yang mengusik dirinya. Ternyata seorang pemuda tampan berpakaian serba putih tengah tersenyum padanya.***Dea berjalan keluar dari gedung yang menurut Dea tampak seperti rumah sakit itu didampingi oleh pemuda yang tadi menahannya memasuki portal.Sejak tadi keduanya hanya diam. Dea tidak bertanya apa pun, pemuda itu juga tidak mengatakan sebarang kalimat. Dea pun berpikir kenapa pemuda itu menariknya? Apakah Dea mengenalinya? Orang-orang tidak melihat keberadaan Dea, tetapi kenapa pemuda itu bisa melihat dan menyentuhnya?"Bukan waktumu untuk
Marini dan Pak Roslan pergi ke sawah, sedangkan Sita dan Ayu di rumah Aini. Zuhal pergi entah ke mana setelah zoom meeting tadi pagi. Hari ini wanita itu memasak jantung pisang lodeh dengan sambal terasi dan ikan goreng. Tak lupa dia membuat kue untuk makan keluarganya. Saking seringnya memakan makanan buatan Dea, Zuhal dan anak-anaknya sangat sehat. Marini yang walaupun masih kurang suka terhadap menantunya pun tidak memungkiri kalau masakan Dea sangat enak. Perempuan itu jadi suka makan ketika sang menantu tinggal di sini. Sementara Dea, seperti kebanyakan ibu rumah tangga biasa, sangat senang kalau anggota keluarganya menghabiskan semua makanan yang dia buat. Wanita itu seolah tak kehabisan akal mengolah hasil kebun yang selalu dia dapatkan dari warga desa. Kebetulan para warga yang bersawah dan berkebun sering lewat di depan rumah Pak Roslan, karena jalan ke kebun ya lewat situ saja. Warga desa sering memberi hasil kebun buah Dea. Mereka sangat mengagumi Dea
Dea berpikir ada benarnya juga. Namun larangan dari suami Ningsih ditambah gunjingan serta pandangan tuduhan dari warga membuat dia tak berani maju. Zuhal menghampiri istrinya dan mencoba menahan Dea. Bisa jadi masalah jika Dea tidak mengindahkan. Sebagai gantinya, Zuhal meminta Pak RT untuk bermufakat dengan pejabat desa setempat agar membujuk keluarga Ningsih. Keluarga Ningsih dan Prayitno juga terpecah menjadi dua. Ada yang setuju membiarkan Dea menolong, ada yang tidak."Kubur aja, anaknya sudah meninggal. Mungkin itu cuma kebetulan!" seru salah seorang ibu-ibu."Gimana kebetulan, Cu? Coba Cu lihat sendiri, janinnya masih gerak! Lihat!" kata Intan sembari menunjuk ke jenazah Ningsih. "Kalian semua nggak mikirin itu permintaan tolong dari sang bayi! Nggak mikir kalian?" pekik gadis itu. Semua yang ada di sana terdiam. Dea kagum melihat Intan yang masih muda tetapi sangat pemberani. Sejak tadi hanya gadis itu yang memihaknya. Dea pun tidak bisa bicara b
Wajah Dea memucat, jantungnya seolah berhenti Dea terkejut saat Mbah dengan kasar menepis tangannya."Mbah, kenapa?" tanya Dea.Mbak Menik menangis, air mata berjatuhan di wajah keriputnya. "Kalau kamu ndak menyarankan ke rumah sakit, pasti Ningsih masih ada sekarang," kata perempuan itu sembari menunjuk muka Dea.Dea gemetaran, sendinya seketika lunglai. Wanita itu tidak menyangka Mbah Menik akan menyalahkan dirinya. Apakah dia memang benar-benar bersalah atas kematian Ningsih? Apa kesalahannya sesungguhnya? Batin Dea. Wanita beranak dua itu bingung ingin merespon masalah ini ini dengan cara apa."Maafkan Dea, Mbah. Sa-saya pikir kalau di rumah sakit, Ningsih akan bisa melahirkan. Lagian Dea bukan dukun bera .....""Pikar, piker! Katanya jenengan itu bisa bantu orang susah beranak. Ngapain ke rumah sakit kalau jenengan bisa. Jangan-jangan ilmu jenengan cuma bualan aja!" maki Mbah Menik.Dea gemetaran, air matanya mulai menggenan
Mbah yang sudah sepuh itu akhirnya mengangguk melihat ketulusan dalam hati Dea. Kemudian dia berkata, "Sing dicoba ya, Nak?"Dea mengangguk. Wanita itu lalu menyuruh pemuda yang tadi untuk mengangkat Ningsih. Dibantu Zuhal, mereka membawa Ningsih ke mobil menggunakan tandu. Sebelum pergi, Dea menyuruh Ningsih meminum air yang telah diberikan. Tak lupa botol itu pun dia bekalkan untuk Ningsih. Di dalam mobil sudah ada anak Pak RT, Mbah Menik, dan juga pemuda tadi. Mereka berangkat begitu semuanya selesai. Rumah gubuk itu terlihat sepi rumah seiring dengan kepergian semua penghuninya. Dea menutup pintu rumah dan bersiap untuk pulang. Pak RT sudah mendahului tadi, katanya mau mengabari RT setempat tentang kepergian warganya ke rumah sakit. Sekaligus mengurus surat keterangan tidak mampu yang diminta oleh Mbah tadi. Dea dan Zuhal pun naik ke motor untuk berangkat pulang. Di perjalanan, mereka mengobrol sedikit."Adek mau bicara sama siapa