Kini Restu telah berada di ruang rawat inap. Tepatnya di ruang Dahlia nomor empat. Milva sangat lega, tinggal menunggu kesadaran sang suami saja.Apa yang dikatakan oleh pak dokter pun membuat Milva selalu terngiang-ngiang. Ia juga merasa takut bila nanti sang suami mengalami koma. "Semoga kau cepat sadar," ucap Milva lirih. Tangannya ingin menyentuh wajah sang suami. Hanya saja dirinya teringat saat kejadian waktu itu, Restu tak mau disentuh olehnya. Gamang tidak jelas, akhirnya Milva memberanikan diri untuk menyentuh wajah Restu. Mengusapnya perlahan, membuat secercah rindu terobati dengan sendiri. Ya, ia lakukan hanya akan diam-diam tak ingin memberi tahu kepada sang suami bila dirinya telah lancang. "Semoga dan semoga. Bila kau tahu, Mas. Aku sangat menyayangimu. Jauh dari lubuk hatiku, aku pun sudah tidak mempunyai siapa-siapa." Derai air mata Milva membasahi pipi kembali. Ia terisak, tangan kanannya membelai pipi Restu, sedangkan tangan kirinya menggenggam jemari sang suami.
Sesampainya di rumah, Bu Ningsih masih terlihat kesal. Dirinya juga masih bersikap biasa saja, karena emang keadaan rumah selalu di tertutup. Sang menantunya juga tak berani untuk pergi keluar rumah, jadi wajar bila setiap hari begitu. "Aku akan membalas perbuatan kalian, ingat itu!" Bu Ningsih masih terus mengucapkan sumpah serapahnya. Ia pun langsung menuju ke kamar. Pikirannya sudah diselimuti akan rasa kesal juga benci kepada para sahabatnya itu. Padahal selama ini dirinya tak pernah pilih kasih. "Argh! Sial!" ucap Bu Ningsih saat membasuh mukanya. Make up yang tebal kini sudah luntur terkena air. Setelah membersihkan badannya, ia pun ingin bersantai. Pikirannya belum bisa mengigat kenapa dirinya bisa pingsan? Bu Ningsih hanya masih merasa kesal dan kesal. Duduk bersandar di sofa, sembari menyalakan televisi. Saat layar yang berada di depannya itu sudah menyala. Dahi Bu Ningsih mengerut. Dirinya seakan dituntun untuk mengigat semua itu. "Astaga, Restu anakku?" ucapnya lirih.
Milva tersenyum, melihat sang suami sudah membuka matanya. Ia pun, menjaga jaraknya, tak ingin bila nanti akan membangkitkan amarah Restu kembali."Syukurlah, kamu sudah sadar, Mas," ucap Milva lirih. Restu menoleh ke arah suara itu, melihat sang istri berada di sampingnya seakan rasanya sangat tenang. Rasa gengsi melanda di hati Restu. Dirinya masih tidak bisa mengungkapkan dan mengakui semua perasaannya. Bersikap seolah biasa saja, walau di dalam hatinya sangat berdebar. "Ibu, di mana?" tanya Restu mencari sosok yang selalu ia agungkan."Ibu, tidak datang ke sini," jawab Milva dengan wajah yang tetap menunduk. Dirinya tak berani menatap wajah sang suami. "Kabari dirinya.""Aku tidak punya ponsel. Lagi pula aku juga tidak tahu nomornya," jawab Milva jujur. "Argh, ya benar juga. Ponselku di mana?" tanya Restu, hendak ingin bangkit. Namun, Milva yang cekatan tak membolehkan untuk bergerak dahulu. Ia pun mengambil ponsel serta dompet yang diberikan pak polisi tadi. Dengan tangan ge
Milva meninggalkan ruang rawat inap milik sang suami. Dirinya kini memiliki tugas untuk membeli ponsel dan bakso. Berjalan dengan tenang di dalam pekatnya malam, ia pun pergi ke sebuah mall.Ternyata di depan rumah sakit ada sebuah mall besar. Dengan celingak-celinguk, Milva pun berhati-hati untuk menyeberang. Banyak kendaraan memang yang berlalu-lalang. Untungnya, Milva menyeberang tanpa ada hambatan sedikitpun. Dengan wajah yang berharap ia bisa segera membawakan apa yang di minta oleh Restu. "Aku harus ke mana?" tanya Milva setelah masuk ke dalam mall. Walaupun, dirinya berasal dari kampung, tetapi ia sudah pernah memasuki mall.Hanya saja, sudah beberapa tahun yang lalu. Milva pun menolah-noleh seperti orang kebingungan. Ia tak tahu harus mencari dari mana. Bila ditelusuri bisa-bisanya dua hari dua malam dirinya di sini. Berpikir sejenak, dan memutuskan untuk bertanya kepada sekuriti saja. Namun, saat membalikkan badannya, tanpa menyadari Milva menabrak seseorang. "Awh, maaf .
Pada akhirnya ia pun terjatuh, tak berdaya. Pandangannya pun memudar. Badannya sudah tidak kuat lagi menopang. Namun, dengan sigapnya Dion langsung menangkap tubuh Milva. "Heh, bangun! Ada apa dengan dirimu?" tanya Dion sembari menepuk-nepuk pipi Milva. Apalah daya, yang ditepuk pun tidak kunjung sadar. Dion pun segera mengendong tubuh Milva. Melihat ke arah kursi kosong, ia pun segera meletakkan tubuh wanita itu dengan perlahan. Namun, siapa sangka sang CEO melihat bekas luka di kaki juga pundak. "Kenapa kau banyak bekas luka lebam?" tanya Dion bergumam. Walaupun, di dalam hati bertanya-tanya, tetapi ia mengesampingkan itu semua. Meninggalkan Milva sendirian, ia pun membeli minuman dan makanan untuk wanita itu. Walaupun, Dion memang lelaki yang sangat cuek, tatapi dirinya sangat bertanggung jawab. Apalagi, dengan seorang wanita, lemah tak berdaya. Tak mungkin bila ditinggalkan begitu saja. Tak lama kemudian, akhirnya Dion telah kembali. Mengangkat kepala Milva hingga pahanya unt
Milva semakin terisak, tidak tahu harus menjawab apa. Dirinya benar-benar bahagia, juga di sisi lain hatinya sangat merasa gamang. Ya, ia masih merasa takut bila nantinya Restu akan memukul lagi. Namun, semua itu tiada yang tahu bila tidak di jalani dahulu. "Mas ... jika kamu tahu, bila aku ... aku ....""Kamu kenapa? Kamu sudah membenciku?" tanya Restu yang memang tak sabaran.Milva kembali terisak, sesak rasanya di dada. Semu ini serasa mimpi. Namun, ternyata semua ini adalah nyata."Aku sangat mencintaimu," ucap Milva lirih, tetapi masih bisa di dengar oleh Restu. Deg! Hati Restu bagaikan tersambar petir. Ternyata, wanita yang selalu ia sakiti, memiliki perasaan sama. Akankah ini semua awal yang manis? Ataukah nantinya akan menjadi kehancuran. "Bisakah kita mulai dari awal lagi?" tanya Restu. Milva hanya mengangguk, dirinya juga merasa sangat senang. Apa lagi rasa sakit yang selama ini ia alami, telah terbuang jauh dengan sebuah angan-angan manis. Ya, semua bahkan terasa indah
Malu setengah mati rasanya. Milva pun dengan perlahan-lahan melepaskan celana Restu. Saat ini rasanya lebih menegangkan juga pastinya malu-malu tapi mau. Semburat rona merah jambu, sangat terlukis indah di pipi Milva. Ia pun mengigit bibir bawahnya, melihat ke arah yang selama ini selalu membuat penasaran. Hanya saja, kali ini berbeda sekali. Apa lagi mereka berdua telah mengungkapkan perasaannya satu sama lain. Rasa geli saat di sentuh tangan Milva membuat Restu tersenyum simpul. Apa lagi dirinya juga menahan hasrat yang tertunda itu. Mereka berdua sama-sama diam, tidak ada sepatah katapun. Menyembunyikan rasa yang terus membuncah di dalam dada. Hingga pada akhirnya, Milva telah selesai menyeka bagian kaki milik sang suami. Dirinya pun sudah mulai memakaikan celana bersih. Dengan telatennya dan sabar ia terus melakukannya itu. "Nah, sudah selesai, bersih dan wangi tentunya," ucap Milva dengan tersenyum."Iya, kamu memang the best," jawab Restu. Milva tak menjawab, ia pun mengambi
Hari demi hari telah berlalu, kini Restu pun sudah diperbolehkan untuk pulang. Keadaannya pun sudah lebih membaik. Dengan sabar Milva menemani sang suami. Apa lagi kini mereka telah menyatakan rasa cinta dan sukanya satu sama lain. Setelah membayar administrasinya. Milva memesan taksi online. Ya, semua itu tentunya dengan arahan sang suami. Tak lupa dirinya juga sering bertukar kabar dengan Dion. Ya, walaupun belum menceritakan kepada Restu tentang lelaki yang ditemui saat di mall waktu itu. "Makasih, ya," ucap Restu sembari mengacak-ngacak rambut Milva. Wanita itu hanya mengangguk serta tersenyum.Membawa barang yang sedikit, karena semua itu memang Milva manfaatkan, agar tidak terlalu banyak. Restu pun tidak masalah, apa lagi setiap hari bajunya di cuci dan dijemur sampai kering. "Nah, itu taksinya sudah datang," ucap Milva setelah pesanan taksi onlinenya sudah tiba. Dirinya dengan cekatan langsung memasukkan barang-barang ke bagasi. Tak lupa juga dibantu oleh pak supir. Sedangk
"Aaa!" teriak Milva merasa kesakitan. Restu yang melihatnya pun hanya bisa melongo. Rasanya juga tak tega melihat sang istri digituin oleh ibunya. Menatap nanar ke arah Milva, apa lagi teriakannya sangatlah menyesakkan dada."Dasar wanita murahan!" teriak Bu Ningsih makin menjadi."Bu-bukan begitu, Bu." Milva mencoba menjelaskan, tetapi dirinya terus di seret dan jambakannya semakin kuat. Restu yang tidak tega melihat sang istri dibegitukan langsung mengikuti langkah sang ibunda tercinta. Ia langsung melepaskan jambakan dari rambut Milva. Hingga akhirnya, terlepas sudah jambakan yang sangat kuat itu. "Apa yang kamu lakukan, Restu?!" Bu Ningsih berteriak. Matanya melotot dan berkacak pinggang. Memang dirinya tak akan menyangka mendapati, anak semata wayangnya bisa berbuat seperti itu. Padahal tidak biasanya akan membela ataupun ikut melerai. "Aku mencintai Milva, Bu," ucap Restu dengan lantangGlegar! Seperti tersambar petir Bu Ningsih tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh an
Hari demi hari telah berlalu, kini Restu pun sudah diperbolehkan untuk pulang. Keadaannya pun sudah lebih membaik. Dengan sabar Milva menemani sang suami. Apa lagi kini mereka telah menyatakan rasa cinta dan sukanya satu sama lain. Setelah membayar administrasinya. Milva memesan taksi online. Ya, semua itu tentunya dengan arahan sang suami. Tak lupa dirinya juga sering bertukar kabar dengan Dion. Ya, walaupun belum menceritakan kepada Restu tentang lelaki yang ditemui saat di mall waktu itu. "Makasih, ya," ucap Restu sembari mengacak-ngacak rambut Milva. Wanita itu hanya mengangguk serta tersenyum.Membawa barang yang sedikit, karena semua itu memang Milva manfaatkan, agar tidak terlalu banyak. Restu pun tidak masalah, apa lagi setiap hari bajunya di cuci dan dijemur sampai kering. "Nah, itu taksinya sudah datang," ucap Milva setelah pesanan taksi onlinenya sudah tiba. Dirinya dengan cekatan langsung memasukkan barang-barang ke bagasi. Tak lupa juga dibantu oleh pak supir. Sedangk
Malu setengah mati rasanya. Milva pun dengan perlahan-lahan melepaskan celana Restu. Saat ini rasanya lebih menegangkan juga pastinya malu-malu tapi mau. Semburat rona merah jambu, sangat terlukis indah di pipi Milva. Ia pun mengigit bibir bawahnya, melihat ke arah yang selama ini selalu membuat penasaran. Hanya saja, kali ini berbeda sekali. Apa lagi mereka berdua telah mengungkapkan perasaannya satu sama lain. Rasa geli saat di sentuh tangan Milva membuat Restu tersenyum simpul. Apa lagi dirinya juga menahan hasrat yang tertunda itu. Mereka berdua sama-sama diam, tidak ada sepatah katapun. Menyembunyikan rasa yang terus membuncah di dalam dada. Hingga pada akhirnya, Milva telah selesai menyeka bagian kaki milik sang suami. Dirinya pun sudah mulai memakaikan celana bersih. Dengan telatennya dan sabar ia terus melakukannya itu. "Nah, sudah selesai, bersih dan wangi tentunya," ucap Milva dengan tersenyum."Iya, kamu memang the best," jawab Restu. Milva tak menjawab, ia pun mengambi
Milva semakin terisak, tidak tahu harus menjawab apa. Dirinya benar-benar bahagia, juga di sisi lain hatinya sangat merasa gamang. Ya, ia masih merasa takut bila nantinya Restu akan memukul lagi. Namun, semua itu tiada yang tahu bila tidak di jalani dahulu. "Mas ... jika kamu tahu, bila aku ... aku ....""Kamu kenapa? Kamu sudah membenciku?" tanya Restu yang memang tak sabaran.Milva kembali terisak, sesak rasanya di dada. Semu ini serasa mimpi. Namun, ternyata semua ini adalah nyata."Aku sangat mencintaimu," ucap Milva lirih, tetapi masih bisa di dengar oleh Restu. Deg! Hati Restu bagaikan tersambar petir. Ternyata, wanita yang selalu ia sakiti, memiliki perasaan sama. Akankah ini semua awal yang manis? Ataukah nantinya akan menjadi kehancuran. "Bisakah kita mulai dari awal lagi?" tanya Restu. Milva hanya mengangguk, dirinya juga merasa sangat senang. Apa lagi rasa sakit yang selama ini ia alami, telah terbuang jauh dengan sebuah angan-angan manis. Ya, semua bahkan terasa indah
Pada akhirnya ia pun terjatuh, tak berdaya. Pandangannya pun memudar. Badannya sudah tidak kuat lagi menopang. Namun, dengan sigapnya Dion langsung menangkap tubuh Milva. "Heh, bangun! Ada apa dengan dirimu?" tanya Dion sembari menepuk-nepuk pipi Milva. Apalah daya, yang ditepuk pun tidak kunjung sadar. Dion pun segera mengendong tubuh Milva. Melihat ke arah kursi kosong, ia pun segera meletakkan tubuh wanita itu dengan perlahan. Namun, siapa sangka sang CEO melihat bekas luka di kaki juga pundak. "Kenapa kau banyak bekas luka lebam?" tanya Dion bergumam. Walaupun, di dalam hati bertanya-tanya, tetapi ia mengesampingkan itu semua. Meninggalkan Milva sendirian, ia pun membeli minuman dan makanan untuk wanita itu. Walaupun, Dion memang lelaki yang sangat cuek, tatapi dirinya sangat bertanggung jawab. Apalagi, dengan seorang wanita, lemah tak berdaya. Tak mungkin bila ditinggalkan begitu saja. Tak lama kemudian, akhirnya Dion telah kembali. Mengangkat kepala Milva hingga pahanya unt
Milva meninggalkan ruang rawat inap milik sang suami. Dirinya kini memiliki tugas untuk membeli ponsel dan bakso. Berjalan dengan tenang di dalam pekatnya malam, ia pun pergi ke sebuah mall.Ternyata di depan rumah sakit ada sebuah mall besar. Dengan celingak-celinguk, Milva pun berhati-hati untuk menyeberang. Banyak kendaraan memang yang berlalu-lalang. Untungnya, Milva menyeberang tanpa ada hambatan sedikitpun. Dengan wajah yang berharap ia bisa segera membawakan apa yang di minta oleh Restu. "Aku harus ke mana?" tanya Milva setelah masuk ke dalam mall. Walaupun, dirinya berasal dari kampung, tetapi ia sudah pernah memasuki mall.Hanya saja, sudah beberapa tahun yang lalu. Milva pun menolah-noleh seperti orang kebingungan. Ia tak tahu harus mencari dari mana. Bila ditelusuri bisa-bisanya dua hari dua malam dirinya di sini. Berpikir sejenak, dan memutuskan untuk bertanya kepada sekuriti saja. Namun, saat membalikkan badannya, tanpa menyadari Milva menabrak seseorang. "Awh, maaf .
Milva tersenyum, melihat sang suami sudah membuka matanya. Ia pun, menjaga jaraknya, tak ingin bila nanti akan membangkitkan amarah Restu kembali."Syukurlah, kamu sudah sadar, Mas," ucap Milva lirih. Restu menoleh ke arah suara itu, melihat sang istri berada di sampingnya seakan rasanya sangat tenang. Rasa gengsi melanda di hati Restu. Dirinya masih tidak bisa mengungkapkan dan mengakui semua perasaannya. Bersikap seolah biasa saja, walau di dalam hatinya sangat berdebar. "Ibu, di mana?" tanya Restu mencari sosok yang selalu ia agungkan."Ibu, tidak datang ke sini," jawab Milva dengan wajah yang tetap menunduk. Dirinya tak berani menatap wajah sang suami. "Kabari dirinya.""Aku tidak punya ponsel. Lagi pula aku juga tidak tahu nomornya," jawab Milva jujur. "Argh, ya benar juga. Ponselku di mana?" tanya Restu, hendak ingin bangkit. Namun, Milva yang cekatan tak membolehkan untuk bergerak dahulu. Ia pun mengambil ponsel serta dompet yang diberikan pak polisi tadi. Dengan tangan ge
Sesampainya di rumah, Bu Ningsih masih terlihat kesal. Dirinya juga masih bersikap biasa saja, karena emang keadaan rumah selalu di tertutup. Sang menantunya juga tak berani untuk pergi keluar rumah, jadi wajar bila setiap hari begitu. "Aku akan membalas perbuatan kalian, ingat itu!" Bu Ningsih masih terus mengucapkan sumpah serapahnya. Ia pun langsung menuju ke kamar. Pikirannya sudah diselimuti akan rasa kesal juga benci kepada para sahabatnya itu. Padahal selama ini dirinya tak pernah pilih kasih. "Argh! Sial!" ucap Bu Ningsih saat membasuh mukanya. Make up yang tebal kini sudah luntur terkena air. Setelah membersihkan badannya, ia pun ingin bersantai. Pikirannya belum bisa mengigat kenapa dirinya bisa pingsan? Bu Ningsih hanya masih merasa kesal dan kesal. Duduk bersandar di sofa, sembari menyalakan televisi. Saat layar yang berada di depannya itu sudah menyala. Dahi Bu Ningsih mengerut. Dirinya seakan dituntun untuk mengigat semua itu. "Astaga, Restu anakku?" ucapnya lirih.
Kini Restu telah berada di ruang rawat inap. Tepatnya di ruang Dahlia nomor empat. Milva sangat lega, tinggal menunggu kesadaran sang suami saja.Apa yang dikatakan oleh pak dokter pun membuat Milva selalu terngiang-ngiang. Ia juga merasa takut bila nanti sang suami mengalami koma. "Semoga kau cepat sadar," ucap Milva lirih. Tangannya ingin menyentuh wajah sang suami. Hanya saja dirinya teringat saat kejadian waktu itu, Restu tak mau disentuh olehnya. Gamang tidak jelas, akhirnya Milva memberanikan diri untuk menyentuh wajah Restu. Mengusapnya perlahan, membuat secercah rindu terobati dengan sendiri. Ya, ia lakukan hanya akan diam-diam tak ingin memberi tahu kepada sang suami bila dirinya telah lancang. "Semoga dan semoga. Bila kau tahu, Mas. Aku sangat menyayangimu. Jauh dari lubuk hatiku, aku pun sudah tidak mempunyai siapa-siapa." Derai air mata Milva membasahi pipi kembali. Ia terisak, tangan kanannya membelai pipi Restu, sedangkan tangan kirinya menggenggam jemari sang suami.