Share

Jangan Pukul Lagi!
Jangan Pukul Lagi!
Penulis: Wie Dew Wie

Bab 1. Pernikahan

Penulis: Wie Dew Wie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Prank!

Bunyi pecahan piring membuat Milva terkejut. Ia tak akan menyangka melihat suaminya telah di luar batas. Selama sudah satu tahun baru kali ini piring pecah.

"Kau ini emang nggak tahu diri!" Bagaikan disambar petir, air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya terjatuh juga.

"Awas kau, ya!" Restu menarik lengan Milva dan menyeretnya. Wanita itu hanya merintih dan menahan sakit.

"Mas, jangan ... Mas," suara Milva parau. Dirinya mencoba memberontak. Namun, apalah daya, ia tak bisa berbuat apa-apa. Hingga pada akhirnya hanya bisa pasrah. Sudah biasa bila akan menelan air lagi seperti sebelumnya.

***

"Nduk, maafkan ibumu. Kau harus menikah," ucap Ibu Milva saat beliu belum menghembuskan napasnya untuk terakhir kali.

"Tapi, Milva tidak menyukai Restu, Bu!" Milva terus terisak di lutut sang ibunda tercinta. Ia tak tahu harus bagaimana, bila tidak menuruti kemauan kedua orang tuanya. Kasihan mereka pasti akan disuruh membayar hutang. Namun, hati tak bisa dibohongi, ingin segera bebas, tetapi tidak tahu harus bagaimana lagi.

Hingga pada akhirnya sebuah pernikahan mewah tergelar dengan indah. Ya, Milva memutuskan untuk menikah dengan Restu. Alasannya hanya satu, yaitu hutang keluarga sudah lunas terbayarkan. Walaupun hati menolak semua, tetapi ini lebih baik.

Milva merelakan kebahagiaannya demi kebahagiaan orang tuanya. Hanya itulah keinginan terbesarnya. Gaun putih mewah telah terpakai ditubuhnya. Siapa yang tak suka menikah dengan orang kaya, semua kemewahan pasti akan ada bukan!

Lagi-lagi Milva hanya tersenyum penuh kepalsuan. Ya, karena ia tak menyukai akan pernikahan ini. Pernikahan yang tidak dilandasi akan cinta. Namun, dilandasi agar hutang kedua orang tuanya lunas. Sungguh, nasip wanita itu sangatlah miris.

Milva selalu meyakinkan dirinya agar menjadi orang kuat juga ikhlas dengan semuanya. Ya, hanya itu pedomannya. Membuat orang lain bahagia diatas pernderitaannya itu sangatlah luar biasa baginya.

Malam pertama yang mendebarkan bagi Milva. Selama ini dirinya hanya mendengar cerita dari teman-temannya. Namun, kali ini ia benar-benar merasakannya.

Setelah mandi dan berganti baju tidur. Ia merebahkan di atas kasur yang telah di desain sangat indah. Kelopak mawar taburkan, juga hiasan lampu kelap-kelip menghiasinya. Milva baru sadar kenapa sedari tadi tidak melihat sosok Restu.

"Mungkin masih ada urusan, lebih baik aku tidur saja," ucap Milva lirih. Kini ia pun memutuskan untuk tidur duluan. Bersyukur sekali, karena malam ini tidak setegang tadi.

Baru juga beberapa menit tertidur, Milva sangat kaget akan suara yang baginya tak bersahabat, "Kenapa kau tidur di kasurku? Cepat sana tidur di lantai!" bentak Restu dengan bau alkohol yang sangat menyengat.

Milva pun terkejut karena jarak mereka sangat dekat, apa lagi bau alkohol yang membuat dirinya ingin muntah.

"Iy-iya, aku tidur di bawah," ucap Milva terbata. Dengan segera ia pun bangkit dari kasur yang super empuk itu dan berjalan sedikit menjauh dari Restu.

Lelaki itu dengan segera merebahkan tubuhnya di atas kasur super besar dan empuk itu. Terdengar samar-samar dengkuran kecil. Milva pun hanya menggaruk-ngaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ia pun memutuskan untuk membuka lemari dan mencari kasur kecil. Semoga saja ada kasur yang bisa untuk dirinya tidur. Namun, lagi dan lagi Milva kaget akan suara Restu meracau tidak jelas.

"Cepat temukan kasur lalu segera tidur, Va. Jangan sampai membuat singa itu bangun," ucap Milva lirih. Ia pun terus mencarinya sampai pada akhirnya ia menemukan kasur lantai kecil, bantal juga selimut. Dengan sigap ia pun menyiapkan semuanya.

Milva terhenyak saat memandangi wajah tampan Restu. Dirinya tanpa sadar terus memandangi, bau alkohol yang masih menyengat membuat wanita itu tak bisa memejamkan mata dengan segera. Ia terus gelisah dan terus menatap lekat kepada lelaki yang sekarang telah menjadi suami secara sah.

"Baiklah, cukup kali ini aku menganti pakaianmu," ucap Milva sembari menyiapkan baju bersih untuk sang suami.

Satu persatu ia lepas pakaian Restu dan memakaikannya. Sebelum itu, ia menyeka dengan air hangat, agar bau alkohol segera hilang.

"Astaga!" pekik Milva melihat apa yang tak terduga, masih terbungkus rapi dalam celana boxer.

"Milva jangan sampai kau membayangkan, ingat itu!" Milva terus mencoba menguatkan dirinya. Hingga pada akhirnya sudah selesai menganti pakaian sang suami.

Ia pun akhirnya merebahkan di atas kasur yang sudah di siapkan tadi. Rasa lelah yang teramat sangat, hingga pada akhirnya Milva sudah tertidur lelap.

Pagi hari yang begitu cerah, sepasang pengantin yang baru saja menikah, belum juga bangun. Membuat sang mertua marah. Bu Ningsih—ibunya Restu terus menggedor-gedor pintu kamar tersebut.

"Heh, bangun. Jangan jadi pemalas!" Teriak Bu Ningsih masih dengan menggedor-gedor pintu. Samar-samar telinga Milva mendengar gedoran tersebut. Hingga lama-kelamaan suara itu semakin jelas terdengar.

Milva pun langsung terbangun dan berjalan mendekat ke arah pintu. Menbiarkan sang suami masih tertidur dengan lelapnya. Ia pun langsung membuka pintu, betapa kagetnya, karena sang ibu mertua sudah di hadapan sembari berkacak pinggang.

"Mentang-mentang sudah ena-ena dengan anakku. Kau tidak mau bangun!" ucap Bu Ningsih kepada Milva.

Milva pun hanya bisa menahan rasa nyeri di ulu hati yang datang secara tiba-tiba. Padahal semua itu tidak seperti apa yang dikatakan oleh sang mertua.

"Cepat sana cuci piring, baju dan bersih-bersih!" bentaknya.

"Ba-baik, Bu," jawab Milva dengan terbata. Ia tahu, karena di sini hanya sebagai menantu dan itupun hanya menumpang.

Bu Ningsih meninggalkan Milva yang masih kaget. Ia pun harus banyak menyesuaikan diri di rumah sang mertua. Ya, semua memang tak bisa dilakukan oleh kehendaknnya sendiri.

Milva mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskan secara perlahan. Dirinya pun segera berlalu meninggalkan kamar, membiarkan Restu masih terbaring nyenyak.

Berjalan menuju ke dapur, ternyata benar saja. Piring sudah menumpuk harus di cuci. Tanpa rasa jijik, Milva pun dengan cekatan segera mencuci piring tersebut. Ya, alasannya agar semua cepat selesai.

Milva memang gadis yang cekatan juga pandai. Apa lagi paras wajahnya yang cantik dan polos, terkadang banyak orang yang mengagumi dirinya. Namun, para lelaki kini harus kandas cinta yang belum tersampaikan itu sudah dimiliki orang lain. Ya, semua tidak ada yang tahu bukan.

"Ini ada tambahan," ucap Bu Ningsih. Membuat Milva masih tetap di wastafel untuk mencuci semua itu. Padahal tadinya sudah hampir selesai.

"Ba-baik, Bu," jawab Milva dengan terbata. Ingin mengeluh, tetapi ia tak bisa.

Ia pun mencucu dua tumpukan piring itu lagi. Walau rasa lapar sudah menghampiri, tetapi dirinya tidak berani untuk makan. Apa lagi pekerjaannya masih sangat banyak.

"Apa harus seperti ini terus menerus?" tanya Milva lirih. Dirinya pun tidak akan tahu, sampai kapan ia akan bertahan.

Bersambung ....

Bab terkait

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 2. Milva bertahanlah!

    Setelah berjam-jam dirinya berkutat dengan pekerjaan rumah, akhirnya Milva bisa beristirahat. Wajah yang pucat juga keringat yang terus mengucur, rasanya sudah hampir pingsan. Namun, ia tetap menguatkan diri dan segera mengambil piring untuk makan. Baru ingin mengambil nasi tiba-tiba Milva terlonjak maget dengan suara ibu mertuanya, "Apa yang kau lakukan?""Ma-mau makan, Bu," ucap Milva terbata, dirinya sudah sangat lemas. Apa lagi sedari tadi perut belum diisi apa-apa. "Makan nasi saja, lauknya buat Restu." Milva hanya tersenyum getir. Ia pun tak bisa membantah, lagi pula apalah dirinya bila sampai membantah. Hanya anggukan sebagai jawaban. Bu Ningsih mengambil sepiring lauk yang berisi ayam. Semuanya di ambil, hanya tersisa nasi saja. Padahal dengan menantunya sendiri, kenapa bisa seperti itu? Akankah memang sudah garis takdirnya Milva? Namun, wanita mana yang akan tahan bila seperti itu, sungguh nasipnya miris sekali. Rasa lapar dan perut harus segera di isi, dengan terpaksa M

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 3. Andaikan kamu tahu, Mas!

    "Ibu ... Bapak, Maafin Milva belum bisa menjadi anak terbaik bagi kalian," ucapnya sembari merebahkan tubuh di atas kasur kecil, yang selalu menjadi teman setianya. Ia pun meringkuk, mencoba untuk segera memejamkan matanya. Semua tubuh memang terasa sakit, tetapi ada yang sudah hancur berkeping-keping. Rasa itu telah mati, harapan-harapan yang indah telah sirna. Seakan hilang lenyap ditelan kepahitan. Detik berubah menjadi menit, tetapi tidak ada tanda-tanda ia akan segera tidur. Pikirannya pun melalang buana ke mana-mana. Berharap bisa meluluhkan hati sang suami. Namun, ternyata tidak berhasil juga. Usahanya seakan sia-sia, andaikan kematian datang lebih cepat, mungkin Milva akan merasa sangat bersyukur. Penderitaan selama ini membuat dirinya hancur, apa lagi tidak ada dukungan serta pelukan hangat dari orang-orang terncinta. Ia hanya sendiri, semua yang dikerjakan juga selalu salah. Apalah yang hanya menumpang makan serta tidur, tetapi melakukan hal-hal ini dan itu tidak pernah d

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 4. Ada apa ini?

    Milva mengambil pisau serta telenan. Walaupun dengan hati-hati semua itu diperhatikan oleh Bu Ningsih. Ia takut bila melakukan kesalahan dan akan dihukum kembali. Rasanya memang sudah tidak kuat lagi menahan semua ini. Apa lagi, sedari tadi pagi belum malam ataupun minum. "Cepat! Kenapa lelet sekali," bentak Bu Ningsih membuat Milva kaget. Sampai-sampai pisau yang dipegang itu pun terjatuh. "E-eh iy, Bu," jawab Milva, sembari mengambil pisau yang terjatuh ke lantai. "Makanya, kalau kerja itu yang pecus. Jangan jadi pecudang." Bu Ningsih pun meninggalkan Milva sendiri, ia sudah sangat puas dengan apa yang dilakukan barusan. Melihat anak semata wayangnya itu barubangun, maka Bu Ningsih menyapa anaknya tersebut. "Wah sudah bangun, sayang?" ucap Bu Ningsih menghampiri Restu. Anak lelakinya itu pun hanya mengangguk, mata yang masih merah juga kepala masih terasa pening membuat enggan menjawab. "Milva di mana?" tanya Restu spontan. "Ada tuh di dapur. Ibu ngasih pelajaran, tapi lebih

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 5. Hotel

    Tak berselang lama akhirnya Restu telah sampai di hotel yang dijanjikan bersama Sely. Ia sangat tak bersemangat hari ini, entah karena masih terpengaruh alkohol semalam atau entahlah, dirinya malah bimbang sendiri. Mengetuk pintu hotel agar segera dibukakan oleh Sely. Tidak menunggu waktu yang lama, akhirnya seorang wanita menggunakan baju mini membuat Restu berbinar. Lelaki mana bila tidak tergoda dengan bongkahan padat dan kenyal itu. "Ayo masuk," ucap Sely sembari mengerlingkan matanya. Demi uang apapun itu bisa ia lakukan. Kini wanita dan lelaki itu masuk ke dalam hotel. Melihat tingkah Restu yang kurang bersemangat membuat Sely curiga. Ia pun terus menggoda agar apa yang diinginkan segera tercapai. "Ada apa? Sepertinya kau kurang sehat?" tanya Sely sembari terus menggoda. "Entahlah, aku rasa kurang bergairah," jawab Restu jujur. "Baiklah, akan aku tingkatkan gairahmu.""Tidak! Aku sedang tidak ingin." Sely yang mendapat penolakan dari Restu membuat sedikit kesal. Bisa-bisan

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 6. Ternyata bukan aku saja?

    Ya, Sely sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Sebuah nama Dinda tertera di layar ponsel Restu. Apa lagi saat dirinya membaca pesan chat yang memang muncul di layar. Dinda[Sayang, kenap tidak diangkat?]Begitulah isi pesan chat tersebut. Sely beberapa kali ingin membuka ponsel Restu. Namun, dirinya selalu gagal, benda pipih tersebut ternyata di kunci. "Argh! Sial!" ucap Sely sembari membanting ponsel Restu ke kasur yang masih longgar. Untung saja ponsel tersebut tidak mengenai dipan yang terbuat dari kayu. Bisa jadi kalau terkena itu akan pecah layarnya. "Aku kira, kekasih simpananku itu hanya aku. Eh, ternyata ada wanita lain, pantas saja dirimu selalu alasan ini itu." Sely menggerutu tidak karuan. Hatinya sudah terlalu sakit.Walaupun awalnya dia hanya sebagai wanita panggilan, tetapi makin lama dirinya menggunakan hati. Siapa juga yang tidak mau menjadi kekasih apa lagi bisa menjadi istrinya. Argh, semua wanita akan segera berbondong-bondong pastinya. "Baiklah, kalau beg

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 7. Aku ingin menyusul kalian, wahai ibu dan ayah

    Setelah puas dengan berselfi, mereka pun memulai acara intinya. Ya, ibu-ibu sosialita memang lebih mementingkan gaya glamor juga kemewahan. Sampai tak terasa waktu mereka telah habis. Mereka semua pun berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing, termasuk juga Bu Ningsih juga ikut pulang. Berjalan menuju ke parkiran, dirinya pun masuk ke mobil mewahnya. Hingga pada akhirnya, mobil pun berjalan meninggalkan restoran mewah tersebut. Bu Ningsih sangat bahagia, karena bisa memamerkan tas mewahnya. Ya, banyak yang memujinya tadi.Tanpa terasa mobil pun sudah sampai digarasi rumah. Perjalanan yang menyenangkan serta bahagia membuat semua tidak terasa sama sekali. Ia pun langsung masuk ke dalam rumah. Namun, ternyata di dalam rumah terasa sangat sepi sekali. "Apa Restu belum pulang?" ucap Bu Ningsih lirih. Ia pun segera berjalan menuju ke lantai atas. Ingin memastikan bila anak semata wayangnya itu memang belum pulang. Ceklek! Pintu kamar Restu pun terbuka lebar. Bu Ningsih kaget, kare

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 8. Pizza

    Setelah melihat sang suami merebahkan di atas kasur. Milva pun juga merebahkan dirinya ke kasur tipis itu. Membelakangi Restu, wanita itu perlahan menitikkan air mata kembali. Sungguh, hatinya sangat sesak sekali. Andaikan hati Restu dan Milva saling melontarkan kata dan mereka berdua bisa mengetahui satu sama lain. Mungkin semua ini tak akan seperti itu, hanya saja diam bertemu dengan gengsi. Ya, sudahlah, memang mereka bukan jodohnya. Restu mendengar suara rintihan, ia tahu bila suara itu terdengar dari Milva. Membalikkan badannya dan menatap punggung istrinya itu. Dirinya pun dengan secepat kilat mengeluarkan benda pipih yang berada di saku celananya itu.Menekan nomor seseorang dan dirinya pun beberapa saat terlibat mengobrol sebentar. Hingga pada akhirnya, ia menaruh ponselnya di kasur. Bangkit dan berjalan menuju ke jendela. Restu pun masih tetap memandangi Milva terus menerus. Apakah memang dirinya jatuh cinta? Namun, kenapa selalu saja merasa kasihan bila wanita itu tersaki

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 9. Restoran bertemu sahabat lama

    Setelah puas menatap punggung sang suami dan berandai-andai yang semua itu tak akan mungkin terjadi. Milva pun memutuskan untuk merebahkan tubuhnya kembali. Berharap bertemu mimpi indah sangat menyenangkan. Menghilangkan apa yang sudah terjadi selama ini. Padahal dirinya sudah tak ingin lagi menjalani semua kehidupan pahit ini. Menutup mata, hingga tanpa ia sadari, dirinya pun tertidur dengan nyenyak. Sungguh, bagi Milva semua itu sungguh melelahkan. ***Restu yang masih menyibukkan dengan bermain ponselnya. Ia pun sedikit menoleh ke arah sang istri. Melihat Milva sudah merebahkan badannya, dan ternyata terlelap. Restu pun hanya tersenyum, melihat kebekas luka. Dirinya hanya bisa tersenyum getir. Sangat merasa kasihan, karena telah melakukan hal yang telah dibatas wajar. Hingga lada akhirnya, dirinya juga ikut ke merebahkan badannya ke kasur. Ia menatap ke atas atap langit dan pikirannya berkelana ke mana-mana. Membayangkan saat bertemu sama Milva. Restu hanya bisa tersenyum kembal

Bab terbaru

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 19. Jangan dekati anakku!

    "Aaa!" teriak Milva merasa kesakitan. Restu yang melihatnya pun hanya bisa melongo. Rasanya juga tak tega melihat sang istri digituin oleh ibunya. Menatap nanar ke arah Milva, apa lagi teriakannya sangatlah menyesakkan dada."Dasar wanita murahan!" teriak Bu Ningsih makin menjadi."Bu-bukan begitu, Bu." Milva mencoba menjelaskan, tetapi dirinya terus di seret dan jambakannya semakin kuat. Restu yang tidak tega melihat sang istri dibegitukan langsung mengikuti langkah sang ibunda tercinta. Ia langsung melepaskan jambakan dari rambut Milva. Hingga akhirnya, terlepas sudah jambakan yang sangat kuat itu. "Apa yang kamu lakukan, Restu?!" Bu Ningsih berteriak. Matanya melotot dan berkacak pinggang. Memang dirinya tak akan menyangka mendapati, anak semata wayangnya bisa berbuat seperti itu. Padahal tidak biasanya akan membela ataupun ikut melerai. "Aku mencintai Milva, Bu," ucap Restu dengan lantangGlegar! Seperti tersambar petir Bu Ningsih tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh an

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 18. Aku sudah milikmu

    Hari demi hari telah berlalu, kini Restu pun sudah diperbolehkan untuk pulang. Keadaannya pun sudah lebih membaik. Dengan sabar Milva menemani sang suami. Apa lagi kini mereka telah menyatakan rasa cinta dan sukanya satu sama lain. Setelah membayar administrasinya. Milva memesan taksi online. Ya, semua itu tentunya dengan arahan sang suami. Tak lupa dirinya juga sering bertukar kabar dengan Dion. Ya, walaupun belum menceritakan kepada Restu tentang lelaki yang ditemui saat di mall waktu itu. "Makasih, ya," ucap Restu sembari mengacak-ngacak rambut Milva. Wanita itu hanya mengangguk serta tersenyum.Membawa barang yang sedikit, karena semua itu memang Milva manfaatkan, agar tidak terlalu banyak. Restu pun tidak masalah, apa lagi setiap hari bajunya di cuci dan dijemur sampai kering. "Nah, itu taksinya sudah datang," ucap Milva setelah pesanan taksi onlinenya sudah tiba. Dirinya dengan cekatan langsung memasukkan barang-barang ke bagasi. Tak lupa juga dibantu oleh pak supir. Sedangk

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 17. Semoga lekas pulang

    Malu setengah mati rasanya. Milva pun dengan perlahan-lahan melepaskan celana Restu. Saat ini rasanya lebih menegangkan juga pastinya malu-malu tapi mau. Semburat rona merah jambu, sangat terlukis indah di pipi Milva. Ia pun mengigit bibir bawahnya, melihat ke arah yang selama ini selalu membuat penasaran. Hanya saja, kali ini berbeda sekali. Apa lagi mereka berdua telah mengungkapkan perasaannya satu sama lain. Rasa geli saat di sentuh tangan Milva membuat Restu tersenyum simpul. Apa lagi dirinya juga menahan hasrat yang tertunda itu. Mereka berdua sama-sama diam, tidak ada sepatah katapun. Menyembunyikan rasa yang terus membuncah di dalam dada. Hingga pada akhirnya, Milva telah selesai menyeka bagian kaki milik sang suami. Dirinya pun sudah mulai memakaikan celana bersih. Dengan telatennya dan sabar ia terus melakukannya itu. "Nah, sudah selesai, bersih dan wangi tentunya," ucap Milva dengan tersenyum."Iya, kamu memang the best," jawab Restu. Milva tak menjawab, ia pun mengambi

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 16. Benih-benih cinta

    Milva semakin terisak, tidak tahu harus menjawab apa. Dirinya benar-benar bahagia, juga di sisi lain hatinya sangat merasa gamang. Ya, ia masih merasa takut bila nantinya Restu akan memukul lagi. Namun, semua itu tiada yang tahu bila tidak di jalani dahulu. "Mas ... jika kamu tahu, bila aku ... aku ....""Kamu kenapa? Kamu sudah membenciku?" tanya Restu yang memang tak sabaran.Milva kembali terisak, sesak rasanya di dada. Semu ini serasa mimpi. Namun, ternyata semua ini adalah nyata."Aku sangat mencintaimu," ucap Milva lirih, tetapi masih bisa di dengar oleh Restu. Deg! Hati Restu bagaikan tersambar petir. Ternyata, wanita yang selalu ia sakiti, memiliki perasaan sama. Akankah ini semua awal yang manis? Ataukah nantinya akan menjadi kehancuran. "Bisakah kita mulai dari awal lagi?" tanya Restu. Milva hanya mengangguk, dirinya juga merasa sangat senang. Apa lagi rasa sakit yang selama ini ia alami, telah terbuang jauh dengan sebuah angan-angan manis. Ya, semua bahkan terasa indah

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 15. Akhirnya bisa mengungkapkan

    Pada akhirnya ia pun terjatuh, tak berdaya. Pandangannya pun memudar. Badannya sudah tidak kuat lagi menopang. Namun, dengan sigapnya Dion langsung menangkap tubuh Milva. "Heh, bangun! Ada apa dengan dirimu?" tanya Dion sembari menepuk-nepuk pipi Milva. Apalah daya, yang ditepuk pun tidak kunjung sadar. Dion pun segera mengendong tubuh Milva. Melihat ke arah kursi kosong, ia pun segera meletakkan tubuh wanita itu dengan perlahan. Namun, siapa sangka sang CEO melihat bekas luka di kaki juga pundak. "Kenapa kau banyak bekas luka lebam?" tanya Dion bergumam. Walaupun, di dalam hati bertanya-tanya, tetapi ia mengesampingkan itu semua. Meninggalkan Milva sendirian, ia pun membeli minuman dan makanan untuk wanita itu. Walaupun, Dion memang lelaki yang sangat cuek, tatapi dirinya sangat bertanggung jawab. Apalagi, dengan seorang wanita, lemah tak berdaya. Tak mungkin bila ditinggalkan begitu saja. Tak lama kemudian, akhirnya Dion telah kembali. Mengangkat kepala Milva hingga pahanya unt

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 14. Dion?

    Milva meninggalkan ruang rawat inap milik sang suami. Dirinya kini memiliki tugas untuk membeli ponsel dan bakso. Berjalan dengan tenang di dalam pekatnya malam, ia pun pergi ke sebuah mall.Ternyata di depan rumah sakit ada sebuah mall besar. Dengan celingak-celinguk, Milva pun berhati-hati untuk menyeberang. Banyak kendaraan memang yang berlalu-lalang. Untungnya, Milva menyeberang tanpa ada hambatan sedikitpun. Dengan wajah yang berharap ia bisa segera membawakan apa yang di minta oleh Restu. "Aku harus ke mana?" tanya Milva setelah masuk ke dalam mall. Walaupun, dirinya berasal dari kampung, tetapi ia sudah pernah memasuki mall.Hanya saja, sudah beberapa tahun yang lalu. Milva pun menolah-noleh seperti orang kebingungan. Ia tak tahu harus mencari dari mana. Bila ditelusuri bisa-bisanya dua hari dua malam dirinya di sini. Berpikir sejenak, dan memutuskan untuk bertanya kepada sekuriti saja. Namun, saat membalikkan badannya, tanpa menyadari Milva menabrak seseorang. "Awh, maaf .

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 13. Kesempatan dalam kesempitan

    Milva tersenyum, melihat sang suami sudah membuka matanya. Ia pun, menjaga jaraknya, tak ingin bila nanti akan membangkitkan amarah Restu kembali."Syukurlah, kamu sudah sadar, Mas," ucap Milva lirih. Restu menoleh ke arah suara itu, melihat sang istri berada di sampingnya seakan rasanya sangat tenang. Rasa gengsi melanda di hati Restu. Dirinya masih tidak bisa mengungkapkan dan mengakui semua perasaannya. Bersikap seolah biasa saja, walau di dalam hatinya sangat berdebar. "Ibu, di mana?" tanya Restu mencari sosok yang selalu ia agungkan."Ibu, tidak datang ke sini," jawab Milva dengan wajah yang tetap menunduk. Dirinya tak berani menatap wajah sang suami. "Kabari dirinya.""Aku tidak punya ponsel. Lagi pula aku juga tidak tahu nomornya," jawab Milva jujur. "Argh, ya benar juga. Ponselku di mana?" tanya Restu, hendak ingin bangkit. Namun, Milva yang cekatan tak membolehkan untuk bergerak dahulu. Ia pun mengambil ponsel serta dompet yang diberikan pak polisi tadi. Dengan tangan ge

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 12. Kesulitan sendiri

    Sesampainya di rumah, Bu Ningsih masih terlihat kesal. Dirinya juga masih bersikap biasa saja, karena emang keadaan rumah selalu di tertutup. Sang menantunya juga tak berani untuk pergi keluar rumah, jadi wajar bila setiap hari begitu. "Aku akan membalas perbuatan kalian, ingat itu!" Bu Ningsih masih terus mengucapkan sumpah serapahnya. Ia pun langsung menuju ke kamar. Pikirannya sudah diselimuti akan rasa kesal juga benci kepada para sahabatnya itu. Padahal selama ini dirinya tak pernah pilih kasih. "Argh! Sial!" ucap Bu Ningsih saat membasuh mukanya. Make up yang tebal kini sudah luntur terkena air. Setelah membersihkan badannya, ia pun ingin bersantai. Pikirannya belum bisa mengigat kenapa dirinya bisa pingsan? Bu Ningsih hanya masih merasa kesal dan kesal. Duduk bersandar di sofa, sembari menyalakan televisi. Saat layar yang berada di depannya itu sudah menyala. Dahi Bu Ningsih mengerut. Dirinya seakan dituntun untuk mengigat semua itu. "Astaga, Restu anakku?" ucapnya lirih.

  • Jangan Pukul Lagi!   Bab 11. Apes

    Kini Restu telah berada di ruang rawat inap. Tepatnya di ruang Dahlia nomor empat. Milva sangat lega, tinggal menunggu kesadaran sang suami saja.Apa yang dikatakan oleh pak dokter pun membuat Milva selalu terngiang-ngiang. Ia juga merasa takut bila nanti sang suami mengalami koma. "Semoga kau cepat sadar," ucap Milva lirih. Tangannya ingin menyentuh wajah sang suami. Hanya saja dirinya teringat saat kejadian waktu itu, Restu tak mau disentuh olehnya. Gamang tidak jelas, akhirnya Milva memberanikan diri untuk menyentuh wajah Restu. Mengusapnya perlahan, membuat secercah rindu terobati dengan sendiri. Ya, ia lakukan hanya akan diam-diam tak ingin memberi tahu kepada sang suami bila dirinya telah lancang. "Semoga dan semoga. Bila kau tahu, Mas. Aku sangat menyayangimu. Jauh dari lubuk hatiku, aku pun sudah tidak mempunyai siapa-siapa." Derai air mata Milva membasahi pipi kembali. Ia terisak, tangan kanannya membelai pipi Restu, sedangkan tangan kirinya menggenggam jemari sang suami.

DMCA.com Protection Status