Operasi sedang dilangsungkan, 3 jam berlalu membuat ibu dan ayah Mexsi tidak bisa tenang. Mereka berdua terus saja menunggu, sampai kedua tangan bergemetar.
Lampu ruang operasi menyala lalu mati, suster berlarian ke sana ke mari. Ibu Mexsi mendekati salah satu suster, ia ingin menanyakan terjadi masalah apa?
"Suster, ada apa? Kenapa kau begitu cemas?" tanya ibu Mexsi memegangi salah satu suster yang keluar ruangan.
"Mohon maaf Ibu, sepertinya pasien sedang mengalami masa kritis. Berdoalah, agar operasi diberikan kemudahan juga keselamatan," kata suster lari ke dalam.
Ibu Mexsi pingsan seketika mendengar hal itu darinya, ayah Mexsi mengangkat dan membawanya keruang UKS. Membaringkannya di sana, berharap istri dan putranya bisa membuka matanya kembali.
Setelah beberapa jam menunggu akhirnya operasi selesai, dokter yang menangani Mexsi keluar dari ruang operas
See you, next part ➡️
Dokter yang sedang menangani keadaan Mexsi tiba-tiba keluar dari ruangannya, Yasmin dan ibu Mexsi menengok bersamaan ke arahnya."Dokter ada apa? Sudah selesai? Boleh saya masuk?" kata ibu Mexsi langsung menyuguhkan beberapa pertanyaan padanya."Begini, Mexsi harus melupakan segalanya tentang seseorang yang telah membuatnya terluka. Jadi, saya harap dengan dia membuka lembaran baru dihidupnya. Dia kembali ke kehidupannya yang semula tapi, kita harus mencari alasan atau kegiatan lain untuknya. Jangan sampai dia mencoba mengingat kembali, apalagi sampai menyadarinya... " kata dokter menjelaskan keadaannya."Agar Mexsi dapat mempercayai dan dapat melupakan masa lalunya yang kelam." lanjutnya menatap ke arah kedua orang tua itu.Ibu Mexsi mendekati suaminya, ia memegang tangannya. Dengan kedua alis ditekuk, lalu menatapnya serius."Apa boleh buat, kan? ki
Terus saja menatap ayahnya Mexsi, saat makanan yang dimakan ayah Mexsi habis barulah dia menengok ke arah Dito. "Apa yang ingin Om tanyakan, pada saya?" tanya Dito dengan tatapan penasaran.Bukannya menjawab ayah Mexsi lanjut memesan makanan. Pada saat itulah ia menatap kembali Dito, wajahnya kini berubah sedikit sedih."Begini, kamu itu, kan sahabat Mexsi. Dan sudah tidak ada rahasia di antara kalian bukan?" kata ayah Mexsi menatap serius ke wajah Dito.Dito mengangkat wajahnya. "Tentu saja Om!""Tetapi kamu harus merahasiakan sesuatu hal, dari Mexsi seumur hidup." lanjutnya masih menatap Dito serius.Sebenarnya Dito sangat anti sekali main rahasia-rahasiaan, terlebih pada sahabat karibnya. Tetapi, seperti tidak salah jika mendengar dahulu penjelasan ayah Mexsi. Kali ini ia mencoba mendengarkan dengan saksama."Tentang kecelakaan yang
Terjebak dengan keadaan, Mexsi akhirnya menyetujui perkataan ibunya. Keesokan harinya, Dito datang ke rumahnya pagi-pagi sekali. Membawa jas berwarna hitam kecoklatan, tapi pada saat sampai dikamar Mexsi. Lelaki itu sedang terlelap tidur, wajah Dito berubah. Ia membangunkan Mexsi kembali dengan lembut, namun tidak kunjung bangun juga. Cara terakhir."Sayang, kalau kamu tidur terus. Kita akan segera menikah lho," ucap Dito mencoba memancingnya.Benar saja, tanpa menunggu waktu lama Mexsi membuka kedua matanya langsung melotot. Bangkit lalu masuk ke dalam kamar mandi, Dito langsung berjoged ria karena rencananya berhasil.Beberapa saat kemudian Mexsi keluar dari kamar mandi, lalu mendorong Dito keluar dari kamarnya. Beralasan jangan sampai dia melihatnya berganti pakaian, meski Dito suka bercanda tapi ia takut candaannya jadi kenyataan."Eh tunggu, Mexsi!" Teriak Dito sudah diluar
Gadis yang sedang ditatap Dito hampir menangis karenanya, muncul sosok lelaki yang gagah, tinggi dan tampan. Sayangnya kepalanya botak, jika berdiri di atas kepalanya mungkin akan terpleset. Secepatnya Dito menatap ke arah sapu yang tergeletak disamping tembok, yang ditinggalkan keliling servis."Apa! Liat-liat!?" kata Dito memekik marah sambil menunjuk-nunjuk sapu itu."Hah! Dasar orang gila," kata lelaki botak itu menggandeng wanitanya.Ketika dirasa mereka sudah pergi menjauh barulah ia pergi dari sana, membelikan Mexsi minum beserta si Mba En. Beberapa saat kemudian Mexsi sudah rapih, ia mulai diajarkan gaya-gaya seorang model ketika dipotret. Selesai dengan pemotretan yang dianggapnya beban, ia bernafas lega bisa langsung menguasainya. Bahkan sampai membuat model yang lain, yang saat itu menyaksikan pemotretannya bertepuk tangan ria. Ia tak mau bila harus berlama-lama di tempat itu. Ingin secepa
Lebih baik jika Mexsi menerima dengan ikhlas lalu berkata. "Tapi sebelum itu, Bunda sudah menempatkan Mexsi di sekolah lama sebelum kecelakaan bukan?"Apakah ini keinginan Mexsi? "Sebenarnya Bunda dan ayah sudah memikirkan sekolah yang lebih bagus, jadi- " Ucapan ibunya terpotong ketika Mexsi menghentakkan kakinya di lantai."Bun, kenapa Bunda lakukan ini. Memangnya kenapa dengan sekolah lama Mexsi?" tanyanya dengan nada sedikit tinggi.Hampir tidak bisa mencari alasan, ibunya Mexsi akhirnya pasrah lalu berkata. "Baiklah, jika ini memanglah keputusan kamu. Apa boleh buat, Bunda hanya bisa setuju dengan apa yang kamu inginkan."Aneh. Iya benar! Sangat aneh sekali. Jarang sekali ibunya mengalah terhadapnya begitu saja, semakin curiga. Merasa ada sesuatu yang telah disembunyikan ibunya dari dirinya sendiri. Sayup-sayup terasa terpapar jelas pada wajah ibunya yang hampir mengatakan
Betapa terkejutnya Mexsi saat ditatap lekat-lekat gadis yang kini berada dihadapannya, apa hubungannya dengan dia? Apakah selama ini Mexsi kehilangan sesuatu. Itu adalah dirinya? Gadis itu, selama ini terus saja mengikutinya. Ternyata itu adalah dia, yang saat ini berdiri dihadapannya? Entahlah.Gadis itu tersenyum lalu berkata. "Kamu sedang mencari ini, kan?" katanya menyodorkan kembali pulpennya pada lelaki yang berada dihadapannya."Iya." Sahut Mexsi kembali lagi ketempat duduknya.Gadis itu hanya menatap ke arahnya dengan penuh gairah, dan berharap Mexsi suatu saat nanti jatuh hati padanya. Pikirnya hanya menunggu waktu yang tepat saja. Mexsi pasti bisa ditaklukkan oleh dirinya, entah bagaimana pun caranya.Belajar sangat tidak fokus pada saat pertama kalinya kembali bersekolah, sampai ia menatap ke arah papan tulis. Dengan tatapan kosong, gurunya memanggil namanya pun Mexsi
"SAKIT! Punggung tangan gue sampai merah, kasar banget si lo jadi cowok. Anak siapa tahu? Gue cuma mau balas kebaikan lo, karena tadi udah tolongin gue.” Suara siapa itu? Mengapa suaranya terus saja terngiang-ngiang dikepalanya? Mexsi mengangkat tangannya, menyentuh rambut kepalanya, telapak tangannya berada di atas telinga sampai menekan dibagian pelipis. Menutup matanya, suara itu semakin terdengar. Bernafas saja terasa sangat sesak, keningnya berkerut menahan sakit, keringat dari dahinya mulai keluar hampir menetes, suara nafasnya sangat keras sampai terdengar. Dito mengernyit saat melihat Mexsi tampak dalam keadaan tidak baik-baik saja. "Gue sebagai manajernya Mexsi, jaga jarak dengannya. Satu hal lagi gue mau bahas masalah penting dengannya, nggak boleh ada yang mengikuti kami." Dito segera menceletuk, dengan sorotan tajam dan jahil. Mereka semua terdiam. Memang betul apa yang dikatakan Dito, dia lebih memiliki kuasa atas apa saja yang dilakukan
Mereka berdua saling tatapan, tapi saat Mexsi meringis berteriak kesakitan. Barulah Dito melepaskan genggamannya pada gadis itu. Obat itu langsung masuk ke dalam kerongkongan mulut Mexsi, membantunya mengambilkan air minum. Tak menunggu waktu lama ia tertidur, obatnya mulai bekerja."Huff," kata Yasmin sedikit lega. "Maksudnya apa? Untung saja kita tepat waktu, jika terlambat. Gue gak tahu apa yang akan terjadi padanya." Ia mendesah dengan penuh kesal."Lo belum jawab pertanyaan gue, obat apa yang barusan aja lo kasih ke Mexsi?" tegas Dito kembali bertanya padanya."Bukan urusan lo," ucap Yasmin mencibir."Yasmin gue bertanya demi kebaikan Mexsi, karena gue peduli sama Mexsi," ucap Dito dengan tegas menatapnya. Dengan satu sentakan kaki Yasmin menoleh ke arahnya. "Gue cuma mau lo jadi gadis baik-baik, meski lo nggak inget gue. Tapi gue bakal selalu jadi teman baik lo." Dito menc
Kepala Keyla sulit sekali bergerak, ia tak mampu menengok ke belakang. Ia berjanji tidak akan menangis lagi, tetapi sulit baginya berhenti. Lelaki itu melingkarkan tangannya pada tubuh Keyla, lalu mendekapnya tanpa ragu dari belakang."Kau jahat sekali, kenapa berpura-pura tidak mengenaliku?" tanya Mexsi menopang dagunya di atas pundak Keyla. "Kau tahu aku begitu menderita, setiap hari harus meminum obat dan melupakan semua hal tentangmu." "Ba .. gaimana mungkin, kau mengingatku kembali. Harusnya kau tetap melupakanku, Mexsi!" Jerit Keyla dengan wajah sedih."Itu kah maumu?" tanya Mexsi mundur selangkah. Keyla tetap tidak berani berbalik, apalagi menatap wajahnya. "Baik kalau begitu, aku pergi .... "Keyla tiba-tiba saja memegang lengannya sambil menunduk, tangannya bergerak sendiri tanpa meminta izin pada pemiliknya. "Aku ... Aku takut menembakmu, aku sangat takut kehilanganmu.""Tatap mataku, Keyla," kata Mexsi. Gadis itu hanya dapat menggeleng. "Kubilang tatap mataku, Keyla!" Teri
Tina dan Ino terdiam sesaat, mereka berharap kalau Keyla tidak memikirkan perkataan Tino. Mereka meyakini jika sampai percaya maka apa yang akan terjadi pada sahabatnya, tiba-tiba saja Keyla berdiri, menatap segan ke arah Tino. "Keyla mau ke mana?" tanya Ino pelan."Keyla, di sini aja ya. Gak usah dengerin apa yang barusan Tino bilang, kita kan tahu kalau dia suka bercanda. Dan selalu membangkitkan emosi kita, iya kan Ino?" kata Tina melirik pelan ke arah Ino."Oh iya haha." Ino sedikit tertawa sambil memukul pelan pundak Tino.Selama ini Mexsi yang menemani Kayla dalam keadaan sesulit apapun, bahkan sampai detik-detik terakhirnya saja. Mexsi mampu membuat bahagia di masa sulitnya, apakah Keyla menyadari hal itu. Tentu saja, Keyla sangat memahami hubungan mereka berdua. Satu hal lagi yang belum Keyla tahu. "Gue sama Mexsi udah saling benci pada saat usia kanak-kanak."Tina langsung bertanya. "Apa penyebab kalian saling membenci?"Ino dan Tino hanya menatap ke dalam mata Keyla sambil m
Hanyut dalam dekapan ibu Ino membuat Keyla semakin tak sanggup menahan air matanya. Cukup lama ia menahannya, terbendung sudah hampir meluap keluar. Air matanya mengalir deras turun melewati pipinya yang kini memerah, ia tidak tahu kalau selama ini ia butuh dipeluk oleh seseorang dalam keadaannya yang sedang mencari informasi terkait kematian kakaknya.Ibu Ino berniat menceritakan sedikit tentang semasa hidup Kayla, waktu itu di mana geng Sarah menghancurkan usahanya. Sebagai ibu pemilik kantin di sekolah Ino dulu, Ibu Ino melepaskan pelukannya. Menatap Keyla yang saat ini sedang mengusap air matanya. "Kakakmu Kayla adalah gadis yang sangat baik, dia sangat berjasa bagi kami." Tiba-tiba saja ibu Ino membahas tentang kakaknya."Benarkah?" Kedua bola mata Keyla berbinar-binar saat mengatakannya."Tentu saja, Kayla maju digaris paling depan. Saat kantin kami sedang diobrak-abrik oleh Sarah dan teman-temannya, Kayla sempat terluka dia tidak menyerah sedikit pun. Demi membantu kami, dia sa
Ibunya mendongak ke atas menatap wajah putranya. "Aku tahu betul, jika tangan Bunda bergetar seperti ini. Artinya Bunda berbohong, apakah sangat sulit bagi Bunda memberitahuku yang sebenarnya?" tanya Mexsi masih tetap memegang tangan ibunya."Bunda sudah memesan tiketnya, lebih baik kita bergegas. Nanti ketinggalan pesawat.""Cukup Bunda!" Mexsi sedikit meninggikan suaranya, tapi masih dalam batas wajar. Ia melangkah pergi ke depan pintu."Mau kemana?" tanya ayahnya yang baru saja sampai di depan pintu."Ayah, cegah dia Yah. Mexsi kita mau pergi, dia tidak ingin ikut bersama kita kembali ke Singapura. Ayo Ayah cegah dia," kata istrinya merasa ketakutan yang amat sangat dalam.Suaminya menggeleng. "Biarkan saja.""Apa maksud Ayah?""Biarkan saja Mexsi tinggal dan melanjutkan studynya di sini."Mexsi berhenti melangkah, membulatkan matanya, menengok ke arah ayahnya sedang bicara. Ternyata ayahnya malah memilih membela dirinya ketimbang ibunya sendiri. Selama ini, ayahnya selalu tunduk d
Puk. Sekotak kecil menimpa kepalanya, sampai Mexsi mengelus kepalanya beberapa kali tanpa bersuara. Kotak kecil itu patah, sehingga terlihat isinya sedikit. Ia memegang kotak itu lalu memperhatikannya dengan seksama, nampak tidak asing baginya. Ia mengambil buku diary ingin membuka selembar kertas. "Mexsi!" Jerit ibunya dari luar kamar. Mexsi sampai menjatuhkan buku diary milik kakaknya, ia jongkok mengambil buku diary itu. Ibunya langsung merebut buku itu darinya, ia mengangkat kedua alisnya."Bunda kembalikan, buku diary itu milikku." Pinta Mexsi merengek dengan sedikit bergurau."Nggak, mulai detik ini, buku diary ini. Milik Bunda," jawab ibunya tersenyum masam."Kenapa begitu?" Mexsi menaikan sebelah alisnya karena tak terima buku itu tiba-tiba diambil ibunya."Gak usah banyak tanya, kalau kamu mau buku diary ini. Maka kembalilah ke Singapura, Bunda pasti memberikannya padamu." Ibunya melangkah pergi dari sana setelah mengatakannya.Mexsi hanya terdiam sambil memikirkan segala ke
"Biar gue tarik kata-kata gue waktu itu, beres kan?" jawab Keyla lalu bertanya padanya."Bisa gak, jangan egois. Ambil keputusan secara sepihak begitu, kita.""Kenapa, kenapa, nyawa kalian bisa dalam bahaya jika terus bareng gue. Kalian tahu sendiri kan, ayah gue udah jadi korban. Dan gue gak mau kehilangan lagi, gue mohon sama kalian jangan pedulikan untuk kali ini saja, jangan menoleh. Cukup berpaling aja," ungkap Keyla yang bersungguh-sungguh takut kehilangan lagi.Tina dan Ino terdiam sesaat, lalu Tina maju selangkah menujunya. "Terus lo pikir kita juga mau gitu kehilangan sahabat kita lagi?""Kenapa kalian sampai segitunya, harusnya kalian gak usah melakukan hal ini.""Karena kita ini sahabat," jawab Ino dengan tersenyum sambil menutup matanya."Huaaaa!" Keyla menangis sejadi-jadinya di tempat itu. Tina dan Ino kembali saling pandang, mereka memeluk Keyla bersamaan. Mereka menumpahkan kesedihan, kerinduan, serta persahabatan menangis bersama di sana. Beberapa saat Ino menghapus a
Para pelayan itu kembali setelah beberapa saat, Mexsi mulai bingung dengan dirinya sendiri. Terkejut dengan apa yang baru saja ia pesan, ternyata makanan itu sama dengan apa yang dipesan gadis itu. Tapi makanan itu sangat familiar untuknya, rasanya ia sudah pernah memberikan makanan itu pada seseorang tetapi siapa?Keyla bukan tanpa sebab memilih berada di lestoran itu, ia merindukan sahabatnya yaitu Ino berada di sana. Tanpa gadis itu sadari Ino telah berada dihadapannya, duduk di sana sembari terus memperhatikannya.Mexsi sedang mengunyah makanannya, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Ia menoleh dengan santai, setelah mengetahui siapa orang itu ia tetap melanjutkan makan. "Gue cari lo kemana-mana ternyata lo ada di sini, lagi enak makan lagi. Bla, bla." Dito ngedumel dengan seribu bahasanya.Dirasa cukup lelah membacot sendirian, akhirnya ia memilih duduk memesan minum. Kembali menatap wajah Mexsi. "Udah makannya kan?" tanya Dito sambil menyeruput segelas kopi hangat."Iya,"
"Iya Keyla, maksudku kanker itu kantong kering," jawab Dito sedikit membekap mulutnya sendiri. Terdengar cekikikan kecil di sana. Keyla mengerutkan keningnya. "Aku mau beli bunga buat dimakam, masalahnya aku gak bawa uang. Gimana ya?" lanjutnya kembali melirik Keyla dengan penuh harap.Tanpa berpikir panjang Keyla langsung mengambil dompetnya dari dalam tas selempangnya. Ia mengeluarkan beberapa sejumlah uang dari sana, memberikannya pada lelaki itu tentu saja sudah mengerti Dito tak mau mengambilnya. "Apa lagi, masalahnya?" tanya Keyla sedikit geram.Dito malah melangkah dengan cepat memegang tangan Keyla. Entah kenapa Mexsi merasa kesal setengah mati, ketika melihat Dito memegang tangan gadis itu. "Bisa tolong pilihkan, aku gak paham caranya memilih bunga yang bagus. Aku mohon banget sama kamu. Bantu aku untuk kali ini aja ya, ya." Dito mengatakannya dengan penuh harap. Dengan amat sangat terpaksa Keyla mengangguk. "Emang kamu mau ziarah ke makam siapa?""Kak Morgan, terus aku sam
Dito meraih daun pintu mobilnya, lalu menyuruh Mexsi masuk ke dalam. Ia langsung tancap gas, ditengah perjalanan menancap rem sampai tubuh Mexsi sedikit terpental ke depan. Lelaki itu menatapnya sinis, sedangkan Dito menoleh ke belakang dengan mengerutkan keningnya. "Ada apa?" tanya Mexsi sedikit kesal dibuatnya."Gue baru inget Mexsi," selorohnya dengan nada sombongnya."Inget apaan?" Kembali bertanya dengan menaikan sebelah alisnya."Mau pergi ke mana?""Ck," Mexsi berdecak heran. "Mangkannya tanya dulu, cari aja di Maps. Makam terdekat taman indah buana," katanya melipat kedua tangannya di atas dada."Oke!" Mereka kembali melanjutkan perjalanannya.Sesampainya mereka di tempat tujuan. Dito turun dari balik pintu mobil, ia mulai sigap membukakan pintu mobil untuk Mexsi. Kenapa demikian? Mexsi berpikir jika Dito tak membukakannya pintu nanti akan disuruh masuk kembali. Seperti kejadian di waktu yang lalu, saat mereka berada di Singapura. Ingatan Mexsi tajam mengenai hal itu, tapi ia