POV Dinda
Hati dan perasaanku saat ini benar-benar hancur. Bagaimana tidak, laki-laki yang namanya, selama ini aku sebut dalam setiap doaku, sudah resmi menjadi milik orang lain. Yang lebih menyakitkan lagi adalah, dia menjadi kakak iparku sendiri.Kalian, mungkin, tidak akan tahu rasa sakitnya seperti apa? Kami sangat dekat, tetapi, tak bisa aku sentuh. Tak bisa aku raih. Apa lagi, memilikinya.Kenapa?! Kenapa kamu lebih memilih dirinya?! Kenapa kamu lebih memilih, menjadi kakak iparku?! Kenapa kamu tak memilih aku?!Kenapa?!Harusnya, aku yang ada di sampingmu! Harusnya, aku yang tersenyum bersamamu!Harusnya, aku yang bersanding bersamamu!Harusnya, aku yang menggenggam jemarimu!Harusnya, aku yang jadi istrimu! Aku!!Bukan, Dia!Tapi, kenapa kamu malah memilih kakakku?!Kenapa? Kenapa, DEVANDI NARENDRA?!Bukankah, aku yang pertama kali mengenalmu,Bukankah, aku yang pertama kali, yang berbicara kepadamu,Bukankah, aku yang pertama kali, yang menikmati senyum hangatmu,Dan,Aku lah, yang pertama kali, mencintaimu dalam diamku!Aku lah, yang pertama kali, mencintaimu dalam sujud panjangku!Dan,Aku lah, yang menyebut namamu, di atas sajadahku!Aku hancur,Aku sakit,Aku benci,Dan, itu adalah awal, untuk aku membencimu, kakak!Untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta. Dan, untuk pertama kalinya pula, aku patah hati.Kalah sebelum perang.💦Namanya, Devandi Narendra. Salah seorang dosen yang mengajar di tempat aku menimba ilmu. Seorang dosen, yang mempunyai karisma yang sangat tinggi. Itu sih,menurutku. Entah, menurut yang lain.Devandi, adalah seorang Dosen muda yang memiliki postur tubuh tinggi, berkulit sawo matang, mempunyai mata yang tajam dan berwibawa. Tapi, sebagian mahasiswa di sini, mengatakan kalau beliau adalah sosok dosen yang sangat dingin. Seorang dosen muda, yang jarang tersenyum dan bercanda dengan mahasiswanya.Banyak yang takut, atau pun merasa ngeri kalau bertemu dan bermasalah dengan pak dosen ini. Karena, julukan Dosen Killer sudah tersemat dikalangan kami, para mahasiswa.Awalnya, aku juga merasa takut, kalau bertemu atau pun berpapasan dengan Pak Devan. Ya, kami memanggilnya dengan sebutan Pak Devan saja, karena itu lebih simple, menurut kami.Tetapi, semua terbantahkan setelah kejadian waktu itu. Di mana, tanpa sengaja kami bertemu dan berintegrasi.Waktu itu, aku sedikit terlambat datang ke kampus. Karena ada urusan yang sangat mendadak. Apa lagi mengingat, saat itu yang akan, aku ikuti mata pelajarannya adalah Si Bapak Killer, Pak Devandi.Dan, karena saking tergesa-gesanya, saat menaiki tangga. Tiba-tiba saja, kaki ini terpeleset ke belakang. Karena begitu terkejutnya, sampai tidak sempat diri ini, berpegangan pada dinding dekat tangga yang ada di sebelahnya. Dan, akhirnya, ya begitu lah. Aku terjatuh.Rasa sakit, jangan ditanya. Tapi, yang lebih menyakitkan lagi, adalah rasa M A L U! Memang, saat itu, tidak ada satupun mahasiswa yang lewat. Tetapi, masalahnya adalah, saat itu yang berada di sana adalah Si Dosen Killer, Pak Devan sendiri.Saat aku terjatuh, dengan posisi yang masih terduduk di lantai. Dan, aku masih meringkih kesakitan. Tiba-tiba saja, ada seseorang yang mengulurkan tangannya ke arahku, untuk menolong diri ini agar bisa berdiri. Dan, saat kedua mata ini beradu pandang dengan mata orang itu, membuat darah ini berdesir dan mataku melebar seketika.Karena, yang berdiri di depanku, serta yang telah menolongku, adalah Pak Devandi 'Sang Dosen Killer'.Dan, saat keadaanku yang masih belum sadar sepenuhnya, tiba-tiba saja, beliau berbicara dengan bersikap dingin. Meski, aku lihat, masih ada sisa-sisa tawa yang masih bertengger di bibirnya."Kalau jalan itu hati-hati! Pakai mata! Seperti anak kecil saja kamu, sampai terjatuh seperti itu! Untung, sepi. Kalau ramai, apa kamu tidak malu?" Tanya Pak Devandi dingin. Meski masih terlihat, dia menahan tawa, di bibirnya. Fiuh,"Iya, Pak. Maaf. Lain kali, saya akan lebih berhati-hati, lagi. Terima kasih atas bantuan bapak barusan, yang telah menolong saya untuk berdiri," jawabku dengan menunduk, dengan menahan rasa malu, aduhh."Kenapa kamu tergesa-gesa seperti tadi? Apa ada yang mengejarmu?" Tanya Pak Devan lagi. Seperti diintrogasi oleh KPK saja, eh."Tidak ada, Pak. Cuma takut terlambat saja dalam pelajaran dari bapak," Balasku dengan menunduk."Seperti, anak ayam saja, kamu. Yang berlari-lari saat kehilangan induknya. Sampai jatuh segala." Ucapnya yang menyindir diriku."Kok, anak ayam sih, Pak?!" Protesku tak terima. Tapi, saat diri ini menyadari siapa orang yang berbicara di depanku, membuat nyali ini menciut. Dan, cepat-cepat menunduk sambil meminta maaf."Maaf, Pak!" Tuturku cepat.Sementara, Pak Devan sendiri, saat mendengar protesku tadi. Beliau langsung melotot dengan sinis ke arah ku."Kenapa? Apa kamu marah, karena saya memanggil kamu, anak ayam?" Tanya Pak Devan tanpa dosa.Sebelum mulut ini, menjawab. Pak Devan malah melanjutkan kata-katanya lagi, yang membuat diri ini jadi serba salah."Suka-suka saya, mau panggil kamu anak ayam atau tidak. Atau, mau saya panggil kamu, anak kodok?" Tanya dosen itu lagi, yang membuat kepala ini reflek menggeleng dengan cepat."Makanya, jangan protes," Timpal Devandi dengan tersenyum jahil."Eh, iya, Pak. Hehe," ucapku dengan menunduk menahan rasa kesal dan juga rasa malu.Sementara itu, Devandi yang melihat respon mahasiswinya itu, membuat dia tersenyum senang, karena bisa menjahili, mahasiswi yang selalu di banggakan dan di elu-elu'kan banyak dosen itu.💦"Kenapa kamu selalu menunduk, saat berbicara dengan saya? Apa wajah saya menakutkan?" Tanya Pak Devan sambil menaikkan salah satu alisnya."Tidak, Pak. Malah kelihatan tampan kok, Pak! Oops," Ucapku yang refleks menutup mulut ini."Aduhhh," ucapku meringgis sesal.Mendengar ucapan muridnya itu, Devandi malah semakin menjadi-jadi menjahili Dinda."Oh, ya? Emang banyak sih, yang bilang begitu." Ucapnya sedikit angkuh. Aiss."Kalau memang tampan, terus kenapa kamu menunduk begitu?" Tanyanya lagi."Hm hm itu karena sa--""Sudahlah kelamaan. Apa kamu tidak jadi mengikuti mata pelajaran, saya? Bukannya, tadi kamu jatuh, gara-gara mengejar mata pelajaran, saya?" Tanya Pak Devan lagi, sehingga pipi ini memanas jadinya."I--iya Pak. Permisi," Ucapku yang langsung berlari secepatnya dari sana.Kalau mengingat kejadian itu, aku akan benar-benar merasa malu saat berpapasan ataupun bertemu dengan Pak Devan. Tapi, kalau diingat-ingat lagi, ada senangnya juga kala itu. Karena, tanpa orang lain tahu, kalau sebenarnya, Pak Devan itu tak sedingin atau segalak itu. Buktinya waktu itu, Pak Devan mau berbicara denganku. Meskipun harus menahan rasa malu juga, sih.Dan, Pak Devan, juga sempat tersenyum melihat diriku. Meskipun tersenyum gara-gara melihat diri ini terjatuh. Dan, melihat senyumannya itu, sangatlah menawan buatku. Apalagi saat tersenyum, tampaklah lesung pipit yang ada di pipinya.Entah mengapa, semenjak kejadian itu, aku selalu terbayang-bayang wajah Pak Devan. Apalagi mengingat senyumannya yang sangat manis.Disaat Pak Devan lagi mengajarpun, aku yang jadi salah tingkah, kala mata ini tak sengaja beradu pandang dengannya. Dan, saat mengikuti mata pelajaran dari Pak Devan, membuat hari-hariku jadi berbunga-bunga dan makin bersemangat. Hingga, beberapa teman dekatku menatap heran, serta bertanya-tanya, akan sikapku beberapa hari ini. Tapi, aku cuma bisa senyum sendiri, tanpa harus menjawab pertanyaan dari mereka.Pernah sekali, aku membuat kekonyolan di dalam ruangan. Disaat Pak Devan sedang menjelaskan pelajaran. Bukannya, mendengar pelajaran, aku malah senyum-senyum sendiri dengan mata yang selalu menatap ke arah wajahnya. Dengan telapak tangan yang juga mendekap pipi ini.Mungkin terlampu fokus membayangkan wajah Pak Devan. Tanpa sadar, dia sudah berdiri di depanku sambil bertanya,"Dinda Maharani! Kamu memandang, apa?"Tanya Pak Devan."Memandang bapak!" Jawabku dengan bersemangat."Kenapa kamu memandang saya seperti itu? Sampai senyum-senyum sendiri?" Tanya Pak Devan lagi."Karena bapak tampan," celetukku reflek.Mendengar ucapanku, semua teman-teman yang ada di ruangan itu, tertawa mendengar jawabanku. Aku yang belum menyadari situasi, masih cengar cengir kayak orang gila dihadapan Pak Devan. Untung ada teman di sampingku, yang segera menyadarkan aku. Dengan cara memukul bahu ini. Sehingga aku tersadar dan menyadari semua situasi. Dan aku pun, cepat-cepat menutup mulut ini.Karena kekonyolan itu lah. Aku, dihukum untuk menjelaskan kembali tentang pelajaran hari ini. Menjelaskan kembali pelajaran, yang sudah dijelaskan oleh Pak Devan sendiri. Untungnya, aku termasuk orang yang tidak bodoh-bodoh amat. Jadi bisa menyelesaikan hukuman tersebut. Meski, aku harus menutup mata dan telinga, karena olok-olokan dari teman-teman yang menertawakan diriku.Apakah ini, yang dinamakan KASMARAN oleh orang-orang? Apa ini, yang dinamakan Jatuh Cinta? Entahlah. Tapi, perasaan ini baru kali ini aku rasakan. Apalagi, Pak Devan, sekarang memberiku sebuah julukan. Yang menurutku, itu sangatlah aneh, Anak Ayam.☘️☘️☘️Hari ini, aku disuruh kakak untuk mampir sebentar ke toko kue Cempaka. Yang berada di ujung gang dekat kampusku.Katanya, lagi pengen makan brownies yang ada di sana. Menurut teman kerjanya, kue-kue di sana, sangatlah enak. Dan lebih penting lagi, nyaman di kantong.Aku sih, tidak keberatan untuk membelinya ke sana, karena dekat kampus juga. Hanya berjalan sepuluh menit sudah sampai. Makanya, sekarang aku membelinya disaat akan pulang kuliah nanti.Dan, saat lagi asik melihat dan memperhatikan, brownies mana yang hendak aku beli, tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggilku dari belakang."Anak Ayam, Kamu sedang apa?" BersambungPOV Dinda 2Saat memasuki toko kue Cempaka, mata ini disuguhi oleh beraneka ragam macam kue. Mulai dari kue tart, bolu, brownies, cake dan yang lainnya. Mulai dari yang berukuran kecil sampai ukuran yang besar, yang pasti harganya juga bervariasi.Bagi orang berduit, mungkin mereka tinggal ambil kue yang mana mereka inginkan, tanpa harus melihat harga. Sedangkan kami, yang hanya berekonomi rendah. Ya, harus pikir-pikir dulu, kue mana yang cocok untuk di kantong.Dan, pada saat lagi asik melihat harga brownies, yang hendak mau aku beli. Tiba-tiba saja, ada seseorang yang memanggil aku dari belakang. "Anak Ayam, kamu sedang apa di sini?"Mendengar panggilan seperti itu. Aku merasa, kalau yang memanggil aku adalah... Dan, saat aku berbalik, ternyata benar kalau dia adalah Pak Dosen jutek itu, hhmm."Eh! Pak Dosen. Ini, aku mau beli brownies, he," ucapku sambil nyengir. "Bapak sendiri lagi apa disini?" Tanyaku balik kepada Pak Devan, yang sudah berdiri di hadapanku."Ya, sama dengan kamu
FlashBackBeberapa tahun sebelumnya,Sore itu, Dinda baru saja selesai mengikuti pelajaran. Tiba-tiba henphonenya berbunyi, setelah dilihat ternyata tertulis 'my sister'. "Assalamu'alaikum. Ya kak," ucap Dinda saat menjawab telepon dari kakaknya."Apa?! Di rumah sakit mana?!" Tanya Dinda yang berteriak karena terkejut mendengar penuturan kakaknya didalam telpon, hingga air mata Dinda menetes keluar. "Iya. Iya, kak. Aku akan segera kesana secepatnya. Tunggu, aku, kak!" Tutur Dinda yang mulai panik dan langsung mematikan teleponnya."Ada apa, Din? Kok, kamu tiba-tiba menangis, setelah menerima telepon," tanya Rani sahabatnya, yang terkejut melihat Dinda yang sudah berurai air mata."Ran, tolong antar aku ke rumah sakit Sekar Asih. Kakak aku kecelakaan, Ran! Dia ditabrak mobil!" Sentak Dinda yang menangis sambil memegang tangan sahabatnya itu."Astagfirullah! Yang sabar ya, Din. Tapi, keadaan kak Mayang, tidak apa-apa kan?" Tanya Rani yang juga terkejut mendengar berita yang disampaika
Setelah kepergian dosennya itu, Dinda tersenyum-senyum sendiri. Membuat Mayang jadi penasaran. Sehingga Mayang bertanya kepada adiknya itu,"Perasaan dari tadi kakak lihat, kamu tersenyum terus menerus, Dinda? Apalagi, semenjak mengantarkan dosen kamu itu. Apa kamu menyukainya? Hhmm," tanya Mayang kepada adiknya itu."Apa'an sih kak, tidak ada, kok. Siapa, juga yang suka sama dosen killer seperti itu. Sudah killer, dingin lagi kayak kulkas dua pintu," celetuk Dinda yang mencoba menutupi perasaannya kepada kakaknya sendiri."Ah, yang benar. Tapi kok, mukanya jadi merah begitu. Hhmm," sindir Mayang, sambil menggoda adiknya itu, dengan menaik turunkan alisnya."Apa'an sih, kak. Tidak ada waktu, untuk mengurus hal begituan. Mendingan, aku mengurus kakakku yang cantik ini, biar cepat sembuh," timpal Dinda lagi, sambil memeluk tubuh Mayang.Mendapat perlakuan seperti itu dari sang adik, Mayang jadi terharu."Doain kakak ya, biar cepat sembuh. Biar kakak bisa kerja lagi. Agar kamu tidak pus
POV MayangUmurku waktu itu, baru memasuki 14 tahun. Tapi, takdir sudah memaksaku, untuk menjadi tulang punggung dan kepala keluarga. Kepergian kedua orang tuaku, membuat aku, harus dewasa diumur yang masih muda.Sebagai seorang kakak, aku harus bertanggung jawab, atas kehidupan adikku, Dinda. Dan, demi kebutuhan dan kehidupan kami berdua, aku harus mengorbankan masa kecilku untuk mencari sesuap nasi.Ya, waktu itu, aku, harus rela berhenti sekolah untuk bekerja. dikarenakan juga, tidak ada biaya. Ayah dan ibuku tidak meninggalkan harta warisan atau barang berharga, apapun. Karena, kami memang bukan dari kalangan orang berada. Tetapi, beliau masih meninggalkan sepetak rumah. Walaupun, rumah itu, sudah tak layak huni.Dan, demi memenuhi isi perut kami, akupun bekerja jadi tukang cuci piring, disalah satu warung bakso. Meski, diupahi tidak seberapa, tetapi, alhamdulilah bisa membuat kami untuk makan.Seminggu aku bekerja di warung bakso, kejadian buruk hampir mengenaiku. Malam itu, aku
Pov Mayang (2)"Kamu telah mencuri hati, saya!" Sentak Pak Arman dengan tegas."Hah?!" Ucapku syok.Aku, yang mendengar penuturan dari Pak Arman, yang begitu tiba-tiba, malah menjadi syok dan terkejut."Maksud Bapak, apa, ya? Saya kurang mengerti?" Ucapku yang tidak paham atas ucapan beliau yang begitu tiba-tiba itu."Baiklah. Saya, akan ulangi ucapan saya sekali lagi. Tapi tolong, dengarkan baik-baik. Saya, suka sama kamu, Mayang. Kamu mau, jadi kekasih, saya?" Ucap Pak Arman to the poin."Apa?! Bapak lagi bercanda sama, saya, ya?" Tanyaku lagi dengan tersenyum canggung."Apa, saya kelihatan bercanda?!" Tanya Pak Arman dengan serius melihat ke arah mata ini.Mendengar ucapan Pak Arman, aku pun menggeleng cepat, "tidak, Pak.""Saya serius, Mayang. Kalau saya, benar-benar suka sama, kamu. Dan saya, ingin mengenal kamu lebih dekat." Pak Arman yang menjelaskan maksud dari ucapannya itu."Tapi, apa Bapak tidak salah, suka sama saya? Saya, cuma wanita rendahan lho, yang menjadi bawahan da
"Tidak akan ada yang menangisi kematian saya!""Ada! Aku!"Sejenak, Mayang tersadar dari lamunannya, Mayang baru ingat, kalau dia pernah mengucapkan 'kata' seperti itu kepada Arman. Saat menolong sang manager setahun yang lalu. Padahal waktu itu, Mayang hanya refleks mengucapkan kata seperti itu. Karena melihat situasi dari diri Arman itu sendiri, yang sudah tidak ada semangat lagi. Dan, Mayang merasa, kalau Arman butuh dorongan dan kepedulian seseorang, agar semangatnya tumbuh kembali.Dan, Mayang juga berfikiran, kalau waktu itu, Sang Manager kemungkinan mempunyai masalah serius dengan keluarganya. Sehingga beliau tak mempunyai semangat untuk tetap bertahan dan lebih memilih menyerah. Sehingga Mayang menjadi iba dan kasihan. Jadi, untuk mengembalikan semangat Arman, tanpa sengaja Mayang berucap seperti itu. Sehingga, hasilnya, Arman jadi kembali berjuang untuk hidupnya lagi.Tapi siapa sangka, kepedulian dan keceplosan yang diucapkan Mayang waktu itu. Membuat Arman, malah menyuka
"Aku tidak tahu sifat dan kepribadian dari bang Arman seperti apa. Aku takut nantinya kita akan menyesali dengan rasa nafsu yang sesaat ini. Kenapa aku bilang nafsu sesaat? Karena menurut aku sendiri. Abang mungkin menyukai dan merasakan cinta kepada aku itu, hanya semata-mata karena, aku pernah menyelamatkan hidup abang. Jadi, mungkin saja rasa yang abang rasakan sekarang, hanya sebatas balas budi atau rasa kasihan saja," terang Mayang sambil tersenyum ramah."Apakah seperti itu penilaian kamu terhadap aku, Mayang?" Tanya Arman pelan, mendengar penuturan dari gadis yang dia kejar-kejar beberapa bulan ini."Maaf, bang Arman. Aku hanya tidak ingin kecewa saja." Ucap Mayang cepat."Baiklah. Kalau begitu, mulai sekarang dan ke depannya, kita akan mulai saling mengenal terlebih dahulu. Biar kamu tahu Mayang, kalau aku benar-benar tulus dan cinta dengan kamu. Tidak ada namanya hutang budi, apalagi rasa kasihan!" ucap Arman dengan tegas.***Semenjak pembicaraan mereka berdua sore itu,
"Emangnya tadi ada kejadian apa? Apa Kakak bertengkar dengan yang namanya Arman itu? Apa kakak tidak apa-apa?" Dinda yang bertanya dengan rasa cemas."Kakak tidak apa-apa, dek." Jawab Mayang. Mendengar itu Dinda jadi lega."Tadi saat kakak pulang bekerja dari lahan, cuaca lagi hujan lebat. Tapi, di pertengahan jalan, tiba-tiba saja motor kakak mogok, maklum, itu kan memang motor bekas, yang kakak beli. Dan sudah berulang kali pula, kakak coba hidupin. Tapi tidak juga, mau hidup." Mayang yang mencoba menceritakan kejadian tadi."Karena tidak bisa hidup, terpaksa kakak dorong saja, motornya. Dan, karena merasa capek, kakak berhenti sebentar di bawah pohon sawit, yang ada di sekitar tempat itu. Karena hari sudah mulai sore dan cuaca lagi hujan begitu, kakak coba buat menghubungi bang Arman. Biar dia, bisa bantu kakak buat dorong atau gimana gitu. Dan, mungkin karena di tengah kebun sawit dan lagi hujan, jadi tidak ada signal di sana. Dan, Bang Arman tidak bisa dihubungi.""Dan, saat kaka
Suasana di meja makan tiba-tiba saja terasa panas malam ini, tubuh Dinda memanas saat Arman menyebut nama Mayang di hadapan dirinya. Meski AC sudah dari tadi hidup, tetapi tidak bisa mendinginkan hati Dinda yang mulai terbakar amarah. Sehingga membuat selera makan Dinda hilang seketika dan sendok makan yang ada di tangan wanita tersebut, diletakkan begitu saja di atas piring. Meski makanan tersebut masih tertinggal separuh.Dengan menyeruput habis air putih yang ada di dalam gelas minumnya, Dinda terlihat menahan kekesalan. Saat sang suami menyebut nama wanita lain disaat mereka makan berdua. Meskipun, itu adalah kakaknya sendiri. Apalagi, Arman juga menyarankan kepada Dinda untuk menjemput Mayang kembali untuk tinggal bersama mereka.Dinda sendiri tidak bisa memungkiri kalau dirinya merasa cemburu, saat Arman menyebut nama Mayang di bibirnya. Apalagi status mereka sekarang adalah suami istri, yang mana, Arman hanya boleh memikirkan dirinya sendiri bukan yang lain. Bohong kalau dia
Anton yang begitu mempunyai hasr4t yang begitu dalam kepada Mayang, tiba-tiba saja matanya fokus menatap ke arah bibir merah alami yang dimiliki oleh perempuan berhidung mancung tersebut. Dengan dibantu dorongan yang begitu kuat dari dalam dirinya sendiri, Anton tanpa sadar berbicara ke arah Mayang. Seakan-akan dirinya memang sedang berbicara berdua dengan perempuan yang tak sadarkan diri tersebut.Dengan makin mendekat ke arah Mayang, Anton lalu berucap di depan Mayang, yang hanya berjarak 3 langkah saja,"Bolehkah saya mencium bibir ranum kamu itu, duhai perempuan cantik? Karena bibirmu itu sangatlah menggoda saya!" Sentak Anton dengan jakunnya yang sudah naik turun.Setelah berkata seperti itu, Anton mulai mendekat ke arah Mayang. Sehingga laki-laki tersebut, berjongkok di depan Mayang sambil tetap menatap wajah wanita tersebut. Dengan cepat Anton mulai memajukan wajahnya ke arah bibir Mayang, sehingga memutus jarak di antara mereka berdua. Saat bibir Anton mulai menyentuh bibir Ma
Karena mendapatkan sebuah kabar gembira, membuat Dinda yang sedang berbicara dengan seseorang di dalam telpon, tak menyadari kalau seseorang sudah mendengar semua pembicaraan mereka."Iya, Ma. Semuanya beres. Perempuan br3ngsek itu sudah tertangkap. Mama tenang saja, aku akan membalas semua sakit hati kita. Dia harus membayar semua, atas apa yang terjadi dalam kehidupan kita selama ini! Aku tidak akan melepaskannya begitu saja, karena dia harus menderita! Seperti apa yang sudah diperbuat oleh orang tuanya dulu." Dinda yang tersenyum senang berbicara dengan seseorang yang dipanggil dengan sebutan mama.Tanpa dirinya sadari, di balik dinding, seseorang mengepalkan tangan dengan rahang mengeras mendengar ucapannya."Kurang 4jar! Jadi kamu yang sudah menipu dan menculik Mayang, Dinda! Tak disangka, kamu benar-benar wanita ular berhati kejam. Apa kata kamu tadi, Mama? Orang tuanya? Apa maksud dari perkataan kamu itu? Sebenarnya rahasia apa yang terjadi dalam hubungan keluarga kalian?" Bisi
"Br3ngsek! Ternyata mereka menemukan keberadaan Mayang. Kenapa aku begitu bodoh dan teledor seperti ini! Gara-gara kebodohan aku, mereka akhirnya menemukan keberadaan mereka. Dan sekarang, mereka juga membawa Mayang pergi entah kemana.Harusnya tadi, aku tak melanjutkan ke sana untuk menemui Mayang dan Fikry. Sehingga kejadian ini tidak akan terjadi." Arman yang menyesali perbuatannya yang berujung dengan penculikan Mayang."Kenapa kamu percaya sekali dengan ucapan mereka, May. Aku harus mencari kemana kamu sekarang," lirih Arman dengan sedikit frustasi. "Tapi kamu tenang saja, aku tidak akan menyerah untuk menemukan kamu sampai kapanpun. Aku akan mencari kamu sampai ketemu, Mayang. Tidak akan aku biarkan kamu disakiti oleh mereka. Awas saja, kalau sampai kamu terluka sedikitpun, aku tidak akan melepaskan orang-orang yang telah menyakiti kamu. Termasuk dengan adik kamu sendiri, Dinda!" Arman yang terlihat sangat marah dan emosi setelah dirinya menyuruh seluruh anak buahnya untuk menca
"Terus, apa sebenarnya yang kamu pikirkan, May?" Tanya Sari lagi, karena dirinya menjadi penasaran.Mendengar pertanyaan sahabatnya itu, Mayang mendesah pelan."Sebenarnya, aku memikirkan ucapan Arman tadi siang, ia mengatakan kepadaku kalau orang yang ingin mencelakai kami itu adalah Dinda." Mayang yang mencoba menjawab pertanyaan Sari. Mendengar jawaban Mayang, Sari tampak terkejut."Apa?! Benarkah, May? Kok bisa Pak Arman mengatakan, kalau Dinda, adik kamu sendiri yang ingin mencelakai kalian?" Balas Sari dengan terkejut."Aku juga tidak tahu, kenapa Arman malah menuduh Dinda pelakunya," tutur Mayang bingung."Kalau begitu, pasti ada alasan yang kuat, kenapa Pak Arman menuduh Dinda pelakunya. Mungkin juga Pak Arman mengetahui sesuatu tentang adik kamu itu, secara kan mereka suami istri. Siapa tahu, tanpa sengaja, Pak Arman pernah memergoki atau mendengar Dinda berbicara kepada seseorang untuk mencelakai kamu, mungkin. Makanya, Pak Arman sekarang, mewanti-wanti dan melarang kamu unt
Setelah kepergian Arman, Mayang duduk termenung di sofa ruang tamu. Dia mendesah pelan, mengingat ucapan yang dilontarkan oleh Arman tentang adiknya, Dinda. Dia sempat berpikir, apakah yang diucapkan Arman tadi, adalah kebenaran. Kalau orang yang ingin melenyapkan dirinya dan Fikry adalah adiknya sendiri, yaitu Dinda. Disaat hati dan pikiran Mayang mulai saling bertentang, dengan cepat Mayang menggelengkan kepalanya."Tidak, tidak! Tidak mungkin, Dinda tega melakukan hal itu. Dinda itu, adik aku. Dia sayang dengan aku, karena aku adalah kakaknya. Kami itu saudara, mana mungkin, Dinda mau melenyapkan kami. Aku tahu, kalau selama ini, Dinda sangat menyayangi aku dan Fikry. Meski, beberapa tahun terakhir, Dinda sedikit cuek dan kasar. Aku yakin, kalau di hatinya masih ada cinta dan sayang untuk aku dan Fikry. Karena, bagaimanapun, kami adalah saudara. Kami satu keluarga. Didalam kekeluargaan, wajar kalau ada pertengkaran dan perseteruan kecil. Justru, karena adanya konflik didalam sebu
"Ada apa, May? Apa yang kamu pikirkan?" Tanya Arman kepada Mayang, yang saat ini mereka sama-sama duduk di teras belakang rumah, sambil melihat Fikry yang asik bermain kembali. Sementara Sari, sahabat dari Mayang itu, sengaja tak mau keluar untuk bergabung dengan mereka. Karena Sari sadar diri, untuk membiarkan mereka lebih leluasa berbicara. Karena Sari sendiri, tidak mau ikut campur dengan hubungan mereka."Saya hanya penasaran saja, siapa sebenarnya orang yang ingin mencelakakan saya dan Fikry? Selama ini, saya merasa tidak mempunyai musuh pada siapapun. Siapakah gerangan yang begitu membenci kami, sehingga menginginkan kematian saya dan Fikry?" Tanya Mayang dengan mata menerawang ke arah depan. Tiba-tiba saja, Mayang mengingat kejadian kemarin malam. Saat dirinya dan Fikry melintasi jalan raya, tiba-tiba saja datang mobil dengan kecepatan tinggi, ingin menabrak mereka. Beruntung, dengan sangat cepat, Arman menolongnya tepat waktu. Sehingga kejadian naas itu, tidak terjadi.Mende
"Hanya untuk ditinggali, bukan pemilik!" Tegas Mayang kepada Arman.Membuat Arman mendesah mendengarnya. "Terserah saja, apa namanya. Yang jelas, rumah ini sudah ada yang menempati," tutur Arman lagi, yang tak mau memperpanjang perdebatan dengan Mayang."Oh, ya Sari mana?" Tanya Arman kepada Mayang."Sari sedang berada di dapur, dia sedang membersihkan area dapur. Karena tadi kami sengaja membagi tugas untuk membersihkan rumah ini. Sari yang bertugas membersihkan area dapur, saya yang membersihkan area depan ini," tutur Mayang."Kalau begitu, saya ke dapur dulu, untuk memindahkan semua makanan ini, sekalian membuatkan minum untuk kamu," ucap Mayang yang hendak beranjak ke dalam."Buat yang seperti biasa, ya, May," terang Arman seketika."Teh hangat dengan sedikit gula, karena kamu tak suka manis," sentak Mayang seketika."Bukannya tak suka manis, May. Tapi, manisnya akan terasa saat meminumnya lihatin kamu, hhmm," goda Arman dengan menyunggingkan senyum manis ke arah Mayang.Membuat pi
Saat ini, Arman sudah berada di jalan. Lelaki tersebut hendak menemui Mayang dan Fikry di tempat tinggal barunya. 20 menit lagi, dia akan sampai. Tetapi, saat ingin membeli oleh-oleh untuk mereka, tanpa sengaja Arman melihat ke arah kaca spion. Tiba-tiba saja, Arman mengumpat dengan sangat kesal."Br3ngsek! Ternyata mereka masih membuntuti aku!" Sentak Arman dengan sangat emosi."Ternyata, dari tadi mereka mengikuti mobilku. Ku kira mereka sudah pergi, tapi ternyata...," ucap Arman dengan menggeletupkan giginya menahan amarah."Ternyata, kalian mau main-main denganku, rupanya! Baiklah, kalau begitu!" Sentak Arman dengan menyeringai.Dengan menambah kecepatan mobilnya, Arman melaju kencang membelah jalan beraspal tersebut. Membuat pengendara mobil hitam yang membuntutinya menjadi terkejut dan ikut menambah kecepatan mobilnya, agar tak kehilangan jejak.Arman yang mencoba nyelipkan mobilnya dengan kendaraan lain, membuat orang yang berada di mobil warna hitam tersebut kewalahan.Apalag