"Bunda, Apakah Bunda sudah gila mau menerima pernikahan yang sudah diatur dari awal, ini hanya rencana mereka agar Bunda tidak berdaya untuk menerima permintaan mereka?!" Erwin anakku langsung mendatangi diri ini ke kamar dan berkata seperti itu."Lalu, bunda bisa apa?" Aku yang sedang duduk dan memegangi pigura foto pernikahanku dengan mas Hamdan sempat menangis namun segera menyeka air mata ini dengan tangan."Lihatlah, bunda pasti habis nangis memikirkan ini!""Tidak juga....""Jangan pura-pura tegar padahal bunda sangat rapuh dan bersedih. Kalau begini ceritanya Apa bedanya dengan Bunda bertahan dengan ayah, Kenapa hidup Bunda selalu dipenuhi penderitaan?""Tidak masalah ini hanya rangkaian ujian Tuhan pada Bunda. Tuhan ingin menempa Bunda agar jadi lebih kuat dan tangguh menghadapi badai. Jangan khawatir bunda akan baik-baik saja target untuk bunda adalah menyekolahkan kalian sampai tinggi tidak apa Bunda bertahan dengan cara seperti ini.""Jangan jadikan uang dan kesejahteraan
"Tidak mungkin Om Hamdan adalah pria religius yang sangat mempertahankan prinsip dan moralnya. Apa apaan ini? Tidak ada Kak ide yang lebih kreatif dari itu agar dia bisa terdengar masuk akal dan kami bisa menerima pernikahannya dengan ayah tiri kami?""Itu sudah terjadi?""Apakah ada bukti mereka tidur berdua dan bersetubuh?""Ada bukti foto ketika mereka berdua saling memeluk, namun ketika kutanya mas Hamdan tidak begitu ingat kejadiannya dengan detail. Dia hanya bilang dalam keadaan tidak sadar dan lupa segalanya.""Kalau begitu ..." Erwin nampak berbinar dan segera meraih kedua bahuku lalu menggenggamnya kuat."Om Hamdan tak salah, dia tidak bisa mengingat kejadiannya karena kejadian itu memang tidak terjadi. Mungkin wanita itu hanya menjebaknya dan mengambil sebuah foto.""Entahlah ... bunda tak mengerti," ucapku galau."Lihat, bunda sendiri galau, jika Bunda tidak yakin, jangan berikan izin, jangan konyol.""Baiklah, Bunda akan jelaskan, begini, kalau bunda tidak izinkan, maka ke
Sekarang di sinilah kami berdiri, berbaris di depan rumah Haifa sambil tetap memegang kotak seserahan yang ada di kedua tanganku. Erwin yang tetap merasa tidak senang dengan apa yang terjadi tetap gigih mendekat dan mempengaruhiku."Bunda, bunda yakin?""Ya.""Aku kita cegah ini terjadi.""Terlambat untuk mengharap keajaiban," jawabku sambil tersenyum tipis."Tapi kemungkinan tetap ada.""Semoga saja, tapi ... wanita itu sudah terlanjur mengaku ditiduri, terlambat untuk memperbaiki.""Apakah dia mengaku hamil pada nenek?""Kuyakin dia mengatakan bahwa ada kemungkinan dia mengandung anak Mas Hamdan pada Ibu Syaimah," jawabku."Halunya ketinggian," gumam Erwin, "aku masih gak yakin, Bapak Hamdan akan melakukan hal bodoh.""Siapa yang mengira bahwa kejadian semacam ini akan terjadi, sudahlah, kembalilah ke belakang ayahmu dan dukung dia. Kita harus bersikap baik," jawabku sambil mendorong anakku agar kembali ke barisan belakang."Astaga, aku tidak percaya dengan ini ...."*Duduklah kam
"Ada apa ya?" tanya seorang tamu kepada Mas Hamdan dan diriku."Tidak ada kami masuk ke dalam lalu bicara dan membuat kesepakatan?""Kesepakatan di hari pertunangan?" Tanya wanita itu sambil mengangkat alisnya sebelah"Heran sekali karena kalian semua mempercayai Haifa dan mau saja melakukan apa yang dia inginkan, tapi sudahlah, karena aku juga termasuk dalam golongan bodoh itu, karena mau saja dipelintir olehnya," jawab Mas Hamdan tersenyum miring."Aku tak paham," jawab Wanita itu sambil mengerikan alisnya dan terlihat tidak senang dengan ucapan Mas Hamdan barusan.'"Kami tetap akan bertunangan jadi jangan khawatir tante," ujar Mas Hamdan."Bukankah tidak ada seorangpun yang memaksa kalian.""Memangnya berbeda ya, antara dipaksa dan berada di bawah tekanan?" tanya Mas Hamdan sambil menyunggingkan senyum dan meninggalkan wanita itu, kembali ke bangku kami. Wanita cantik dengan gamis berwarna ungu itu masih terlihat bingung namun Ia hanya mengangkat kedua bahunya dan kembali duduk lag
Pagi pun datang dengan nafas baru yang lebih menyegarkan, sinar matahari mulai menunjukkan warna keemasan dari balik cakrawala, membiarkan aku menikmati mereka sambil berdiri di taman bunga seraya menyirami tanaman-tanaman itu agar tumbuh dengan subur.Usai dengan urusan tanaman, aku masuk ke dalam ruma untuk melihat apakah ibu saima sudah bangun dan duduk di meja makan. Ternyata seperti biasa, beliau sudah bangun dan duduk dengan kopi di hadapannya. Melihat kedatanganku yang menghampiri wanita itu memberi pandangan yang seolah-olah menyimpan kemarahan."Kau terlihat tenang.""Iya, Bu. Mengapa ibu berkata begitu?""Setelah kekacauan terselubung semalam kau nampak sangat bahagia.""Apakah Haifa memberitahu ibu yang sebenarnya?""Dia bilang bahwa Hamdan hanya memakaikan cincin untuk melindungi martabatnya.""Iya, dia sudah ketahuan menipu Mas Hamdan."Ibu mertua lantas tertegur mendengar jawabanku. Dia mengernyit seakan tidak mengerti apa yang sedang aku sampaikan."Mas hamdan tidak t
Seperti yang kuduga, Ibu mertua mengadu pada suamiku, aku yang kebetulan melewati ruang kerja pribadi Mas Hamdan mendengar ibu mertua melaporkan perbuatanku pagi tadi. Pintu yang tertutup, tak membuatku terhalang untuk menyimak apa saja percakapan mereka."Dia sudah mulai keterlaluan," desis ibu mertua."Keterlaluan gimana Bu?""Dia mulai mengancamku, dia mulai berani menunjukkan perlawanan hanya karena aku menyetujui pernikahanmu dengan Haifa.""Seorang wanita mungkin wajar merasa cemburu, tolong maafkan dia.""Tidak bisa, harusnya dia yang lebih muda yang minta maaf pada Ibu, jangan keterlaluan macam itu. Tanpa restu dariku, kalian tak akan bisa menikah," jawabnya sengit."Aku akan bicara pada Yanti.""Beraninya ia bilang bahwa aku pilih kasih, kuberikan anakku padanya, kuberikan kasih sayang, tempat tinggal dan tak pernah membedakan perlakuanku pada anak anaknya, beraninya dia memprotes keputusan yang kubuat.""Baiklah, tenanglah Bu, kalau itu marah marah begini situasi akan memana
"sudahlah bunda, tidak apa apa, kami akan makan belakangan saja," ucap Erwin sambil melirik adiknya, mereka berdua bangkit dari meja makan lalu meninggalkan aku dan Ibu yang masih saling menatap dengan kekecewaan masing-masing."Tapi Nak.""Kami juga akan menuruti semua omongan Oma jadi kami harap bahwa Oma tidak memusuhi ibu kami. Bahkan kami rela tidak diberi makan," ucap Vito seraya melangkah pergi."Ah, kalian harusnya bekerja sama untuk saling memberi pengertian dan mengerti bahwa aturan yang kubuat di rumah ini tidak untuk main-main saja.""Anehnya aturan itu baru berlaku hari ini dan itu cukup mengejutkan karena selama ini kita makan yang selalu bersama-sama." Erwin memprotes dengan wajah kecewa, tapi ia tetap tersenyum pada ibu mertua sambil memberi isyarat pada adiknya agar mereka meninggalkan tempat itu."Lihat anakmu, terlalu diberi hati jadi tidak tahu diri," desis ibu mertua dengan geram."Ibu ... Tidak akan menunjukkan kekecewaan kalau mereka tidak kecewa ...""Apa pedul
*Kubawakan baki makanan ke paviliun tempat anak anak tinggal. Sudah sejak awal kalau mereka tidak tinggal satu rumah dengan rumah induk. Mereka dipisahkan agar tidak mengganggu kenyamanan ibu mertua serta demi keleluasaan anak-anak yang sudah beranjak dewasa. Kusadari sekarang, setelah berdiri di ambang pintu utama paviliun. Alasannya memisahkan anak-anakku bukan demi kenyamanan mereka tapi karena ibu mertua tidak menganggapnya sebagai anggota keluarga. Baginya Erwin dan Vito tetap adalah anak pembantu, mereka hanya tinggal di paviliun tanpa membaur dengan kami. Episode baru yang terjadi hari ini kemudian memberikan mereka jarak agar semakin jauh dari Nisa dan Mas Hamdan. Ibu mertua sudah membatasi anak anak untuk tidak masuk lagi ke dalam rumah.Ya, ya selama ini mereka masuk untuk makan, jadi, Jadi kalau sudah dilarang makan bersama-sama dengan anggota keluarga yang lain maka mereka tidak punya alasan lagi untuk masuk ke rumah utama. Jika hal itu terjadi maka kami akan semakin sa