Rendi dan Noah adalah musuh alami yang ditakdirkan untuk bertemu oleh semesta, hanya dengan pertemuan pertama mereka pagi ini. Setelah Rendi menyulut emosi Noah dengan panggilan kekanakan berupa bocil, keduanya nyaris mengacaukan dapur Tara bila tak cepat dipisahkan.Beruntung, lima menit kemudian keduanya sudah terdiam. Duduk berhadap-hadapan di meja makan dengan tatapan tajam yang tak ada lelah-lelahnya meradang. Radu berada di antara keduanya, menjadi penengah. Sedangkan, para wanita muda sibuk mempersiapkan sarapan di dapur."Mata kalian nggak capek, melotot seperti itu terus?" tanya Radu keheranan.Tak ada jawaban.Radu mendengus lelah. Mobil mereka yang berada di depan gapura perumahan pun baru ditilik oleh orang-orang bengkel. Radu sempat mendapatkan kabar dari sang sopir yang semalam memilih untuk tidur di mobil saja. Syuting masih akan dilaksanakan sekitar dua jam lagi. Tentunya bila Noah ingin pulang untuk mengambil pakaian baru setelah sarapan di sini, masih sempat dan tak
Syuting hari itu telah memasuki istirahat makan siang. Radu hanya mampu menggelengkan kepala. Semangat yang menguar dari diri aktor muda bernama Noah Alejandro itu meledak-ledak bagaikan rodeo. Radu sampai kewalahan untuk mengikuti Noah yang melangkah sembari melompat kecil seperti bocah berbahagia setelah mendapatkan sebungkus permen beraneka rasa."Noah! Jangan lari seperti anak kecil dong! Astaga, apakah ini efek dari semalam tidur di rumah Tara, hah?" Radu terengah-engah, lantas menghampiri Noah yang mendudukkan diri di bawah salah satu pohon rindang. Pemuda itu menyandarkan punggungnya pada batang pohon, lantas memejamkan mata sembari tersenyum senang."Hei, Noah!" Radu duduk di sebelahnya. "Gimana kalau nanti malam kita menginap di rumahnya Tara lagi? Mau?""Mau!"Plak!"Aduh! Kok digeplak lagi sih, Bang?!"Radu mencibir. "Ternyata memang itu yang bikin kamu semangat seharian ini, Noah. Tapi enggak ya—kita nggak mungkin menginap lagi di rumahnya Tara dan bikin kekacauan di sana.
Syuting hari ini selesai hampir tengah malam. Walaupun lebih padat dari kemarin, entah mengapa Noah tak merasa lelah barang sedetik. Pemuda itu masih tetap mengumbar senyum meskipun tubuhnya membutuhkan istirahat. "Udah semua kan, Noah? Kalau begitu, sekarang kita pulang, Pak!" Titah Radu pada sang sopir. Begitu Radu duduk, Noah mencekal tangan pria muda itu, lalu melayangkan tatapan terheran-heran. Radu jadi bingung. "Kenapa, Noah? Ada masalah? Kamu mau ke suatu tempat?""Kita pulang ke mana? Pulang ke rumahnya Tara?" tanya Noah tanpa merasa berdosa.Radu menghadiahi geplakan lagi. "Tolong dong, Noah! Kamu pikir Tara lagi nggak istirahat di rumah? Jam segini, dia pasti udah tidur. Lagian buat apa kamu pulang ke rumahnya Tara? Memangnya kamu itu apanya Tara? Pacar aja enggak, apalagi suaminya Tara yang bisa pulang ke sana kapan aja. Kamu kan bukan siapa-siapanya, Noah. Iya kan?"Noah mencebik kesal. Dia tak bisa protes, sebab yang diutarakan Radu memang benar. Bahkan, sebenarnya dia
"Noah? Kalau mau ngelawak, tolong jangan sekarang, oke? Aku mau tidur."Tara mematikan sambungan telepon secepat kilat, sekaligus mematikan daya ponselnya. Sebab sebelum itu, terdapat panggilan masuk susulan dari pemuda tengik itu. Namun Tara memutuskan untuk memasuki kamar dan mencoba tidur. Berbaring memandang langit-langit kamar, isi kepalanya malah dipenuhi dengan pernyataan dadakan Noah yang memberikan sensasi baru pada hatinya. "Hahaha!" Tara menggelengkan kepala, tertawa hambar. "Enggak mungkin aku baper cuma karena omongannya si musang yang nggak ada serius-seriusnya itu kan? Hahaha~"Tara berusaha mengabaikan Noah dan segala keanehannya. Walaupun kali itu, dia tak mampu menyembunyikan degupan jantungnya yang sedang bermain trampolin di dalam sana. Degupan itu pula yang mengantarkan Tara menuju ke alam mimpi. Mendebarkan, namun memberi satu kenyamanan yang tak disadari barang sedetik.Pagi harinya, Tara telah nenaiki mobil dan bersiap pergi ke Hacer. Saat itu dia tak sengaja
Istirahat makan siang hari itu, Tara dan Cell memilih untuk mengisi perut mereka di salah satu rumah makan cabang milik suami sahabatnya. Berhubung Tara mengenal si pemilik, dia hanya perlu membayar setengah harga."Ey, seharusnya kamu iya aja pas dia nawarin gratis semua makanan ini, Tar." Gumam Cell setengah berbisik."Ya kali, Cell! Biarpun yang punya rumah makan ini kenal sama aku dan mau berbaik hati, aku nggak mungkin se-enggak tau diri begitu." Tara melahap kerupuknya sebelum makanan pesanan mereka datang. "Cell, kalau boleh jujur, kadang aku juga mengharapkan seorang suami."Alis kanan Cell meninggi. "Kamu iri sama kehidupan pernikahan sahabatmu, Tara?""Bukan, Cell. Aku malah seneng banget tau hidupnya bahagia. Aku cuma ... gimana ya? Sepertinya bakalan seru kalau kami bertiga, sama pasangan masing-masing rekreasi bertiga gitu, Cell. Memorinya bisa double, sama pasangan dan sahabat. Pasti bakalan seru banget."Cell mengulum bibir bawahnya, kepayahan menanggapi. Jangankan Tara
Mulanya Tara belum memahami, apa maksud dari pahlawan kesiangan yang Noah ucapkan itu. Namun beberapa detik terdiam, dia mulai mengerti. Masalahnya, Noah tak berhenti sampai di situ saja."Kamu juga mau mempunyai pasangan, Tara?" Noah bertanya, lalu menunjuk dirinya sendiri. "Bagaimana denganku? Maukah kamu mempertimbangkan aku sebagai pahlawan kesianganmu—pasanganmu di masa depan yang akan membersamai kamu selamanya?""Noah, kalau yang barusan kamu maksud itu sama dengan pernikahan, pastinya kamu lagi coba-coba kan?" Tara mendengus lelah. "Pernikahan bukan sebuah permainan yang bisa kamu hinggapi untuk memuaskan rasa penasaran kamu, lalu kamu bisa pergi begitu saja sesukamu. Pernikahan itu komitmen jangka panjang, yang akan dilewati oleh dua orang yang saling mencintai dan mau saling membantu untuk masa yang akan datang. Pernikahan itu tentang perjuangan dan saling pengertian. Kalau kamu cuma mau main-main, memang lebih baik kamu terus saja menghabiskan waktu sama wanita panggilanmu
"HA? MANTAN SUAMINYA TARA DATANG KE KANTOR?!"Radu cepat-cepat membekap mulut Noah. Di tengah berlangsungnya syuting, Radu mengabarkan berita terbaru yang disampaikan oleh Cell beberapa menit yang lalu. Tentu saja, selepas itu Noah bersikeras untuk pergi dan mencari Tara—di mana pun wanita muda itu berada. "Kira-kira mantan suaminya ngapain ya, Bang?" tanya Noah sambil mondar-mandir. "Apakah mantan suaminya ngajak rujuk? Cih! Jangan! Jangan sampai!""Lha, kenapa kamu jadi seheboh itu, Noah? Urusan mantan suaminya ngajak rujuk atau enggak, itu bukan ranahmu kan?" imbuh Radu, yang sedetik kemudian menghentikan langkah Noah. Pemuda itu mengembuskan napas perlahan, menyabarkan diri untuk tidak berteriak sekuat tenaga. Sebab pertanyaan Radu berhasil menjatuhkannya pada titik tertentu yang bisa-bisa membuyarkan fokus untuk sisa hari ini. "Bang, tolong jangan ucapkan kata-kata yang bikin aku emosi ya?""Lho? Aku ngomong kenyataan lho, Noah! Nggak ada yang salah kan?" elak Radu."Iya, tapi
Dalam satu tarikan napas, Tara menyelesaikan percakapan terakhirnya dengan pihak panitia mengenai festival yang akan berlangsung akhir bulan ini. Melirik jam dinding, sebentar lagi memasuki waktu istirahat makan siang. Sebetulnya tidak masalah bila dia keluar dan mengisi perut terlebih dulu, tetapi di mata orang lain dia akan terlihat seperti staf yang tidak tau terima kasih.Jangankan sekarang—terkadang saja dia mampu mendengar cuitan staf lain yang melihatnya tampak makmur dan diselubungi senyum tanpa beban. Walaupun mereka tidak tau bagaimana kenyataan yang terjadi di balik semua pencapaiannya saat ini, Tara sudah terlalu malas untuk memberikan sanggahan atau pembelaan lainnya. Terserah mereka saja mau berpendapat seperti apa.Kala itu, salah seorang resepsionis menghubunginya. Lekas menerima panggilan tersebut, wanita muda itu agak terkejut dengan eksistensi tamu yang mencarinya pada jam kerja seperti ini. Segera saja Tara memberitahu bahwa dirinya akan turun dan menemui tamunya i
Beberapa tahun kemudian;"Pancake buatan Mama, enak?""Enak, Ma!""Sedapnyeee~""Enak dong, Sayang!""Sayang?""Eh?"Noah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Akibat salah memanggil, sekarang pria itu mendapatkan tatapan maut dari sang istri lalu tatapan penasaran dari si kembar. Berdeham, Noah menatap kedua anaknya secara bergantian."Lupakan ya? Papa nggak tau Papa bilang apa barusan. Jadi, pancake buatannya Mama enak kan?" Si kembar menggangguk, lantas Noah melemparkan cengirannya pada Tara. "Enak, Ma. Kata Alva dan Vira, enak kok! Iya kan?"Tara menggeleng-gelengkan kepala, tetapi seutas senyum terbit pada wajah cantiknya. Waktu bergulir begitu cepat. Noah dan Tara yang terlihat baru menjadi orang tua, kini telah mendapati si kembar berada pada jenjang Taman Kanak-kanak.Selepas menghabiskan sarapan, si kembar diantar ke TK oleh baby sitter. Dikarenakan Noah dan Tara harus mengurus beberapa hal, maka dari itu hari ini tidak bisa pergi bersama anak-anak mereka. Tara sudah kembali
Tara mengabaikan makan malam yang telah dipersiapkan oleh pembantu barunya. Wanita itu tengah memandang rintik hujan melalui jendela kamar. Seperti tak mempunyai semangat hidup, Tara hanya bergerak saat Alvaro atau Alvira terbangun. Selebihnya, dia akan diam saja. Melamun bagaikan sesosok mayat hidup.Hingga malam harinya, Tara terlelap dengan sendiri selepas menidurkan si kembar. Kala itu pula, Noah memberanikan diri untuk menilik tiga manusia yang sangat disayanginya itu. Melihat Tara tidur dengan mata membengkak, mampu mengiris Noah tanpa tedeng aling-aling. Menyakitkan sekali melihat wanita yang disayanginya menangis karena ulanya sendiri—keteledoran yang bisa berakibat buruk bagi masa depan keluarga kecilnya bila tidak segera diselesaikan secepat mungkin.Setelah seharian berkomunikasi dengan Padre dan seseorang yang menjadi dalang dari kesalahpahaman meresahkan ini, baru detik ini Noah menampakkan dirinya di hadapan sang istri. Kedua anaknya pun tampak menggemaskan. Mereka terti
Dari luar, pasangan Noah dan Tara terlihat harmonis dan baik-baik saja. Tetapi dalam setiap rumah tangga, selalu ada yang namanya huru-hara. Rintangan entah kecil maupun besar, keduanya pasti menyambangi tiap bahtera rumah tangga yang berlayar.Pada tahun pertama rumah tangga pasangan tersebut, mereka mendapatkan rintangan terbaru. Didukung oleh lelahnya fisik setelah seharian menjaga si kembar, kemudian kali itu Noah tidak bisa memberikan sedikit sanggahan."Maaf ya, Sayang? Aku sudah menyuruh Mbak Maryam untuk menemani selama dua puluh empat jam kok! Setelah semua urusan selesai, aku bakalan langsung pulang ke pelukanmu." Tutur Noah dengan berat hati.Dikarenakan perkara bisnis yang tak bisa sembarangan ditinggalkan, Noah harus pergi bersama Federick ke luar kota lagi. Tara tidak bisa bermanja-manja dengan berkata bahwa dia enggan membiarkan Noah pergi. Pada kenyataannya, selama ini Noah tak pernah absen dalam menemaninya. Sekarang, dia tak berhak untuk terlalu mengekang pria muda i
Menjadi orang tua baru dari sepasang anak kembar tidaklah mudah. Baik Noah maupun Tara kekurangan tidur. Bahkan Noah harus mengurus beberapa pekerjaan dari rumah, lantaran dia tidak mau terlalu meninggalkan sang istri. Federick dan Elisabeth sudah menyarankan untuk menyewa baby sitter, tetapi pasangan tersebut menolak dengan alasan ingin memberi perhatian penuh selagi masih kecil. Mereka akan menyewa baby sitter saat si kembar sudah bisa berjalan, membantu Tara dalam kesehariannya."Sayang?" Noah menyembulkan kepala dari daun pintu."Ssstt! Mereka baru tidur, Sayang."Noah mengangguk, lantas berjalan mengendap-ngendap memasuki kamar. Mereka sudah berada di rumah sendiri, tapi keluarga besar betah mondar-mandir untuk menilik Alvaro dan Alvira. Meletakkan ponsel di atas nakas, Noah mendekati Tara yang berada di sisi lain ranjang. Pria muda itu memeluk Tara, yang kemudian dibalas dengan dengusan lelah pula. "Kamu hebat, Sayang. Kamu mau apa? Mau dipijit? Mau aku belikan sesuatu? Maaf ya
Tara tidak bisa ke mana-mana. Kenyataan itu membuatnya hanya mampu bergerak pada satu teritori saja; kediaman utama Alejandro. Sebetulnya dia ingin pulang ke rumah sendiri, tetapi mertuanya menolak dengan alasan tidak dapat membantu atau mengawasi Tara setiap saat.Bersama dua pengawal yang masih setia melindungi, seharusnya tidak masalah. Namun Elisabeth tak mau Tara kesusahan dalam keadaan hamil besar. Tara sendiri memang masih belum terbiasa atas perhatian berlimpah yang didapat dari keluarga mertuanya. Bahkan kehamilan yang dialami sampai detik ini pun setara mimpi indah baginya."Sayang! Ayo sini makan buah!"Pintu kamar menjeblak kencang, memperlihatkan sang suami yang membawa piring berisikan buah-buahan. Kalau dihitung, terdapat sekiranya lima buah yang sudah diiris. Tanpa sadar Tara menahan napas, takjub akan betapa banyak buah-buahan segar yang selalu tersedia di kediaman utama Alejandro ini.Menempatkan diri di samping Tara, Noah langsung menyuapi irisan buah kiwi yang tamp
Selepas kehamilan Tara yang membutuhkan perhatian lebih besar, Cell sering menghabiskan waktu di studionya tanpa mau keluar untuk sekadar ke kafetaria. Entahlah, dia jadi tidak bersemangat. Satu-satunya teman yang kerap mendampingi di segala situasi sedang membutuhkan istirahat tambahan, sehingga Cell mulai kesepian.Benar, dia tidak punya teman lain di Hacer selain Tara. Maka dari itu, saat ini dia tak peduli bila harus dikata sebagai penggila kerja. Mau mencari udara segar pun, dia akan tetap bertemankan kesendirian. Namun siang itu, tiba-tiba saja seseorang mengetuk pintunya dan menyembulkan sekantung plastik besar makanan."Oh? Tara?""Bukan!""Eh?" Cell mengerjap-ngerjapkan mata. Dahinya berkerut heran, tak menduga akan kedatangan seseorang yang lama tak bersua. "Radu? Ngapain ke sini? Katanya Tara, Noah lagi dinas di luar kota kan? Memangnya kamu nggak ikut Noah?""Enggak dong! Kan aku bukan pembantunya. Dulu aku memang mengikuti dia ke mana-mana karena memang itu tugasku sebaga
Kedatangan Seno yang terlalu berani ke kediaman utama Alejandro malam-malam begini, mengundang gurat keheranan pada wajah Tara. Yang mengherankan, bagaimana bisa Elisabeth dan Rosalie membiarkan cecunguk yang satu itu masuk? Bukan berniat menyalahkan, tetapi dia tau sendiri betapa protektifnya dua wanita itu. Membiarkan Seno masuk pada waktu seperti ini, sepertinya mantan suaminya itu melakukan sesuatu yang berhasil menarik iba dari Elisabeth dan Rosalie.Seno mendongak saat mengetahui kehadirannya. Apalagi, Tara sudah telanjur menggunakan parfum yang luar biasa harum dan kini rasanya menguar memenuhi seisi ruang tamu. Tara jadi malu sendiri. Tau begini, dia akan memakai parfum nanti saat hendak tidur saja.Sebab lihatlah—Seno malah senyam-senyum seperti orang sinting, berpikir jika Tara menyambut kedatangannya dengan tampil cantik dan wangi. Padahal Tara berdandan cantik untuk Noah tadi."Cepat katakan, Seno! Apa yang mau kamu katakan kepada menantu saya ini?" Suara Elisabeth memecah
Demi mengakhiri segala urusan yang—disinyalir masih belum selesai—oleh Seno, Tara memutuskan untuk berbicara empat mata dengan Seno di salah satu stand foodcourt. Sebenarnya dia luar biasa malas. Berhadap-hadapan dengan Seno, yang ada malah menambah tekanan darah tingginya. Saat itu, salah satu pramusaji datang untuk menawarkan lembar menu. "Bapak dan Ibu, silakan pilih, mau pilih makanan apa?"Seno tersenyum lebar, "Kami kelihatan cocok nggak, Mbak?"Tara mengernyit kebingungan. Maksud dari pertanyaan tersebut apa? Kenapa Seno tidak berkaca dari kejadian sebelumnya sih? Sekarang, Tara menyesal sudah mengizinkan dirinya untuk menuruti ajakan Seno yang tidak jelas itu.Si pramusaji mengangguk lantaran tidak tau yang sebenarnya. "Seharusnya Bapak di sampingnya Ibu ini, soalnya ibunya sedang hamil. Bukannya kalau hamil membutuhkan bantuan dari pasangannya ya, Pak?""Ah, begitu? Oke, kalau be—"Tara bersiap melempar ponsel ke arah Seno. Pria itu urung meneruskan ucapannya, memilih untuk
Bugh!Saking kesalnya, bukan Tara yang didapat, tetapi tendangan susulan dari wanita hamil tersebut. Seno meringkuk kesakitan. Sedari dulu, kemampuan fisik Tara memang tak bisa diremehkan. Namun dalam kondisi hamil seperti ini, tentu saja Tara sudah dirundung kelelahan lebih cepat dari biasanya.Napas wanita muda itu terengah-engah, mundur perlahan dan terjatuh dalam dekapan hangat sang suami. Elisabeth dan Rosalie mendekat, hendak membantu menopang tubuh Tara yang harus beristirahat itu. Malahan, gelombang mual datang membanjiri tenggorokannya. Menepi, Tara memuntahkan sup tahu pedas yang baru dimakannya tadi."Pergilah!" Noah memberi gerakan mengusir yang langsung dijalankan oleh dua pengawal di sisi Seno. "Tara sudah tidak menaruh perasaan sedikit pun terhadapmu, Seno. Pergi! Pergilah selamanya dari hadapan kami! Kalau kamu memang mencintai Tara, ikhlaskan Tara dengan kehidupannya yang sekarang ini. Kalau ketahuan kamu datang untuk mengganggu kami lagi, maka aku tidak akan ragu unt