Acara lamaran pun dilaksanakan dengam sederhana dan dalam waktu yang boleh dikata singkat, disaksikan oleh Cintya, bi Ratih, Clara serta supir dan kedua bodygard Bian.
Cincin lamaran pun serta merta sudah tersemat di jari manis sepasang kekasih yang baru beberapa bulan menjalin kasih tersebut. Raut bahagia tak lepas menyelimuti wajah keduanya.
Setelah sesi menyematkan cincin mereka pun berdoa, lalu dilanjutkan oleh Anjani yang mengajak keluarga Bian untuk makan siang bersama di rumahnya. Bukan hanya Bian dan Cintya, tetapi Anjani dengan senang hati mengajak supir serta kedua bodygard Bian untuk ikut makan bersama.
"Mari silahkan dinikmati ya bu, pak," ujar bi Ratih sambil menyajikan makanan di atas meja. Dan yang Anjani tidak pahami, kenapa semua makanan yang disajikan bi Ratih sangat banyak dan fresh semua. Padahal sebelum Bian datang, Anjani belum melihat bi Ratih memasak satupun semua makanan ini.
"Enghh bi, kapan bibi memasak s
"Ish, ngamcem mulu lo bisanya," dengus Laura mendengar jawaban Bram sebelumnya. Dia mengercutkan bibir menatap bram yang memutar bola mata. Sungguh, ini kali pertama dia bertemu duda angkuh seperti Bram."Kau tidak tau apa yang bisa aku lakukan bodoh. Jangan banyak bicara. Segera saja kita bahas apa rencana untuk memisahkan mereka berdua," ujar Bram. Kini mereka duduk di bibir kasur."Loh, jadi lo belum ada rencana?" tanya Laura bersedekap. Bram menggeleng dengan wajah masam. Karena banyaknya pekerjaan kantor, dia sampai tidak sempat memikirkan semua itu.Laura mendengus, dengan penuh berani dia menabok lengan Bram membuat pria itu kesakitan. "Gimana sih duda. Kan lo yang ngajakin kerja sama!""Jadi aku sendiri saja yang harus berpikir? Enak sekali kau," sahut Bram kesal. Dia balas menarik rambut Laura."Duh, rempong rambut gue," kesal perempuan itu membenarkan tatanan rambutnya. "It
Semua karyawan di lantai dua ini pun beranjak dari aktivitas mereka dan berkumpul menghadap Bian serta Anjani yang tampak malu-malu. Bagaimana tidak malu? Saat ini dia diperhatikan banyak sekali orang meskipun tidak lebih banyak dari perkenalannya sebagai pegawai baru beberapa minggu kemarin.Sedangkan Bian tetap santai dengan ekspresi wajah yang berseri-seri. Toh, maklumi saja karena pria itu sedang bahagia."Baiklah, terima kasih sudah mau meluangkan waktunya sebentar. Ada info penting yang ingin aku sampaikan," ucap Bian memulai kala semua karyawannya telah berkumpul tepat di hadapannya. Mereka tampak saling berbisik penasaran satu sama lain."Soal pernikahan bapak?" tanya salah satu dari mereka.Bian mengangguk dan tersenyum tipis. Anjani pun menatap laki-laki yang bertanya itu."Iya benar. Apa kalian semua sudah menerima undangannya?""Sudah, pak," jawab mereka serempak."Sudah. Selamat y
Mampus, Bian terciduk oleh karyawannya sendiri, dan dia adalah seorang wanita. Bian pun reflek melepaskan tautan bibir mereka dan dengan tenang serta pelan-pelan mendudukan kembali Anjani ke kursi. Sedangkan Anjani malu bukan main, ia menunduk dalam dan tak mau menatap wajah wanita yang juga menunduk, mungkin sekarang dia sedang berpikiran negatif tentangnya. Bian menghampiri wanita itu dengan wajah datar, berusaha bersikap tenang dan menyembunyikan rasa malunya. Bian bersedekap lalu wanita berkemeja abu-abu itu segera meminta maaf. "Maaf pak. Maaf. Sungguh, saya tidak berniat mengintip kalian. Jangan pecat saya pak," ujarnya penuh rasa bersalah. "Kenapa tidak mengetuk pintu dulu sebelumnya? Bukankah itu tata tertib yang sudah lama diterapkan di kantor ini hah?" tanya Bian marah. "Sa-saya sudah mengetuk pak. Tapi tidak ada sahutan dari bapak. Jadi, saya berinisiatif masuk
Langit cerah kini berganti nama menjadi senja, matahari pun sudah bersiap tenggelam untuk digantikan oleh bulan.Seharian ini, Anjani dan Bian disibukkan oleh persiapan pernikahan mereka, bahkan Clara pun ikut ambil andil sebagai orang yang begitu antusias, yah antusias dalam mencoba semua makanan serta kue-kue yang dibuat khusus oleh chef sewaan Bian. "Clara ayo ke sini. Jangan gangguin mereka dong sayang," panggil Anjani melihat Clara sedang berjinjit lalu mencoleki satu persatu adonan kue kemudian mencicipinya tanpa dosa. Mereka tengah berada di mansion Bian, tepatnya di dapur mewah nan luas milik pria itu. Anjani menggelengkan kepalanya sembari mendengus lelah, kelakuan Clara itu pasti menganggu pekerjaan para chef tersebut. Hanya mungkin, mereka enggan menegur Clara dan memilih diam saja.Anjani pun menghampiri putri kesayangannya itu dan meraih bahu Clara agar anak itu mundur menjauhi meja adonan. Seketika Clara tergelak dan menyengir lebar pada Anjani dengan jari dan sudut bi
Sungguh, Bian tidak menyangka akan bertemu Bram di tempat ini. Lagipula, ada sekitar dua minggu mereka tidak bertemu.Mereka saling memandang dengan terkejut selama beberapa saat, sebelum kemudian Bram berdehem singkat lalu membuang pandangannya ke arah lain.Sedangkan Bian menaikan alis lalu tersenyum smirk pada pria itu. Bram tampak malu, pikirnya. Entah kenapa rekan bisnisnya itu tiba-tiba saja mengalihkan pandangan darinya.Oh ya, Bian berpikir ini juga saat yang paling tepat untuk memberitahu pria itu, bahwa dia dan Anjani akan segera melangsungkan pernikahan. Atau apa sebenarnya Bram sudah tau duluan? Sehingga menatapnya pun Bram merasa sungkan. Jika benar, Bian pikir ini mungkin adalah titik kemenangannya. Dimana ia akhirnya berhasil membuat Bram sadar bahwa Anjani tidak mungkin jatuh dalam pelukan pria duda itu. Hahaha.Oke, karena sekarang dia sedang bahagia, Bian tidak ingin mencari masalah, maka dari itu usai mengulas senyum tipis sekali
Tiga hari kemudian...Anjani dan Bian akhirnya melangsungkan pernikahan, bertempat di mansion mewah milik Bian yang sudah ditata sedemikian rupa layaknya sebuah hotel mewah berbintang yang sanggup menampung ribuan orang.Menginjak pukul delapan, tamu-tamu pun mulai banyak berdatangan, mulai dari keluarga dekat maupun keluarga jauh, teman, para karyawan kantornya hingga yang paling penting adalah kedatangan semua kolega bisnisnya.Bian ingin pernikahan perdananya hari ini disaksikan oleh banyak orang, agar mereka tahu, bahwa dia sudah menemukan seorang wanita yang tepat untuk melengkapi kehidupannya.Yah sekalipun Bian mengerti dan sadar akan banyaknya asumsi mengenai Anjani, namun, itu sama sekali tidak menggoyahkan komitmen Bian untuk meminang wanita cantik bertongkat itu. Ia tidak peduli lagi seburuk apa pikiran mereka tentang Anjani atau sesusah apa rumah tangga mereka nanti karena Anjani menggunakan tongkat. Bian rasa itu sama sekali tidak
Suara tembakan nyaring tersebut ternyata terdengar tak jauh dari tempat duduk kedua mempelai, yang tak lain dan tak bukan adalah tempat duduk seorang penghulu di depan mereka.Seluruh tamu undangan pun berteriak histeris, panik, serta ketakutan melihat tragedi yang tidak pernah diduga tersebut. Apalagi ini di sebuah acara pernikahan seorang pengusaha ternama, Bian Pradipta.Penghulu tersebut tertembak tepat di bagian pinggangnya. Lantas dia terkulai kesakitan dan Bian langsung menjatuhkan cincin yang belum terpasang di jari Anjani itu, untuk membantu penghulu tersebut."Argh," ringisnya. Anjani shok berat dan matanya pun berkaca-kaca melihat banyak sekali darah berucucuran membasahi lantai mansion ini."Ya Tuhan, bertahan pak," ucap Bian memangku penghulu tersebut."Arghh, sa-kit Nak," ujarnya membuat hati Bian terasa tercabik-cabik, ia tak tega melihat pria paruhbaya ini kesakitan.""Brengsek, siapa yang berani
"Tembakannya meleset Tuan," ungkap seorang pria kepada Bram. Pria itu tak lain adalah anak buah Bram yang menjadi pelaku penembakan penghulu di pernikahan Bian. Dia bersimpuh di kaki Bram sebab dia gagal melaksanakan tugasnya.Bram meraih kerah pria itu hingga dia terpaksa berdiri dengan wajah ketakutan. Kemudian Bram menamparnya dengan kencang.Plak."Dasar bodoh dan tidak becus, jadi ini balasanmu saat aku sudah membayarmu hah?!""Ma-maaf Tuan. Saya tidak sengaja. Saya ingin menembak Tuan Bian, tapi saya tidak tahu kenapa pelurunya malah melesat, Tuan. Ampuni saya. Jangan bunuh saya Tuan," sahutnya dengan nada bergetar dan pipi memerah, sekuat tenaga ia menahan sakit atas tamparan Bram. Sungguh, sebenarnya dia tidak tega melakukan penembakan ini. Karena dilandasi akan keperluannya terhadap uang demi anak dan istri, dia terpaksa menuruti perintah Bram."Argh sudahlah."
Laura tertawa lepas sembari menonton televisi di ruang tamu rumahnya, wanita itu sedang libur bekerja hari ini, manajernya—Hani mengatakan bahwa Laura perlu cuti untuk beristirahat dikarenakan wanita itu sedang hamil. Laura juga sebenarnya tidak peduli, sebab seberapa banyakpun ia libur atau menganggur uangnya tidak akan pernah habis. Ya, uang ayahnya—Hans selagi pria itu masih hidup ia tidak perlu khawatir akan jatuh miskin.Sedari tadi pun, kerjaannya hanya makan dan makan, efek hamil membuatnya terlalu malas untuk bergerak apalagi melakukan pekerjaan rumah. Oh ya, jangan lupa, selama ia masih tinggal di rumah mewah ini ia tidak perlu berbuat apa-apa. Tinggal duduk manis, semua sudah tersaji di meja. Pelayanan di rumah inilah andalannya."Nona, peralatan mandinya sudah siap, jacuzzinya juga sudah saya campur dengan mawar kesukaan Nona," ujar seorang pelayan wanita, ia membungkuk sopan.Laura mengangguk malas, sangat terpaksa untuk mandi, jika saja hari ini ia tidak berencana pergi ke
Pukul 12.10 ketika Anjani tiba di kantor Pradipta. Saat menuruni mobi ia disambut senyum ramah oleh satpam dan beberapa karyawan. Maklum, siapa yang tidak mengenal Anjani di kantor Pradipta ini? Mengingat dia adalah istri pemilik perusahaan. "Selamat siang, Bu. Wah, hari ini ibu cantik sekali," puji salah satu pegawai laki-laki. Usianya terbilang lebih muda.Anjani tersenyum tipis. Satu tangannya memegang tongkat dan tangan lainnya membawa tas berisi bekal makan. "Terima kasih. Mungkin itu hanya perasaan masnya, bahkan aku merasa biasa saja hari ini," jawab Anjani rendah hati. Laki-laki itu menggeleng cepat, "Ah tidak, Bu. Hari ini ibu memang kelihatan berbeda, wajah ibu lebih cerah."Anjani sontak teringat ucapan Cintya, jika wanita hamil memiliki aura yang positif dan wajah yang lebih bercahaya. "Mungkin karena aku sedang hamil," batin Anjani menggelitik. Ingin rasanya mengusap perut tapi tangannya penuh. "Saya ke ruangan pak Bian dulu yaaa, Mas," Ucap Anjani tersenyum lagi pa
Kadang, Anjani merasa bersalah. Namun, jika tidak seperti itu, selamanya ia tidak akan tenang karena belum membantu menyelesaikan masalah Kevin. Toh, Kevin sendiri tidak tahu apa-apa mengenai persoalan suaminya dengan Bram. Anak itu masih terlalu polos untuk memahami masalah seperti ini. Kevin hanya anak kecil yang pikirannya untuk main dan bermain. Selesai membantu Kevin, Anjani bergegas pulang ke rumah mengantar Clara. Sebelum siang nanti, ia pergi ke kantor membawakan makan siang suaminya itu. Bukan keinginan Bian agar Anjani melakukan itu, tetapi Anjani sendiri yang mau. Ia ingin selalu memastikan Bian makan-makanan yang sehat baik di rumah maupun di kantornya. Toh, sudah tugas seorang istri kan untuk memberikan yang terbaik pada suami? "Bun, tadi Kevin sempat bilang kalau Bunda ternyata baik sama dia. Kevin kayanya senang banget bisa ketemu sama Bunda hari ini," celoteh Clara sembari duduk di kursi ruang makan, memainkan boneka barbie yang baru ia beli tadi. Anjani yang sibu
Pagi ini suasana kantor Pradipta sudah sangat ramai, seluruh karyawannya datang tepat waktu seperti biasa. Mereka bolak-balik melakukan tugas masing-masing, ada yang sedang mengetik di laptop dan ada pula yang menyiapkan ruang meeting.Pemandangan yang sungguh menyejukkan mata Bian. Ia suka melihat karyawannya disiplin dalam hal pekerjaan di kantor Pradipta ini. "Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan perempuan ketika Bian hendak memasuki lift. Bian balas tersenyum tipis. Dan di dalam lift itu, ia bertemu dengan Sani. "Wah, lama banget kita nggak ketemu, Bi. Gimana kabar lo, bro?" tanya Sani pada sahabatnya itu. Ia merangkul bahu Bian sembari cengar-cengir. Ya, sani cukup lama tidak bertemu Bian, sekitar dua minggu, sebab Sani harus menjaga ibunya di rumah sakit. "Baik kok. Apalagi istri gue lagi hamil," sahut Bian lalu tersenyum lebar seraya merapikan jasnya dengan perasaan bahagia. "Serius? Gercep banget, Bi lo bikinnya! Bakal jadi bapak nihh yee, gue doain deh Anjani lancar
"Papa Bian sama Bunda tadi kemana? Kok lama banget?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Clara yang baru pulang dari sekolah. Tatkala Anjani dan Bian melangkah memasuki rumah. Anjani ingat Clara belum mengetahui bahwa ia sedang mengandung calon adik Clara, maka ia melirik Bian lalu menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Bian mengerti, ia langsung mengangguk dan mengulum senyum geli. Seolah kejadian di rumah sakit tadi bukan apa-apa untuk mereka. Anjani dan Bian tahu bagaimana cara menyembunyikan masalah yang seharusnya tidak diketahui anak kecil. "Loh, kok mukanya gitu, Bunda menyembunyikan apa dari aku?" Clara yang merasa teracuhkan kini manyun lalu bersedekap. Anjani terkikik kecil, ia mencubit gemas hidung putri kecilnya, kemudian menggerakkan tongkat mengajak anak itu duduk di sofa. Anjani langsung mengambil tangan Clara dan menempelkan tangan mungil itu ke perutnya. Clara sedikit terkejut. "Coba Clara tebak, di perut Bunda yang rata ini isinya ada apa aja?" Clara lantas berpik
Anjani tidak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya, meski kebenaran belum terbukti namun hatinya terus saja berkata bahwa tidak mungkin Laura pura-pura hamil demi mendapatkan Bian hingga dia berani menjatuhkan harga dirinya sendiri.Oleh karenanya, pagi ini Anjani meminta Bian untuk menemaninya pergi ke rumah Laura dan mengajak wanita itu ke rumah sakit agar bisa melakukan tes di hadapannya, tanpa ada sedikit pun kecurangan dan Anjani sangat berharap akan itu.Pintu utama yang diketuk sebanyak tiga kali itu akhirnya terbuka, menampilkan seorang wanita bersweater biru dan celana jeans panjang serta mata sembab. Sepertinya Laura habis menangis."Ngapain lo ke sini hah?" tanya Laura kesal.Entah kenapa di saat begini Anjani malah tergagap, melihat Laura yang menangis menambah keyakinannya bahwa wanita itu tidak berbohong.Bian tinggal di mobil, jadi Anjani bisa leluasa bertanya. "Mbak habis n
Deg."Aku pu—""Aku hamil anak Bian... "Lantas semua penghuni ruangan tersebut terdiam kaku, detik terasa berhenti, semuanya tertuju pada Laura yang tersenyum kemenangan, pada perkataan wanita itu barusan.Terkhusus bagi Anjani yang sangat syok mendengar ucapan wanita itu, dadanya sakit seperti dihantam puluhan balok keras, sedangkan Bian masih di ambang pintu mengepalkan tangan. Tentu saja ia tidak percaya apa yang diucapkan Laura barusan, wanita itu pembohong. Anjani tidak boleh tertipu oleh muslihatnya."Diam Laura! Kau pembohong!" Pungkas Bian melangkah maju dan berdiri di samping Anjani. Saat itu Anjani benar-benar bingung dan kepalanya mulai terass pusing."Bohong? Aku nggak bohong Bian. Ini benar anakmu, ini anak kita," tambah Laura yang membuat Bian semakin ingin mencekik leher wanita itu. Laura ternyata belum jera dan sama sekali tidak belajar dari pengalamannya dulu."Cukup! Aku tidak mau
Adanya Cintya di mansion ini menghilangkan rasa sepi Anjani, terutama saat dulu di pagi hari, ia ditinggal berdua dengan bi Ratih dan para pelayan. Yang notebene nya para pelayan itu berbicara hanya ketika mereka perlu, sedangkan bi Ratih kadang juga sibuk dan harus pulang ketika sudah malam ke rumah aslinya.Sekarang dia dan Cintya sedang menonton serial kartun kesukaan Clara di ruang keluarga, seraya memakan popcorn spesial yang dibuat khusus oleh chef ahli di mansion ini.Sementara yang merekomendasikan film justru asik menggambar menggunakan pensil warna yang baru dibelikan Bian."Yeay aku sudah selesai menggambar," Kata Clara mengangkat bangga kertas gambarnya menunjukannya pada Cintya dan Anjani. Cintya tersenyum kecil dan mengusap lembut rambut cucunya itu."Bunda, coba lihat deh, ini keluarga kita." Ia menunjuk 4 orang yang berada di permukaan kertas tersebut, dengan dia ber
Selesai berbelanja ke pasar Anjani kembali ke rumah, berbeda dengan Bian yang harus pergi ke kantor untuk kembali bekerja.Di dapur, seperti Biasa Anjani mulai memasak dibantu oleh Bi Ratih, bedanya dapur dan seluruh peralatan masak yang ia gunakan di mansion ini benar-benar mewah. Semua peralatan terbuat dari bahan anti gosong dan logam yang tidak mudah berkarat.Anjani merasa sangat dimanjakan dengan semua peralatan itu. Sesekali ia tersenyum membayangkan betapa awetnya peralatan ini. Sangat berbeda dengan peralatan dapur di rumahnya yang sebagian besar sudah gosong.Selain peralatan masak serta kitchen set, kursi dan pantry yang digunakannya juga sangat empuk, bentuknya yang di desain khusus oleh Bian agar dia lebih mudah duduk dan berdiri menggunakan tongkat."Ada yang bisa saya bantu nyonya?" Anjani menatap ke samping ketika seorang chef menunduk dan bertanya padanya, Anjani tidak bisa menatap langsung mata laki-laki itu