“Napa, Sis?”
“Cepetan ke sini! Di sini ada Nafisa!” seru Siska. Suaranya terdengar panik.
Nafisa? Kenapa dia ada di sini? Aku berdiri, melongok ke luar jendela.
Ya Allah, jangan-jangan yang kecelakaan Nafisa?
Secepat kilat kusambar tas di atas meja, setengah berlari menghampiri tempat kejadian kecelakaan tersebut.Aku berjalan cepat, Membelah kerumunan, kulihat Nafisa berjongkok sambil menangisi si korban, sementara Siska mengelus punggung Nafisa, menenangkannya.
“Naf?”
“Lailaaaa ....” Nafisa menghambur dalam pelukanku.
Menelisik wajah korban, sepertinya aku mengenal orang itu. Aku berjongkok, di samping korban tersebut. Kedua mataku membulat, saat menyadari kalau korban tersebut adalah Haris, mantan suamiku.Tapi kenapa Nafisa menangis?Sirine ambulance terdengar.
“Laila?” Siska memecah keheningan di antara kami.“Hm?”“Nafisa udah tau kalau si Haris mantan laki lo?” Siska menatapku, aku menggeleng.“Mau sampe kapan lo rahasiain?” sahabatku duduk di sebelah.“Entah. Lo tau sendiri kan keadaan sekarang kayak gimana? Gak tega gue bilangnya," ucapku bimbang. sebenarnya aku ingin berterus terang tapi keadaan yang membuatku tak tega menyampaikan perihal kalau Haris adalah mantan suamiku.“Gak tega bilang soal apa?” Aku dan Siska menoleh ke asal suara. Nafisa sudah berdiri di belakang kami.“Kapan lo dateng?” Siska salah tingkah, aku pun sama. Berdehem, menyuruh Nafisa duduk di antara kami.“Apaa ... ada sesuatu yang kamu rahasiain, La?”Melihat arah Siska, minta bantuan buat mengalihkan pembicaraan.“Itu, Naf ... hm ... soal Haris.” Duh, Siska kenapa bilang kayak gitu.
lSelesai makan, Damar langsung pamit. Aku mengantarnya sampai depan rumah.“Kamu bawa lagi aja mobil aku.” Aku menawarkan, Damar menoleh memicingkan mata.“Masa aku anterin ke sini terus aku bawa lagi. Kalau aku bawa lagi, besok kamu berangkat ke kantor gimana?”“Ya kamu jemputlah!”Ups! Duh aku ngomong apaan sih? Ngarep amat? Bikin repot orang aja. Melirik Damar, ia mengangkat sebelah alis.“Ya udah besok aku jemput.” Sahutnya saat taksi online berhenti tepat di depan gerbang. Aku mengikutinya dari belakang.“Kalau kamu pulang naik taksi, gak usah jemput aku.”“Sekarang gak jemput. Besok jemputnya. Dah ya aku pulang.” Dia membuka pintu mobil, tapi tidak langsung masuk. Malah menoleh ke belakang, menghadapku.“Besok, tunggu aku jam delapan. Kalau aku telat datang, jewer telinga aku. Oke?”Aku tersenyum dikulum. Memukul bahunya pelan
Tiba di parkiran kantor, Damar mematikan mesin mobil. Aku bergegas turun. Namun, lelaki berkulit putih itu masih saja duduk di balik kemudi. Aku menghampiri, berdiri di samping kaca pintu mobil.“Kenapa gak turun?” tanyaku heran. Dia tampak santai.“Kamu duluan.”“Kok gitu?” Aku semakin heran mendengar jawabannya. Damar tampak berpikir.“Gak apa-apa emang, seorang bos jalan bareng sama bawahan?” Kedua bola mataku membulat. Tak menyangka Damar akan berkata demikian.“Kamu ini ... ah! Udahlah terserah.” Aku pikir dia tidak menganggapku bos. Paling tidak menganggap teman atau sahabat. Tapi ternyata? Sudahlah! Aku berjalan cepat, memasuki lobby, masuk lift, menyusuri koridor menuju ruang dengan perasaan yang tak menentu. Antara emosi dan kecewa. Tapi kenapa mesti demikian??Sapaan dari para karyawa
Hubunganku dengan Damar semakin dekat. Apalagi semenjak Siska cuti mau menikah. Semua pekerjaan Siska, Damar yang mengerjakan.“Hallo,” sapaku saat Damar menelepon.“Nanti malam ada acara gak?”“Enggak ada sih. Kenapa?” Aku bertanya balik sambil mengganti chanel televisi. Sabtu Minggu kantor libur. Biasanya dua hari itu aku habiskan waktu berleha-leha di rumah bersama Bi Inah.“Mau diapelin gak?” Mengerutkan dahi, berpikir maksud pertanyaan sepupu sahabatku.“Diapelin siapa?” tanyaku menahan tawa. Kalau sudah dekat, Damar tipikal cowok yang humoris. Aku sering tertawa jika bersamanya.“Mas Damar. Mau gak?”Seketika tawaku meledak. Dia bilang Mas Damar? Ya ampun lucu amat. Usianya aja jauh lebih muda dariku, masa dipanggil ‘Mas’.“Laah ... malah ketawa. Oke, nanti malam aku ke rumah kamu. Jangan diusir apalagi diteriaki maling. Ok
PoV DamarMasya Allah, Subhanallah ... tak henti hatiku mengucapkan dua kalimat itu. Menganggumi ciptaan Allah yang begitu cantik dan anggun. Dengan balutan gamis, ia tampak cantik sekali. Biasanya Laila selalu mengenakan stelan celana atau kemeja. Laila terlihat tersipu malu, ia merunduk, mengulum senyum.“Terima kasih, Mas Damar.” Aku tersentak mendengar ucapan Laila barusan. Dia panggil aku ‘Mas’? Ya Allah, bahagianya hatiku.“O-oke, sama-sama. Hmm ... aku boleh minum lagi ya?” Laila mengangguk, memamerkan senyum manisnya.“Eh, kok habis?” Gumamku, membalikkan cangkir kopi. Laila teekekeh, menutup mulut dengan sebelah telapak tangan.“Mau lagi? Bentar ya, aku buatin.” Laila beranjak tanpa menunggu jawabanku. Kepergiannya membuatku sedikit lega. Mengembuskan napas pelan-pelan, Berusaha mengontrol diri agar tidak terlih
PoV LailaDuh, kenapa dia nanya gitu sih? Ya gak salah, tapi kan rasanya gak adil saja. Aku udah pernah menikah, sementara Damar belum pernah. Selain itu, usia kami terpaut jauh. Aku jauh lebih tua darinya. Aku harus mengalihkan pembicaraan, tidak boleh menjawab pertanyaan yang ia ajukan.“Eh, tadi katamu mau ngajak aku ke kafe? Berangkat sekarang yuk! Aku ambil tas dulu. Kamu tunggu sebentar.”Tanpa menunggu tanggapannya, aku menaiki anak tangga, ke kamar. Di dalam kamar, mengatur napas, menyambar tas selempang yang tergantung tak jauh dari pintu.“Yuk, berangkat!” Damar masih duduk, memerhatikanku.“Mau gak?” aku mempertegas. Damar berdiri, memasukkan handphone ke dalam saku celana.“Bi ... Laila berangkat dulu ya ....” Tergopoh-gopoh Bi Inah menghampiri.“Hati-hati, Non.”“Bibi tidur duluan aja. Laila bawa kunci cadangan kok.”“Baik, Non
Hubunganku dan Damar sudah berjalan satu tahun sejak lelaki yang usianya terpaut enam tahun denganku itu mengumumkan hubungan kami pada teman-temannya. Bahkan Damar sudah memperkenalkan aku pada keluarga besarnya saat Siska melangsungkan pernikahan. “Sayang, fitting baju pengantin mau kapan?” tanya Damar disambungkan telepon. Kami sudah berencana bulan depan akan menikah. Pernikahan yang sama sekali tidak aku duga sebelumnya. Aku pikir, akan menyandang status janda Laila seumur hidup.“Maumu kapan?” “Hari ini. Kamu sibuk?” “Enggak.” “Ya sudah, aku jemput kamu sekarang. Oke?” “Iya.”Sambungan telepon terputus, aku beranjak. Memilih pakaian yang akan aku kenakan. Kali ini memilih gamis bermotif merah muda. Damar selalu menyukai jika aku mengenakan pakaian gamis.“Kamu lebih anggun, Sayang,” ucapnya kala itu. Selesai mematut diri, keluar kamar. Bi Inah sedang beres-beres di dapur.“Mau makan, Non? Masakannya sudah siap?” Bi Inah menawarkan, ketik
“Kalau kamu takut aku tertular penyakit kelamin Haris, kamu boleh membatalkan rencana pernikahan kita, Mas.”Mungkin, memang aku ditakdirkan menyandang status Janda Laila, selamanya.“Kamu bicara apa, Laila? Periksa ke dokter pun belum? Bagaimana bisa kamu memvonis diri sendiri?” Nada suara Damar meninggi. Aku hanya mengembuskan napas. Saat ini pikiranku benar-benar kacau. Tidak tahu harus berpikir seperti apa. Sulit sekali berpikir positif.“Mas---““Sudahlah, jangan kita bahas soal ini. Aku gak mau lihat kamu nangis, La. Selesai fitting baju, aku antar kamu ke rumah sakit.”“Mas, lebih baik fitting bajunya nanti saja.”“Ayolah, Laila ... aku mohon. Jangan membuatmu semakin bersedih. Denegr aku, bagaimana pun keadaan kamu, aku akan tetap menikahimu. Aku janji!”Setelahnya, perjalanan diselimuti keheningan. Beberapa kali Damar menghela napasnya.
PoV LailaKabar tentang kehamilanku langsung dibagikan Damar melalui media sosial. Berbagai komentar yang berisikan ucapan selamat serta doa-doa dipersembahkan untuk kami. Bahkan Mama mertuaku langsung datang ke rumah. Membawa aneka macam lauk pauk serta susu untuk ibu hamil."Ya Allah, Mama malah repot-repot," ucapku setelah mempersilakan wanita yang telah melahirkan Damar masuk ke dalam rumah."Repot apanya? Tidak, Sayang ... Mama senang bisa berkunjung ke sini apalagi ketika mendengar kabar kamu hamil." Wajah Mama terlihat lebih ceria dari terakhir kali kami bertemu."Terima kasih ya, Ma? Mohon doanya semoga kehamilan Laila selalu sehat, tidak ada masalah yang berarti. Aamiin." Mama mengaminkan harapanku. Damar sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Ia membalas satu persatu ucapan selamat serta doa-doa untuk calon anak bayi kami."Astaghfirullah ... Damar ... Kamu ini kenapa sih tidak juga berubah? Masih saja asyik main hape! Inget lho, kamu akan men
PoV LailaSemalam aku mendengar kabar tentang tertangkapnya Bu Sarnih oleh pihak kepolisian. Beruntung, Polisi langsung sigap menerima laporan Ria. Ternyata bukan hanya Ria yang melaporkan mantan mertuaku, tapi juga Mbak Susi. Wanita yang dulu pernah menjadi simpanan almarhum Haris."Jadi, semalam Ibu Sarnih sudah ditangkap Polisi, Mbak?" tanya Salma saat aku memberitahunya tentang kabar yang disampaikan Nafisa."Iya," sahutku singkat.Entah kenapa sejak semalam kepalaku pusing, badanku juga terasa lemah. Bahkan rencana aku dan Damar yang makan malam di restoran pun batal gara-gara kondisiku ini. Barang kali aku kecapekan."Kasihan sekali, sudah tua harus hidup di penjara," lirih Salma. Aku hanya mengulum senyum. Kalau Bu Sarnih dapat dikasihani dan tahu diri, tidak mungkin Ria, Nafisa dan Mbak Susi tega melakukan hal tersebut. Menjebloskan Bu Sarnih ke dalam penjara. Apalagi Bu Sarnih sangat tega membuat wajah Mbak Susi menjadi terluka.
PoV Bu SarnihLemas sudah persendianku. Berharap Mas Agung yang membayar semua makanan, justru aku yang membayarnya. Kalau tahu kaya gini, lebih baik aku pesan menu yang murah meriah saja. Semua ini gara-gara menu sialan! Mas Agung sih enak, makanannya sudah habis semua. Lah aku, masih ada dua menu yang belum aku cicipi.Kulambaikan pelayan, menyuruhnya membungkus sisa makanan lalu membayar semua pesananku dan pesananan Mas Agung. Apes sekali nasibku hari ini. Padahal sebelumnya aku sangat bahagia mendapat pujian dari Mas Agung.Keluar restoran dengan langkah gontai. Hampir enam juta aku membayar menu makanan tadi. Huh rugi sekali! Lain waktu aku akan membuat Mas Agung mengganti kerugian yang aku alami malam ini. Menghentikan taksi yang melintas, lalu masuk. Kuhempaskan bokong dengan malas. Pusing sekali, harus merelakan uang jutaanku keluar hanya karena makanan. Ah sial!"Bu, Ibu mau kemana?" Pertanyaan supir taksi mengalihkan kekesalanku. Aku meny
PoV Bu SarnihHahahha ... Hatiku sangat bahagia. Di dalam tas ini, uangku saaaaaangat banyak! Sekarang hidupku sudah banyak uang! Aku jadi orang kaya sungguhan. Hahahaha ....Menghempaskan tubuh ke atas kasur, merentangkan kedua tangan, menatap langit-langit kamar hotel.Mulai besok, aku akan mencari tempat tinggal baru. Tidak mungkin selamanya di hotel. Aku ingin mencari rumah yang dapat dicicil tiap bulan. Pembayaran tiap bulannya, aku akan mencari target-target bodoh seperti Nafisa dan Susi!Ngomong-ngomong soal Susi, sekarang dia sudah sadar belum ya? Aku tidak dapat membayangkan jika ia sudah terbangun seperti apa reaksinya. Apalagi wajahnya sangat merah, ditambah bintik-bintik. Iiih ... Menyeramkan! Belum lagi, jika Susi telah menyadari, barang-barang di rumahnya hilang! Dia pasti tambah terkejut dan frustasi. Ah ... Semoga saja si Susi jadi sakit jiwa! Hilang akal warasnya! Terus, dia masuk rumah sakit jiwa deh seperti aku dulu! Kalau mengingat tem
PoV Laila"Nafisa, sabar ya?" Kupegang pundak kanan Nafisa, menuntunnya duduk di sisi ranjang. Air mata sudah membasahi kedua pipinya."Kak! Ada apa?" Ria datang langsung bertanya, dia duduk di samping Nafisa. Meletakkan buku-buku di atas lantai. Tidak lama datang Erni. Adik ketiga Nafisa."Kak Laila, Kak Nafisa kenapa? Kenapa Kak Nafisa menangis?" Belum sempat aku menjawab, Nafisa menghambur dalam pelukan adiknya."Ria ... Maafkan Kakak ... Maafin Kakak ...." lirih Nafisa pada adiknya. Mungkin Nafisa merasa bersalah karena telah memasukkan Bu Sarnih ke rumah ini. Kasihan sekali Nafisa. Bu Sarnih benar-benar tidak berubah. Padahal dia sudah pernah mengalami gangguan kejiwaan. Ria melepaskan pelukan, menatap wajah Nafisa dengan lekat. Memegang kedua pundak Nafisa. Kakak kandung Haris itu hanya merunduk sambil terisak."Kak, ada apa? Kenapa Kakak menangis? Kak Laila kenapa Kak Nafisa menangis?"Tatapan Ria beralih padaku. Ia menu
PoV Bu Sarnih"Iya, Pak. Walaupun baru saya beli beberapa bulan lalu, tidak masalah kalau saya jual. Jadi total semuanya berapa?"Aku tidak mau mereka semua lebih lama di rumah Susi. Khawatir kalau Susi terbangun dan tetangga kanan kiri menaruh curiga. Bisa gawat kalau hal itu terjadi.Pak Kuto menyebutkan nominal hasil penjualan barang-barang elektronik milik si janda gatel. Lumayanlah, lebih dari sepuluh juta. Setelah menyerahkan sejumlah uang, anak buah Pak Kuto mengangkut barang-barang tersebut ke dalam mobil pick up."Terima kasih banyak, Bu. Kalau mau jual barang-barang elektronik lagi, jangan lupa hubungi saya," ujar Pak Kuto tersenyum. Aku hanya mengulum senyum, tidak menanggapi dengan kata-kata.Pak Kuto dan mobilnya pergi meninggalkan rumah Susi. Aku masuk ke dalam. Menyimpan uang ke dalam tas. Masuk ke kamar, melihat kondisi wajah si Susi. Ya ampun, wajah Susi seeprti Kepiting rebus. Merah merona. Terdapat bintik-bintik juga. Aku ber
PoV Bu SarnihAku harus menunggu Susi benar-benar terlelap. Sambil menunggu waktu, duduk di bangku meja rias. Kutatapi wajah Susi yang tenang. Sayang sekali, aku hanya memberinya dua pil obat tidur. Susi bodoh! Dia tidak dapat membedakan mana obat tidur, mana obat flu. Mungkin sudah menjadi takdirku, selalu dipermudah dalam segala urusan.Sudah sepuluh menit Susi terlelap. Sepertinya dia sudah tidur nyenyak. Aku berdiri, menyusuri pandangan ke seisi kamar. Tempat yang pertama kali aku geledah adalah lemari pakaian Susi. Sudah terbukti, kalau barang-barang berharga biasanya disimpan di sana. Contohnya Nafisa dan adiknya. Aku berjalan santai, membuka pintu lemari yang kuncinya memang tergantung.Pintu lemari sudah terbuka, senyumku langsung mengembang. Ada laci! Membuka laci tersebut, tidak ada perhiasan atau uang. Hanya terdapat kumpulan kertas mirip struk minimarket. Mengobrak-abrik, memeriksa kertas apa saja. Ya ampun, bukti tagihan listrik dan struk mi
PoV Bu SarnihDi dalam mobil, aku tak henti tersenyum. Memeluk tas dengan erat. Rasanya hatiku sangat bahagia. Mendapatkan uang dan barang-barang berharga hanya dalam waktu kurang lebih satu jam. Hahahaha ....Aku memberitahu supir taksi ke salah satu hotel. Sementara waktu aku tinggal di sana dulu. Besok baru akan mencari penginapan. Uang Nafisa cukup untuk beberapa hari ke depan. Setelah mendapatkan tempat tinggal yang layak, barulah aku jual semua perhiasan Nafisa. Kemudian hasil penjualan perhiasan, aku simpan di Bank.Tiba di hotel, aku langsung membooking selama dua hari.Di dalam kamar, menghempaskan tubuh ke atas kasur empuk. Gelak tawaku membahana, memenuhi kamar hotel. Mengambil tas, mengeluarkan kembali uang dan perhiasan. Menghitung jumlah uang dan mengenakan perhiasan. Mematut diri di depan cermin, alamak ... Aku masih terlihat cantik! Pakaian Halimah yang bagus, aku kenakan. Untunglah, tidak kebesaran dan kekecilan. Sepertinya pakaian
PoV Laila"Kamu jangan nakutin deh, La! Masa sih Ibu itu tega menggasak barang-barang di rumahku?" Nafisa mengelak, dia tidak percaya kalau ibu angkatnya Haris suka mengambil barang-barang berharga. Aku menghela napas panjang."Kalau di rumah kamu ada orang sih, mungkin enggak akan berani. Di rumah kamu ada siapa?""Ibu aku sama ... Naya. Erni dan Ria lagi pergi ke toko buku.""Bukankah ibu kamu tidak bisa bergerak? Cuma bisa melihat dan mendengar?" tanyaku memastikan kabar yang tempo hari Nafisa ceritakan sebelum pindah ke Indonesia."Iya. Kenapa?""Astaga, Nafisa! Mending sekarang kita lihat keadaan rumah kamu deh! Aku curiga Bu Sarnih memanfaatkan keadaan," ucapku berusaha meyakinkan Nafisa.Nafisa ceroboh sekali. Membiarkan Ibunya yang tidak bisa apa-apa dan Naya yang masih kecil ditinggal berdua sama Bu Sarnih di rumahnya! Bagaimana kalau dugaanku benar? Aku tidak yakin kalau ibu sepenuhnya berubah. Buktinya waktu dia kumat gila