Setelah satu Minggu cuti dari pekerjaan kantor, aku dan Damar kembali bekerja.
Pagi ini, seperti biasa menyiapkan sarapan, menyiapkan pakaian kerja untuk Damar dan juga menyiapkan berkas-berkas yang akan dibawa ke kantor. Mungkin kalau aku, hanya bekerja beberapa hari saja, merapikan laporan yang sempat tertunda, setelah itu akan menyerahkan perusahaan pada Damar dan Siska. Aku memilih jadi ibu rumah tangga saja, sebab di rumah tidak ada asisten rumah tangga. Sebenarnya Damar sudah menyarankan, tapi aku sendiri masih enggan. Sedang menikmati peranku sebagai ibu rumah tangga seutuhnya."Pagi, Sayang." Damar menyapa saat aku sedang menata roti panggang ke atas piring. Memelukku dari belakang."Pagi," sahutku singkat, menarik kedua tangannya, menyuruh duduk di bangku."Hari ini, tidak ada acara 'plus' setelah sarapan, oke? Kita harus secepatnya berangkat kerja, Sayang ...."Anggukkan kepala yang Damar berikan membuatku bernapas lega. Sebab seminggu full kami sePoV Bu SarnihAkhirnya, aku bisa keluar dari tempat orang-orang yang tidak waras! Kini saatnya aku akan menuntut balas pada semua orang yang memasukkanku ke rumah sakit jiwa! Mereka harus menerima balasan yang setimpal! Kalau aku tidak bisa membuat mereka gila, maka aku akan melenyapkan nyawanya. Hahahahaha ....Orang-orang yang akan aku balas pertama adalah Haris! Si anak durhaka! Anak tidak tahu diri! Sudah aku besarkan dengan susah payah, dia justru tega meninggalkanku di rumah sakit jiwa seorang diri! Dasar anak panti asuhan!! Tidak tahu terima kasih! Sudah diajak hidup enak, sekarang dia malah tega padaku! Lihat saja pembalasan yang akan aku lakukan padamu Haris!Kedua adalah Susi! Menurut Penjaga rumah sakit, janda gatel itu yang selalu menemani Haris jika datang ke rumah sakit. Bisa jadi, si Haris kena hasutan Susi. Janda gatel itu memang selalu tidak suka padaku! Dari dulu, selalu saja menggagalkan segala rencana yang telah disusun.Pada saat aku ingin
PoV Bu SarnihHussain? Mirip nama belakang Laila. Tapi rasanya tidak mungkin kalau Nafisa punya hubungan darah dengan Laila. Setahuku, Laila tidak punya saudara lain. Dia anak tunggal."Nama ibu siapa?" Pertanyaan Nafisa membuyarkan lamunanku."Nama ibu ---" Aku tidak boleh menyebutkan nama asli, tidak boleh ada orang lain yang tahu kalau aku sudah keluar dari rumah sakit jiwa. Biar saja Laila, Haris dan Susi menyangka aku masih di rumah sakit jiwa."Nama ibu ... Ibu ... Ibu Iis." Ya, lebih baik aku menggunakan nama palsu. Biarlah, nama Sarnih alias Syahrini tertinggal di rumah sakit jiwa. Aku tidak mau mengenang lagi, kalau dulu aku pernah mengalami gangguan jiwa. Aduh, memalukan!!"Oh ibu Iis. Ya udah, Ibu makan dulu ya?" Nafisa melepaskan jabatan tangannya."Iya." Aku menarik kursi, menyendok nasi dan beberapa lauk nasi yang beraneka ragam."Bu, saya tinggal dulu gak apa-apa?""Gak apa-apa."Nafisa meninggalkanku seorang diri r
PoV Bu SarnihBagaimana bisa Halimah ada di sini? Dan menjadi ibu kandung Nafisa? Atau jangan-jangan Halimah hanya wanita tua yang dirawat oleh Nafisa? Setahuku, Halimah memang punya banyak anak. Dulu saja, alasan dia menitipkan Haris di panti asuhan karena anaknya banyak.Aku jadi teringat, awal pertemuan kami. Ketika itu, aku sedang bekerja di salah satu panti asuhan. Kedatangan Haris di panti asuhan bertepatan satu bulan aku tinggal di sana.Beberapa kali aku berbincang dengan Halimah. Ia mengatakan, terpaksa memasukkan Haris ke panti asuhan karena banyak anak.Aku sengaja bekerja di panti asuhan karena ada lelaki yang amat aku sayangi. Yakni Pak Abdullah, suami dari Khadijah. Tapi sial, cintaku pada lelaki itu tak kunjung terbalaskan. Meskipun aku telah merayunya dengan berbagai cara. Sampai akhirnya, Khadijah mengetahui rasa cintaku pada suaminya. Tanpa punya hati, Khadijah mengusirku dari panti asuhan. Pada saat itulah, aku
PoV LailaSepertinya untuk beberapa hari ke depan aku tidak dapat berhenti kerja dulu. Ternyata banyak pekerjaan yang belum selesai. Apalagi baru saja kami akan menangani proyek iklan dari Meyla. Damar pasti kewalahan kalau pekerjaanku sebelumnya dilimpahkan padanya."Mas, kayaknya aku gak bisa berhenti kerja dulu. Aku gak tega sama kamu, harus ngerjain banyak pekerjaan," ucapku saat Meyla sudah pergi dari ruangan."Terserah kamu, Sayang ... Yang pnting kamu baik-baik aja," sahut Damar sembari mengecup punggungku. Posisi aku sekarang duduk kembali di atas pangkuannya. Damar yang meminta setelah Meyla pamit pulang."Oke kalau begitu. Tapi, kayaknya kita harus merekrut asisten rumah tangga lagi. Aku gak mungkin kan, kerja di kantor, mengurus rumah juga. Bagaimana?"Kalau untuk urusan memasak dan menyiapkan sarapan, aku masih bisa. Tapi kalau mencuci pakaian, menyetrika dan pekerjaan rumah tangga lainnya, aku tidak mungkin se
PoV LailaRaut wajah Mama berubah sendu. Ia tak seceria sebelumnya. Tampak sekali kesedihan dan rasa kecewa. Mungkin kali ini keputusanku salah besar."Hm, Laila. Masalah momongan, memang sepenuhnya urusan Tuhan. Sekuat apapun kita menolak keinginan hamil, jika Tuhan sudah mengijinkan, benih itu akan tumbuh dalam rahim kamu. Begitu pula sebaliknya. Sekuat apapun keinginanmu memiliki momongan, jika Tuhan belum berkehendak, pasti tidak akan mengandung. Walaupun ada pencegah kehamilan, tapi kalau Tuhan berkehendak lain, kita bisa apa? Tapi, apa kamu sudah bicarakan masalah ini dengan Damar?"Aku mengerti penjelasan Mamanya Damar. Entahlah, saat ini aku masih ragu. Cuma khawatir, jika hamil sekarang, perusahaan tidak bisa berjalan stabil. Bukan tidak percaya sama kemampuan Damar, tapi aku tidak mau merepotkannya dengan berbagai pekerjaan."Sudah. Tadi waktu dalam perjalanan ke sini, kami membahas masalah momomgan. Tapi ya itu, Mas Damar cuma bilang ters
Maksudnya apa, Nafisa mengatakan Haris almarhum? Apa sebenarnya Haris sudah ... Mati?? Rasanya tidak mungkin. Seingatku, terakhir aku melihat Haris tampak baik-baik saja dan terlihat bahagia bersama si Susi.Nafisa menyeka air matanya. Ia terlihat sangat bersedih."Maksud Mbak Nafisa almarhum itu ... Siapa?" Susi si janda gatel bertanya kembali. Pertanyaan yang sama denganku. Rasa-rasanya tidak mungkin kalau Haris sudah meninggal? Meninggal karena apa? Eh tapi, bisa jadi juga kan dia meninggal karena terkena azab sudah memasukkanku ke dalam rumah sakit jiwa? Terus, kenapa Susi juga tidak mengetahui soal Haris yang meninggal? Waduuuh ... Banyak sekali pertanyaan yang ada di dalam kepala ini."I-iya ... Ha-Haris telah meninggal." Jawaban dari mulut Nafisa otomatis membuatku dan Susi tersontak kaget.Air mata buaya kembali bercucuran. Mengajak sungai, membasahi pipiku. Bahkan kedua mata Susi sampai mau meloncat. Ia membekap mulut dengan sebelah tangannya. 
POV Bu Sarnih"Baiklah kalau begitu. Saya hanya menawarkan saja."Tidak perlu ditawarkan Sisi, aku tidak akan mau tinggal di kontrakanmu."Nak, a-apa ... Apa kalau Ibu tinggal bersama kamu, tidak ada yang keberatan? Adik-adik kamu kan ... Banyak."Semoga saja, Nafisa tidak merubah keputusannya, tetap menampungku di rumahnya."Tidak, Ibu ... Tidak ada yang keberatan. Apalagi kalau Ibu aku tahu, ibulah yang merawat Haris selama ini. Anak lelaki Ibu dan Bapak satu-satunya. Pasti ibu juga akan melakukan hal yang sama, mengijinkan ibu tinggal bersama kami."Sok tahu kamu, Nafisaaa ... Justru kalau Ibu dan Bapakmu melihatku, mereka pasti akan mengusirku. Beruntung sekali, ibu kandung Nafisa lumpuh dan tidak dapat berbicara. Eh, tadi Nafisa menyebut Bapak? Oh iya, suami si Halimah di mana ya? Apa dia masih hidup atau sudah mati? Kalau masih hidup dan tinggal bersama Nafisa, bisa gawat! Penyamaranku sebagai Iis dan wanita yang ba
PoV Bu SarnihSetelah Nafisa keluar kamar, aku menyibak selimut. Bangkit, segera mengunci pintu kamar. Aku mengambil obat yang tergeletak di atas nakas. Berjalan cepat ke toilet. Membuangnya ke dalam closet. Lalu menyiram hingga obat itu tidak terlihat lagi. Aku tersenyum lega. Urusan pertama sudah selesai. Nafisa pasti mengira kalau obat itu sudah aku minum. Memangnya aku wanita sakit-sakitan seperti ibunya? Tidak! Aku wanita sehat dan sempurna!Keluar toilet, kuamati sekitar kamar. Kamar yang mewah dan megah. Di atas dinding terdapat beberapa foto seorang gadis dengan pose beraneka gaya. Wajahnya agak mirip Nafisa. Apakah mungkin ini adiknya Nafisa? Pasti yang namanya Ria?Sekarang fotomu masih terpajang di dinding kamar, sebentar lagi, fotomu akan terpajang di kamar pembantu. Hahahaha ....Hem, dari pada aku cuma mengamati kamar ini, lebih baik aku menggeledah. Barang kali saja ada benda yang berharga atau beberapa lembar uang yang bisa aku miliki. Per
PoV LailaKabar tentang kehamilanku langsung dibagikan Damar melalui media sosial. Berbagai komentar yang berisikan ucapan selamat serta doa-doa dipersembahkan untuk kami. Bahkan Mama mertuaku langsung datang ke rumah. Membawa aneka macam lauk pauk serta susu untuk ibu hamil."Ya Allah, Mama malah repot-repot," ucapku setelah mempersilakan wanita yang telah melahirkan Damar masuk ke dalam rumah."Repot apanya? Tidak, Sayang ... Mama senang bisa berkunjung ke sini apalagi ketika mendengar kabar kamu hamil." Wajah Mama terlihat lebih ceria dari terakhir kali kami bertemu."Terima kasih ya, Ma? Mohon doanya semoga kehamilan Laila selalu sehat, tidak ada masalah yang berarti. Aamiin." Mama mengaminkan harapanku. Damar sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Ia membalas satu persatu ucapan selamat serta doa-doa untuk calon anak bayi kami."Astaghfirullah ... Damar ... Kamu ini kenapa sih tidak juga berubah? Masih saja asyik main hape! Inget lho, kamu akan men
PoV LailaSemalam aku mendengar kabar tentang tertangkapnya Bu Sarnih oleh pihak kepolisian. Beruntung, Polisi langsung sigap menerima laporan Ria. Ternyata bukan hanya Ria yang melaporkan mantan mertuaku, tapi juga Mbak Susi. Wanita yang dulu pernah menjadi simpanan almarhum Haris."Jadi, semalam Ibu Sarnih sudah ditangkap Polisi, Mbak?" tanya Salma saat aku memberitahunya tentang kabar yang disampaikan Nafisa."Iya," sahutku singkat.Entah kenapa sejak semalam kepalaku pusing, badanku juga terasa lemah. Bahkan rencana aku dan Damar yang makan malam di restoran pun batal gara-gara kondisiku ini. Barang kali aku kecapekan."Kasihan sekali, sudah tua harus hidup di penjara," lirih Salma. Aku hanya mengulum senyum. Kalau Bu Sarnih dapat dikasihani dan tahu diri, tidak mungkin Ria, Nafisa dan Mbak Susi tega melakukan hal tersebut. Menjebloskan Bu Sarnih ke dalam penjara. Apalagi Bu Sarnih sangat tega membuat wajah Mbak Susi menjadi terluka.
PoV Bu SarnihLemas sudah persendianku. Berharap Mas Agung yang membayar semua makanan, justru aku yang membayarnya. Kalau tahu kaya gini, lebih baik aku pesan menu yang murah meriah saja. Semua ini gara-gara menu sialan! Mas Agung sih enak, makanannya sudah habis semua. Lah aku, masih ada dua menu yang belum aku cicipi.Kulambaikan pelayan, menyuruhnya membungkus sisa makanan lalu membayar semua pesananku dan pesananan Mas Agung. Apes sekali nasibku hari ini. Padahal sebelumnya aku sangat bahagia mendapat pujian dari Mas Agung.Keluar restoran dengan langkah gontai. Hampir enam juta aku membayar menu makanan tadi. Huh rugi sekali! Lain waktu aku akan membuat Mas Agung mengganti kerugian yang aku alami malam ini. Menghentikan taksi yang melintas, lalu masuk. Kuhempaskan bokong dengan malas. Pusing sekali, harus merelakan uang jutaanku keluar hanya karena makanan. Ah sial!"Bu, Ibu mau kemana?" Pertanyaan supir taksi mengalihkan kekesalanku. Aku meny
PoV Bu SarnihHahahha ... Hatiku sangat bahagia. Di dalam tas ini, uangku saaaaaangat banyak! Sekarang hidupku sudah banyak uang! Aku jadi orang kaya sungguhan. Hahahaha ....Menghempaskan tubuh ke atas kasur, merentangkan kedua tangan, menatap langit-langit kamar hotel.Mulai besok, aku akan mencari tempat tinggal baru. Tidak mungkin selamanya di hotel. Aku ingin mencari rumah yang dapat dicicil tiap bulan. Pembayaran tiap bulannya, aku akan mencari target-target bodoh seperti Nafisa dan Susi!Ngomong-ngomong soal Susi, sekarang dia sudah sadar belum ya? Aku tidak dapat membayangkan jika ia sudah terbangun seperti apa reaksinya. Apalagi wajahnya sangat merah, ditambah bintik-bintik. Iiih ... Menyeramkan! Belum lagi, jika Susi telah menyadari, barang-barang di rumahnya hilang! Dia pasti tambah terkejut dan frustasi. Ah ... Semoga saja si Susi jadi sakit jiwa! Hilang akal warasnya! Terus, dia masuk rumah sakit jiwa deh seperti aku dulu! Kalau mengingat tem
PoV Laila"Nafisa, sabar ya?" Kupegang pundak kanan Nafisa, menuntunnya duduk di sisi ranjang. Air mata sudah membasahi kedua pipinya."Kak! Ada apa?" Ria datang langsung bertanya, dia duduk di samping Nafisa. Meletakkan buku-buku di atas lantai. Tidak lama datang Erni. Adik ketiga Nafisa."Kak Laila, Kak Nafisa kenapa? Kenapa Kak Nafisa menangis?" Belum sempat aku menjawab, Nafisa menghambur dalam pelukan adiknya."Ria ... Maafkan Kakak ... Maafin Kakak ...." lirih Nafisa pada adiknya. Mungkin Nafisa merasa bersalah karena telah memasukkan Bu Sarnih ke rumah ini. Kasihan sekali Nafisa. Bu Sarnih benar-benar tidak berubah. Padahal dia sudah pernah mengalami gangguan kejiwaan. Ria melepaskan pelukan, menatap wajah Nafisa dengan lekat. Memegang kedua pundak Nafisa. Kakak kandung Haris itu hanya merunduk sambil terisak."Kak, ada apa? Kenapa Kakak menangis? Kak Laila kenapa Kak Nafisa menangis?"Tatapan Ria beralih padaku. Ia menu
PoV Bu Sarnih"Iya, Pak. Walaupun baru saya beli beberapa bulan lalu, tidak masalah kalau saya jual. Jadi total semuanya berapa?"Aku tidak mau mereka semua lebih lama di rumah Susi. Khawatir kalau Susi terbangun dan tetangga kanan kiri menaruh curiga. Bisa gawat kalau hal itu terjadi.Pak Kuto menyebutkan nominal hasil penjualan barang-barang elektronik milik si janda gatel. Lumayanlah, lebih dari sepuluh juta. Setelah menyerahkan sejumlah uang, anak buah Pak Kuto mengangkut barang-barang tersebut ke dalam mobil pick up."Terima kasih banyak, Bu. Kalau mau jual barang-barang elektronik lagi, jangan lupa hubungi saya," ujar Pak Kuto tersenyum. Aku hanya mengulum senyum, tidak menanggapi dengan kata-kata.Pak Kuto dan mobilnya pergi meninggalkan rumah Susi. Aku masuk ke dalam. Menyimpan uang ke dalam tas. Masuk ke kamar, melihat kondisi wajah si Susi. Ya ampun, wajah Susi seeprti Kepiting rebus. Merah merona. Terdapat bintik-bintik juga. Aku ber
PoV Bu SarnihAku harus menunggu Susi benar-benar terlelap. Sambil menunggu waktu, duduk di bangku meja rias. Kutatapi wajah Susi yang tenang. Sayang sekali, aku hanya memberinya dua pil obat tidur. Susi bodoh! Dia tidak dapat membedakan mana obat tidur, mana obat flu. Mungkin sudah menjadi takdirku, selalu dipermudah dalam segala urusan.Sudah sepuluh menit Susi terlelap. Sepertinya dia sudah tidur nyenyak. Aku berdiri, menyusuri pandangan ke seisi kamar. Tempat yang pertama kali aku geledah adalah lemari pakaian Susi. Sudah terbukti, kalau barang-barang berharga biasanya disimpan di sana. Contohnya Nafisa dan adiknya. Aku berjalan santai, membuka pintu lemari yang kuncinya memang tergantung.Pintu lemari sudah terbuka, senyumku langsung mengembang. Ada laci! Membuka laci tersebut, tidak ada perhiasan atau uang. Hanya terdapat kumpulan kertas mirip struk minimarket. Mengobrak-abrik, memeriksa kertas apa saja. Ya ampun, bukti tagihan listrik dan struk mi
PoV Bu SarnihDi dalam mobil, aku tak henti tersenyum. Memeluk tas dengan erat. Rasanya hatiku sangat bahagia. Mendapatkan uang dan barang-barang berharga hanya dalam waktu kurang lebih satu jam. Hahahaha ....Aku memberitahu supir taksi ke salah satu hotel. Sementara waktu aku tinggal di sana dulu. Besok baru akan mencari penginapan. Uang Nafisa cukup untuk beberapa hari ke depan. Setelah mendapatkan tempat tinggal yang layak, barulah aku jual semua perhiasan Nafisa. Kemudian hasil penjualan perhiasan, aku simpan di Bank.Tiba di hotel, aku langsung membooking selama dua hari.Di dalam kamar, menghempaskan tubuh ke atas kasur empuk. Gelak tawaku membahana, memenuhi kamar hotel. Mengambil tas, mengeluarkan kembali uang dan perhiasan. Menghitung jumlah uang dan mengenakan perhiasan. Mematut diri di depan cermin, alamak ... Aku masih terlihat cantik! Pakaian Halimah yang bagus, aku kenakan. Untunglah, tidak kebesaran dan kekecilan. Sepertinya pakaian
PoV Laila"Kamu jangan nakutin deh, La! Masa sih Ibu itu tega menggasak barang-barang di rumahku?" Nafisa mengelak, dia tidak percaya kalau ibu angkatnya Haris suka mengambil barang-barang berharga. Aku menghela napas panjang."Kalau di rumah kamu ada orang sih, mungkin enggak akan berani. Di rumah kamu ada siapa?""Ibu aku sama ... Naya. Erni dan Ria lagi pergi ke toko buku.""Bukankah ibu kamu tidak bisa bergerak? Cuma bisa melihat dan mendengar?" tanyaku memastikan kabar yang tempo hari Nafisa ceritakan sebelum pindah ke Indonesia."Iya. Kenapa?""Astaga, Nafisa! Mending sekarang kita lihat keadaan rumah kamu deh! Aku curiga Bu Sarnih memanfaatkan keadaan," ucapku berusaha meyakinkan Nafisa.Nafisa ceroboh sekali. Membiarkan Ibunya yang tidak bisa apa-apa dan Naya yang masih kecil ditinggal berdua sama Bu Sarnih di rumahnya! Bagaimana kalau dugaanku benar? Aku tidak yakin kalau ibu sepenuhnya berubah. Buktinya waktu dia kumat gila