POV Bu Sarnih
"Baiklah kalau begitu. Saya hanya menawarkan saja."
Tidak perlu ditawarkan Sisi, aku tidak akan mau tinggal di kontrakanmu.
"Nak, a-apa ... Apa kalau Ibu tinggal bersama kamu, tidak ada yang keberatan? Adik-adik kamu kan ... Banyak."
Semoga saja, Nafisa tidak merubah keputusannya, tetap menampungku di rumahnya.
"Tidak, Ibu ... Tidak ada yang keberatan. Apalagi kalau Ibu aku tahu, ibulah yang merawat Haris selama ini. Anak lelaki Ibu dan Bapak satu-satunya. Pasti ibu juga akan melakukan hal yang sama, mengijinkan ibu tinggal bersama kami."
Sok tahu kamu, Nafisaaa ... Justru kalau Ibu dan Bapakmu melihatku, mereka pasti akan mengusirku. Beruntung sekali, ibu kandung Nafisa lumpuh dan tidak dapat berbicara. Eh, tadi Nafisa menyebut Bapak? Oh iya, suami si Halimah di mana ya? Apa dia masih hidup atau sudah mati? Kalau masih hidup dan tinggal bersama Nafisa, bisa gawat! Penyamaranku sebagai Iis dan wanita yang ba
PoV Bu SarnihSetelah Nafisa keluar kamar, aku menyibak selimut. Bangkit, segera mengunci pintu kamar. Aku mengambil obat yang tergeletak di atas nakas. Berjalan cepat ke toilet. Membuangnya ke dalam closet. Lalu menyiram hingga obat itu tidak terlihat lagi. Aku tersenyum lega. Urusan pertama sudah selesai. Nafisa pasti mengira kalau obat itu sudah aku minum. Memangnya aku wanita sakit-sakitan seperti ibunya? Tidak! Aku wanita sehat dan sempurna!Keluar toilet, kuamati sekitar kamar. Kamar yang mewah dan megah. Di atas dinding terdapat beberapa foto seorang gadis dengan pose beraneka gaya. Wajahnya agak mirip Nafisa. Apakah mungkin ini adiknya Nafisa? Pasti yang namanya Ria?Sekarang fotomu masih terpajang di dinding kamar, sebentar lagi, fotomu akan terpajang di kamar pembantu. Hahahaha ....Hem, dari pada aku cuma mengamati kamar ini, lebih baik aku menggeledah. Barang kali saja ada benda yang berharga atau beberapa lembar uang yang bisa aku miliki. Per
PoV LailaHari ini aku dan Damar berencana pergi ke tempat penyaluran tenaga kerja atau asisten rumah tangga. Semalam sudah kami putuskan untuk kembali merekrut seorang pembantu rumah tangga."Memangnya kamu sudah kenal baik dengan Agency penyalur tenaga kerja ini?" tanya Damar saat dalam perjalanan."Kenal. Dulu sih waktu masih ada Ummi Abi, pemiliknya ibu Wulan. Aku kenal sama Bi Inah dari sana. Nah, ibu Wulan meninggal diteruskan usaha itu sama anaknya. Namanya Bu Amelia."Damar menganggukkan kepala. Menatap kembali jalan raya yang dipadati oleh kendaraan yang lalu lalang.Membutuhkan waktu satu jam untuk tiba di sana. Kantor Agency ini memang berbentuk rumah gaya Belanda. Konon, bangunannya memang bekas warga Belanda yang pernah menetap di Indonesia. Memasuki halaman terlihat beberapa orang wanita yang keluar masuk ke dalam rumah tersebut sambil menenteng map. Aku dan Damar turun dari mobil, berjalanan beriringan. 
PoV Laila Raut wajah Sadewa berubah memerah. Entah menahan marah atau malu karena mendapat peringatan dari suamiku. Damar menggenggam tanganku kembali, melanjutkan langkah, meninggalkan si B*jingan yang berdiri mematung. Aku merapatkan tubuh pada Damar. Merasa sangat dicintai dan dilindungi olehnya. Usia Damar masih terbilang sangat muda dibandingkan Sadewa ataupun Haris, tapi sikap dan pemikirannya jauh lebih dewasa ketimbang mereka. Masuk ruangan, Damar langsung memelukku. Aku tak mampu berkutik, membiarkan lelaki berkumis tipis itu memeluk tubuh ini. "Maafin aku. Sumpah! Aku tidak seperti yang dikatakan Sadewa! Aku benar-benar mencintaimu! Sangat mencintaimu!" Damar melepaskan pelukan, kami saling memandang. Aku mengulas senyum sembari membelai pipi kirinya. "Aku percaya sama kamu. Aku percaya kalau kamu sangat mencintaiku. Aku percaya kamu tidak seperti yang dikatakan lelaki b*jingan itu. Sayang, jangan berpikir aku akan terpengaruh pemiki
PoV Bu SarnihHari ini aku berencana akan menjual cincin milik Ria. Sebelum anak tidak sopan itu menyadari cincinnya hilang, lebih baik segera aku jual. Tapi, alasan aku keluar dari rumah ini apa ya?Oh iya! Aku pura-pura ke makam Haris saja. Ide bagus!Bangkit, secepatnya aku mematut diri. Melihat wajah dari pantulan kaca, wajah yang telah lama tidak mendapat perhatian dariku. Ternyata aku masih cantik. Apa sebaiknya aku mencari laki-laki kaya raya? Laki-laki yang akan menjamin kehidupanku.Kalau aku mau menggaet lelaki lagi, aku harus mengubah penampilan.Dulu, ada seorang lelaki pengusaha sukses, dia jatuh cinta padaku tapi saat itu aku tidak butuh lelaki. Aku terlalu benci sama manusia bernama lelaki! Cinta lelaki itu pun kuabaikan.Apa aku harus menemuinya kembali?Nanti sajalah, kalau penampilanku sudah seperti dulu lagi.Tok, tok, tok!Aku berjalan ke pintu. Membuka kunc
PoV Bu SarnihAku tak menduga akan bertemu dengan Salma lagi. Padahal terakhir bertemu dia akan pulang kampung. Apa memang si Salma sudah lama bekerja di sini? Tapi, dari tadi aku tidak melihat sosok Bi Inah atau Mang Karman. Apa jangan-janagan mereka juga sudah meninggal?Salma adalah gadis yang telah direnggut kegadisannya oleh Haris. Dia bahkan ingin dinikahi, tapi Haris justru pacaran sama si Susi Janda gatel! Hingga akhirnya, Salma tahu diri. Dia merasa tidak pantas menjadi istri Haris."Kamu kenapa ada di sini?" tanyaku menelisik penampilan Salma. Tetap saja penampilannya kampungan."Ibu sendiri, kenapa ada di sini?"Astaga, berani sekali ia bertanya seperti itu."Rumah ini, rumah mantan menantu Ibu! Mantan istri Haris!!"Mulut Salma menganga lebar. Ia terkejut, kedua bola matanya juga seperti mau loncat."Ma-maksudnya ... Ibu Laila mantan menantu ibu?""Iya! Dia mantan menantu ibu! Awas, kamu minggir! Ibu mau bertemu
PoV Ibu Sarnih"Kamu ... Kamu kenal sama kakak kandungnya Haris?" tanyaku meyakinkan apa yang aku dengar baru saja. Kalau memang mereka saling mengenal, bisa gawat rencana yang sudah aku susun."Iya, Bu. Saya kenal. Bahkan sangat mengenalnya. Memang seperti kebetulan tapi mungkin sudah takdir." Gaya bicara Laila sudah tidak seperti orang ketakutan lagi. Dia sudah biasa-biasa saja.Sebentar, tadi dia bilang sangat mengenal kakak kandung Haris? Sangat mengenalnya? Bagaimana bisa? Duh ... Aku kok sembuh dari gila jadi banyak pertanyaan, bikin aku bingung dan pusing!"Maksudnya gimana kamu udah sangat mengenal kakak kandungnya Haris?" Laila tersenyum tipis, ia melirik ke arah suaminya."Ibu pasti tidak tahu kalau aku punya kakak angkat."Kakak angkat? Ummi dan Abinya Laila pernah mengadopsi anak? Apa yang dimaksud Laila, Nafisa kakak angkatnya.Ya ampun ternyata benar, dunia ini sangat sempit. Tapi belum te
PoV Laila Tidak berselang lama, Salma datang membawa plastik berisi beberapa lembar uang kertas monopoli."Ini, Mbak, uangnya!" Salma segera menyerahkan uang tersebut padaku."Terus gimana, dok?" Sejujurnya aku tidak mau memberikan uang ini pada Ibu. Aku paling takut sama orang gila. Dulu pernah sewaktu masih Sekolah Dasar, dikejar-kejar orang gila sampai satu Minggu aku jatuh sakit. Entahlah, aku sangat parno dengan orang gila."Cepat, berikan uang itu pada saya." Aku menyerahkan uang itu pada Dokter Gita. Dia segera berjalan cepat menuju kursi sofa di tengah ruangan. Pandangan dokter itu sangat serius saat membuka tas dan mengeluarkan salah satu alat medisnya. Sebuah jarum suntik yang berisi cairan. Jemarinya menepuk ujungnya, lalu sedikit menekan di bawah, memastikan alat itu bekerja dengan baik. Cairan seketika menetes keluar saat dia melakukannya. Alat itu siap digunakan. Dokter spontan tersenyum melihatnya. "Nanti, saya akan coba bi
PoV Ibu SarnihAku tidak mengerti, kenapa rambutku awut-awutan begini. Tadi pas bangun tidur, ditangan kananku terdapat uang monopoli. Ih apaan sih ya? Sebenarnya apa yang terjadi saat aku tidak sadarkan diri? Ya ampuuun ... Kenapa diriku jadi seperti ini?Dari pada malu di rumah Laila dengan penampilan acak-acakan, lebih baik aku pulang saja ke rumah Nafisa. Lagi pula, mampir di rumah Laila tidak diberi uang! Buang-buang waktu. Tapi ada hikmahnya juga mampir ke rumah Laila, aku jadi tahu kalau Nafisa dan Laila saudara angkat. Ada pula Salma, mantan pacarnya Haris yang sekarang bekerja di rumah Laila. Hadeuh, semuanya jadi saling berkaitan. Serasa dunia Sempit! Aku harus memutar otak untuk segera merebut harta Nafisa sebelum ia mengetahui tentang siapa aku yang sebenarnya.***Tiba di rumah Nafisa, terdengar keributan. Aku menyembunyikan hasil belanjaan di samping rumah, simpan di bawah kolong meja yang tidak terpakai. Kalau orang rumah sudah tidak ada, aku aka
PoV LailaKabar tentang kehamilanku langsung dibagikan Damar melalui media sosial. Berbagai komentar yang berisikan ucapan selamat serta doa-doa dipersembahkan untuk kami. Bahkan Mama mertuaku langsung datang ke rumah. Membawa aneka macam lauk pauk serta susu untuk ibu hamil."Ya Allah, Mama malah repot-repot," ucapku setelah mempersilakan wanita yang telah melahirkan Damar masuk ke dalam rumah."Repot apanya? Tidak, Sayang ... Mama senang bisa berkunjung ke sini apalagi ketika mendengar kabar kamu hamil." Wajah Mama terlihat lebih ceria dari terakhir kali kami bertemu."Terima kasih ya, Ma? Mohon doanya semoga kehamilan Laila selalu sehat, tidak ada masalah yang berarti. Aamiin." Mama mengaminkan harapanku. Damar sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Ia membalas satu persatu ucapan selamat serta doa-doa untuk calon anak bayi kami."Astaghfirullah ... Damar ... Kamu ini kenapa sih tidak juga berubah? Masih saja asyik main hape! Inget lho, kamu akan men
PoV LailaSemalam aku mendengar kabar tentang tertangkapnya Bu Sarnih oleh pihak kepolisian. Beruntung, Polisi langsung sigap menerima laporan Ria. Ternyata bukan hanya Ria yang melaporkan mantan mertuaku, tapi juga Mbak Susi. Wanita yang dulu pernah menjadi simpanan almarhum Haris."Jadi, semalam Ibu Sarnih sudah ditangkap Polisi, Mbak?" tanya Salma saat aku memberitahunya tentang kabar yang disampaikan Nafisa."Iya," sahutku singkat.Entah kenapa sejak semalam kepalaku pusing, badanku juga terasa lemah. Bahkan rencana aku dan Damar yang makan malam di restoran pun batal gara-gara kondisiku ini. Barang kali aku kecapekan."Kasihan sekali, sudah tua harus hidup di penjara," lirih Salma. Aku hanya mengulum senyum. Kalau Bu Sarnih dapat dikasihani dan tahu diri, tidak mungkin Ria, Nafisa dan Mbak Susi tega melakukan hal tersebut. Menjebloskan Bu Sarnih ke dalam penjara. Apalagi Bu Sarnih sangat tega membuat wajah Mbak Susi menjadi terluka.
PoV Bu SarnihLemas sudah persendianku. Berharap Mas Agung yang membayar semua makanan, justru aku yang membayarnya. Kalau tahu kaya gini, lebih baik aku pesan menu yang murah meriah saja. Semua ini gara-gara menu sialan! Mas Agung sih enak, makanannya sudah habis semua. Lah aku, masih ada dua menu yang belum aku cicipi.Kulambaikan pelayan, menyuruhnya membungkus sisa makanan lalu membayar semua pesananku dan pesananan Mas Agung. Apes sekali nasibku hari ini. Padahal sebelumnya aku sangat bahagia mendapat pujian dari Mas Agung.Keluar restoran dengan langkah gontai. Hampir enam juta aku membayar menu makanan tadi. Huh rugi sekali! Lain waktu aku akan membuat Mas Agung mengganti kerugian yang aku alami malam ini. Menghentikan taksi yang melintas, lalu masuk. Kuhempaskan bokong dengan malas. Pusing sekali, harus merelakan uang jutaanku keluar hanya karena makanan. Ah sial!"Bu, Ibu mau kemana?" Pertanyaan supir taksi mengalihkan kekesalanku. Aku meny
PoV Bu SarnihHahahha ... Hatiku sangat bahagia. Di dalam tas ini, uangku saaaaaangat banyak! Sekarang hidupku sudah banyak uang! Aku jadi orang kaya sungguhan. Hahahaha ....Menghempaskan tubuh ke atas kasur, merentangkan kedua tangan, menatap langit-langit kamar hotel.Mulai besok, aku akan mencari tempat tinggal baru. Tidak mungkin selamanya di hotel. Aku ingin mencari rumah yang dapat dicicil tiap bulan. Pembayaran tiap bulannya, aku akan mencari target-target bodoh seperti Nafisa dan Susi!Ngomong-ngomong soal Susi, sekarang dia sudah sadar belum ya? Aku tidak dapat membayangkan jika ia sudah terbangun seperti apa reaksinya. Apalagi wajahnya sangat merah, ditambah bintik-bintik. Iiih ... Menyeramkan! Belum lagi, jika Susi telah menyadari, barang-barang di rumahnya hilang! Dia pasti tambah terkejut dan frustasi. Ah ... Semoga saja si Susi jadi sakit jiwa! Hilang akal warasnya! Terus, dia masuk rumah sakit jiwa deh seperti aku dulu! Kalau mengingat tem
PoV Laila"Nafisa, sabar ya?" Kupegang pundak kanan Nafisa, menuntunnya duduk di sisi ranjang. Air mata sudah membasahi kedua pipinya."Kak! Ada apa?" Ria datang langsung bertanya, dia duduk di samping Nafisa. Meletakkan buku-buku di atas lantai. Tidak lama datang Erni. Adik ketiga Nafisa."Kak Laila, Kak Nafisa kenapa? Kenapa Kak Nafisa menangis?" Belum sempat aku menjawab, Nafisa menghambur dalam pelukan adiknya."Ria ... Maafkan Kakak ... Maafin Kakak ...." lirih Nafisa pada adiknya. Mungkin Nafisa merasa bersalah karena telah memasukkan Bu Sarnih ke rumah ini. Kasihan sekali Nafisa. Bu Sarnih benar-benar tidak berubah. Padahal dia sudah pernah mengalami gangguan kejiwaan. Ria melepaskan pelukan, menatap wajah Nafisa dengan lekat. Memegang kedua pundak Nafisa. Kakak kandung Haris itu hanya merunduk sambil terisak."Kak, ada apa? Kenapa Kakak menangis? Kak Laila kenapa Kak Nafisa menangis?"Tatapan Ria beralih padaku. Ia menu
PoV Bu Sarnih"Iya, Pak. Walaupun baru saya beli beberapa bulan lalu, tidak masalah kalau saya jual. Jadi total semuanya berapa?"Aku tidak mau mereka semua lebih lama di rumah Susi. Khawatir kalau Susi terbangun dan tetangga kanan kiri menaruh curiga. Bisa gawat kalau hal itu terjadi.Pak Kuto menyebutkan nominal hasil penjualan barang-barang elektronik milik si janda gatel. Lumayanlah, lebih dari sepuluh juta. Setelah menyerahkan sejumlah uang, anak buah Pak Kuto mengangkut barang-barang tersebut ke dalam mobil pick up."Terima kasih banyak, Bu. Kalau mau jual barang-barang elektronik lagi, jangan lupa hubungi saya," ujar Pak Kuto tersenyum. Aku hanya mengulum senyum, tidak menanggapi dengan kata-kata.Pak Kuto dan mobilnya pergi meninggalkan rumah Susi. Aku masuk ke dalam. Menyimpan uang ke dalam tas. Masuk ke kamar, melihat kondisi wajah si Susi. Ya ampun, wajah Susi seeprti Kepiting rebus. Merah merona. Terdapat bintik-bintik juga. Aku ber
PoV Bu SarnihAku harus menunggu Susi benar-benar terlelap. Sambil menunggu waktu, duduk di bangku meja rias. Kutatapi wajah Susi yang tenang. Sayang sekali, aku hanya memberinya dua pil obat tidur. Susi bodoh! Dia tidak dapat membedakan mana obat tidur, mana obat flu. Mungkin sudah menjadi takdirku, selalu dipermudah dalam segala urusan.Sudah sepuluh menit Susi terlelap. Sepertinya dia sudah tidur nyenyak. Aku berdiri, menyusuri pandangan ke seisi kamar. Tempat yang pertama kali aku geledah adalah lemari pakaian Susi. Sudah terbukti, kalau barang-barang berharga biasanya disimpan di sana. Contohnya Nafisa dan adiknya. Aku berjalan santai, membuka pintu lemari yang kuncinya memang tergantung.Pintu lemari sudah terbuka, senyumku langsung mengembang. Ada laci! Membuka laci tersebut, tidak ada perhiasan atau uang. Hanya terdapat kumpulan kertas mirip struk minimarket. Mengobrak-abrik, memeriksa kertas apa saja. Ya ampun, bukti tagihan listrik dan struk mi
PoV Bu SarnihDi dalam mobil, aku tak henti tersenyum. Memeluk tas dengan erat. Rasanya hatiku sangat bahagia. Mendapatkan uang dan barang-barang berharga hanya dalam waktu kurang lebih satu jam. Hahahaha ....Aku memberitahu supir taksi ke salah satu hotel. Sementara waktu aku tinggal di sana dulu. Besok baru akan mencari penginapan. Uang Nafisa cukup untuk beberapa hari ke depan. Setelah mendapatkan tempat tinggal yang layak, barulah aku jual semua perhiasan Nafisa. Kemudian hasil penjualan perhiasan, aku simpan di Bank.Tiba di hotel, aku langsung membooking selama dua hari.Di dalam kamar, menghempaskan tubuh ke atas kasur empuk. Gelak tawaku membahana, memenuhi kamar hotel. Mengambil tas, mengeluarkan kembali uang dan perhiasan. Menghitung jumlah uang dan mengenakan perhiasan. Mematut diri di depan cermin, alamak ... Aku masih terlihat cantik! Pakaian Halimah yang bagus, aku kenakan. Untunglah, tidak kebesaran dan kekecilan. Sepertinya pakaian
PoV Laila"Kamu jangan nakutin deh, La! Masa sih Ibu itu tega menggasak barang-barang di rumahku?" Nafisa mengelak, dia tidak percaya kalau ibu angkatnya Haris suka mengambil barang-barang berharga. Aku menghela napas panjang."Kalau di rumah kamu ada orang sih, mungkin enggak akan berani. Di rumah kamu ada siapa?""Ibu aku sama ... Naya. Erni dan Ria lagi pergi ke toko buku.""Bukankah ibu kamu tidak bisa bergerak? Cuma bisa melihat dan mendengar?" tanyaku memastikan kabar yang tempo hari Nafisa ceritakan sebelum pindah ke Indonesia."Iya. Kenapa?""Astaga, Nafisa! Mending sekarang kita lihat keadaan rumah kamu deh! Aku curiga Bu Sarnih memanfaatkan keadaan," ucapku berusaha meyakinkan Nafisa.Nafisa ceroboh sekali. Membiarkan Ibunya yang tidak bisa apa-apa dan Naya yang masih kecil ditinggal berdua sama Bu Sarnih di rumahnya! Bagaimana kalau dugaanku benar? Aku tidak yakin kalau ibu sepenuhnya berubah. Buktinya waktu dia kumat gila